KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN ISOZIM MATOA
(POMETIA PINNATA FORST.)
HENGKY LUKAS WAMBRAUW
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.)” merupakan ide dan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
ABSTRACT
HENGKY LUKAS WAMBRAUW. Morphological and Isozyme Characterization of Matoa (Pometia pinnata Forst.). Supervised by RITA MEGIA and TATIK CHIKMAWATI
Variability of wild and cultivated matoa has long been the subject of controversy because of its morphological variation. It was also recognized also as several species names of matoa, although it has been revised under one type name and some synonyms at forma category that are seldom used. It is difficult to differentiate between morphological characters of matoa variants, therefore it needs to use other approaches. Nineteen accessions originated from six areas, Papua Forest, Mekarsari Fruit Garden, Germplasm of LIPI Cibinong, Bogor Botanical Garden, Arboretum of Bogor Agricultural University, and Bogor Research and Development Agency of Forestry and Conservation were characterized and examined their diversity of morphological and isozyme characters. Three isozyme analysis systems, esterase (EST), malate dehydrogenase (MDH), and peroxidase (PER) were used. Morphological characters were transformed into binary and multistate character data and then were analyzed to build a phenogram based on UPGMA approach using NTSYs pc. 2.2i software. Matoa has variation on 16 morphological characters: root pattern; stem texture and color; rachis size and colour of leaves; hair of rachis, the number of pinna; pinnae position; auricle shape; pinnae size, the base, apex, margin shapes of pinna, pinnae colour; and young pinna colour. Matoa also varied on the three enzyme systems, but only PER showed clear isozyme banding patterns of matoa at 0.29 to 0.34 migration length (Rf). Phenetic analysis based on 16 morphological characters grouped 19 matoa accessions into three major groups, and the bigest group consisted of two sub-group included four identic accessions of cultivated matoa. All accession studied were identified as one species, Pometia pinnata, with two varieties, var. pinnata and javanica, and one cultivated variety, cv. Kelapa. Pinnata variety consist of three forma which were f. pinnata, f. tomentosa, f. repanda, while var. javanica has one forma, f. glabra.
Keywords: Matoa, Pometia pinnata Forst., morphological characteristics, isozyme.
RINGKASAN
HENGKY LUKAS WAMBRAUW. Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan TATIK CHIKMAWATI
Variabilitas matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya telah direvisi di bawah nama jenis tunggal Pometia pinnata Forst., dan subdivisinya diberi sinonim di bawah kategori forma, tetapi jarang digunakan karena terdapat beragam interpretasi terhadap variasi morfologinya yang cukup tinggi pada karakter, pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun. Varian matoa juga sukar dibedakan, maka dilakukan analisis isozim sistem enzim esterase, malatdehidrogenase dan peroksidse terhadap 19 aksesi matoa yang dipilih secara purposif dari Hutan Wisata Alam Gunung Meja Manokwari-Papua Barat, Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekarsari, Kebun Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum IPB serta Balitbang. Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor. Karakter morfologi dan isozim dicirikan dan diidentifikasi berdasarkan spesimen koleksi di Herbarium Manokwariense dan Herbarium Bogoriense. Enambelas karakter morfologi telah dianalisis menggunakan program NTSYSpc 2.02i, SAHN-Clustering untuk mendapatkan fenogram UPGMA.
Variabilitas matoa meliputi matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya. Umumnya matoa di hutan alam memiliki pola akar berbanir papan dan kurang berbanir. Sedangkan varian-variannya yang umumnya dibudidaya untuk buah konsumsi tidak memiliki pola banir tersebut. Tiga macam pola akar, yaitu berbanir papan; berbanir sedang; tanpa banir. Tekstur kulit luar juga bervariasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu halus-tidak mengelupas; kasar-mengelupas; mengelupas dan menyerpih-berlekah. Lima macam warna tekstur kulit pada batang, yaitu coklat karatan dan ungu dadu dengan bercak putih; hijau kecoklatan dan krem; kehijauan dan ungu dadu dengan bercak putih; ungu dadu dengan bercak putih; kehijauan dan kekuningan jingga. Tiga macam variasi warna pada sumbu daun ditemukan, yaitu ungu-kehitaman; hijau kekuningan; hijau kecoklatan. Permukaan sumbu daun dan pertulangan tengah anak daun matoa ada yang tidak berambut, tetapi terdapat dua macam warna rambut, yaitu rambut putih dan rambut coklat keemasan. Matoa juga memiliki tiga macam variasi panjang sumbu daun, yaitu 15-35 cm pendek; 36-56 cm sedang; 57-100 cm tergolong panjang. Anak daun matoa berhadapan; berhadapan sampai berseling. Jumlah pasangan anak daun terdiri atas tiga kelompok, yaitu 5-7 pasang, 8-10 pasang, lebih dari 10 pasang. Pasangan bawah lebih kecil, menyerupai cuping yang tampak seperti memeluk batang, bentuk semi arit (subfalcate), arit (falcate) maupun pola dua tanduk. Lima macam bentuk anak daun, yaitu membundar telur-melonjong; membundar telur-lonjong atau telur-melonjong; membundar telur,
melonjong-membundar telur terbalik (obovate); membundar telur sampai
melonjong hingga memanjang (oblongate); lonjong. Berdasarkan panjang anak daun, matoa memiliki tiga macam variasi ukuran anak daun, yaitu < 10 cm pendek; 10-20 cm sedang; > 20 cm panjang.
lebih jelas memperlihatkan dua pola pita pada jarak migrasi Rfa 0.29 meliputi lima aksesi dan Rfb 0.34 meliputi tigabelas aksesi. Empat aksesi memiliki pola pita ganda sebagai wujud dari sifat yang lebih kompleks. Dalam sistem enzim peroksidase, aksesi matoa asal hutan alam Papua maupun yang dibudidaya di daerah Bogor memiliki jarak migrasi sama, tetapi dibedakan oleh pola pita ganda.
Sembilanbelas aksesi matoa yang dianalisis tergolong dalam jenis P.
pinnata terdiri atas dua varietas, yaitu pinnata dan javanica. Varietas pinnata
meliputi tiga forma yaitu f. pinnata, f. tomentosa dan f. repanda. Varietas
javanica terdiri atas satu forma glabra dan cv. Kelapa. Karakter penunjuk kategori varietas pada variabilitas matoa cukup adaptif, sehingga penerapan nama dengan tingkat forma lebih konsisten.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karaya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN ISOZIM MATOA
(POMETIA PINNATA FORST.)
HENGKY LUKAS WAMBRAUW
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.)
Nama : Hengky Lukas Wambrauw
NRP : G353070041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Rita Megia Dr. Ir. Tatik Chikmawati, MSi
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana
Biologi Tumbuhan
Dr. Ir. Miftahudin, MSi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 13 Mei 2011 Tanggal Lulus: 2011
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya, sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan sejak Agustus 2008, yang meliputi kajian spesimen di Herbarium Manokwariense dan Bogoriense dan penelitian lapang serta analisis isozim di Laboratorium Biologi Tumbuhan PPSHB IPB. Bahan tanaman matoa diperoleh dari Hutan Wisata Gunung Meja Manokwari Papua Barat, Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong dan Taman Buah Mekarsari Cileungsi Bogor Jawa Barat. Tesis berjudul Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata
Forst.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada: Dr. Rita Megia dan Dr. Tatik Chikmawati, MSi selaku Komisi Pembimbing atas arahan dan motivasinya; Prof. Dr. Ir. Alex Hartana atas pemberian ijin pemakaian Laboratorium Biologi Tumbuhan PPSHB IPB; Dr. Eko Baroto dan staf Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong; Dr. Siti Roosita Ariyati dan staf di Kebun Raya Bogor; Kepala Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong dan staf; Ir. Edwin dan staf di Taman Buah Mekarsari Cileungsi Bogor, atas pemberian ijin dan akses penelitian; Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Jakarta melalui IPB atas pemberian Beasiswa BPPS Tahun 2007; Rektor UNIPA Manokwari. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada keluarga: ayah, ibu (almh.), istri dan anak atas dukungan doa, moril dan finansial. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada rekan Gunawan, S.Si. MSi; Pak Pras, Pak Yani dan Elisa Wally.
Semoga informasi dalam tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Namber pada tanggal 15 September 1972 dari Ayah M. Wambrauw dan Ibu A. Mandobar. Penulis merupakan putra keempat dari sepuluh bersaudara. Lulus pendidikan strata satu (S1) pada tahun 2004 di Universitas Cenderawasih Jayapura dan pada tahun yang sama diterima sebagai staf Dosen pada Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Papua Manokwari Papua Barat. Tahun 2004-2006 sebagai pengampu mata kuliah Taksonomi Tumbuhan dan Tinjauan Dunia Tumbuhan. Tahun 2007, Penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Mayor Biologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, didukung oleh beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Jakarta melalui SPs IPB.
Penulis pernah tergabung dalam kelompok survey dan monitoring populasi kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan Hutan Wisata Alam Teluk
Youtefa dan Pegunungan Cyclop Jayapura Papua, kerjasama Indo-pacific
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR…...………... xii
DAFTAR LAMPIRAN……….. … xiii
PENDAHULUAN
Malat Dehidrogenase (MDH)... 10
Peroksidase (PER)... 10
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat... 11
Bahan dan Alat ... 11
Pendekatan Morfologi... 12
Analisis Isozim... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Morfologi... 18
Keanekaragaman Isozim……….……….... 27
Analisis Kelompok Matoa Berdasarkan Morfologi…….………... 32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pola akar matoa dan skematisnya……...………... 18
2. Warna kulit pada batang...………. 19
3. Warna sumbu daun………. 19
4. Rambut pada sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun………….. 20
5. Kedudukan anak daun……….………... 21
6. Bentuk aurikel pada pasangan basal dan skematisnya……….... 21
7. Bentuk anak daun mulai dari pasangan bawah-tengah dan atas……... 22
8. Bentuk pangkal, tepi dan ujung anak daun…….………... 23
9. Warna pucuk matoa……..……….………... 24
10.Bunga matoa dan skematisnya……...………... 25
11.Buah matoa ……….... 26
12.Pola pita dan zimogram esterase………. 28
13.Pola pita dan zimogram malat dehidrogenase...………. 29
14.Pola pita dan zimogram peroksidase……….……….. 30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Karakter-karakter morfologi aksesi matoa untuk analisis fenetik………. 47
PENDAHULUAN
Latar BelakangMatoa merupakan tumbuhan buah khas Papua. Kayunya tergolong
kelompok veneer dan dimanfaatkan sebagai bahan kusen rumah; bagian kulit
batang dan daun sebagai obat luka dan eksim. Variabilitas matoa telah direvisi
dengan satu tipe P. pinnata Forst., berumah satu dalam suku Sapindaceae;
tersebar di seluruh kawasan Malesia hingga Kepulauan Pasifik (Jacobs 1962).
Karakter morfologinya masih diperdebatkan karena variasinya cukup tinggi pada
pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun, sehingga
di Papua, penebang pohon membedakan pada tingkat jenis, yaitu P. pinnata
Forst., P. acuminata Radlk, P. tomentosa Radlk. dan P. coriacea Radlk. Selain
itu, keterbatasan material generatif bergantung pada musim dan distribusi
geografis yang luas menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi,
sehingga diperlukan pendekatan lain.
Varibilitas matoa terdiri atas jenis biologi di hutan alam dan varian-varian
atau kultivarnya yang dibudidaya secara luas saat ini. Matoa juga dikonservasi
secara ex situ di Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI
Cibinong, Arboretum IPB dan Balitbang dan Konservasi Alam Bogor serta
ditanam di Taman Buah Mekarsari Bogor. Umumnya bibit yang ditanam berasal
dari Papua dan diperbanyak secara vegetatif, sehingga siklus produktivitasnya
lebih pendek, jika dibandingkan dengan jenis liarnya di hutan alam. Matoa tipe
liar dan varian-variannya memiliki variasi infraspesies yang sukar dibedakan
secara langsung, bahkan record datanya pun masih kurang hingga saat ini. Di lain pihak, perlindungan varietas tanaman di Indonesia telah diatur dalam Lembaran
Negara No. 29 tahun 2000.
Matoa beragam dalam karakter morfologinya, namun menurut Jacobs
(1962) variabilitas matoa tidak stabil, sehingga cukup dikelompokkan dengan
nama tunggal P. pinnata Forst. dan sinonim dengan kategori forma. Karakter
morfologi terdiri atas perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan di antara
tumbuhan yang terjadi secara umum, nilainya dapat diukur dari kestabilannya,
semakin banyak karakter yang stabil, maka lebih baik tingkat kepercayaannya
perbedaan genetik yang sesungguhnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun
isozim stabil terhadap lingkungan geografis, sehingga karakterisasi bahan suatu
tumbuhan dapat membantu meminimalkan pemahaman yang terbatas terhadap
sifat-sifat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan (Horry 1989).
Karakterisasi sifat morfologi matoa yang ada merupakan kemampuan untuk
menstabilkan pengaruh faktor lingkungan terhadap fenotipenya agar diperoleh
gambaran yang jelas tentang tingkat variasinya.
Keragaman morfologi matoa di bawah tingkat jenis juga tidak selalu
tersedia, maka penggunaan karakter tambahan selain morfologi seperti analisis
isozim dapat membantu memperlihatkan pengelompokan sifat keragaman
genetiknya. Isozim merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas gabungan
beberapa molekul enzim berbeda yang aktif di dalam sel organisme, bersifat
polimorf dan berbeda sifat fisika dan kimianya, namun dapat mengkatalis reaksi
kimia yang sama. Perbedaan molekul-molekul ini disebabkan oleh berbedanya
urutan asam amino penyusunnya, sehingga menjadi dasar dilakukannya
pemisahan dengan teknik elektroforesis (Markert & Moller 1959). Dalam larutan
elektrolit, molekul-molekul biologis bermuatan listrik dengan beda potensial akan
bermigrasi ke kutup berlawanan hingga mencapai jarak relatif sebagai pola pita
isozimnya.
Penanda isozim sangat berguna untuk karakterisasi dan identifikasi
kultivar, penentuan asal genetik benih, membedakan keturunan hasil penyerbukan
silang dan penyerbukan sendiri, mendokumentasikan persentase kultivar serta
menguji similaritas kultivar (Peirce & Brewbaker 1973). Sebaliknya pendekatan
morfologi sudah lama dipakai untuk melakukan identifikasi, tetapi dalam banyak
kasus ketersediaan material berupa bunga ataupun buah tidak selalu tersedia
karena bergantung musim, ketidak-matangan bahan atau terjadi kerusakan tertentu
(Torres 1983). Analisis sistem isozim untuk forma-forma matoa belum dilakukan.
Dengan andanya pendekatan isozim ini diharapkan dapat melengkapi data
3
Perumusan Masalah
Variasi morfologi sering dijadikan dasar penamaan matoa ke dalam
beberapa jenis. Padahal menurut Jacobs (1962), sifat-sifat variabilitas matoa
cukup ditempatkan pada posisi kategori forma. Matoa di hutan alam maupun yang
dibudidaya memiliki variasi morfologi cukup tinggi antara lain pada: pola akar,
tekstur kulit, bentuk anak daun, tepi, ujung anak daun dan warna. Selain itu,
informasi tentang jenis matoa dan varian-variannya masih kurang, jika
dibandingkan dengan pemanfaatan kayu dan buahnya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal antara lain: keterbatasan material generatif terkait musim bunga,
buah dan distribusi geografis yang luas serta karakteristik varian infraspesies
sukar dibedakan secara langsung menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi
morfologi, sehingga diperlukan pendekatan isozim.
Dalam analisis isozim tumbuhan, tidak semua sistem enzim yang
digunakan dapat memperlihatkan pola-pola pita secara jelas, karena enzim
tertentu memiliki spesifikasi terhadap molekul-molekul protein suatu tanaman.
Molekul bermuatan yang dielektorforesis dengan beda potensial dalam jangka
waktu tertentu dapat bermigrasi dengan jarak relatif tertentu merupakan pola pita
isozim. Sistem enzim yang cocok dapat memperlihatkan sifat genetik (polimorfis)
variabilitas matoa dalam wujud pola-pola pita elektroforesis. Karakterisasi
morfologi dan isozim dapat menentukan perbedaan-perbedaan dan
kemiripan-kemiripan agar dapat diukur tingkat perbedaan dan kemiripan-kemiripannya guna
menentukan variasi matoa yang ada.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi sifat morfologi dan isozim
esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase pada aksesi matoa asal hutan
Papua, Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong,
Arboretum Balitbang Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor, Arboretum Institut
Pertanian Bogor serta Taman Buah Mekarsari Bogor. Hasilnya diharapkan
menjadi salah satu model pendekatan dalam melacak variasi jenis matoa pada
kategori infraspesies dan menambah informasi tentang matoa sebagai salah satu
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Jenis Matoa (Pometiapinnata Forst.)Jacobs (1962) mendeskripsikan matoa sebagai tumbuhan berumah satu;
pohon berukuran sedang sampai besar, memiliki dinding penunjang, getah merah.
Daun majemuk menyirip genap (paripinate), tersusun spiral, anak daun paling
bawah pada sumbu daun menyerupai daun penumpu dan sering tereduksi; tangkai
daun pulvinate; daun muda berwarna krem dan sangat mencolok; daun pada pangkal perbungaan sering tereduksi menjadi stipula semu. Anak daun
berhadapan sampai berseling, pasangan bawah selalu lebih kecil; setiap
pertulangan anak daun berakhir atau bermuara pada setiap ujung anak daun atau
ujung dari tiap gigi anak daun (hydathoda) dan setiap pertulangan antara menekuk atau melengkung ke arah bagian atas tetapi tidak mencapai tepi anak daun; anak
daun menjarum sampai bergigi mencolok; terdapat kelenjar minyak pada bagian
permukaan bawah pangkal daun. Tangkai anak daun melebar dan rapat, bagian
atas memiliki dua alur lateral atau lekukan tipis.
Perbungaan terdapat di ujung ranting, kadang-kadang di bagian ketiak
daun. Braktea menyerupai bentuk segitiga sempit sampai benang. Bunga yang
paling atas soliter, tanpa brakteole, uniseksual, simetri radial; tangkai bunga
terete, ramping, articulate, panjang dan tenggelam di dalam buah, sepal 5, ramping sampai lebih dari separuh bersatu, bagian kuncup mengatub, dua bagian
terluar selalu lebih tipis dan lebih kecil; tepi rata, persisten pada buah; petal 5, umumnya pendek sampai panjang dan jelas, jika dibandingkan dengan kelopak,
tidak atau berkuku keras, hampir rata, cakram dalam bentuk cincin, pulvinate, tidak bercuping, kurang lebih bergelombang; benang sari 5 (6), pada bunga jantan
lebih panjang, menjarum, berambut terutama pada bagian paruh bawah atau licin,
kepala sari rapat menyerupai bentuk pola kupu-kupu; ovarium duduk, bentuk
jantung, 2 (-3) ruang, tangkai putik sama panjang atau lebih panjang dari ovarium,
1 bakal biji tiap ruang. Buah menempel langsung tanpa ditopang tangkai buah,
sering memiliki satu ruang biji yang tidak merekah, halus, licin dan tidak
berambut, merah sampai hitam saat ranum; kulit luar kasar, agak tipis; kulit
tengah agak tebal dan bersari putih, semi transparan, rasa manis. Buah yang
salah satunya di dalam pericarp dan yang lainnya menyelimuti biji. Biji
bulat-melonjong, coklat kemerahan, tersalut daging tipis arillode secara sempurna,
diameter ± 5 mm.
Forma dan Sebaran Matoa
Selanjutnya Jacobs (1962) mengelompokkan variabilitas matoa ini ke dalam 8
forma, yaitu:
1. Forma pinnata memiliki tulang tengah anak daun yang berambut coklat
kekuningan padat, anak daun membundar telur, pertulangan berwarna
kemerahan, gundul ataupun memiliki rambut coklat kekuningan pada tulang
tengah anak daun; perbungaan kaku dan mencapai panjang 30 cm.
2. Forma glabra memiliki tulang tengah anak daun gundul, perbungaan kaku
mencapai panjang 60 cm, bercuping, tekstur anak daun kasar, panjang lebih
dari 30 cm, perbungaan tanpa rambut, pasangan basal menyerupai cuping,
membundar (tidak menyerupai bentuk sabit) dan memeluk batang seperti
halnya daun penumpu semu, baik pada bagian perbungaan maupun daun
normalnya.
3. Forma repanda umumnya perbungaan tidak memiliki daun penumpu semu,
gundul, panjang mencapai 30 cm, tekstur anak daun lebih kaku.
4. Forma alnifolia, perbungaan menggantung dengan percabangan yang lebih
sederhana, anak daun semi rata (subentire), panjang 30 cm, warna hijau pudar saat kering, bagian adaksial hijau mengkilap.
5. Forma cuspidate memilikianak daun bergigi besar (dentate), mencapai 16 cm, warna kehijauan sampai abu-abu dan berwarna pudar saat kering.
6. Forma macrocarpa, perbungaan tanpa daun penumpu, panjang mencapai 30
cm, tanpa rambut, tepi anak daun semi rata.
7. Forma acuminata, tulang tengah anak daun gundul, perbungaan menggantung,
anak daun panjangnya mencapai 25 cm lebih, tanpa daun penumpu, ujung
meruncing dengan panjang ujung 2-4 cm (acuminate), bergigi mencolok,
6
8. Forma tomentosa, pola perbungaan bercabang berulang, berambut coklat
padat, seperti karatan besi hingga coklat dan daun berwarna coklat saat kering,
panjangnya 30 cm, gigi dapat dibedakan secara jelas.
Forma glabra dan tomentosa tersebar di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Forma cuspidate di Sumbawa, Timor dan Wetar. Forma acuminata paling besar
variasinya dan endemik di bagian utara Borneo. Forma glabra, repanda dan
pinnata terdapat di daerah Palawa (Filipina). Forma glabra dan f. pinnata
ditemukan juga di Celebes dan di Kepulaun Maluku (Moluccas). Forma pinnata,
glabra dan repanda terdapat di Talaud, Bacan dan di New Guinea. Ketiga forma ini tersebar pesat di tanah daratan Papua dan Kepulauan Teluk Cenderawasih
(Geelvink Baii). Forma repanda dikenal di pulau Aru; tidak ada catatan di
Waigeo, tetapi di Misol terdapat bentuk intermediet antara f. pinnata dan f.
glabra.Populasi matoa di daerah Pasifik cukup homogen mengacu pada f. pinnata
dan masih terdapat beberapa ras lokal yang dikembangkan untuk dibudidaya.
Tidak ada variasi yang khas di New Guinea.
Menurut Damas (1993), f. tomentosa khas di PNG dan mesti diposisikan
pada tingkat jenis, karena memiliki pola akar kurang berbanir dan kurang tinggi,
tepi menumpul, permukaan kulit luar mengelupas membentuk flek tipis-pendek
yang meninggalkan bekas atau lubang-lubang dangkal, berwarna terang-coklat
kemerahan; batang tegak lurus, lebih tinggi, membundar teratur; anak daun
membundar telur-melanset; ranting dan anak daun berambut, berwarna hijau
terang dan ukurannya lebih sempit. Sedangkan forma pinnata memiliki anak daun
yang memanjang sampai jarang yang membundar telur-lonjong, pangkal cordate
-dangkal; sumbu daun jarang atau tidak overlapping. Tahap awal germinasi
keduanya memiliki tampilan yang sama, namun pada fase seedlings lambat-laun
berubah pada saat daun keempat dan kelima muncul. P. pinnata memiliki anak
daun yang hijau mengkilap, tanpa rambut dan pada tanaman dewasanya berpola
akar banir papan, tepi menajam; permukaan kulit batang mengelupas tipis-pendek
membentuk permukaan yang halus, berwarna lebih gelap; bagian bawah pangkal
batang berpilin; tajuk lebih rendah, membundar tidak teratur.
dan Fiji, tetapi jarang ditemukan di Asia Tenggara dan Taiwan. P. pinnata Forst. jarang ditanam di tempat distribusi aslinya. P. ridleyi King., umumnya tersebar di Semenanjung Malaysia pada lembah bukit hutan primer dan sepanjang sungai
hingga mencapai 750 m dpl. Pohon besar, tinggi mencapai 50 meter, diameter 100
cm. Daun terdiri atas 4-8 pasang anak daun, tepi rata, semua pertulangan
melengkung terhadap tepi anak daun dan tidak berakhir pada bagian tepi.
Perbungaan dan kelopak tidak berambut (Soerianegara & Lemmens 1994).
Matoa tersebar luas di seluruh hutan dataran rendah Papua. Menurut
Soemiasri et al (1996), terdapat 3 kultivar matoa, yaitu Kelapa, Papeda dan
Kenari. Tegakan matoa di Jayapura tumbuh dan berasosiasi dengan pohon sagu
(Metroxylon sago) pada ketinggian 10-50 mdpl, topografi datar, jenis tanah
alluvial dan curah hujan rata-rata 2480 mm/tahun. Menurut Soetisna et al., (1994), di luar habitat aslinya, pertumbuhan pohon matoa yang terbaik pada ketinggian
0-120 m dpl; di hutan lindung Cyclop mulai dari ketinggian 50-70 m dpl dan
berasosiasi dengan Intsia sp. , Planconella sp. dan Palaqium sp. (jenis-jenis dari suku Meliaceae).
P. pinnata Forst. (taun) merupakan jenis yang khas hutan hujan dataran rendah di bawah ketinggian 500 m dpl dan jarang yang mencapai 1000 m dpl,
namun ditemukan di Aceh pada ketinggian 1700 m dpl. Tumbuh pada batu kapur,
tanah liat, tanah berpasir atau tanah bersifat lempung. Taun tidak dominan di dalam hutan di kawasan Semenanjung Malaysia, tetapi ditemukan sepanjang
sungai dan kadang-kadang di hutan berawa di Sumatera, walau umumnya tumbuh
di tanah kering. Matoa dominan di dalam hutan di New Guinea, seperti pada areal
yang sudah terjamah manusia, P. pinnata f. pinnata dan f. repanda tumbuh pada berbagai tipe tanah dan paling subur pada tanah berbatu kapur yang drainasenya
baik, tetapi tidak toleran terhadap iklim musiman. Biji matoa segera berkecambah
setelah matang. Periode pembungaan dan musim buah 2-5 bulan, tetapi tidak ada
korelasi yang bisa dilihat dari musim dan iklim. Regenerasi biji secara alami
melimpah di hutan bekas tebang, seperti di daerah Karavant (PNG), Jayapura dan
Manokwari. Pertumbuhan tinggi pesat pada tahun pertama mencapai 3-5 m/tahun.
Regenerasi dapat mencapai lebih dari 1000 pohon tiap hektar membentuk
8
dengan jenis komersial lainnya, seperti Dracontomelum dao Merr. & Rolfe. Bibit yang rusak akibat kebakaran dapat beregenerasi dan di tempat tanpa bibit, tumbuh
dari biji yang dibawa oleh burung (Westphal & Jansen 1989).
Isozim
Konsep isozim pertama kali diperkenalkan oleh Murkert dan Moller
(1959) sebagai bentuk-bentuk molekul enzim ganda yang membagi sebuah
substrat yang umum secara bersama-sama, tetapi berbeda dalam mobilitas
elektroforsis. Isozim juga didefinisikan sebagai bentuk-bentuk molekul enzim
berbeda yang mungkin hadir dengan spesifikasi enzimatik yang sama, berarti
bahwa varian-varian berbeda pada enzim yang sama atau fungsi-fungsi yang sama
muncul pada individu sama. Variasi yang disebabkan oleh mutasi dapat
diwariskan dan digunakan sebagai pembeda antara satu varietas dan varietas
lainnya karena menunjukkan polimorfisme. Setiap isozim terdiri atas urutan asam
amino dan bermuatan listrik yang berbeda, maka bergerak dengan kecepatan yang
berbeda pada saat elektroforesis (Buth 1984). Isozim merupakan produk dari suatu
gen, dipakai sebagai penanda karena memiliki beberapa keunggulan antara lain:
alel yang berbeda biasanya diwariskan secara kodominan dan bebas dari epistasis,
sehingga indidvidu homozigot dapat dibedakan dari individu heterozigot;
percobaan dapat dilakukan di laboratorium dengan peralatan dan bahan yang lebih
murah; jumlah sampel yang banyak dapat dianalisis sekaligus dalam waktu yang
singkat; dapat dilakukan pada fase bibit, sehingga bisa menghemat waktu, biaya
dan tempat (Brown & Weir 1983).
Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu cara pemisahan molekul atas dasar proses
perpindahan molekul bermuatan karena pengaruh medan listrik. Molekul-molekul
biologis yang bermuatan listrik dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda
yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul. Pemisahan
molekul-molekul dengan muatan yang berbeda merupakan prinsip yang dipakai dalam
elektroforesis (Nur & Juwana 1987). Metode elektroforesis dapat memisahkan
pola-pola pita yang dapat dilihat setelah dilakukan pewarnaan. Pola pita itu merupakan
hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati.
Struktur isozim tersusun atas asam-asam amino yang mengandung gugus
karboksil dan gugus amino tertentu. Urutan asam amino yang berbeda pada suatu
polipeptida ditentukan oleh susunan nukleotida yang berbeda, maka hasil
elektroforesis isozim suatu tanaman dapat digunakan untuk menganalisis gen itu
sendiri (Simpson & Withers 1986). Hanya sepertiga dari semua pertukaran asam
amino yang dapat terdeteksi melalui teknik elektroforesis. Elektroforesis juga
terbatas pada jumlah metode penandaan yang tersedia. Metode yang tersedia
hanya untuk protein yang dapat larut dalam air (May 1994).
Beberapa isozim dapat terurai lebih baik bila digunakan kombinasi bufer
gel dan elektroda tertentu (Weeden 1983). pH bufer elektroforesis dapat
dimanipulasi untuk mengoptimalkan resolusi lapisan-lapisan protein yang
dielektroforesis. Kerja elektroforesis berdasarkan dua prinsip dasar listrik yang
saling berhubungan, yaitu aliran listrik yang sebanding dengan tegangan dan arus.
Panas yang dihasilkan selama proses elektroforesis harus dihilangkan karena
panas yang berlebihan dapat menurunkan aktivitas enzim. Fakta tersebut di atas
digabungkan dengan jangka waktu elektroforesis, konsentrasi protein contoh,
kualitas contoh, ukuran contoh dan prinsip penandaan gel dan protokol sangat
berpengaruh terhadap hasil (Vallejos 1983).
Analisa yang baik dapat memberikan penafsiran pola gel yang
diharapkan. Pola-pola pita yang dihasilkan adalah hasil fenotipe elektroforesis
yang terdiri atas satu atau lebih pola pita terwarnai untuk setiap individu yang
dianalisis (Wendel & Weeden 1989b). Dalam beberapa hal, mungkin saja
sederhana dan terdiri atas sebuah pita tunggal tidak bervariasi di dalam seluruh
contoh. Di lain pihak, beberapa enzim dapat menampilkan fenotipe kompleks
dengan 15 atau lebih banyak pita setiap individunya (Weeden 1983).
Esterase (EST)
Enzim esterase adalah enzim hidrolase yang memisahkan gugus-gugus
ester menjadi sebuah asam dan alkohol di dalam suatu reaksi kimia dengan air
10
struktur protein dan fungsi biologinya. Jumlah isozimnya berkisar dari 2-10,
distribusinya di dalam sitosol sel. Struktur kwarternernya terdiri atas monomer
dan dimer (Tanskley & Rick 1989; Weeden & Wendel 1989a).
Malat Dehidrogenase (MDH)
Malat dehidrogenase adalah enzim di dalam siklus asam sitrat yang
mengkatalisis perombakan malat menjadi oksaloasetat (menggunakan NAD+) dan
merupakan reaksi dapat balik. Malat dehidrogenase memiliki jumlah isozim 3,
distribusi dalam sitosol sel, mitokondria, mikrobodi dengan stuktur kwarterner
dimer.
Peroksidase (PER)
Enzim Peroksidase tergolong dalam kelompok oksidoreduktase. Distribusi
di dalam sitosol dan dinding sel, struktur kwarterner monomer dan dimer, jumlah
isozimnya berkisar 2-13 (Weeden & Wendel 1989a). Dalam reaksi pewarnaan
enzim peroksidase mengkatalisis reduksi H2O2 menjadi H2O dan O2. Substrat
senyawa fenilin diamin seperti 3-amino-9 etil karbazole akan dioksidasi oleh
oksigen hasil reduksi peroksida membentuk endapan berwarna merah kecoklatan.
Reaksi yang terjadi dalam pewarnaan enzim peroksidase sebagai berikut:
2 H2O2 2H2O + O2 (Vallenjos 1983).
Enzim peroksidase sangat sensitif terhadap konsentrasi peroksida dan
gagal mendeteksi peroksida, jika dilakukan dengan konsentrasi H2O2 yang terlalu
tinggi. Beberapa peroksida tidak aktif dengan agen pereduksi yang berkonsentrasi
tinggi dalam bufer pengekstrak. Sistem bufer isozim peroksidase telah ditetapkan
untuk beragam bufer elektroforesis. Beberapa peroksida pada tanaman dapat
BAHAN DAN METODE
Waktu dan TempatPenelitian ini dilakukan di Herbarium Manokwariense (MAN) dan
Bogoriense (BO) pada bulan Juni sampai Agustus 2008; Hutan Papua pada bulan
Agustus sampai September 2008 dan Januari 2010; Kebun Raya Bogor, Kebun
Plasma Nutfah LIPI Cibinong dan Taman Buah Mekarsari Cileungsi, Arboretum
IPB dan Balitbang. Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor pada tanggal 1-15
Februari 2010. Analisis Isozim dilakukan di Laboratorium Tumbuhan PPSHB IPB
pada tanggal 22 Februari sampai 30 Maret 2010.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang dipakai berupa sampel herbarium dan tegakan matoa,
anakan dan bagian pucuknya. Total 19 aksesi matoa terdiri atas 4 aksesi asal
Papua (P1, P2, P3, P4); 6 aksesi asal Taman Buah Mekarsari (PM1, PM2, PM3,
PM4, PM5, PM6); 5 aksesi asal Kebun Plasma Nutfah LIPI Cibinong (CB1, CB2,
CB3, CB4, CB5); 2 aksesi asal Kebun Raya Bogor (KBR1, KBR2) serta satu
aksesi asal Arboretum Balitbang Kehutanan & Konservasi Alam Bogor (BLHKA)
dan satu aksesi asal Arboretum IPB Dramaga (IPB). Sistem enzim yang diamati
terdiri atas: esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase; Bahan yang digunakan
untuk bufer elektroda, bufer gel pewarnaan dan fiksasi antara lain: asam sitrat
monohidrat, tris hidroksimetil aminometan; pati kentang (potato starch);
L-Histidin Monohidrat, L-asam askorbat, L-sistein, Triton-X-100, PVP-40,
Na2HPO4.2H2O; Sodium fosfat, 1-Naftil asetat, 2-Naftil asetat, Fast Blue RR Salt,
aseton; Tris-HCl, NAD, Malic acid, NBT, PMS; kristal Natrium asetat
CH3COONa.3H2O2, CaCl2; 3-Amino-9-etilkarbasol dan H2O2. Bahan lain yang
digunakan antara lain: kertas saring, kertas tissue, plastik penutup gel, selotip. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: altimeter,
lupper, sasak, kamera foto, kantong plastik dan botol spesimen, gunting, label gantung, meteran, gunting kertas, penggaris, pisau pemotong; 1 unit elektroforesis
gelas ukur, pipet tetes, pipet penghisap, alat pemotong gel, nampan, kamera, meja
pemotretan.
Pendekatan Morfologi
Langkah kerja dalam pendekatan morfologi terdiri atas: eksplorasi, koleksi
spesimen, pembuatan spesimen herbarium, karakterisasi dan identifikasi.
Eksplorasi, KoleksidanPembuatan Spesimen Herbarium
Pengambilan sampel secara purposif, dimana terdapat individu matoa yang
dapat mewakili perbedaan morfologi dari indikasi 3 jenis atau forma matoa.
Selain itu dilakukan dokumentasi dan koleksi spesimen. Teknis pelaksanaan
koleksi spesimen di lapang mengacu pada manual taksonomi herbarium, teori dan
praktek menurut Vogel (1987). Koleksi di lapangan terdiri atas dua macam, yaitu:
pertama, pengambilan sampel herbarium dari induk untuk dicirikan dan koleksi
buah, biji serta anakan asal aksesi induk sampel. Kedua, sampel anakan ditanam
di dalam polibag untuk keperluan analisis isozim. Selain itu dilakukan pencatatan
terhadap karakter yang lainnya berdasarkan tabel lapang yang telah tersedia.
Sampel herbarium dibuat dari spesimen kering, basah dan spesimen
karpologi. Sampel untuk spesimen kering diambil dari bagian dahan yang
lengkap, bunga dan buah. Dahan dipotong dan diberi label gantung lalu
dimasukkan ke dalam kantong spesimen, diberi alkohol 70%, dan selanjutnya
kantong diikat. Label gantung berisi informasi tentang nomor dan kolektor, waktu,
tempat koleksi dan ketinggian tempat. Spesimen basah berupa bagian bunga,
diberi label dan diawetkan di dalam botol 600 ml. Spesimen karpologi terdiri atas
buah muda dan ranum, biji, yang dimasukkan dalam kantong plastik dan diberi
alkohol 70% agar tidak berjamur. Setelah dari lapangan, spesimen untuk
herbarium kering dikeluarkan dari kantong spesimen dan diselipkan pada kertas
koran, dipres dengan sasak dan dikeringkan dengan oven pada suhu 60 0C selama dua hari. Selanjutnya ditata dan diberi label, diplak dan difumigasi lalu disimpan
13
Karakterisasi dan Identifikasi
Karakterisasi dilakukan di lapang dan laboratorium. Pencirian atau
pencocokan karakter mengacu panduan identifikasi struktur dan bunga menurut
Bebingthon (1996); ilustrasi terminologi identifikasi tumbuhan menurut Harris &
Harris (1994). Tiap sampel aksesi dalam bentuk spesimen kering dicocokkan
dengan spesimen matoa di BO dan MAN serta kunci determinasi dan informasi
dari pengenal tumbuhan di lapangan. Ciri yang dibandingkan antara lain: bentuk
dan susunan anak daun, ada tidaknya rambut, bentuk anak daun basal, warna
sumbu daun dan anak daun, warna pertulangan, perbungaan, buah muda dan buah
ranum, bentuk buah dan biji (Lampiran 1). Aksesi yang memiliki ciri yang sama
atau identik diberi nama yang sama atau sinonimnya.
Analisis Isozim
Karakter yang diamati meliputi: pola pita dan jarak migrasi pada
zimogram hasil uji sistem enzim PER, MDH dan EST setelah dilakukan
elektroforesis. Reaksi enzim ini dipengaruhi oleh kadar enzim dan substrat, pH,
suhu, aktivator dan inhibitor. Setiap enzim memiliki pH optimum untuk bekerja.
Reaksi akan berjalan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi; jika suhu
meningkat, kecepatan reaksi juga meningkat dan mudah terjadi denaturasi; suhu
optimum tentatif bergantung pada waktu. Tahapan analisis isozim untuk
mendapatkan pola-pola pita sebagai berikut:
Pengambilan Contoh Daun
Contoh tanaman matoa asal Papua diambil dari anakan yang telah tersedia
dalam pot. Bahan tanaman asal Kebun Raya Bogor, Kebun Plasma Nutfa LIPI
Cibinong, Arboretum IPB dan Balitbang dan Konservasi Alam Bogor serta Taman
Buah Mekarsari Cileungsi, diambil bagian pucuk daun dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang dibasahi dengan air. Contoh pucuk diekstrak sehari setelah
Pembuatan Bufer Elektroda dan Bufer Gel Pengekstrak
Bufer gel disiapkan terlebih dahulu. Sistem gel berguna untuk
mengindikasi jenis enzim yang bergerak, zona pendugaan ataupun mencegah
aktivitasnya.
Satu macam bufer elektroda yang digunakan untuk ketiga sistem enzim
yang dianalisis. Bufer elektroda dibuat dari 10.5507 g asam sitrat monohidrat
ditambah 18.1650 g tris hidroksimetil aminometan dan dilarutkan dengan
aquadestilata sampai volume 1 l (pH 6.0).
Bufer pengekstrak (ekstraktan) membantu menghancurkan sel ekstrak
bahan kasar dari daun dalam jumlah minimum tanpa menimbulkan panas terhadap
ekstrak maupun perubahan warna daun yang diekstrak. Sistem bufer yang
digunakan dimodifikasi berdasarkan Horry (1989). Bufer gel dibuat dari 1.048 g/l
L-Histidin Monohidrat dan diatur pHnya dengan Tris-HCl sampai pH 6.0. Bufer
pengekstrak dibuat untuk 40 ml terdiri atas: campuran antara 0.07045 g L-asam
askorbat 10 mM; 0.1939 g L-sistein 40 mM; 0.12 ml Triton-X-100; 25% PVP-40; 0.54 g Na2HPO4.2H2O 0.1 M dan ditambahkan aquadestilata sampai menjadi 400
ml (pH 7.0).
Pembuatan Gel Pati
Gel untuk elektroforesis dibuat dari pati kentang 9.5% dari total larutan
buffer yang telah ditambahkan aquadestilata. Setiap cetakan diperlukan 30 ml
bufer gel dan ditambah aquadestilata sampai volume 300 ml dalam gelas ukur.
Sebanyak 30 g (9.5%) pati kentang dimasukkan ke dalam gelas labu, ditambahkan
300 ml bufer gel lalu dimasak pada hotplate sambil diaduk dengan doble magnetic stirrer sampai mendidih. Selama proses pemasakan, tabung diangkat sewaktu-waktu dan digoyang agar bufernya tidak bergelembung sampai gel dipastikan
berwarna bening. Setelah larutan dipastikan bening (homogen), selanjutnya
divakum selama 2-5 menit untuk menghilangkan gelembung udara di dalam gel.
Sebelumnya lubang pada kaki wadah ditutup dengan selotip; gel dituang pada
bagian tengah wadah untuk dicetak dan didiamkan selama 10 menit, ditutup
15
Ekstraksi Enzim dari Daun
Bentuk-bentuk sitosolik aktif pada bagian pucuk. Ekstraksi enzim dibuat
dari 0.1 g daun pucuk yang dihaluskan dalam mortar yang telah diberi pasir
kuarsa dan bufer pengekstrak 0.5 ml. Kemudian supernatan dimasukkan ke dalam
tabung ependorf yang sebelumnya diletakkan pada rak gabus. Sambil menyiapkan
gel pati, sampel diawetkan di dalam refrigerator pada suhu 5 0C. Selanjutnya
cairan supernatan diserap dengan kertas saring Whatman dengan ukuran (0.5 x
0.5) cm2 atau (1.0 x 1.0) cm2 dan disisipkan pada torehan gel. Selain itu, pada torehan terakhir disisipkan kertas saring yang telah diberi indikator mobilitas
elektroforesis (bromphenol biru) untuk mengontrol jarak migrasi. Selanjutnya
selotip pada kaki cetakan dilepas dan kaki cetakan dipastikan terendam dalam
bufer elektroda. Kertas saring yang telah mengandung contoh daun pada cetakan
dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi bufer elektroda dan diletakkan
dalam lemari es pada suhu 5-10 0C dan selanjutnya dilakukan elektroforesis.
Elektroforesis
Cetakan yang sudah siap dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi 1 l
bufer elektroda dan diletakkan di atas wadah berisi es. Elektroforesis dilakukan
selama 4 jam dengan 4 tahap, yaitu 0.5 jam pertama digunakan tegangan 50 V; 1.0
jam dengan 150 V; 1.5 jam dengan 200 V; 1.0 jam terakhir tegangan dinaikkan
sampai 250 V hingga indikator mobilitas melewati jarak 7 cm dari sudut wadah.
PewarnaandanFiksasi
Pewarnaan dan fiksasi dimodifikasi menurut Wendel dan Weeden (1989b).
Larutan pewarna dibuat setengah jam sebelum elektroforesis selesai. Setelah
elektroforesis, cetakan dikeluarkan dan kertas saring pada torehan gel diangkat.
Potongan gel diiris mendatar menjadi dua lembaran sesuai ketebalannya (± 2
mm). Pewarnaan untuk memperlihatkan pola-pola pita dari sistem enzim EST,
MDH dan PER.
Pewarna esterase dibuat dari 100 ml Sodium fosfat 100 mM (pH 7.0); 50
sampai 150 ml. Kemudian dituangkan di atas potongan gel, diinkubasi sampai
terlihat pita-pita berwarna merah atau coklat.
Pewarna malat dehidrogenase dibuat dari 100 ml Tris-HCl 50 mM (pH
8.5); ditambahkan 10 mg (1 ml) nicotinamide (NAD); 150 mg (1 ml) Malic acid;
10 mg (1 ml) nitro blue tetrazolium (NBT) dan 2 mg (0.4 ml) phenazine
metosulphate (PMS); dijadikan 200 ml dengan aquadestilata, dituangkan diatas gel, diinkubasi sampai tampak pita-pita berwarna biru, dicuci dan disimpan dalam
wadah berisi air.
Pewarna peroksidase dibuat dari 100 ml Natrium asetat 50 mM (pH 5.0)
dicampur dengan 50 mg CaCl2; kemudian dipipet 5 ml aseton dicampurkan
dengan 50 mg 3-Amino-9-etilkarbasol yang berfungsi sebagai pelarut dan
ditambahkan 0.5 ml 3% hidrogen peroksida (H2O2); dituangkan di atas gel dan
diinkubasi dalam suhu ruang sampai tampak pita-pita merah.
Setelah pewarnaan, gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih dan
difiksasi; selanjutnya dilakukan dokumentasi.
Pengambilan Foto dan Pembuatan Zimogram
Daya tahan gel singkat maka setelah elektroforesis segera dilakukan
pemotretan dan fiksasi. Pola-pola pita di atas lembaran gel dari setiap sistem
enzim tersebut dipotret di atas meja yang disinari lampu; pola-pola pita dan jarak
migrasinya (Rf) digambar pada kertas transparan yang ditandai nomor urut contoh
dan arah anoda dan selanjutnya dipindahkan pada kertas grafik. Pola-pola pita
yang dihasilkan merupakan fenotipe elektroforesis.
Pola-pola pita hasil dari tiap sistem enzim dibuat grafik zimogramnya
dengan cara memvisualisasikan pola-pola pita yang tampak sepanjang lokus
dalam bentuk garis-garis pita alel dan menetapkan jarak migrasi (Rf ).
Jarak migrasi sampel pada gel
Rf =
17
Analisis Data
Karakteristik morfologi tiap aksesi ditransformasi dalam data biner atau
multi state characters. Untuk data biner diberi skor 0 dan 1 (Lampiran 2). Untuk data multistate diberi skor 1, 2, 3, atau 4, bergantung pada jumlah ciri. Data hasil skoring dianalisis dengan menggunakan Program NTSYs pc. 2.2i untuk
mendapatkan fenogram UPGMA (Unweighted Pair-Group Method Using
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Morfologi
Sembilanbelas aksesi matoa yang dikaji memiliki variasi morfologi yang
beragam sebagaimana disusun di bawah ini:
Pola Akar
Pola akar matoa bervariasi dalam kepemilikan akar banir, yaitu berbanir
papan (P1, CB2, KRB1); berbanir sedang (P2, P3, PM2, PM3, CB1, CB5, KRB2,
P4); tanpa banir (PM1, PM4, PM5, CB3, CB4, BLHKA, PM6, IPB), terutama
pada varian budidaya (Gambar 1).
Gambar 1. Pola akar dan skematisnya: A. berbanir papan, B. berbanir sedang, C. tanpa banir; Skematis: A’. berbanir papan, B’. berbanir sedang, C’. tanpa banir.
Tekstur Kulit
Kulit batang bervariasi dalam teksturnya. Empat aksesi memiliki tekstur
halus-tidak mengelupas (CB2, CB4, CB5, IPB); duabelas aksesi memiliki tekstur
kulit kasar-mengelupas (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6, CB1,
BLHKA, KRB2, KRB1); tiga aksesi memiliki tekstur kulit yang mengelupas dan
menyerpih-berlekah (P1, P4, CB3).
A B C
>1 m
Warna Kulit pada Batang
Kulit batang matoa juga bervariasi dalam warna (Gambar 2). Lima aksesi
memiliki warna coklat karatan dan ungu-dadu dengan bercak putih (P1, P3,
KRB2, KRB1, IPB); satu aksesi hijau kecoklatan dan krem (P4); delapan aksesi
kehijauan dan ungu-dadu dengan bercak putih (P2, PM1, PM2, PM3, PM5, PM6,
CB1, CB2); empat aksesi ungu dadu dengan bercak putih (PM4, CB4, CB5,
BLHKA); satu aksesi kehijauan dan ungu kekuningan jingga (CB3). Adanya
bercak-bercak putih, kehijauan-kebiruan hingga kombinasi keunguan, sering
disebut belang ’bopeng’ dan umumnya berupa lichen yang berasosiasi dengan
permukaan kulit luar batang matoa. Kehadiran lichen dapat berguna sebagai
indikator kelembaban udara setempat.
Gambar 2. Warna tekstur kulit batang: A. warna coklat karatan dan ungu-dadu dengan bercak putih, B. warna hijau kecoklatan dan krem C. warna kehijauan dan ungu-dadu dengan bercak putih. D. tekstur kehijauan dan kekuningan jingga.
Warna Sumbu Daun
Sumbu daun (rachis) matoa terdiri atas tiga macam (Gambar 3). Dua
aksesi berwarna ungu-kehitaman (KRB1, PM6); enam aksesi hijau kekuningan
(P3, PM3, PM5, CB2, CB3, CB4); sebelas aksesi hijau kecoklatan (P1, P2, P4,
PM1, PM2, PM4, CB1, CB5, BLHKA, KRB2, IPB).
Gambar 3. Warna sumbu daun: A. sumbu ungu-kehitaman, B. sumbu hijau kekuningan, C. sumbu hijau kecoklatan.
D C
B A
20
Rambut pada Sumbu daun dan Adaksial Tulang Tengah Anak Daun
Matoa bervariasi juga dalam kepemilikan rambut pada adaksial tulang
tengah anak daun (Gambar 4). Empatbelas aksesi tidak berambut (P3, P4, PM1,
PM3, PM4, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, BLHKA, KRB1, IPB); tetapi ada
juga yang memiliki rambut pada bagian adaksial tulang tengah anak daunnya,
yaitu berambut putih (canescent) (PM2); empat aksesi berambut coklat keemasan (P1, P2, PM5, KRB2).
Gambar 4. Rambut: A. rambut putih, B. rambut coklat keemasan.
Panjang Sumbu Daun
Matoa bervariasi dalam ukuran panjang sumbu daun. Enam aksesi
memiliki panjang sumbu daun berkisar 15-35 cm pendek (P3, PM3, CB1, CB3,
CB4, BLHKA); satu aksesi berkisar 36-56 cm sedang (P1); duabelas aksesi
berkisar 57-100 cm panjang (P2, P4, PM1, PM2, PM4, PM5, PM6, CB2, CB5,
KRB1, KRB2, IPB).
Jumlah Pasangan Anak Daun
Jumlah pasang tiap daun matoa terdiri atas tiga kelompok, yaitu 5-7
pasang (P1, P2, PM3, KRB2); 8-10 pasang (P3, P4, PM1, PM2, PM4, PM5, PM6,
CB1, CB2, CB3, CB4, CB5, KRB1, IPB); > 10 pasang (BLHKA).
Kedudukan Anak Daun
Matoa terdiri atas dua macam kedudukan anak daun pada sumbu daun
mulai dari pasangan basal hingga atas (Gambar 5). Empat aksesi memiliki anak
daun yang berhadapan (P1, P2, CB3, KRB2); limabelas aksesi dengan susunan
yang berhadapan sampai berseling sejajar (P3, P4, PM1, PM2, PM3, PM4, PM5,
PM6, CB1, CB2, CB4, CB5, BLHKA, KRB1, IPB). Namun, jumlah anak daun
selalu dua pasang genap di ujung daun (paripinate).
Gambar 5. Kedudukan anak daun: A. anak daun berhadapan (1 = pasangan basal, 2 = pasangan tengah, 3 = pasangan atas, 4 = sumbu daun, B. anak daun berhadapan-berseling sejajar.
Bentuk Aurikel pada Anak Daun Basal
Matoa bervariasi pada kehadiran dan bentuk aurikel pada anak daun basal
(fase seedlings; sapling) (Gambar 6). Satu aksesi tidak memiliki aurikel (CB3); duabelas aksesi beraurikel menyerupai bentuk arit (P3, PM1, PM2, PM3, PM4,
PM5, PM6, CB1, CB4, BLHKA, KRB1, IPB); lima aksesi semi arit (P1, P2, CB2,
CB5, P4), satu aksesi beraurikel menyerupai dua tanduk seolah memeluk batang
(KRB2).
Gambar 6. Bentuk aurikel pada pasangan basal dan skematisnya: A. menyerupai bentuk arit (falcate), B. menyerupai bentuk semi arit (subfalcate), C. menyerupai bentuk dua tanduk; Skematis: A’. skematis menyerupai bentuk arit, B’. skematis menyerupai bentuk semi arit.
A B
2
1
3
4
A’ B’ C
22
Bentuk dan Panjang Anak Daun
Anak daun mulai dari pasangan bawah-tengah dan atas bervariasi dalam bentuk
(Gambar 7). Empat aksesi membundar telur-melonjong (PM4, PM6, BLHKA,
KRB2); sebelas aksesi membundar telur-lonjong atau melonjong (P1, P2, P3,
PM1, PM5, CB1, CB2, CB4, CB5, KRB1, IPB); satu aksesi membundar telur,
melonjong-membundar telur terbalik (P4); dua aksesi membundar
telur-melonjong (PM2, PM3); satu lagi lonjong (CB3).
Panjang rata-rata pasangan tengah dan atas, yaitu < 10 cm pendek (PM3);
10-20 cm sedang (P1, P3, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2, CB3, CB4, KRB2);
> 20 cm panjang (P2, P4, PM1, CB5, BLHKA, KRB1, IPB).
Gambar 7. Bentuk anak daun mulai dari pasangan basal-tengah dan atas: A. membundar telur-melonjong, B. membundar telur-lonjong atau melonjong, C. membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik, D. membundar telur-melonjong & memanjang, E. lonjong.
Bentuk Pangkal, Tepi dan Ujung Anak Daun Dewasa
Anak daun dewasa bervariasi dalam bentuk, pangkal, tepi dan ujung
(Gambar 8). Bagian pangkal anak daunnya terdiri atas 3 bentuk (Gambar 8A, B,
C). Empatbelas aksesi memiliki pangkal bundar (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM4,
PM5, PM6, CB1, CB4, CB5, KRB2, KRB1, IPB); empat aksesi
membundar-runcing (P1, CB2, CB3, P4); satu aksesi membundar-memembundar-runcing (BLHKA).
Tepi anak daun matoa terdiri atas 3 bentuk (Gambar 8D, E, F). Tujuh
aksesi bergigi halus-dangkal (P2, P3, P4, PM1, CB2, CB4, CB5); Enam aksesi
bergigi mencolok (P1, PM2, PM3, PM4, CB3, KRB2); enam aksesi lagi bergigi
kasar menumpul-dangkal (PM5, PM6, CB1, BLHKA, KRB1, IPB).
Bagian ujung anak daun dibedakan menjadi lima kelompok (Gambar 8G,
H, I, J, K). Satu aksesi memiliki ujung anak daun yang runcing (P4); sembilan
aksesi meruncing 2-4 cm (P1, P2, PM2, PM3, PM6, CB1, KRB2, KRB1, IPB); E D
C
satu lagi aksesi meruncing 5 cm (CB3); enam aksesi runcing-meruncing 2-4 cm
(PM1, PM4, PM5, CB2, CB4, CB5, BLHKA), satu aksesi membundar-runcing
(P3).
Gambar 8. Bentuk pangkal, tepi dan ujung anak daun: A. bundar, B. membundar sampai runcing, C. membundar sampai meruncing; D. bergigi
halus-dangkal, E. bergigi mencolok, F. bergigi kasar menumpul-dangkal;G.
runcing, H. meruncing 2-4 cm, I. meruncing 5 cm J. runcing-meruncing 2-4 cm, K. tumpul-runcing.
Warna pada Bagian Adaksial Anak Daun Dewasa dan Pucuk
Bagian adaksial anak daun dewasa dan pucuk bervariasi dalam warna
(Gambar 9). Dua macam warna dasar pada bagian adaksial anak daun dewasa.
Duabelas aksesi berwarna hijau (P1, P2, P4, PM1, PM3, PM4, PM6, CB1,
BLHKA, KRB2, KRB1, IPB); tujuh aksesi hijau tua mengkilap (P3, PM2, PM5,
CB2, CB3, CB4, CB5).
Warna pucuk matoa terdiri atas tiga macam. Tujuh aksesi memiliki pucuk
berwarna merah-ungu (PM4, PM6, CB3, CB4, CB5, BLHKA, IPB); enam aksesi
ungu dadu (P1, P4, CB1, CB2, KRB2, KRB1); enam aksesi lagi berwarna ungu
dadu-hijau kekuningan (P2, P3, PM1, PM2, PM3, PM5).
A B C
J K
5 cm
2-4 cm
2-4 cm
24
Gambar 9. Warna pucuk matoa: A. merah-ungu, B. ungu dadu, C. ungu dadu-hijau kekuningan.
Perbungaan
Matoa berbunga pada bulan Juli-Oktober dan buahnya sudah dapat dipanen pada
Februari-Maret. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu rangkaian perbungaan
dalam satu individu. Bunga betina yang fertil (Gambar 10E) walau benang sari
dan kepala sarinya semu dan tidak segera membuka hingga akhirnya gugur setelah
diserbuki oleh bunga jantan melalui penyerbukan sendiri atau bantuan polinator.
Hasil pengamatan ini mendukung pendapat Jacobs (1962) bahwa bunga betina
yang fertil dan menjadi buah dalam pola posisi ovary perigynous, ovary terdiri atas dua ruang biji yang berlekatan, pangkal perlekatannya lebih sempit, bagian
atas tumpul setelah kepala sari terbelah. Benang sari semu pada bunga betina 1
mm lebih pendek, jika dibandingkan dengan benang sari pada bunga jantannya.
Setelah pembuahan, sekat antar ruang biji terbelah 2-5 mm berpilin searah jarum
jam, sehingga akhirnya tampak 2 buah dalam satu tangkai yang berlekatan
sebelum salah satunya terdegradasi (steril) ataupun keduanya berkembang
menjadi buah normal yang berlekatan pada satu tangkai pendek (sessile).
Warna bunga dan buah matoa merupakan ekspresi dari kandungan
senyawa flavonoid. Daun kelopak berwarna hijau-kekuningan, daun mahkota
putih-krem. Pigmen ungu dadu ataupun kekuningan pada kepala sari merupakan
antosianin. Karakter warna adaptif terhadap lingkungan tempat tumbuh, sehingga
tidak digunakan sebagai penentu jenis taksonomi.
Gambar 10. Bunga matoa dan skematisnya: A. kuncup bunga, B. sumbu daun dan bunga, C. bunga jantan dan betina; D. 1 = sumbu lobus, 2 = locul 2 (sebelum & setelah anthesis), x-lebar cuping, y- panjang cuping, z-tinggi stipe, E. diagram bunga betina (1 = sepal, 2 = petal, 3 =
stamen 4 = anther, 5 = ovarium, 6 = stigma, F. diagram skematis bunga matoa.
Buah Matoa
Matoa memiliki buah normal dan kadang-kadang dijumpai buah abnormal
kecil yang melekat di bawahnya, ± ⅓ kali ukuran buah normal (Gambar 11). Buah
normal terbentuk dari bakal biji yang tumbuh baik, membesar didahului maupun
tidak oleh proses perkawinan kembar bakal biji (amphi-mixis) akhirnya menjadi biji buah; buah steril relatif lebih kecil dan menempel bersama buah normal
dewasa pada satu funiculus semu. Buah abnormal kecil (steril) terbentuk dari
kejadian tumbuh dan membesarnya bakal biji yang didahului ataupun tidak
didahului oleh sebagian saja proses perkawinan kembar bakal biji, sehingga
embrio untuk pertumbuhan lembaga tidak terbentuk. Buah matoa normal
26
panjangnya 2-4 cm, diameter 1.5-4 cm; biji tidak memiliki tangkai biji (funiculus) yang jelas, tetapi integumen luar yang berlekatan pada biji tumbuh membesar dan melebar hingga menyalut permukaan biji menjadi daging (arillode), tebal 0.01-4 mm, tipis, tidak mudah lepas dari biji
Gambar 11. Buah matoa: A. rangkaian buah pada sumbu perbungaan, B. buah
muda normal, C. buah steril (1) dan buah normal setelah anthesis
(2), D. buah ranum ungu kehitaman, E. buah matang hijau kekuningan-kecoklatan, E’. daging (1) dan biji (2). A B
D
E
1 2
C
E
A B C
D E E’
2
1
1 2
4 cm
Ǿ = 1.5 cm
3 cm
3 cm
Keanekaragaman Isozim
Pola pita yang terbentuk dari sistem enzim EST, MDH dan PER tidak
sama. Aksesi matoa yang memiliki jarak migrasi berbeda karena komposisi
protein dan muatan listriknya berbeda. Perbedaan mobilitas relatif atau jarak
migrasi dalam bentuk pola pita merupakan gambaran dari molekul-molekul
protein enzim berbeda yang dianalisis, sehingga muatannya juga berbeda saat
dielektroforesis. Pendapat ini mendukung simpulan Buth (1984) bahwa isozim
bermuatan listrik yang berbeda karena perubahan urutan asam amino
penyusunnya, maka bergerak dengan kecepatan yang berbeda saat elektroforesis.
Daerah aktif uji sistem enzim EST, MDH dan PER dapat diinterpretasikan
sebagai kumpulan gen (gene pool), yaitu kumpulan total gen pada periode waktu dan jarak migrasi tertentu dari seluruh aksesi matoa yang di-running. Kumpulan gen itu terdiri atas semua alel pada semua lokus gen yang menyusun variabilitas
matoa dapat terwakilkan pada setiap aksesi atau individu matoa tersebut. Matoa
sebagai spesies diploid, setiap lokusnya diwakili dua kali dalam genom aksesi
(individu) yang bersifat homozigot atau heterozigot pada lokus atau pola pita tiap
aksesi yang homolog.
Sistem Enzim EST
Analisis sistem enzim EST, dihasilkan dua pola pita dengan jarak migrasi
berbeda yaitu Rfa 0.1 meliputi aksesi PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, CB2, CB5,
KRB1 dan Rfb 0.2 meliputi aksesi P1, P2, P3 asal hutan alam Papua (Gambar 12).
Kedua pola pita ini merupakan molekul-molekul berbeda dan ditunjukkan pada
jarak migrasi yang berbeda pada gel. Pola pita elektroforesis dari aksesi P1, P2
dan P3 berada pada satu daerah aktif. Pola pita dari ketiga aksesi tersebut
ditunjukkan oleh bromofenol yang bermigrasi secara lambat ke arah anoda,
sedangkan yang berpola tipis atau semir bermigrasi sangat cepat. Pola pita pada
aksesi lainnya tidak tampak jelas (semir) dan seolah-olah memiliki daerah aktif
pada torehan penyisipan diduga terjadi sebagai akibat dari pemisahan larutan
penyangga yang kurang sempurna, kualitas pati, pH dan enzim esterase yang
28
0.2
0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Gambar 12. Sistem enzim EST pada aksesi matoa. A. Pola pita enzim EST. B. Zimogram enzim EST. 1 = P1, 2 = P2, 3 = P3, 4 = PM1, 5 = PM2, 6 = PM3, 7 = PM4, 8 = PM5, 10 = CB2, 13 = CB5, 16 = KRB1.
Sistem Enzim MDH
Analisis sistem enzim MDH dihasilkan tiga pola pita kualitatif dengan
jarak migrasi Rfa 0.26 meliputi aksesi CB1, CB5, BLHKA, P4; Rfb 0.27 meliputi
PM4, CB2, CB3, CB4, KRB1, PM6, IPB dan Rfc 0.29 meliputi aksesi P1, P2, P3,
KRB2 (Gambar 13). Perbedaan jarak migrasi ditentukan juga oleh berat
molekulnya.
Aksesi PM2, PM3, PM5 tidak memiliki pola pita atau jarak migrasi yang
tampak jelas. Aksesi P1, P2, P3 dan KRB2 memiliki jarak migrasi terjauh (Rfc
0.29); aksesi CB3 memiliki jarak migrasi yang sama dengan aksesi PM4, CB2,
CB4, KRB1, PM6, IPB, yaitu Rfb 0.27 dan aksesi PM1, CB1, CB5, BLHKA, P4
memiliki jarak migrasi lebih kecil, Rfa 0.26. (A)
a b
(B) a 0.1
b 0.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Rf (+)
A
Analisis sistem enzim PER, dihasilkan dua pola pita dengan jarak migrasi
yang berbeda, yaitu Rfa 0.29 meliputi aksesi PM1, PM3, PM4, CB1, BLHKA,
PM6 dan Rfb 0.34 meliputi aksesi P1, P2, P3, PM2, PM4, PM5, PM6, CB1, CB2,
CB3, CB4, CB5, BLHKA, KRB2, KRB1, P4, IPB. Analisis sistem enzim PER
menghasilkan pola-pola pita isozim yang lebih jelas, jika dibandingkan dengan
sistem enzim EST dan MDH. Hampir semua aksesi uji mencapai jarak migrasi
0.34. Penyisipan kertas yang mengandung supernatan ke dalam torehan gel tidak a b c
Gambar 13. Sistem enzim MDH pada aksesi matoa. A. Pola pita. B. Zimogram.
30
semuanya sejajar, sehingga diduga turut mempengaruhi jarak migrasi pada gel.
Gel berwarna merah kecoklatan merupakan endapan senyawa fenil diamin
(3-amino-9 etil karbazole yang dioksidasi oleh oksigen hasil reduksi peroksida)
(Gambar 14).
Rf (+)
0.34
Gambar 14. Sistem enzim PER pada aksesi matoa. A. Pola pita enzim PER. B. Zimogram enzim PER.
Aksesi PM4, PM6, BLHKA, KRB1 dan KRB2 memiliki pola pita ganda
sebagai gambaran aksesi-aksesi ini bersifat lebih kompleks. Aksesi matoa asal
hutan alam maupun yang dibudidaya memiliki jarak migrasi yang relatif sama,
tetapi dibedakan oleh pola pita ganda. Aksesi KRB2 dan aksesi KRB1 ternyata
memiliki jarak migrasi yang sama. Aksesi CB3 memiliki jarak migrasi yang sama
dengan matoa lainnya, walaupun secara morfologi aksesi CB3 memiliki ciri yang
unik, yaitu bentuk anak daun lonjong tanpa kelenjar minyak dan pasangan aurikel
atau daun penumpu semu serta pangkal anak daun non-auriculate. Hal ini menjadi bukti bahwa variasi pada bagian daun aksesi matoa tidak berbeda dalam
isozimnya, sehingga variasi seperti itu tidak cukup memadai dipakai sebagai
penunjuk untuk memisahkannya sebagai jenis berbeda.
Aksesi P1, P2, P3 asal hutan alam memiliki pola pita yang lebih pekat
pada daerah aktif dengan jarak migrasi 0.34. Jarak migrasi dan kepekatan
menggambarkan sifat yang lebih kompleks dari variabilitas matoa. Aksesi P2
memiliki pola pita Rfa pada satu daerah aktif membedakannya dari aksesi P1 dan
P3. Jika ditinjau dari kepekatan pita pada daerah aktif, maka aksesi CB5, P4 dan
IPB yang dikultivasi sama dengan aksesi P1, P2, P3 tipe liar asal hutan alam,
namun berada pada satu daerah aktif dengan aksesi BLHKA, KBR1; CB1, CB2;
PM1, PM2, PM3, PM4, PM5, PM6 dan aksesi P4.
Total 19 aksesi matoa yang dianalisis memiliki keanekaragaman genetik
(polimorfisme) yang tergambar melalui pola pitanya. Walaupun aksesi P1, P2, P3,
berasal dari lokasi yang sama, tetapi P2 dan CB2 memiliki pola pita tipis rangkap
(kuantitatif) sebagai fakta perbedaan genetik yang sangat sedikit di antara
variabilitas matoa tipe liar maupun yang dibudidaya di Taman Buah Mekarsari,
Arboretum BLHKA dan IPB. Pola pita dan jarak migrasi yang sama maupun
berbeda merupakan sifat diversitas genetik dari tiap aksesi tersebut.
Aksesi PM3 dan PM5 berbeda pada perawakan, bentuk dan ukuran daun,
warna pucuk serta tekstur kulit batang. Aksesi PM3 memiliki daun yang
umumnya berukuran kecil dan pendek, sumbu daun berwarna hijau kekuningan.
Aksesi PM5 dan PM3 dicirikan memiliki pucuk yang berwarna kuning
kehijauan-ungu dadu, perawakan dan ukuran daun yang lebih pendek, buah bulat dan hijau
kekuningan saat ranum. Aksesi PM5 diduga merupakan tanaman induk dari aksesi
PM3. Aksesi CB2 memiliki perawakan yang lebih tinggi mencapai 10 m, sumbu
daun lebih panjangnya 1 m lebih. Aksesi PM1, PM5, PM6, CB2 memiliki satu
daerah aktif dan jarak migrasi yang sama, membuktikan sifat genetiknya lebih
32
Aksesi KRB2 asal Sri Lanka memiliki pola pita tebal atau rangkap sejajar
dengan sebagian besar aksesi uji pada satu daerah aktif. Kemiripan aksesi P4,
BLHKA dan PM4 didukung oleh kesamaan atau kemiripan karakteristik fenotipe
warna kulit batang keputihan (lichen) dan ungu dadu dan pucuk merah-ungu.
Faktor tinggi tanaman, umur, warna pucuk dan sumbu daun tampaknya tidak
membedakan masing-masing aksesi ini. Variabilitas matoa sangat adaptif
membentuk variasi karakter morfologi tertentu (mudah berdiferensiasi), namun
secara substansial isozimnya relatif sama. Fenomena ada atau tidak tampaknya
pola pita ditentukan oleh substansi protein makro yang terkandung dalam
supernatan pada kertas saring yang disisipkan ke dalam torehan gel, kondisi pati
dan sistem enzim yang digunakan. Aksesi P2, P4, BLHKA dan KRB2 memiliki
penampakan pola pita yang berbeda pada sistem enzim peroksidase diduga
disebabkan oleh perbedaan alel pada kromosom dan adaptasinya terhadap
lingkungan.
Analisis Kelompok Matoa Berdasarkan Morfologi
Hasil analisis fenetik (Gambar 15) berdasarkan karakter morfologi
menunjukkan pada pemotongan fenogram dengan koefisien kemiripan 40%
mengelompokkan 19 aksesi matoa menjadi tiga kelompok utama. Kelompok I
terdiri atas aksesi CB3 dengan koefisien kemiripan 28% dibedakan oleh
kepemilikan tekstur batang kehijauan-ungu kekuningan jingga; anak daun
lonjong, ujung meruncing 5 cm, tidak memiliki aurikel dan daun penumpu semu
serta kelenjar minyak. Aksesi CB3 memiliki tekstur kulit batang yang mengelupas
sampai menyerpih-berlekah (± 3 m di atas pangkal batang); sumbu daun pendek
(15-35 cm); pangkal tangkai daun membesar (pulvinate), berwarna ungu-merah
dan relatif lebih kecil (jika dibandingkan dengan pangkal tangkai daun l8 aksesi
lainnya); daun maupun anak daun relatif lebih kecil dan kaku, panjang kurang dari
20 cm. Aksesi CB3 memiliki beberapa perbedaan morfologi yang mencolok dari