• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Morfologi

Sembilanbelas aksesi matoa yang dikaji memiliki variasi morfologi yang beragam sebagaimana disusun di bawah ini:

Pola Akar

Pola akar matoa bervariasi dalam kepemilikan akar banir, yaitu berbanir

papan (P1, CB2, KRB1); berbanir sedang (P2, P3, PM2, PM3, CB1, CB5, KRB2, P4); tanpa banir (PM1, PM4, PM5, CB3, CB4, BLHKA, PM6, IPB), terutama pada varian budidaya (Gambar 1).

Gambar 1. Pola akar dan skematisnya: A. berbanir papan, B. berbanir sedang, C. tanpa banir; Skematis: A’. berbanir papan, B’. berbanir sedang, C’. tanpa banir.

Tekstur Kulit

Kulit batang bervariasi dalam teksturnya. Empat aksesi memiliki tekstur halus-tidak mengelupas (CB2, CB4, CB5, IPB); duabelas aksesi memiliki tekstur kulit kasar-mengelupas (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, BLHKA, KRB2, KRB1); tiga aksesi memiliki tekstur kulit yang mengelupas dan menyerpih-berlekah (P1, P4, CB3).

A B C

>1 m

Warna Kulit pada Batang

Kulit batang matoa juga bervariasi dalam warna (Gambar 2). Lima aksesi memiliki warna coklat karatan dan ungu-dadu dengan bercak putih (P1, P3, KRB2, KRB1, IPB); satu aksesi hijau kecoklatan dan krem (P4); delapan aksesi kehijauan dan ungu-dadu dengan bercak putih (P2, PM1, PM2, PM3, PM5, PM6, CB1, CB2); empat aksesi ungu dadu dengan bercak putih (PM4, CB4, CB5, BLHKA); satu aksesi kehijauan dan ungu kekuningan jingga (CB3). Adanya bercak-bercak putih, kehijauan-kebiruan hingga kombinasi keunguan, sering

disebut belang ’bopeng’ dan umumnya berupa lichen yang berasosiasi dengan

permukaan kulit luar batang matoa. Kehadiran lichen dapat berguna sebagai

indikator kelembaban udara setempat.

Gambar 2. Warna tekstur kulit batang: A. warna coklat karatan dan ungu-dadu dengan bercak putih, B. warna hijau kecoklatan dan krem C. warna kehijauan dan ungu-dadu dengan bercak putih. D. tekstur kehijauan dan kekuningan jingga.

Warna Sumbu Daun

Sumbu daun (rachis) matoa terdiri atas tiga macam (Gambar 3). Dua

aksesi berwarna ungu-kehitaman (KRB1, PM6); enam aksesi hijau kekuningan (P3, PM3, PM5, CB2, CB3, CB4); sebelas aksesi hijau kecoklatan (P1, P2, P4, PM1, PM2, PM4, CB1, CB5, BLHKA, KRB2, IPB).

Gambar 3. Warna sumbu daun: A. sumbu ungu-kehitaman, B. sumbu hijau kekuningan, C. sumbu hijau kecoklatan.

D C

B A

20  

Rambut pada Sumbu daun dan Adaksial Tulang Tengah Anak Daun

Matoa bervariasi juga dalam kepemilikan rambut pada adaksial tulang tengah anak daun (Gambar 4). Empatbelas aksesi tidak berambut (P3, P4, PM1, PM3, PM4, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, BLHKA, KRB1, IPB); tetapi ada juga yang memiliki rambut pada bagian adaksial tulang tengah anak daunnya, yaitu berambut putih (canescent) (PM2); empat aksesi berambut coklat keemasan (P1, P2, PM5, KRB2).

Gambar 4. Rambut: A. rambut putih, B. rambut coklat keemasan.

Panjang Sumbu Daun

Matoa bervariasi dalam ukuran panjang sumbu daun. Enam aksesi memiliki panjang sumbu daun berkisar 15-35 cm pendek (P3, PM3, CB1, CB3, CB4, BLHKA); satu aksesi berkisar 36-56 cm sedang (P1); duabelas aksesi berkisar 57-100 cm panjang (P2, P4, PM1, PM2, PM4, PM5, PM6, CB2, CB5, KRB1, KRB2, IPB).

Jumlah Pasangan Anak Daun

Jumlah pasang tiap daun matoa terdiri atas tiga kelompok, yaitu 5-7 pasang (P1, P2, PM3, KRB2); 8-10 pasang (P3, P4, PM1, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, KRB1, IPB); > 10 pasang (BLHKA).

Kedudukan Anak Daun

Matoa terdiri atas dua macam kedudukan anak daun pada sumbu daun

mulai dari pasangan basal hingga atas (Gambar 5). Empat aksesi memiliki anak daun yang berhadapan (P1, P2, CB3, KRB2); limabelas aksesi dengan susunan yang berhadapan sampai berseling sejajar (P3, P4, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5,

PM6, CB1, CB2, CB4, CB5, BLHKA, KRB1, IPB). Namun, jumlah anak daun selalu dua pasang genap di ujung daun (paripinate).

Gambar 5. Kedudukan anak daun: A. anak daun berhadapan (1 = pasangan basal, 2 = pasangan tengah, 3 = pasangan atas, 4 = sumbu daun, B. anak daun berhadapan-berseling sejajar

Bentuk Aurikel pada Anak Daun Basal

Matoa bervariasi pada kehadiran dan bentuk aurikel pada anak daun basal (fase seedlings; sapling) (Gambar 6). Satu aksesi tidak memiliki aurikel (CB3); duabelas aksesi beraurikel menyerupai bentuk arit (P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, CB4, BLHKA, KRB1, IPB); lima aksesi semi arit (P1, P2, CB2, CB5, P4), satu aksesi beraurikel menyerupai dua tanduk seolah memeluk batang (KRB2).

Gambar 6. Bentuk aurikel pada pasangan basal dan skematisnya: A. menyerupai bentuk arit (falcate), B. menyerupai bentuk semi arit (subfalcate), C. menyerupai bentuk dua tanduk; Skematis: A’. skematis menyerupai bentuk arit, B’. skematis menyerupai bentuk semi arit.

A B 2 1 3 4 A’ B’ C A B

22  

Bentuk dan Panjang Anak Daun

Anak daun mulai dari pasangan bawah-tengah dan atas bervariasi dalam bentuk (Gambar 7). Empat aksesi membundar telur-melonjong (PM4, PM6, BLHKA, KRB2); sebelas aksesi membundar telur-lonjong atau melonjong (P1, P2, P3, PM1, PM5, CB1, CB2, CB4, CB5, KRB1, IPB); satu aksesi membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik (P4); dua aksesi membundar telur-melonjong (PM2, PM3); satu lagi lonjong (CB3).

Panjang rata-rata pasangan tengah dan atas, yaitu < 10 cm pendek (PM3); 10-20 cm sedang (P1, P3, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, KRB2); > 20 cm panjang (P2, P4, PM1, CB5, BLHKA, KRB1, IPB).

Gambar 7. Bentuk anak daun mulai dari pasangan basal-tengah dan atas: A. membundar telur-melonjong, B. membundar telur-lonjong atau melonjong, C. membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik, D. membundar telur-melonjong & memanjang, E. lonjong.

Bentuk Pangkal, Tepi dan Ujung Anak Daun Dewasa

Anak daun dewasa bervariasi dalam bentuk, pangkal, tepi dan ujung (Gambar 8). Bagian pangkal anak daunnya terdiri atas 3 bentuk (Gambar 8A, B, C). Empatbelas aksesi memiliki pangkal bundar (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1, CB4, CB5, KRB2, KRB1, IPB); empat aksesi membundar-runcing (P1, CB2, CB3, P4); satu aksesi membundar-memembundar-runcing (BLHKA).

Tepi anak daun matoa terdiri atas 3 bentuk (Gambar 8D, E, F). Tujuh aksesi bergigi halus-dangkal (P2, P3, P4, PM1, CB2, CB4, CB5); Enam aksesi bergigi mencolok (P1, PM2, PM3, PM4, CB3, KRB2); enam aksesi lagi bergigi kasar menumpul-dangkal (PM5, PM6, CB1, BLHKA, KRB1, IPB).

Bagian ujung anak daun dibedakan menjadi lima kelompok (Gambar 8G, H, I, J, K). Satu aksesi memiliki ujung anak daun yang runcing (P4); sembilan aksesi meruncing 2-4 cm (P1, P2, PM2, PM3, PM6, CB1, KRB2, KRB1, IPB);

E D

C

satu lagi aksesi meruncing 5 cm (CB3); enam aksesi runcing-meruncing 2-4 cm (PM1, PM4, PM5, CB2, CB4, CB5, BLHKA), satu aksesi membundar-runcing (P3).

Gambar 8. Bentuk pangkal, tepi dan ujung anak daun: A. bundar, B. membundar sampai runcing, C. membundar sampai meruncing; D. bergigi

halus-dangkal, E. bergigi mencolok, F. bergigi kasar menumpul-dangkal;G.

runcing, H. meruncing 2-4 cm, I. meruncing 5 cm J. runcing-meruncing 2-4 cm, K. tumpul-runcing.

Warna pada Bagian Adaksial Anak Daun Dewasa dan Pucuk

Bagian adaksial anak daun dewasa dan pucuk bervariasi dalam warna

(Gambar 9). Dua macam warna dasar pada bagian adaksial anak daun dewasa.

Duabelas aksesi berwarna hijau (P1, P2, P4, PM1, PM3, PM4, PM6, CB1, BLHKA, KRB2, KRB1, IPB); tujuh aksesi hijau tua mengkilap (P3, PM2, PM5, CB2, CB3, CB4, CB5).

Warna pucuk matoa terdiri atas tiga macam. Tujuh aksesi memiliki pucuk berwarna merah-ungu (PM4, PM6, CB3, CB4, CB5, BLHKA, IPB); enam aksesi ungu dadu (P1, P4, CB1, CB2, KRB2, KRB1); enam aksesi lagi berwarna ungu dadu-hijau kekuningan (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM5). A B C J K 5 cm 2-4 cm 2-4 cm D E F H G I

24  

Gambar 9. Warna pucuk matoa: A. merah-ungu, B. ungu dadu, C. ungu dadu-hijau kekuningan.

Perbungaan

Matoa berbunga pada bulan Juli-Oktober dan buahnya sudah dapat dipanen pada Februari-Maret. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu rangkaian perbungaan dalam satu individu. Bunga betina yang fertil (Gambar 10E) walau benang sari dan kepala sarinya semu dan tidak segera membuka hingga akhirnya gugur setelah diserbuki oleh bunga jantan melalui penyerbukan sendiri atau bantuan polinator. Hasil pengamatan ini mendukung pendapat Jacobs (1962) bahwa bunga betina yang fertil dan menjadi buah dalam pola posisi ovary perigynous, ovary terdiri atas dua ruang biji yang berlekatan, pangkal perlekatannya lebih sempit, bagian atas tumpul setelah kepala sari terbelah. Benang sari semu pada bunga betina 1

mm lebih pendek, jika dibandingkan dengan benang sari pada bunga jantannya.

Setelah pembuahan, sekat antar ruang biji terbelah 2-5 mm berpilin searah jarum jam, sehingga akhirnya tampak 2 buah dalam satu tangkai yang berlekatan sebelum salah satunya terdegradasi (steril) ataupun keduanya berkembang menjadi buah normal yang berlekatan pada satu tangkai pendek (sessile).

Warna bunga dan buah matoa merupakan ekspresi dari kandungan senyawa flavonoid. Daun kelopak berwarna hijau-kekuningan, daun mahkota putih-krem. Pigmen ungu dadu ataupun kekuningan pada kepala sari merupakan antosianin. Karakter warna adaptif terhadap lingkungan tempat tumbuh, sehingga tidak digunakan sebagai penentu jenis taksonomi.

Gambar 10. Bunga matoa dan skematisnya: A. kuncup bunga, B. sumbu daun dan bunga, C. bunga jantan dan betina; D. 1 = sumbu lobus, 2 = locul 2 (sebelum & setelah anthesis), x-lebar cuping, y- panjang cuping, z-tinggi stipe, E. diagram bunga betina (1 = sepal, 2 = petal, 3 =

stamen 4 = anther, 5 = ovarium, 6 = stigma, F. diagram skematis bunga matoa.

Buah Matoa

Matoa memiliki buah normal dan kadang-kadang dijumpai buah abnormal kecil yang melekat di bawahnya, ± ⅓ kali ukuran buah normal (Gambar 11). Buah normal terbentuk dari bakal biji yang tumbuh baik, membesar didahului maupun tidak oleh proses perkawinan kembar bakal biji (amphi-mixis) akhirnya menjadi biji buah; buah steril relatif lebih kecil dan menempel bersama buah normal

dewasa pada satu funiculus semu. Buah abnormal kecil (steril) terbentuk dari

kejadian tumbuh dan membesarnya bakal biji yang didahului ataupun tidak didahului oleh sebagian saja proses perkawinan kembar bakal biji, sehingga embrio untuk pertumbuhan lembaga tidak terbentuk. Buah matoa normal

A B C D E F y 6 mm 1 2 4 3 5 6   2 3  7 cm 50 cm 15 cm 1mm  

26  

panjangnya 2-4 cm, diameter 1.5-4 cm; biji tidak memiliki tangkai biji (funiculus) yang jelas, tetapi integumen luar yang berlekatan pada biji tumbuh membesar dan melebar hingga menyalut permukaan biji menjadi daging (arillode), tebal 0.01-4 mm, tipis, tidak mudah lepas dari biji

Gambar 11. Buah matoa: A. rangkaian buah pada sumbu perbungaan, B. buah

muda normal, C. buah steril (1) dan buah normal setelah anthesis

(2), D. buah ranum ungu kehitaman, E. buah matang hijau kekuningan-kecoklatan, E’. daging (1) dan biji (2). A B D E 1 C E A B C D E E 2 1 1 2 4 cm Ǿ = 1.5 cm 3 cm 3 cm 2.5 cm

Keanekaragaman Isozim

Pola pita yang terbentuk dari sistem enzim EST, MDH dan PER tidak sama. Aksesi matoa yang memiliki jarak migrasi berbeda karena komposisi protein dan muatan listriknya berbeda. Perbedaan mobilitas relatif atau jarak migrasi dalam bentuk pola pita merupakan gambaran dari molekul-molekul protein enzim berbeda yang dianalisis, sehingga muatannya juga berbeda saat dielektroforesis. Pendapat ini mendukung simpulan Buth (1984) bahwa isozim bermuatan listrik yang berbeda karena perubahan urutan asam amino penyusunnya, maka bergerak dengan kecepatan yang berbeda saat elektroforesis.

Daerah aktif uji sistem enzim EST, MDH dan PER dapat diinterpretasikan sebagai kumpulan gen (gene pool), yaitu kumpulan total gen pada periode waktu dan jarak migrasi tertentu dari seluruh aksesi matoa yang di-running. Kumpulan gen itu terdiri atas semua alel pada semua lokus gen yang menyusun variabilitas matoa dapat terwakilkan pada setiap aksesi atau individu matoa tersebut. Matoa sebagai spesies diploid, setiap lokusnya diwakili dua kali dalam genom aksesi (individu) yang bersifat homozigot atau heterozigot pada lokus atau pola pita tiap aksesi yang homolog.

Sistem Enzim EST

Analisis sistem enzim EST, dihasilkan dua pola pita dengan jarak migrasi berbeda yaitu Rfa 0.1 meliputi aksesi PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, CB2, CB5, KRB1 dan Rfb 0.2 meliputi aksesi P1, P2, P3 asal hutan alam Papua (Gambar 12). Kedua pola pita ini merupakan molekul-molekul berbeda dan ditunjukkan pada jarak migrasi yang berbeda pada gel. Pola pita elektroforesis dari aksesi P1, P2 dan P3 berada pada satu daerah aktif. Pola pita dari ketiga aksesi tersebut ditunjukkan oleh bromofenol yang bermigrasi secara lambat ke arah anoda, sedangkan yang berpola tipis atau semir bermigrasi sangat cepat. Pola pita pada aksesi lainnya tidak tampak jelas (semir) dan seolah-olah memiliki daerah aktif pada torehan penyisipan diduga terjadi sebagai akibat dari pemisahan larutan penyangga yang kurang sempurna, kualitas pati, pH dan enzim esterase yang digunakan sudah rusak.

28  

0.2

0.1

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Gambar 12. Sistem enzim EST pada aksesi matoa. A. Pola pita enzim EST. B. Zimogram enzim EST. 1 = P1, 2 = P2, 3 = P3, 4 = PM1, 5 = PM2, 6 = PM3, 7 = PM4, 8 = PM5, 10 = CB2, 13 = CB5, 16 = KRB1.

Sistem Enzim MDH

Analisis sistem enzim MDH dihasilkan tiga pola pita kualitatif dengan jarak migrasi Rfa 0.26 meliputi aksesi CB1, CB5, BLHKA, P4; Rfb 0.27 meliputi PM4, CB2, CB3, CB4, KRB1, PM6, IPB dan Rfc 0.29 meliputi aksesi P1, P2, P3, KRB2 (Gambar 13). Perbedaan jarak migrasi ditentukan juga oleh berat molekulnya.

Aksesi PM2, PM3, PM5 tidak memiliki pola pita atau jarak migrasi yang tampak jelas. Aksesi P1, P2, P3 dan KRB2 memiliki jarak migrasi terjauh (Rfc 0.29); aksesi CB3 memiliki jarak migrasi yang sama dengan aksesi PM4, CB2, CB4, KRB1, PM6, IPB, yaitu Rfb 0.27 dan aksesi PM1, CB1, CB5, BLHKA, P4 memiliki jarak migrasi lebih kecil, Rfa 0.26.

(A) a b (B) a 0.1 b 0.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Rf (+) +

A 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Sistem Enzim PER

Analisis sistem enzim PER, dihasilkan dua pola pita dengan jarak migrasi yang berbeda, yaitu Rfa 0.29 meliputi aksesi PM1, PM3, PM4, CB1, BLHKA, PM6 dan Rfb 0.34 meliputi aksesi P1, P2, P3, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, BLHKA, KRB2, KRB1, P4, IPB. Analisis sistem enzim PER menghasilkan pola-pola pita isozim yang lebih jelas, jika dibandingkan dengan sistem enzim EST dan MDH. Hampir semua aksesi uji mencapai jarak migrasi 0.34. Penyisipan kertas yang mengandung supernatan ke dalam torehan gel tidak a b c

Gambar 13. Sistem enzim MDH pada aksesi matoa. A. Pola pita. B. Zimogram.

0 P1 P2 PM6 P4 IPB KRB1 KRB2 CB3 CB4 CB5 CB2 CB1 PM5 PM4 PM2 PM1 P3 BLHKA PM3 P1 PM6 P4 P2 IPB KRB1 KRB2 BLHKA CB4 CB3 CB2 CB1 PM5 PM4 PM3 PM2 PM1 P3 CB5 0.29 0.26 0.27 (A) (B) 0.29 0.27 0.26 Rf (+)

30  

semuanya sejajar, sehingga diduga turut mempengaruhi jarak migrasi pada gel. Gel berwarna merah kecoklatan merupakan endapan senyawa fenil diamin (3-amino-9 etil karbazole yang dioksidasi oleh oksigen hasil reduksi peroksida) (Gambar 14).

Rf (+)

0.34

Gambar 14. Sistem enzim PER pada aksesi matoa. A. Pola pita enzim PER. B. Zimogram enzim PER.

Aksesi PM4, PM6, BLHKA, KRB1 dan KRB2 memiliki pola pita ganda sebagai gambaran aksesi-aksesi ini bersifat lebih kompleks. Aksesi matoa asal hutan alam maupun yang dibudidaya memiliki jarak migrasi yang relatif sama, tetapi dibedakan oleh pola pita ganda. Aksesi KRB2 dan aksesi KRB1 ternyata

0.29 a b (A) PM1 CB4 CB5 BLHKA KRB2 KRB1 PM6 P4 IPB PM3 PM4 PM5 CB1 CB2 CB3 PM2 P1 P2 P3 P1 KRB1 PM6 KRB2 P4 IPB CB2 PM1 CB3 CB4 CB5 BLHKA PM3 PM2 PM4 PM5 CB1 P2 P3 3 2 1 0 4 (B) a 0.29 b 0.34

memiliki jarak migrasi yang sama. Aksesi CB3 memiliki jarak migrasi yang sama dengan matoa lainnya, walaupun secara morfologi aksesi CB3 memiliki ciri yang unik, yaitu bentuk anak daun lonjong tanpa kelenjar minyak dan pasangan aurikel atau daun penumpu semu serta pangkal anak daun non-auriculate. Hal ini menjadi bukti bahwa variasi pada bagian daun aksesi matoa tidak berbeda dalam isozimnya, sehingga variasi seperti itu tidak cukup memadai dipakai sebagai penunjuk untuk memisahkannya sebagai jenis berbeda.

Aksesi P1, P2, P3 asal hutan alam memiliki pola pita yang lebih pekat pada daerah aktif dengan jarak migrasi 0.34. Jarak migrasi dan kepekatan menggambarkan sifat yang lebih kompleks dari variabilitas matoa. Aksesi P2 memiliki pola pita Rfa pada satu daerah aktif membedakannya dari aksesi P1 dan P3. Jika ditinjau dari kepekatan pita pada daerah aktif, maka aksesi CB5, P4 dan IPB yang dikultivasi sama dengan aksesi P1, P2, P3 tipe liar asal hutan alam, namun berada pada satu daerah aktif dengan aksesi BLHKA, KBR1; CB1, CB2; PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6 dan aksesi P4.

Total 19 aksesi matoa yang dianalisis memiliki keanekaragaman genetik (polimorfisme) yang tergambar melalui pola pitanya. Walaupun aksesi P1, P2, P3, berasal dari lokasi yang sama, tetapi P2 dan CB2 memiliki pola pita tipis rangkap (kuantitatif) sebagai fakta perbedaan genetik yang sangat sedikit di antara variabilitas matoa tipe liar maupun yang dibudidaya di Taman Buah Mekarsari, Arboretum BLHKA dan IPB. Pola pita dan jarak migrasi yang sama maupun berbeda merupakan sifat diversitas genetik dari tiap aksesi tersebut.

Aksesi PM3 dan PM5 berbeda pada perawakan, bentuk dan ukuran daun, warna pucuk serta tekstur kulit batang. Aksesi PM3 memiliki daun yang umumnya berukuran kecil dan pendek, sumbu daun berwarna hijau kekuningan. Aksesi PM5 dan PM3 dicirikan memiliki pucuk yang berwarna kuning kehijauan-ungu dadu, perawakan dan ukuran daun yang lebih pendek, buah bulat dan hijau kekuningan saat ranum. Aksesi PM5 diduga merupakan tanaman induk dari aksesi PM3. Aksesi CB2 memiliki perawakan yang lebih tinggi mencapai 10 m, sumbu

daun lebih panjangnya 1 m lebih. Aksesi PM1, PM5, PM6, CB2 memiliki satu

daerah aktif dan jarak migrasi yang sama, membuktikan sifat genetiknya lebih dekat.

32  

Aksesi KRB2 asal Sri Lanka memiliki pola pita tebal atau rangkap sejajar dengan sebagian besar aksesi uji pada satu daerah aktif. Kemiripan aksesi P4, BLHKA dan PM4 didukung oleh kesamaan atau kemiripan karakteristik fenotipe

warna kulit batang keputihan (lichen) dan ungu dadu dan pucuk merah-ungu.

Faktor tinggi tanaman, umur, warna pucuk dan sumbu daun tampaknya tidak membedakan masing-masing aksesi ini. Variabilitas matoa sangat adaptif membentuk variasi karakter morfologi tertentu (mudah berdiferensiasi), namun secara substansial isozimnya relatif sama. Fenomena ada atau tidak tampaknya pola pita ditentukan oleh substansi protein makro yang terkandung dalam supernatan pada kertas saring yang disisipkan ke dalam torehan gel, kondisi pati dan sistem enzim yang digunakan. Aksesi P2, P4, BLHKA dan KRB2 memiliki penampakan pola pita yang berbeda pada sistem enzim peroksidase diduga disebabkan oleh perbedaan alel pada kromosom dan adaptasinya terhadap lingkungan.

Analisis Kelompok Matoa Berdasarkan Morfologi

Hasil analisis fenetik (Gambar 15) berdasarkan karakter morfologi menunjukkan pada pemotongan fenogram dengan koefisien kemiripan 40% mengelompokkan 19 aksesi matoa menjadi tiga kelompok utama. Kelompok I terdiri atas aksesi CB3 dengan koefisien kemiripan 28% dibedakan oleh kepemilikan tekstur batang kehijauan-ungu kekuningan jingga; anak daun lonjong, ujung meruncing 5 cm, tidak memiliki aurikel dan daun penumpu semu serta kelenjar minyak. Aksesi CB3 memiliki tekstur kulit batang yang mengelupas sampai menyerpih-berlekah (± 3 m di atas pangkal batang); sumbu daun pendek

(15-35 cm); pangkal tangkai daun membesar (pulvinate), berwarna ungu-merah

dan relatif lebih kecil (jika dibandingkan dengan pangkal tangkai daun l8 aksesi lainnya); daun maupun anak daun relatif lebih kecil dan kaku, panjang kurang dari 20 cm. Aksesi CB3 memiliki beberapa perbedaan morfologi yang mencolok dari aksesi lainnya dan diidentifikasi sebagai P. pinnata f. acuminata (f. repanda).

Gambar 15. Fenogram matoa berdasarkan sifat morfologi.

Kelompok II terdiri atas tiga aksesi, yaitu P1, P2 dan KRB2. Ketiga aksesi ini memiliki ciri-ciri yang sebagian besar sama (55%) menjadi indikasi kelompok matoa yang sama. Aksesi P1 dan KRB2 memiliki ciri yang lebih mirip (62%), jika dibandingkan dengan aksesi P2. Kelompok ini memiliki 6 ciri yang sama, yaitu tekstur kulit batang mengelupas, sumbu daun hijau kecoklatan, sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun berambut coklat-keemasan; anak daun 5-7 pasang, berhadapan, adaksial hijau.

Aksesi P1 dikenal sebagai P. acuminata Radlk. 1933. Aksesi ini memiliki kekhasan pada ujung anak daunnya meruncing 5 cm. Sedangkan ciri lainnya relatif sama dengan forma lainnya antara lain: pola akar berbanir papan; bagian banir dan pangkal batang mengelupas-menyerpih sampai berlekah (pada ± 7 cm di atas pangkal batang, kulit luar batang kasar, coklat karatan dan ungu dadu disertai bercak putih; bagian permukaan sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun berambut coklat keemasan; salah satu sisi pangkal anak daun menguping; aurikel menyerupai bentuk semi arit. Aksesi ini diidentifikasi sebagai P. pinnata f.

repanda Jacobs. Seperti halnya pada variabilitas matoa di hutan, aksesi P1 mengalami malformasi daun, yaitu penyimpangan yang terjadi pada daun normal dan kadang-kadang pada perbungaan berupa kumpulan belahan daun tidak teratur

Coefficient 0.28 0.40 0.51 0.63 0.75 P1 KRB2 P2 P3 CB4 CB2 CB5 P4 PM1 PM5 PM2 PM4 PM6 CB1 KRB1 IPB PM3 BLHKA CB3 II III I A B

34  

(irregularly dissected leaflets) tersusun rapat, sehingga tampak seperti untaian perbungaan atau menyerupai bentuk sapu ijuk pada dahan tegakan matoa,

sehingga disebut witches brooms. Malformasi daun merupakan karakter abnormal

(monstrositas), umumnya terjadi pada f. pinnata. Fenomena ini dapat dilihat pada aksesi KRB1 di Kebun Raya Bogor (III.K24). Kelainan ini masih diduga sebagai akibat dari hubungan simbiosis jamur atau virus tertentu yang mengganggu keseimbangan antara fase perkembangan dan reproduksi pada inang matoa.

Aksesi P2 dan KRB2 memiliki pola akar berbanir sedang (less buttresed); tekstur kulit batang kasar-mengelupas, warna kehijauan dan ungu dadu sampai coklat karatan disertai bercak putih; sumbu daun hijau kecoklatan, panjang ± 60-100 cm (panjang), berambut coklat keemasan; anak daun 5-7 pasang, berhadapan, membundar telur sampai lonjong, panjang 10 sampai lebih dari 20 cm, pangkal membundar-runcing, tepi bergigi mencolok, ujung runcing; bagian adaksial berwarna hijau, pucuk ungu dadu-hijau kekuningan; aurikel menyerupai bentuk arit maupun dua tanduk yang seolah-olah memeluk batang. Kajian spesimen di

BO menunjukkan bahwa aksesi P2 asal Papua mirip dengan P. tomentosa asal

PNG dan spesimen asal pulau Jawa. Aksesi KRB2 memiliki ciri khas rambut jingga atau coklat keemasan padat pada permukaan sumbu daun; tepi anak daun bergigi besar-rapat (dentate-serrulate), pertulangan hijau kekuningan sampai

kemerahan. Aksesi KRB2 dan P. pinnata asal Papua dan Kepulauan Pasifik

memiliki penampakan karakteristik yang mirip, namun agak berbeda jika dibandingkan dengan aksesi KRB1 (P. pinnata Forst. asal Sri Lanka). Uraian ciri-ciri di atas dapat menjadi landasan bagi aksesi P2 dan KRB2 diidentifikasi sebagai

P. pinnata var. pinnata f. tomentosa.

Rambut putih pada variabilitas matoa lebih bersifat adaptif, jika

dibandingkan dengan rambut coklat-keemasan pada jenis P. tomentosa Radlk.

Spesimen yang dipakai oleh Radlkofer berupa tipe liar asal hutan alam. Rambut digunakannya sebagai penunjuk jenis. Rambut coklat-keemasan bersifat khas pada forma tomentosa. Menurut Harris dan Harris (1994), batasan terminologi botani

Dokumen terkait