• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa putusan pengadilan negeri nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan wawancara kepada tokoh

TOBA SEBAGAI AHLI WARIS DI MASYARAKAT BATAK TOBA A. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Nomor

B. Pertimbangan Hukum Hakim

2. Analisa putusan pengadilan negeri nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan wawancara kepada tokoh

masyarakat adat Batak dan hakim yang terkait tentang putusan pengadilan negeri nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN dimana perempuan mendapat hak mewaris sama dengan yang diputuskan dalam putusan ini. Faktor yang mempengaruhi karena yang dipentingkan sekarang adalah keadilan yang universal tanpa membeda-bedakan gender.

Perempuan Batak tidak mewarisi harta orang tuanya karena yang mereka anut adalah sistem patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan laki-laki. Laki-lakilah yang berhak untuk mewarisi harta perempuan karena nanti di akhir perempuan akan menikah dan suaminya yang akan membawa marga untuk

anak-anak mereka. Perkembangan hak waris perempuan dimana perempuan mempunyai hak mewaris, juga dapat dilihat dari perkembangan putusan setelah adanya putusan pengadilan negeri nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN yang dapat disimpulkan bahwa hakim dalam putusannya tetap berlandaskan kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 179/SIP/1961 sebagai pedoman dalam mengedepankan asas keadilan bagi setiap orang. Yurusprudensi tersebut merupakan faktor pembentukan hukum di dalam persamaan hak mewaris yang digali dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Melihat bahwa menurut Majelis Hakim yang menjadi ahli waris dari Alm. TD Sinaga dan Alm. D br Hutasoit ada 11 (sebelas) orang, yaitu penggugat I, II, III, IV, tergugat I, II, III, IV,V dan turut tergugat I,II, yang terdiri dari 1 (satu) orang anak laki-laki, 6 (lima) orang anak perempuan dan 3 (tiga) orang ahli waris pengganti dimana baik laki-laki maupun anak perempuan memperoleh bahagian atau hak yang sama dari harta warisan Alm. TD Sinaga dan Alm. D br Hutasoit.

Berdasarkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa Hakim wajib menggali, memahami, dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat dan dengan mengacu pada ketentuan hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179/K/SIP/1961. Oleh karena itu, putusan hakim ini juga sesuai dengan asas-asas dalam hukum adat, yaitu asas ketuhanan dan pengendalian diri, asas kesamaan dan kebersamaan hak, asas kerukunan dan kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, dan asas keadilan, seperti dalam putusan pengadilan negeri nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN.

Dalam mengambil keputusan yang dapat dipahami bahwa hakim tidak boleh mengadili hanya menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia tunduk kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat.

Hakim terikat kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat. Penetapan-penetapan (putusan) para petugas hukum secara formal mengandung peraturan hukum, akan tetapi kekuatan materiil dari peraturan-peraturan hukum itu tidak sama. Apabila penetapan (putusan) itu dalam kenyataan sosial sehari-hari dipatuhi oleh masyarakat, maka kekuatan materiil penetapan itu nyata. Sebaliknya suatu penetapan yang tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat meskipun secara formal mengandung peraturan hukum, kekuatan materiilnya adalah nihil.

Oleh karena itu dalam putusan ini Hakim sudah memutus di luar perasaan keadilan dirinya dan sudah obyektif dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan putusan hakim, hakim telah sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.

179/K/SIP/1961 serta juga sesuai dengan dengan asas-asas dalam hukum waris adat, yaitu asas ketuhanan dan pengendalian diri, asas kesamaan dan kebersamaan hak, asas kerukunan dan kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, dan asas keadilan.

D. Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam hukum waris Batak Toba anak perempuan bukan sebagai ahli waris dari harta orang tuanya, tetapi diwarisi oleh anak laki-laki. Hal ini pada akhirnya menimbulkan rasa tidak

puas dari anak perempuan sehingga pada titik akhir dia merasakan ketidakadilan tersebut akan menuntut haknya di pengadilan.

Perkembangan dalam hukum waris adat Batak ditandai dengan lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 dan diikuti dengan lahirnya Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Medan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa antara anak laki-laki dan anak perempuan, bersama-sama berhak atas warisan dalam arti bagian anak laki-laki adalah sama dengan perempuan.166 Memang putusan tersebut tidak dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang sama. Setelah keluarnya putusan tersebut, di mana kemajuan di bidang teknologi, pendidikan, komunikasi, dan pengaruh migrasi pada masyarakat Batak Toba membawa pengaruh juga terhadap cara berpikir dan sikap serta kesadaran hukum masyarakat Batak Toba, khususnya di bidang waris.

Pengadilan berusaha membawa perkembangan hukum tidak tertulis ke arah keseragaman hukum yang seluas-luasnya, antara lain dengan pembinaan ke arah pola hukum keluarga dan hukum waris yang bilateral parental yaitu kedudukan yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan.167

Dari sumber data di Pengadilan Negeri Medan bahwa sejak awal tahun 2017 hingga saat ini ada 8 (delapan) kasus sengketa waris yang disidangkan, yaitu

166 Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi Hukum Adat Batak, Tarsito, Bandung, 1977, h.

118.

167 Hasil wawancara dengan Jamaluddin, Hakim Pengadilan Negeri Medan, Pada Tanggal 9 April 2018.

1 kasus pada tahap penetapan, 1 kasus dalam tahap mediasi, dan sisanya masih dalam proses persidangan, di mana kasus-kasus ini merupakan kasus dari tahun 2015-2017.168 Hal ini menunjukkan hanya sedikit orang yang membawa sengketa warisnya ke pengadilan. Di samping itu hakim sebelum memeriksa pokok perkara wajib melakukan proses mediasi di antara para pihak yang bersengketa, di mana hal ini sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma RI) Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur pelaksanaan para pihak mediasi di pengadilan. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian dengan dibantu mediator.169 Jika setelah 40 hari proses mediasi gagal maka hakim akan memeriksa pokok perkara.170 Mediasi merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh negara guna mengurangi sengketa waris di pengadilan. Selain rasa malu membawa sengketa warisnya ke pengadilan, proses yang lama, dan adanya proses mediasi oleh lembaga pengadilan, mengakibatkan tidak banyak kasus sengketa waris di pengadilan.

Adapun Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN dalam putusannya tetap berlandaskan kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179/K/SIP/1961 sebagai pedoman dalam mengedepankan asas keadilan bagi setiap orang. Demikian juga halnya dalam kasus sengketa perebutan harta warisan lainnya hakim selalu berlandaskan asas keadilan bagi setiap pihak yang yang

168 Hasil wawancara dengan Jamaluddin, Hakim Pengadilan Negeri Medan, Pada Tanggal 9 April 2018.

169 Perma RI No. 1 Tahun 2008 pasal 1 butir 7.

170 Perma RI No. 1 Tahun 2008 pasal 13 butir 3.

bersengketa, dan tidak mengacu kepada hukum adat yang berlaku pada para pihak.171

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN merupakan faktor pembentukan hukum di dalam persamaan hak mewaris yang digali dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atas nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia dan masyarakat tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Penekanannya adalah pada sisi nilai-nilai atau tentang fungsi hukum, dan bukan pada penilaian hukum terhadap kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses.172

Tindakan hukum masyarakat tidak selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi dengan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jadi, masyarakat menjalankan atau menaati hukum bukan karena adanya paksaan melainkan karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri yang telah diinternalisasikan.173

Bagi masyarakat suku Batak Toba yang telah mengalami proses mobilisasi vertikal dan horizontal. Pandangan dan penghayatan seseorang lebih tercurah pada bidang kegiatan usaha atau profesi daripada memikirkan nilai-nilai hukum adat.174 Dengan kata lain, kepeduliannya terhadap hukum adat semakin menipis

171 Hasil wawancara dengan Jamaluddin, Hakim Pengadilan Negeri Medan, Pada Tanggal 9 April 2018.

172 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1982, h. 145.

173 Ibid., h. 146.

174Hasil waawancara dengan Raja Aritonang, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Perjuangan, hari Senin, Tanggal 4 April 2018.

(deaditinisasi) yakni proses pelenturan rasa keterikatan dan komitmen pada nilai-nilai luhur hukum adat.175

Sedikit banyak ia telah keluar dari “grass root” nilai-nilai hukum adat aslinya, atau minimal memperlonggar ikatan kultural dan pengabdian kepada kelompok maupun ketaatan dan kepatuhan kepada nilai-nilai normatif hukum adat semula. 176 Adat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah berbentuk baik sebelum maupun setelah adanya masyarakat.177

Hukum adat merupakan suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga hukum adat tidak boleh bersifat statis dan konservatif. Hukum adat bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan diri dengan suatu keadaan atau suatu situasi tertentu (plastis).178 Menurut Bushar Muhammad, hukum adat yang ada akan patut untuk dipertahankan atau tidak, bergantung kepada kesadaran masyarakat.179

Hukum adat Batak Toba sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat adat Batak, dan sampai saat ini keberadaannya masih diakui. Peranan hukum adat untuk mengatur kehidupan terutama dalam hukum keluarga termasuk hukum waris adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat Batak Toba berasal dari kesadaran moral dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hukum waris adat Batak, hanya laki-laki yang merupakan ahli waris. Prinsip waris tersebut dilatar belakangi oleh sistem

175 M. Yahya Harahap, Kedudukan Janda Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 12.

176 Ibid., h. 10.

177 I Gede A.B Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,h. 3.

178 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, h. 13-14.

179 Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Balai Pustaka, Jakarta, 2013, h. 19.

kekerabatan patrilineal dan sistem perkawinan jujur yang dianut oleh masyarakat Batak.180

Seiring dengan perkembangan waktu terjadi pelemahan terhadap prinsip waris pada masyarakat Batak. Anak perempuan dapat menikmati bagian harta kekayaan orangtuanya seperti melalui pembekalan atau pemberian tanah secara pauseang. Pemberian hadiah melalui pauseang merupakan bukti telah terjadinya pergeseran dan perubahan dalam masyarakat. Perubahan ini telah dianggap masyarakat Batak Toba adil dan wajar dilakukan orang tua terhadap anak perempuan.

Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba sudah mengalami pergeseran yaitu mengikuti kemauan dari orang yang ingin membagi warisan. Kebanyakan orang-orang yang masih tinggal di kampung atau di daerah yang masih memegang teguh dan menjunjung tinggi adat istiadat menggunakan waris adat seperti yang dijelaskan diatas.181

Pembagian warisan dan kapan warisan itu terbuka masih tetap sama seperti aturan hukum adat Batak Toba yaitu pada saat kedua orang tua meninggal dunia, ataupun pada saat anaknya akan berumah tangga, yang telah mengalami perubahan adalah ahli warisnya dan bagian yang akan dibagi, yaitu persamaan kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki dalam pembagian warisan, artinya

180 Eman Suparman, op.cit., h. 41.

181 Hasil wawancara dengan Dippu Sinaga, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Perjuangan, Tanggal 04 April 2018.

anak perempuan sudah menjadi ahli waris yang tadinya menurut hukum adat Batak Toba bukanlah ahli waris.182

Pada umumnya, meskipun hukum negara dan perkembangan hukum adat dalam masyarakat sudah berubah ke arah yang lebih akomodatif dalam memberikan peluang kepada anak perempuan untuk mewaris, tetapi dalam kenyataan, diskriminasi terhadap anak perempuan untuk mendapat bagian dari harta ayahnya masih berlangsung. Hal ini ditunjukkan oleh kasus putusan pengadilan negeri nomor 144/PDT.G/2016/PN-MDN. Perlindungan hukum terhadap perempuan dilemahkan oleh kendala-kendala sosial, budaya dan ekonomi yang menghalangi perempuan. Ternyata pembaharuan hukum yang mengatur mengenai pewarisan hanya memberikan kesetaraan yang bersifat formal saja, dan bukan dalam praktek nyata, karena dalam kenyataannya Yurisprudensi dapat diabaikan atau dihindari.183

182 Hasil wawancara dengan Dippu Sinaga, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Perjuangan, Tanggal 04 April 2018.

183 Hasil wawancara dengan Dippu Sinaga, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Perjuangan, Tanggal 04 April 2018.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN