• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM PEREMPUAN BATAK TOBA UNTUK MENDAPATKAN HARTA WARISAN MELALUI LEMBAGA PERADILAN (STUDI PUTUSAN NO. 144/PDT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UPAYA HUKUM PEREMPUAN BATAK TOBA UNTUK MENDAPATKAN HARTA WARISAN MELALUI LEMBAGA PERADILAN (STUDI PUTUSAN NO. 144/PDT."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA HUKUM PEREMPUAN BATAK TOBA UNTUK MENDAPATKAN HARTA WARISAN MELALUI

LEMBAGA PERADILAN (STUDI PUTUSAN NO. 144/PDT. G/2016/PN-MDN)

TESIS

Oleh

FARAH WINA SALSABILA 167011177/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

2018

(2)

UPAYA HUKUM PEREMPUAN BATAK TOBA UNTUK MENDAPATKAN HARTA WARISAN MELALUI

LEMBAGA PERADILAN (STUDI PUTUSAN NO. 144/PDT. G/2016/PN-MDN)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FARAH WINA SALSABILA 167011177/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 Agustus 2018

TIM PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum ANGGOTA : 1. Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum

2. Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum

3. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya, Farah Wina Salsabila dengan ini menyatakan bahwa tesis saya :

UPAYA HUKUM PEREMPUAN BATAK TOBA UNTUK MENDAPATKAN HARTA WARISAN MELALUI LEMBAGA PERADILAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 144/PDT.G/2016/PN-MDN).

Adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2018 Yang menyatakan

Farah Wina Salsabila

(6)

PERSETUJUAN PUBLIKASI

TESIS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : FARAH WINA SALSABILA

Nim : 167011177

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non exclusive, royalty free right) untuk mempublikasikan tesis saya yang berjudul : Upaya Hukum Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan Harta Warisan Melalui Lembaga Peradilan (Studi Putusan Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN) Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, Agustus 2018 Yang menyatakan

Farah Wina Salsabila

(7)

ABSTRAK

Masyarakat Batak Toba yang bersistem kekerabatan patrilineal dengan sistem pewarisan individual masih membedakan gender, dimana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah anak laki-laki dan menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian dengan judul upaya hukum perempuan Batak Toba untuk mendapatkan warisan melalui Lembaga Peradilan (studi Putusan No. 144/PDT.G/2016/PN-MDN) penting untuk dilakukan. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana porsi waris bagi perempuan Batak Toba terhadap harta warisan di masyarakat adat Batak Toba, bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh perempuan Batak Toba terkait hak waris dalam masyarakat Batak Toba, serta bagaimana kekuatan hukum Putusan Pengadilan Negeri No. 144/PDT.G/2016/PN-MDN bagi kedudukan perempuan Batak Toba sebagai ahli waris di masyarakat Batak Toba.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan jenis penelitian yuridis normatif yang mempergunakan sumber data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pedoman wawancara sebagai alat pengumpulan data serta data deduktif sebagai analisis data.

Kesimpulan dari permasalahan porsi waris bagi perempuan Batak Toba terhadap harta warisan di masyarakat adat Batak Toba adalah anak perempuan bukan sebagai ahli waris. Anak perempuan hanya dapat meminta sebidang tanah kepada ayah atau saudara laki-lakinya, melalui peristiwa khusus yaitu perkawinan (pauseang). Upaya hukum perempuan Batak toba untuk mendapatkan hak dalam mewarisi bisa didahului dengan musyawarah dengan saudara laki-laki untuk melakukan negosiasi, jika tidak menemukan solusi perempuan bisa melakukan musyawarah keluarga, dan apabila tidak ada kesepakatan penyelesaian maka perkara dapat di bawa ke lembaga adat, dan jika para pihak masih merasa kurang puas dengan putusan lembaga adat tersebut maka pihak yang bersengketa dapat membawanya ke Pengadilan. Adapun kekuatan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN ini hanya mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang sama. Sehingga dapat dikemukakan saran yaitu, disarankan kepada ketua adat suku Batak Toba agar dalam menyelesaikan masalah sengketa warisan memperhatikan asas keadilan sesuai dengan perkembangan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat dan mendukung nilai-nilai keadilan yang ditawarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN,serta disarankan kepada hakim agar dapat menjelaskan kepada masyarakat hukum adat akan makna pentingnya Yurisprudensi MA RI No. 179/K/SIP/1961 yang menjadi pedoman hakim untuk memutuskan suatu perkara termasuk Putusan Pengadilan Negeri No. 144/PDT.G/2016/PN-MDN sebagai salah satu sumber hukum di dalam persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak perempuan di kalangan masyarakat Batak.

Kata Kunci : Upaya Hukum, Perempuan Batak Toba

(8)

ABSTRACT

Batak Toba community that has patrilineal kinship system with individual inheritance still discriminate gender in which the heir is the son since a son has higher status than that of a daughter. The title of the thesis is Legal Remedy of Female Batak Toba to Get Inheritance through Judicial Institution (A Case Study on the Ruling No. 144/Pdt.G/2016/PN.Mdn). The research problems are how about the portion of inheritance for female Batak Toba on inheritance in the adat Batak Toba community, and how about the legal force of the District Court’s Ruling No. 144/Pdt.G/29016/PN.Mdn for the position of a female Batak Toba as an heir in the Batak Toba community.

The research used descriptive analytic and juridical normative method.

Secondary data were gathered by conducting library study guided by interviews as the device for gathering the data which were analyzed deductively.

The result of the research, concerning the portion of inheritance for female Batak Toba showed that a daughter is not an heir. She can only ask for a plot of land from her father and her brothers through legal remedy by marriage (pauseang). The legal remedy can be done by negotiation. When it fails, she can do family negotiation, and when it also fails, the case can be brought to the adat institution. When any party feels unsatisfied with the decision, the case will be brought to the court (litigation). The legal force of the Ruling No.

144/Pdt.G/29016/PN.Mdn only deals with the litigants or can be followed by the other judges with the same case. It is recommended that the Adat Leader who settles inheritance problems pay attention to the principle of justice by developing the values which exist in the society and support the values of justice offered by the District Court’s Ruling No. 144/Pdt.G/2016/PN.Mdn. It is also recommended that the judge explain to the adat community the importance of the Supreme Court’s Ruling No. 179/K/SIP/1962 which becomes the guideline for judges in handing down a Ruling, including the District Court’s Ruling No.144/Pdt.G/29016/PN.Mdn as one of the legal sources in the equal distribution of inheritance between sons and daughters in the Batak community.

Keywords: Legal Effort, Female Batak Toba

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan nikmat kesehatan kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan tesis yang berjudul “UPAYA HUKUM

PEREMPUAN BATAK TOBA UNTUK MENDAPATKAN HARTA WARISAN MELALUI LEMBAGA PERADILAN (STUDI PUTUSAN NOMOR

144/PDT.G/2016/PN-MDN)”, dengan harapan agar penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan Ilmu Hukum khususnya di Medan, dan di Indonesia pada umumnya.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk itu terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tesis ini, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Edi Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi

(10)

Pembimbing pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran dalam penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Yefrizawati, SH. M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran dalam penulisan tesis ini.

7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku dosen penguji pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran dalam rangka penyempurnaan tesis ini.

8. Seluruh Dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Staf Biro Pendidikan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam pengurusan administrasi selama masa perkuliahan berlangsung sampai dengan sekarang.

10. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi pada Program Studi Magister

(11)

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Khususnya Angkatan 2016 yang senantiasa memberikan dorongan semangat, dukungan moril, serta kerja sama yang baik selama perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Teristimewa penulis sampaikan terima kasih kepada Ibunda tercinta Ir.

Sitiawan Lubis dan Ayahanda Erwin Sinaga yang tiada hentinya memberikan perhatian, doa, kasih sayang, semangat dan segala pengorbanan yang telah diberikan selama ini yang tak dapat penulis uraikan, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Adik tercinta, Doli Bonardo S.Si dan Edi Trisakti yang telah memberikan doa dan dukungannya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini.

Disadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karenanya dengan segala kerendahan hati penulis

mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini membawa kemanfaatan terutama bagi penulis dan pembaca guna mengembangkan Ilmu Kenotariatan pada masa yang akan datang.

Medan, Agustus 2018 Penulis

Farah Wina Salsabila

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Farah Wina Salsabila

2. Tempat, Tanggal Lahir : 4 Agustus 1993 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Lajang

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jalan Bunga Kenanga No. 28 Kel. Padang Bulan, Kec.

Medan Selayang, Kota Medan II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Erwin Moeda Sinaga 2. Nama Ibu : Ir. SitiAwan Lubis

3. Nama Saudara : Doli Bonardo Sinaga, S.Si : Edi Trisakti Sinaga

III. PENDIDIKAN

1. SD : SDN CIKUYA II

Tahun 1999-2005

2. SMP : SMPN 2 Cisoka

Tahun 2005-2008

3. SMA : SMAN 27 Tangerang

Tahun 2008-2011

4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Tahun 2012-2016

5. Perguruan Tinggi (S2) : Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2016-2018

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... .. i

ABSTRACT... . ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR TABEL... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penulisan ... 13

D. Manfaat Penulisan ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Landasan Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 23

3. Teknik Pengumpulan Data... 24

4. Alat Pengumpulan Data ... 25

5. Analis Data ... 25

BAB II PORSI WARIS BAGI PEREMPUAN BATAK TOBA TERHADAP HARTA WARISAN DI MASYARAKAT BATAK TOBA ... 27

A. Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak Toba ... 27

B. Pewarisan Menurut Hukum Adat Batak Toba ... 33

1. Sistem pewarisan masyarakat Batak Toba... 33

2. Subjek dan objek hukum dalam hukum waris adat Batak Toba ... 39

3. Harta warisan dalam masyarakat adat Batak Toba ... 41

C. Porsi Waris Perempuan Terhadap Harta Warisan Pada Masyarakat Batak Toba ... 45

1. Kedudukan perempuan Batak Toba sebagai Ahli Waris pada masyarakat Batak Toba ... 45

2. Bagian waris bagi perempuan Batak Toba pada masyarakat Batak Toba ... 53

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEREMPUAN BATAK TOBA TERKAIT HAK WARIS DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA ... 61

A. Sengketa Waris Pada Masyarakat Batak Toba Terkait Kedudukan Perempuan Sebagai Ahli Waris... 61

(14)

B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Perempuan Batak

Toba Dalam Hal Kewarisan... 66

1. Upaya hukum di luar pengadilan ... 67

2. Upaya hukum di dalam pengadilan ... 75

BAB IV KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR 144/PDT.G/2016/PN- MDN BAGI KEDUDUKAN PEREMPUAN BATAK TOBA SEBAGAI AHLI WARIS DI MASYARAKAT BATAK TOBA ... 80

A. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MD ... 80

B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 86

C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/ PN-MDN ... 91

D. Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(15)

DAFTAR ISTILAH

Anakhoni do hamoraon di ahu : Anak adalah harta yang paling berharga Animisme : Kepercayaan kepada mahluk halus dan roh

Bagas : Rumah

Batu ni assimun : Hewan piaraan dan emas yang diberikan oleh seorang

ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak. jadi seolah-olah hadiah bagi cucunya

Boru : Pihak keluarga yang megambil isteri dari satu marga

(keluarga lain)

Dalihan Na Tolu : Kaki Tungku Nan Tiga, menjadi filsafat utama orang

Batak dimana dilambangkan sebagai tiga pihak yang

sama kuat dan menjadi satu kesatuan yang seimbang

yaitu, Dongan sabutuha, Boru, Hula-hula.

Maka orang

Batak dapat menduduki salah satu posisi tersebut.

Deaditinisasi : Proses pelenturan rasa keterikatan dan komitmen pada

nilai-nilai luhur hukum adat Desakralisasi : Hilangnya kesakralan Dompak marmeme anak,

Ingkondompak marmeme boru : Sikap perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak

perempuan harus sama selama anak perempuan itu

belum kawin

(16)

Dondon tua : Pemberian berupa sawah oleh seorang ayah kepada anak

perempuannya untuk kemudian dapat diberikan kepada

cucunya apabila dia telah meninggal dunia Dongan Sabutuha : Satu perut asal/saudara laki-laki satu marga

Dongan sa huta : Teman sekampung

Dongan Tubu : Teman selahir/kelompok kerabat

Gender : Suatu konsep tentang perempuan dan laki- laki yang

dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak

bersifat universal

Hamoraon : Kekayaan

Hauma : Ladang

Hepeng : Uang

Holong ate : Pemberian sebahagian harta warisan menurut rasa

keadilan kepada anak perempuan apabila seseorang

meninggal dunia tanpa keturunan laki-laki

Holong no roha : Kasih sayang

Hula-hula : Pihak keluarga dari isteri

Indahan arian : Pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada

anak perempuan yag sudah melangsungkan perkawinan

dilakukan apabila telah lahir anak dari perkawinan

tersebut.

Kolateral : mempunyai asal-usul yang sama atau berasal dari satu

keturunan

(17)

Law in the books : Hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah/norma yang

merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap

pantas

Legitime portie : Bahagian mutlak

Living Law : Hukum yang hidup di masyarakat

Magis : Sakti

Manjae : Menghidupi keluarga sendiri

Manulangi : Upacara adat masyarakat Batak yakni memberikan

makan kepada orangtua

Marga : Suatu bentuk kelompok yang turun temurun mulai dari

satu kelompok yang terkait dengan pertalian darah

Marhata : Musyawarah antar anggota keluarga Namariboto : Kalangan kelompok marga sendiri

Paranak : Kaum kerabat dari si laki-laki

Parboru : Kaum kerabat dari si perempuan

Partuturan : Adat istiadat

Patrilineal : Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki Pauseang : Harta kekayaan yang di bawa oleh si wanita

yang

merupakan pemberian dari ayahnya

Perkawinan jujur : Bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran

Pinahan : Binatang peliharaan

Porlak : Kebun

(18)

Punguan : Perkumpulan

Punsutali : Pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling

besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuan tersebut apabila ayahnya meninggal dunia

Sa-ompu : Satu kakek moyang

Sinamot : Mas kawin

Sopo : Lumbung padi

Tuhor : Mas kawin

Tulang : Paman

Umpasa : Perumpamaan

(19)

DAFTAR TABEL

No. Judul

Halaman

Tabel 1Pendapat 5 Orang Ketua Adat tentang Pembagian Warisan ... 57

(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya, untuk suatu masyarakat yang sedang membangun, seperti halnya Indonesia. Menghadapi kenyataan seperti itu, peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan sebagaimana telah ditetapkan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekedar sebagai alat pengendalian sosial (social control) saja, melainkan lebih dari itu, yaitu melakukan upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berprilaku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan.1 Fungsi hukum di sini adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berarti hukum digunakan untuk mengarahkan masyarakat pada pola-pola tertentu sesuai dengan yang dikehendakinya dengan menciptakan pola-pola baru, juga berarti atau bahkan menghapus kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.2

Dari segi bentuknya maka hukum dapat berupa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Di Indonesia, hukum tidak tertulis dikenal dengan hukum adat3 yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Menurut Soepomo

1Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1993, h. 1.

2 Ibid.

3Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum , Kencana Prenada Meda Group Cetakan Ketiga, Jakarta, 2009, h. 19.

(21)

bahwa corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir tertentu adalah4

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat artinya manusia menurut hukum adat merupakan bentuk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat rasa kebersamaan.

2. Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.

3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan yang konkrit tadi dalam mengatur pergaulan hidup.

4. Hukum adat mempunyai sifat visual artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkannya dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Salah satu sifat hukum adat termasuk hukum waris adat adalah dinamis artinya selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pewarisan pada masyarakat sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Istilah ini dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada para warisnya, jadi ketika pewaris masih hidup, pewarisan berarti penerusan atau penunjukkan dan setelah pewaris wafat pewarisan berarti pembagian harta warisan.5

Secara teoretis sistem keturunan itu berhubungan dengan pembagian harta warisan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Adapun sistem kekerabatan masyarakat adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:6

4 R.Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua, Prandnjaparamita, Cet. 15, Jakarta, 1997, h. 140-141.

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13.

6Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta 1987h. 129-130.

(22)

1. Susunan kekerabatan Patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak) di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.

2. Susunan kekerabatan Matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu) di mana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan.

3. Susunan kekerabatan Parental, di mana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu, di mana kedudukan pria maupun kedudukan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.

Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari keturunan ke keturunan.7 Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan pada masyarakat bersangkutan yang berpengaruh terhadap penetapan ahli waris pembagian maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.

Adapun sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat yaitu :8

1. Sistem Pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan .

2. Sistem Pewarisan Kolektif, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi- bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.

3. Sistem Pewarisan Mayorat, yaitu sistem pewarisan di mana penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan itu dialihkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi dari pewaris kepada anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) atau anak tertua perempuan (mayorat perempuan) yang merupakan pewaris tunggal dari pewaris.

Di dalam masyarakat Batak Toba yang bersistem kekerabatan Patrilineal dengan sistem pewarisan individual masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki

7Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h. 202.

8Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW , Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 43.

(23)

saja, dan di samping itu masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Oleh karenanya pada sistem kekerabatan Patrilineal menjadikan kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.9

Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki dianggap sebagai generasi penerus marga/clan.

Terhadap anak perempuan, adanya hambatan dalam mewaris dari harta peninggalan orangtuanya karena adanya perkawinan jujur yang berarti perkawinan di mana anak perempuan dilepaskan dari marganya dan dimasukkan ke dalam marga suaminya dengan membayar jujur. Dengan dibayarnya jujur maka status si anak perempuan dilepaskan dari paguyuban hidup kerabatnya (bapaknya) ke dalam marga/clan suaminya, sehingga anak perempuan tidak dapat menuntut hak waris.10

Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan Patrilineal, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orang tuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Batak. Titik tolak anggapan tersebut adalah :11

1. Emas Kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

9 Hilman Hadikusuma, op.cit.,h. 23.

10 Tamakiran, S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya, Bandung, 1992, h. 68.

11Djaja S, Meliala dan Aswin Perangin-Angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Pembentukan Hukum Nasional, Tarsito, Bandung, 1978, h. 65.

(24)

2. Adat Levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal.

3. Perempuan tidak mendapat warisan

Kedudukan anak lelaki dan anak perempuan sebagai ahli waris yang mempunyai hak yang sama atas harta warisan orang tuanya berlaku di kalangan masyarakat dengan sistem kekeluargaan parental, seperti terdapat di Jawa, Kalimantan, di Minahasa dan lainnya. Di Jawa sebagaimana putusan landraad Purworejo tanggal 19 Juli 1937 dikatakan, menurut adat di Jawa Tengah anak- anak orang yang meninggal sama hak masing-masing atas harta peninggalan.12

Namun dalam sistem kekerabatan Patrilineal masyarakat Batak Toba, laki-laki dan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya, bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya. Dengan demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut, maka posisi perempuan dalam kekerabatan adalah ambigu atau tidak jelas, karena meskipun berhubungan dengan keduanya, tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut.13

Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama dengan anak laki-laki, sehingga perlakuan adil harus diberikan kepada anak

12 Hilman Hadikusuma, op.cit.,h. 71.

13 Sulistyowati Irianto, Perempuan diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, h. 9.

(25)

perempuan seperti halnya kepada anak laki-laki. Namun dalam hal yang berkaitan dengan pewarisan, pengertian adil tidak diartikan atau “dibaca”memberi akses yang sama kepada anak perempuan dan anak laki-laki.14

Konsep hubungan antara ayah dan anak perempuannya menunjukkan bahwa ayahnya tidak menganggap anak perempuannya sebagai ahli waris.

Pertama, berkaitan dengan konsep Raja Parhata, atau ahli waris yang selalu mengacu kepada anak laki-laki karena dialah yang dipandang mempunyai tanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan ayahnya (marga,clan). Kedua, anak perempuan dianggap menjadi anggota clan suaminya, menjadi marga lain, dan melipatgandakan anggota marga lain tersebut, dan bersama dengan suaminya sekaligus ikut “menikmati” harta warisan dari mertuanya. Ketiga, dimaksudkan untuk mencegah penguasaan tanah yang terlalu luas oleh pihak marga penumpang (terutama suami dari pihak perempuan).15

Perkawinan pada orang Batak pada umumnya, merupakan suatu pranata, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan kaum kerabat dari si laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat dari si perempuan (parboru). Perempuan dilepaskan dari kelompoknya, tidak sekedar dari lingkungan agnata kecil tempat dia dilahirkan, dengan pembayaran sejumlah uang yang disetujui bersama, atau dengan penyerahan benda berharga. Ada istilah yang digunakan pihak si perempuan dalam perkawinan di masyarakat Batak Toba yaitu boli ni boru dan tuhor ni boru.

Istilah boli hanya digunakan dalam istilah perkawinan. Boli ni boru adalah istilah

14 Ibid., h. 10

15 Ibid.

(26)

untuk apa yang diperoleh kelompok kerabat gadis, atau barang kali akan lebih tepat jika dikatakan sebagai “apa yang ditempatkan sebagai imbalan memperoleh boru”. Sedangkan kata tuhor ni boru adalah uang pembelian mempelai perempuan, karena sekarang ini manuhor sudah memperoleh makna “membeli dengan uang” berbeda dengan ditukarkan dengan benda (marsambar). Pihak lelaki kadang-kadang menyebut istrinya na hutuhor (dia yang saya “beli”), dan pamboru akan berkata bahwa dia sudah “menjual” gadis borunya, dan karena itu istilah tuhor ni boru berarti “anak perempuan dianggap sebagai barang dagangan yang diperjualbelikan” ketika anak perempuan meninggalkan kelompok kerabatnya untuk kawin.16

Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat patriarkhal. Garis keturunan dilanjutkan dari ayah kepada anak laki-laki, hal ini mempunyai konsekuensi kepada hak mewarisi.17 Jadi yang dapat dianggap sebagai ahli waris dan yang berhak atas harta warisan berdasarkan urutan-urutan penerima warisan adalah :18

1. Anak laki-laki dari pewaris 2. Bapak dari pewaris

3. Saudara laki-laki dari pewaris

4. Anak dari saudara laki-laki dari pewaris 5. Saudara laki-laki ayah dari pewaris

6. Anak dari saudara laki-laki ayah dari pewaris 7. Bapak dari bapak pewaris

16 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Aset, Jakarta, 1986, h. 218-219.

17 Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta, Bina Media Perintis, Medan, 2006, h. 208.

18 Rehngena Purba, Perkembangan Hukum waris Adat Karo ditinjau dari Hukum Nasional, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, h. 7.

(27)

8. Saudara laki-laki bapak dari bapak pewaris

9. Seseorang yang satu nenek dengan pewaris/satu marga 10. Kasta/kesain

Menurut urut-urutan tersebut di atas terlihat bahwa seorang anak perempuan sama sekali tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya.

Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak memberikan hak waris kepada anak perempuan, baik yang berupa tanah,rumah, maupun benda tidak bergerak lainnya.19

Seiring dengan perkembangan zaman, di dalam pembagian harta warisan adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan mulai dirasakan oleh anak perempuan di dalam sistem kekerabatan Patrilineal, maka melalui pendidikan dan pengetahuannya kaum wanita melakukan penolakan (resistensi) terhadap sistem kekerabatan Patrilineal, yaitu mereka tidak begitu saja tunduk kepada ketentuan hukum adat tradisionalnya, khususnya di dalam pembagian harta warisan.

Sehingga banyak konflik mengenai harta, dan kaum wanita memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa warisan, dalam berbagai upaya untuk memperoleh bagian dari harta ayah ataupun suami yang akhirnya keluarlah berbagai yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris anak perempuan dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan Patrilineal seperti pada masyarakat Batak.20

19 Sulistyowati Irianto, op. Cit.,h. 2.

20 Togar Nainggolan, op.cit.,h. 210.

(28)

De-sakralisasi21 hukum adat terjadi melalui lahirnya vonis-vonis hakim negara yang memberi kemenangan kepada perempuan dengan berbagai dasar pertimbangan pada dasarnya mengesampingkan substansi hukum adat. Putusan yang memberi win-win solution (kompromi) kepada semua pihak menunjukkan bahwa sedang berlangsung proses perubahan di kalangan masyarakat Batak Toba berkenaan dengan masalah pewarisan, tetapi putusan yang memberikan dampak kekalahan bagi perempuan menunjukkan bahwa substansi dari hukum adat masih bertahan dalam hal ini menyebabkan perempuan menunjukkan penolakannya terhadap Patrilineal, perempuan Batak Toba gigih untuk keluar dari kungkungan adat yang membatasi aksesnya terhadap harta warisan.

Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi yang memberikan hak mewaris kepada anak perempuan Batak. Hukum adat selalu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumber-sumber hukum yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundang-undangan, kebiasaan, dan perumusan dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.

Yurisprudensi 22disebut sebagai faktor pembentukan hukum yang dalam praktek

21 Desakralisasi yaitu penghilangan kesakralan; Proses menghilangnya sifat sakral (suci):

tidak ada yang sakral selain allah sehingga—lebih merupakan sekularisasi, W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h. 197.

22 Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Akdemika, Jakarta, 1979, h. 24, Yurisprudensi adalah putusan hakim yang diikuti hakim lain dalam perkara yang serupa (asas similis similibus) kemudian putusan hakim itu menjadi sumber hukum.

(29)

berfungsi untuk mengubah, memperjelas, menghapus, menciptakan, atau mengkukuhkan hukum,23yang hidup dalam masyarakat.

Salah satu perkembangan hukum waris adat masyarakat Batak Toba adalah terkait lahirnya Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN yang melahirkan penemuan hukum adanya persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak perempuan pada masyarakat Patrilineal Batak. Melalui Putusan Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN, tanggal 19 Oktober 2016 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak pewarisan antara anak laki-laki dan anak perempuan (suatu putusan atas kasus di Batak Toba), prinsip persamaan hak waris ini juga dianut oleh Mahkamah Agung melalui putusan- putusan yang substansinya mengakui dan memberikan kedudukan hak mewaris bagi anak perempuan bagi masyarakat Patrilineal Batak, seperti :

1. Pambaenan (penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaha untuk memperlunak Hukum Adat di masa sebelum perang dunia ke II, di mana seorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris.

Hukum adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki, perkembangan mana sudah diperkuat pula dengan satu yurisprudensi tetap mengenai Hukum Waris di daerah tersebut.24

23 Ibid.

24 Yurisprudensi Keputusan MA-RI No 415/K/SIP/1970 tanggal 30 Juni 1971.

(30)

2. Di Tapanuli Selatan terdapat “lembaga Holong Ate” yaitu pemberian dari sebahagian dari Harta Warisan menurut rasa keadilan kepada anak perempuan apabila seseorang meninggal dunia tanpa keturunan laki-laki.25 Hal tersebut merupakan gejala pergeseran hak mewaris anak perempuan pada masyarakat adat Batak Toba dan yang menjadi tonggak perubahan persamaan hak mewaris di dalam hukum waris Masyarakat Batak adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179/K/SIP/1961, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas warisan dalam arti bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung, maka juga di Tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan orang tuanya.26

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN ini bermula dari sengketa waris yang terjadi antara R.Br Sinaga (perempuan), R.M Br Sinaga (perempuan), F.R Br Sinaga (perempuan), L.M. Br Sinaga (perempuan) sebagai penggugat dan S.M Sinaga (laki-laki), E.L Br. Sinaga (perempuan), sebagai tergugat I, C.M.M Sinaga (laki-laki), H.R Br. Sinaga (perempuan),sebagai tergugat II, M.W.S Br. Sinaga (perempuan), sebagai tergugat III, O.S.J.D Br Sinaga (perempuan) sebagai tergugat IV dan C.R.F Br. Sinaga (perempuan) sebagai tergugat V.27 Para penggugat mengajukan gugatan pada tanggal 21 Maret 2016 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 22 Maret 2016 di bawah Register nomor 144/Pdt.G/2016/PN.MDN.

25 Yurisprudensi Keputusan MA-RI No 528/K/SIP/1972 tanggal 17 Januari 1973.

26 Sulistyowati Irianto, op.cit.,h. 223

27 Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN, h. 1-2.

(31)

Para penggugat adalah ahli waris dari alm. Tuan D.S (ayah) dan alm.

D.Br.H (ibu). Adapun dalam perkara ini, penggugat mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri atas harta warisan/ harta peninggalan yang belum terbagi yang selama ini dikuasai oleh tergugat 1 dan tergugat II yang berupa : sebidang Tanah berikut 1 (satu) bangunan rumah dengan dinding setengah batu dengan luas rumah 8x9 meter + dapur 3x6 meter yang berdiri di atasnya terletak di Jalan Pelita II No.

39 Kampung Sidorame Barat/sekarang kelurahan Sidorame Barat II, Kecamatan Medan Timur/sekarang Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara dengan luas tanah 800 m2.28

Pada tanggal 19 Oktober 2016, Hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan putusan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN yang memutuskan, bahwa para penggugat adalah ahli waris yang sah dari alm. Tuan D.S (ayah) dan alm. D.Br.H (ibu), dan berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh alm. Tuan D.S (ayah) dan alm. D.Br H (ibu) , dan menetapkan bagian hak waris masing-masing adalah sebesar 4/32 bahagian.29

Upaya hukum yang dilakukan oleh perempuan Batak Toba terkait hak waris dalam masyarakat Batak Toba dengan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt.G/2016/PN MDN di dalam persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak perempuan pada masyarakat suku adat Batak Toba ini ingin diteliti, seiring dengan perkembangan zaman telah mendapat pengaruh penting dalam perubahan identitas, di mana orang Batak Toba sekarang lebih mengorentasikan diri kepada perubahan dalam masyarakat sehingga banyak dari orang Batak Toba

28 Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN, h. 4.

29 Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt.G/2016/PN-MDN, h. 57-58.

(32)

sudah menerima adanya perubahan dalam hal pelaksanaannya. Karena pengaruh kehidupan kota, kebanyakan dari mereka bersedia untuk mempersingkat acara adat dan meninggalkan beberapa kewajiban.30

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka penelitian mengenai Upaya Hukum Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan Harta Warisan Melalui Lembaga Peradilan (Studi putusan No. 144/Pdt.G/2016/PN-MDN) ini menarik untuk diangkat menjadi judul tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, adalah :

1. Bagaimana porsi waris bagi perempuan Batak Toba terhadap harta warisan di masyarakat adat Batak Toba ?

2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh perempuan Batak Toba terkait hak waris dalam masyarakat Batak Toba ?

3. Bagaimana kekuatan hukum Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt/G/2016/PN-MDN bagi kedudukan perempuan Batak Toba sebagai ahli waris di masyarakat Batak Toba ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan terdahulu, maka tujuan yang hendak dicapai :

1. Untuk mengetahui porsi waris bagi perempuan Batak Toba terhadap harta warisan di masyarakat adat Batak Toba.

30 Togar Nainggolan, op.cit., h. 109.

(33)

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh perempuan Batak Toba terkait hak waris dalam masyarakat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui kekuatan hukum Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/Pdt/G/2016/PN-MDN bagi kedudukan perempuan Batak Toba sebagai ahli waris di masyarakat Batak Toba.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.31 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.32 Adapun manfaat dari hasil penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoretis dan praktis di bidang hukum yaitu :

1. Manfaat Teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong pembaca untuk dapat lebih mengerti tentang bagaimana perkembangan pembagian waris di masyarakat Batak Toba terutama bagi perempuan-perempuan Batak Toba dalam menghadapi masalah pewarisan.

2. Manfaat Praktis, bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para praktisi hukum dan instansi-instansi pemerintah, khususnya diharapkan akan bermanfaat bagi para Notaris dan PPAT serta masyarakat yang akan atau sedang melakukan proses pembagian warisan terutama bagi masyarakat Batak Toba yang sedang bersengketa waris.

31 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum , Mandar Maju, Bandung, 2008, h. 10.

32 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Pranadamedia Group, Jakarta, 2007, h. 41.

(34)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, diketahui belum ada penelitian yang membicarakan masalah tentang Upaya Hukum Perempuan Batak Toba Untuk mendapatkan Harta Warisan Melalui Lembaga Peradilan (Studi Putusan No. 144/Pdt/G/2016/PN- MDN), Oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah.

Adapun penelitian terdahulu pernah melakukan penelitian yang mirip, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tersebut adalah :

1. Mika Lestari, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Batak Toba (Studi di Kota Medan)”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimana pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Toba di Kota Medan?

b. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian warisan di kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam di Kota Medan?

2. Ryna Leli Naibaho, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Efektifitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung

(35)

Republik Indonesia Nomor 179 K/SIP/1961 di dalam persamaan hak mewaris anak laki-laki dan anak perempuan pada masyarakat suku Batak Toba perkotaan (study di kecamatan Medan Baru), Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimana penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru ?

b. Bagaimana penerapan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179 K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru ?

c. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179 K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru ?

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.33 Teori berguna

33 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1997, h. 80.

(36)

untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto :

“keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”34

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Sosiological Jurisprudence, Teori Sosiological Jurisprudence adalah teori yang mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat, hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya dan yang menjadi inti pemikiran dalam Sosiological Jurisprudence adalah hukum yang baik adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat sebab jika ternyata tidak maka akibatnya secara efektif akan mendapat tantangan.35

Kesadaran hidup dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum yang meliputi pemahaman, penghayatan, dan kepatuhan atau ketaatan pada hukum, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan

34 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Cetakan Ketiga, Jakarta 1984, h. 6.

35 R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Arnico cetakan ke 3, Bandung, 1999, h. 52.

(37)

hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tersebut.36Menurut Hilman Hadikusuma asas kesamaan hak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang modern, terutama bagi keluarga-keluarga yang telah maju dan bertempat tinggal di kota-kota di mana alam pikirannya cenderung pada sifat-sifat yang individualistis telah mempengaruhi dan ikatan kekerabatan sudah mulai renggang.37

Selanjutnya, untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, digunakan juga teori keadilan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya.38

Pandangan Hans Kelsen ini bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai- nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan diperuntukkan tiap individu. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangan, melainkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh pembuat hukum dianggap sebagai kebutuhan yang patut dipenuhi. Kebutuhan ini

36 W. Friedman, Legal Theory, Terjemahan Muhammad Arifin: Teori dan Filsfat Hukum, Raja Grafindo Persada Cetakan II, Jakarta, 1994, h. 191.

37 Hilman Hadikusuma, op.cit., h. 3.

38 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, terjemahan Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2011, h. 45.

(38)

dilihat dengan menggunakan pengetahuan rasional yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat objektif.39

Menurut pandangan Thomas Aquinas, suatu hukum disebut adil jika hukum tersebut berfungsi efektif dalam menjamin atau melindungi hak-hak subjek yang diaturnya, termasuk yang diatur dalam hukum positif, keadilan merupakan kehendak yang kekal di antara satu orang dan sesamanya untuk memberikan segala sesuatu yang menjadi haknya, dari sini dapat disimpulkan bahwa ”hak” dan “keadilan” itu mempunyai hubungan yang erat satu sama lain.

Adanya hak mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki setiap orang itu sifatnya melekat pada kodrat manusia itu sendiri, dalam hal ini Thomas Aquinas menekankan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan hak kodrat tidak pernah dapat dianggap adil.40 Dalam keadaan yang demikian keadilan diperlukan untuk menjalankan peraturan secara konsisten. Cara memperlakukan seseorang atau masyarakat dengan adil, maka peraturan hukum akan sangat membantu anggota masyarakat karena hukum diterapkan secara pasti dan konsisten

Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa konsep adil dikenal dalam 4(empat) hal:41

1. Adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin tetap bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar yang semestinya dan bukan dengan kadar yang sama.

39 Ibid.

40 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum , Kanisius, Yogyakarta, 1995. h. 122.

41Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, Azas Pandangan Dunia Islam, Mizan, Bandung, 1995, h. 53-58.

(39)

2. Adil adalah persamaan penafian terhadap perbedaan apapun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan persamaan seperti itu dan mengharuskannya.

3. Adil adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu diperintahkan untuk menegakkannya.

4. Adil adalah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.

Pembagian Harta Waris perlu didasarkan pada aspek keadilan, yang berarti adanya persamaan kedudukan dalam hukum antara wanita dengan pria, keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak, seperti yang disebutkan dalam Undang- Undang Dasar 1945 yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) menyatakan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini berarti menjamin persamaan kedudukan antara pria dan wanita di muka hukum dan di dalam segala peraturan perundang- undangan.42

2. Landasan Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.43

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain- lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum,

42Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM , Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 88-89.

43 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,h. 3.

(40)

Maka dalam penelitian ini disusun beberapa definisi operasional dari konsep- konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni : a. Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil

dan immaterial dari keturunan ke keturunan.44

b. Pewaris adalah seseorang yang meninggalkan harta warisan.45

c. Ahli Waris adalah seorang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan.46

d. Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua hutangnya.47

e. Pertalian keluarga sedarah adalah pertalian antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah.48

f. Peradilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.49

g. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal50 yang bermukim di Medan Baru.

h. Upaya Hukum adalah suatu tindakan atau suatu usaha baik dari terdakwa, maupun jaksa penuntut umum atau pihak ketiga untuk memperoleh hak-

44 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-harta benda dalam perkawinan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 204.

45 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 262.

46 Ibid.

47 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 199, h. 7.

48 M.U. Sembiring, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1989, h. 4.

49 Pasal 2 Undang-undang 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

50 Togar Nainggolan, op.cit., h. 208.

(41)

haknya kepada pejabat berdasarkan undang-undang yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam usaha mencari kepastian hukum yang mengandung keadilan dan kebenaran.51

G. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum adalah suatu jalan yang ditempuh dalam suatu penelitian tertentu yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu.52 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.53 Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.54

Metode penelitian menyajikan cara atau langkah-langkah dalam melakukan penelitian secara sistematis dan logis sehingga hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara garis besar metode penelitian tesis ini mencakup mengenai jenis dan sifat penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal yang dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan hukum yang diteliti yakni

51 Osman Simanjuntak, Tekhik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT.Grasindo, Jakarta, 1995, h.128.

52 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, 2006, h. 26.

53 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996,h. 2.

54 Muslam Abbdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009, h. 91.

(42)

Upaya Hukum Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan Harta Warisan Melalui Lembaga Peradilan (Studi Putusan No. 144/Pdt/G/2016/PN-MDN).

Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang meggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber- sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoretis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.55Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturang perundang-undangan (law in the books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.56

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untukmenjawab permasalahan.57

2. Sumber Data

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

55 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, P.T Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima, Jakarta, 2001, h. 13-14.

56 Muslam Abdurrahman, op.cit.,h. 127.

57 Sunaryati Haryono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, h. 102.

(43)

bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, seperti :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma atau kaedah dasar yakni pembukaan Undang-Undang Dasar, Kitab Undang-undang Hukum Perdata , Undang-undang Perkawinan, putusan Pengadilan Negeri No. 144/PDT.G/2016/PN-MDN, dan bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti misalnya hukum adat.58

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.59

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya.60

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan yang erat dengan sumber bahan hukum, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan.61 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (Library research)yang dilakukan dengan cara menginventarisis, mempelajari, dan mendalami bahan hukum berupa peraturan

58 Soerjono Soekanto, op. Cit., h. 52.

59 Ibid.

60 Ibid.

61 Sri Mamudji, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, 2005, h. 22.

(44)

perundang-undangan, buku-buku, tulisan ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan karya-karya ilmiah yang terkait dengan penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian lapangan (field research) dengan wawancara informan.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Studi Dokumen

Metode ini merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menganalisis isi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen, menelaah bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan tersier.62

b. Pedoman Wawancara

Pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan narasumber yaitu satu orang Hakim Pengadilan Negeri Medan dan lima orang Ketua Adat Batak Toba di Medan

5. Analisis Data

Dari hasil pengumpulan data primer dan data sekunder sesuai dengan yang diharapkan, maka untuk mengetahui data yang akurat, dilakukan pemeriksaan dan pengelompokkan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah

62 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.,h.13

(45)

dibaca dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam bentuk persentase.

Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pelaksanaan warisan di dalam Masyarakat Batak Toba, Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang lebih dirumuskan.

Referensi

Dokumen terkait

Herlina Mariaty P : Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan Dan Janda Pada Masyarakat Batak…, 2003 USU Repository © 2008... Herlina Mariaty P : Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan

Keputusan Mahkamah Agung yang telah menetapkan ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak perempuan, terdapat dalam putusan Mahkamah Agung

Putusan Pengadilan Agama Lubuk Pakam dengan Nomor: 014/Pdt.P/2014/PA-LPK, menetapkan ahli waris dalam putusan tersebut, menjadi ahli waris serta mendapatkan harta warisan