• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEREMPUAN BATAK TOBA TERKAIT HAK WARIS DALAM MASYARAKAT BATAK

B. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Perempuan Batak Toba dalam Hal Kewarisan

2. Upaya Hukum di Pengadilan

Jika sengketa pembagian warisan tidak dapat diselesaikan secara marhata/musyawarah keluarga maupun oleh institusi adat, maka para pihak kemudian dapat mengajukan gugatan sengketa pembagian warisan ke pengadilan, yang paling sering membawa sengketa ke pengadilan biasanya adalah janda maupun anak perempuan masyarakat Batak Toba. Perlawanan yang dilakukan bukan merupakan konfrontasi langsung, karena mereka memahami lemahnya

157 Sulistyowati Irianto, op.cit., h. 133.

kedudukan mereka, namun konfrontasi akan menjadi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting.

Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke pengadilan negara dengan alasan dan latar belakang yang berbeda. Janda baru membawa sengketa ke pengadilan sebagai pilihan terakhir, sedangkan dibawanya sengketa ke pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan karena pilihan (choice).

Oleh karena itu lebih banyak anak perempuan bersengketa di Pengadilan Negara daripada janda.158

Dalam penyelesaian sengketa lewat proses di dalam pengadilan ini biasanya jarang ditemukan perdamaian antara para pihak. Putusan yang ada biasanya berupa putusan kalah atau menang. Bila di Pengadilan tingkat pertama salah satu pihak ternyata kalah, maka terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding bagi pihak yang kalah tersebut apabila ternyata ia tidak menerima putusan tersebut. Begitu seterusnya hingga pada Pengadilan tingkat akhir yaitu Mahkamah Agung.159

Akibatnya proses tersebut benar-benar menghabiskan waktu, menguras tenaga dan biaya serta melelahkan para pihak. Bahkan penyelesaian sengketa tersebut dapat terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, sementara di lain sisi hubungan para pihak yang bersengketa terus memburuk, merenggang bahkan dapat bermusuhan. Dalam banyak kasus biasanya sengketa tersebut menjadi semakin rumit dan akhirnya para pihak menjadi saling bermusuhan, dan

158 Ibid., h. 300.

159 Hasil wawancara dengan Jamaluddin, Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada tanggal 9 April 2018.

permusuhan tersebut berlanjut terus bahkan hingga beberapa garis keturunan selanjutnya.160

Pada umumnya masyarakat menghindari cara penyelesaian sengketa melalui Pengadilan ini, selain rasa malu, mereka menjadikan lembaga Peradilan sebagai upaya terakhir bila dirasakan seluruh cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yang mereka tempuh mengalami jalan buntu, karena selain caranya yang rumit, juga memakan waktu yang lama.

Para pihak yang bersengketa biasanya pada akhirnya akan menjadi bermusuhan karena putusan pengadilan tidak lagi ke arah perundingan atau perdamaian dan sering pula putusan pengadilan tersebut dirasakan memberatkan bagi salah satu pihak yaitu bagi pihak yang kalah atau dirugikan, sehingga sangat tertutup adanya kemungkinan untuk berdamai kembali setelahnya. Pengadilan merupakan upaya terakhir yang ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Namun untuk dapat memahami mengapa orang memilih lembaga hukum negara dalam menyelesaikan sengketanya, dapat dilihat beberapa perbedaan karakteristik dari peradilan negara dan lembaga adat berdasarkan sumber pengaturan, ruang lingkup operasi, potensi sumber daya yang digunakan untuk penyelenggaraannya, dan tujuan akhirnya. Peradilan negara didasari oleh seperangkat aturan yang seragam, berlaku untuk semua orang dalam ruang

160 Hasil wawancara dengan Jamaluddin, Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada tanggal 9 April 2018.

lingkup yang luas, yaitu wilayah negara, dijalankan oleh aparat hukum dalam birokrasi negara.161

Hakim tidak boleh mengadili hanya menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia tunduk kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat.162 Hakim terikat kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma hukum yang tidak tertulis. Pada saat penetapan itu suatu peraturan adat tingkah laku mendapat sifat hukum.163 Penetapan-penetapan (putusan) para petugas hukum secara formal mengandung peraturan hukum, akan tetapi kekuatan materiil dari peraturan-peraturan hukum itu tidak sama. Apabila penetapan (putusan) itu di dalam kenyataan sosial sehari-hari dipatuhi oleh masyarakat, maka kekuatan materiil penetapan itu nyata.

Sebaliknya suatu penetapan yang tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat meskipun secara formal mengandung peraturan hukum, kekuatan materiilnya adalah nihil.

Contoh kasus yang diselesaikan melalui jalur pengadilan yaitu masalah waris keluarga penguasa TD Pardede yang berlarut-larut, meskipun telah ditempuh cara musyawarah keluarga dan lembaga adat namun tidak membuahkan hasil. Pihak-pihak yang merasa tidak puas membawa permasalahan ini ke tingkat pengadilan negara. Hasil penyelesaian di pengadilan adalah harta warisan yang ada di Medan dan Jakarta dibagi sama rata antara anak perempuan dan

161 Sulistyowati Irianto, op.cit., h. 123.

162 R. Soepomo, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 44.

163 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia Bagian 1, Press Media, Jakarta, 1987, h. 42.

anak laki-laki (sedangkan harta yang dikampung dibiarkan atau tidak dibicarakan). Setelah putusan pengadilan keluar, maka agar putusan tersebut diakui oleh seluruh pihak dan keluarga, adat turut mensahkan putusan itu melalui punguan. Dalam kasus ini hukum negara yang dikeluarkan melalui putusan pengadilan ternyata masih membutuhkan legitimasi institusi adat. Pentingnya legitimasi dari punguan (adat) bagi seorang Batak Toba adalah bila ada perkara yang tidak disahkan oleh punguan maka seseorang yang terlibat dalam perkara itu akan dikucilkan. Bagi orang Batak pengucilan itu sangatlah menyakitkan.164

Penyelesaian sengketa waris di Kecamatan Medan Perjuangan lebih dominan memilih musyawarah dan mufakat, dan jika secara musyawarah dan mufakat antar keluarga dirasa belum dapat menyelesaikan masalah, maka permasalahan akan diselesaikan oleh ketua adat melalui lembaga adat. Apabila tidak terselesaikan juga maka penyelesaian secara hukum negara melaui jalur pengadilan akan ditempuh karena dirasa memiliki kepastian hukum dan dianggap dapat melihat perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi, artinya hukum harus sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat.165

164 Sulistyowati Irianto, op.cit., h. 103.

165 Hasil wawancara dengan Raja Aritonang, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Perjuangan, Hari Senin,Tanggal 4 April 2018

BAB IV

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR