SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanSembilanbelas aksesi matoa yang dikarakterisasi morfologinya bervariasi pada pola akar, tekstur kulit batang, warna batang, warna sumbu daun, keberadaan rambut pada sumbu daun dan adaksial tulang tengah anak daun, ukuran sumbu daun, bentuk anak daun, warna anak daun, pangkal, tepi dan ujung anak daun, warna anak daun dewasa dan pucuknya. Variasi morfologi ini dapat diperlihatkan dalam pola pita isozim peroksidase sebagai varietas dan forma. Variasi bentuk, kedudukan, ukuran dan warna serta tempat tumbuh ternyata tipikal, walau sama
dalam bentuk pola pita atau jarak migrasinya. Sistem enzim peroksidase lebih
efektif digunakan untuk mencirikan variabilitas matoa, dibandingkan dengan sistem isozim esterase dan malat dehidrogenase.
Analisis kelompok morfologi 19 aksesi matoa menjadi 3 kelompok dengan
koefisien kemiripan 40%. Kelompok I (aksesi CB3 f. repanda) memisah dari
aksesi lainnya dengan koefisien kemiripan 28%. Kelompok III terdiri atas dua sub kelompok A & B, dimana 4 aksesi di antaranya identik (PM4 & PM6; KRB1 & IPB) dengan koefisien kemiripan 75%. Kelompok III merupakan kelompok kedua dari matoa yang umumnya dibudidaya untuk buah konsumsi, lebih banyak anggotanya dalam sub-sub kelompoknya menunjukkan sifat-sifatnya menyebar merata dan mudah adaptif menghasilkan variasi-variasi yang sama pada waktu dan periode tertentu bergantung pada lingkungan dan intervensi manusia.
Sembilanbelas aksesi matoa yang diteliti tidak cukup beragam, sehingga digolongkan dalam satu jenis, yaitu P. pinnata terdiri atas varietas pinnata dan
javanica. Varietas pinnata meliputi f. pinnata, f. tomentosa dan f. repanda. Varietas javanica terdiri atas satu forma glabra dan satu cv. Kelapa. Varietas
pinnata forma pinnata khas pada permukaan kulit batang ungu dadu disertai berkas putih dan pertulangan kemerahan (spesimen kering). Ciri penunjuk f.
repanda, yaitu anak daun lonjong, tepi bergigi mencolok dan ujung meruncing 4-5 cm. Tiga ciri konsisten penunjuk cv. Kelapa, yaitu pucuk ungu dadu-hijau kekuningan, sumbu daun lebih panjang dari variabilitas lainnya; daging buah terasa tawar-manis dan kenyal seperti kelapa muda.
Saran
Sudah saatnya menggunakan penamaan variabilitas matoa dengan formanya sesuai revisi terakhir dan perlu dilakukan analisis alozim terhadap variabilitas matoa.
DAFTAR PUSTAKA
Bebingthon JA. 1996. Describing Flowers a Guide to The Structure of Flowers and Their Identification Features. Field Studies. FSC.
Brown ADH, Weir BS. 1983. Measuring Genetic Variability in Plant Population. p. 219-240. In S.D. Tanskley & T.J. Orton (eds.) Isozymes in Plant Genetics and Breeding. Part A. Elsevier, Amsterdam.
Buth DG. 1984. The application of electrophoretic data in systematic studies.
Ann. Ecol. Syst. 15: 501-522.
Damas K. 1993. Variation within Pometia (Sapindaceae) species in Papua New Guinea. Di dalam: Hðft R, editor. Proceedings of the Biological Society. Wau Ecology Institute. PNG: Lae. hlm 59-70.
Harris GJ, Harris WM. 1994. Plant Identification Terminology an Illustrated
Glossary. X, Spring Lake Publishing. Payson Utah. USA. hlm 198.
Horry JP. 1989. The Genetic Structure of Wild and Cultivated Bananas as
Perceived through Isozyme Variation. Montpellier: CIRAD-IRFA.
Jacobs, M. 1962. Pometia (Sapindaceae), A Study in Variability. Jurnal
Taksonomi Botani, Sosiologi Tanaman dan Ekologi. Herbarium Bogoriense, 6 (2) : 109-144. Bogor.
Lawrence MHG.1955. Taxonomy of Vascular Plants. The Macmillan Company: New York. hlm 50-57.
Markert CL, Moller F. 1959. Multiple forms of enzymes: tissue, ontogenetic and species specific patterns. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 45: 753-763.
May B. 1994. Starch electrophoresis of allozymes. Di dalam: Hoelzel AR, editor.
Molecular genetic analysis of population. New York. Oxford University Press. hlm. 1-27.
Nei M. 1978. Estimation of average heterozigoties and genetics from a small number of individuals. Genetics 89 : 583-590.
Nur MA, Juwana HA. 1987. Teknik Pemisahan dan Analisis Biologis. PAU Ilmu Hayat. IPB. Bogor. 280 hal.
Peirce LC, Brewbaker JL. 1973. Aplications of isozyme analyses in horticultural science. HortSci. 8 : 17-22.
Rolf FJ. 1998. NTSYs-PC. Numerical Taxonomy and Multivarite Analysis System. Version 2.02i. Exterter Software. New York.
Simpson MJA, Withers LA. 1986. Characterization of Plant Genetic Resources Using Isozyme Electrophoresis; a guide to the literature. IBPGR. Rome. 102p.
Soerianegara I, Lemmens RHM. 1994. Plant Resources of South-East Asia.
Timber Trees: Major Commercial Timbers. Prosea 5 (1) : 357-363.
Soetisna U, Enung S, Mulyaningsih, Syamsidah R. 1994. Pengaruh Media dan
waktu Penyimpanan Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Matoa (Pometia
pinnata). Jurnal Penelitian Kehutanan Paratropika II. No. 2.
Soemiasri N, Kuswara T, Indarto SN. 1996. Pemanfaatan Matoa (Pometia
pinnata Forst.) di Beberapa Daerah di Irian Jaya. Didalam: Purwanto Y,
Waluyo EB, editor. Kebijakan Masyarakat Lokal dalam Mengelola dan
Memanfaatkan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Etnobotani III; Denpasar-Bali, 5-6 Mei 1998. Bogor: Puslitbang. Bioteknologi LIPI Cibinong.hlm 182-185.
Tanskley SD, Rick CM, 1989. Genetic of esterases in species of Lycopersicon.
Theor. Appl. Genet. 56 : 209-219. Di dalam: Weeden NF, Wendel JF; Soltis DE, Soltis PS, editor. Isozymes in Plant Biology. Portland, Oregon: Dioscoridos Press. hlm 46-50.
Torres AM. 1983. Fruit Trees. Di Dalam: Tanskley SD, Orton TJ., editor.
Isozymes in plants genetics and breeding, Part B. Amsterdam. Elsevier
401-421.
Vallejos CE. 1983. Enzym Activity Staining. Di Dalam: Tanskley SD, Orton TJ.,
editor. Isozymes in Plant Genetics and Breedings Part A. Netherlands.
Elsevier Publ. Co. Inc. hlm 469-516.
Vogel De EF. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy, theory and practice.
Rijsherbarium Leiden, The Netherlands. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization Regional for Science and Technology for Southeast Asia. Jakarta. Unesco.
Weeden NF. 1983. Evolution of plant isozymes. In: S. D. Tanksley, T. J. Orton [eds.], Isozymes in plant.
45
Weeden NF, Wendel JF. 1989a. Genetic and Plants Isozymes. Di dalam: Soltis
ED, Soltis PS., editor. Isozymes in Plant Biology. Portland: Oregon.
Portland: Oregon Diocorides Press. hlm 46-72.
Wendel JF, Weeden NF. 1989b. Visualization and interpretation of plant
isozymes. Di Dalam: Soltis ED, Soltis PS., editor. Isozymes in Plant
Biology. Portland: Oregon. Dioscorides Press. hlm 5-45.
Westphal E, Jansen PCM. 1989. Plant Resources of South- East Asia, a Selection. Pudoc Wageningen. hlm 23.
47
Lampiran 1. Karakter-karakter Morfologi Aksesi Matoa untuk Analisis Fenetik
No Karakter Ciri (Kode)
1. Pola akar tanpa banir (0), berbanir biasa (1), berbanir papan (2) 2. Tekstur kulit pada batang halus-mengelupas (0), kasar-mengelupas (1),
mengelupas, menyerpih-berlekah (2)
3. Warna tekstur kulit luar pada batang coklat karatan dan ungu dadu dengan bercak putih (0), hijau kecoklatan dan krem (1), kehijauan dan ungu dadu dengan bercak putih (2), ungu dadu dengan bercak putih (3), kehijauan dan kekuningan jingga (4) 4. Warna sumbu daun ungu kehitaman (0), hijau kekuningan (1), hijau
kecoklatan (2) 5. Rambut pada sumbu daun dan adaksial tulang
tengah anak daun
tidak berambut/gundul (0), berambut putih (1), berambut coklat keemasan (2)
6. Panjang sumbu daun 13 – 15 cm pendek (0); 35 - 60 cm sedang (1); ± 60 – 100 cm panjang (2)
7. Jumlah pasangan anak daun per daun 5 – 7 pasang (0), 8 – 10 pasang (1); > 10 pasang (2) 8. Kedudukan anak daun umumnya berhadapan (0), berhadapan sampai
berseling/subalternate (1), berseling (2) 9. Bentuk aurikel dari anak daun basal
seolah-olah memeluk batang
tidak bercuping (0), semi arit (subfalcate) (1), ada, arit (falcate) (2), menyerupai dua tanduk (3)
10. Bentuk anak daun membundar telur-melonjong (0), membundar telur sampai lonjong (1), membundar telur, melonjong-membundar telur terbalik (obovate) (2), membundar telur sampai melonjong atau memanjang (oblongate) (3), lonjong (4)
11. Panjang anak daun < 10 cm pendek (0); 10 - 20 cm sedang (1); > 20 cm panjang (2)
12. Bentuk pangkal anak daun bundar (0), membundar sampai runcing (1), membundar sampai bundar (2), membundar sampai meruncing (3)
13. Tepi anak daun bergigi halus-dangkal (subdentate) (0), 1 = bergigi mencolok (dentate) (1), bergigi menumpul-dangkal (2) 14. Bentuk ujung anak daun runcing (acute) (0), meruncing ± 2-4 cm
(subacuminate) (1), meruncing 5 cm (acuminate) (2), runcing sampai meruncing (3), membundar sampai runcing (4)
15. Warna anak daun pada bagian adaksial 0 = hijau, 1 = hijau tua mengkilap, 2 = krem
16. Warna pucuk merah-ungu (0), ungu dadu (1), ungu dadu-hijau
Lampiran 2. Data matriks karakter morfologi matoa untuk analisis fenetik No Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 P1 2 2 0 2 2 1 0 0 2 1 1 1 1 1 0 1 2 P2 1 1 2 2 2 2 0 0 2 1 2 0 0 1 0 2 3 P3 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 4 1 2 4 PM1 1 1 2 2 0 2 1 1 1 1 2 0 0 3 0 2 5 PM2 1 1 2 2 1 2 1 1 1 3 1 0 1 1 1 2 6 PM3 1 1 2 1 0 0 0 1 1 3 0 0 1 1 0 2 7 PM4 0 1 3 2 0 2 1 1 1 0 1 0 1 3 0 0 8 PM5 0 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 0 2 3 1 2 9 CB1 1 1 2 2 0 0 1 1 1 1 1 0 2 1 0 1 10 CB2 2 0 2 1 0 2 1 1 2 1 1 1 0 3 1 1 11 CB3 0 2 4 1 0 0 1 0 0 4 1 1 1 2 1 0 12 CB4 0 0 3 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 3 1 0 13 CB5 1 0 3 2 0 2 1 1 2 1 2 0 0 3 1 0 14 BLHKA 0 1 3 2 0 0 2 1 1 0 2 2 2 3 0 0 15 KRB2 1 1 0 2 2 2 0 0 3 0 1 0 1 1 0 1 16 KRB1 2 1 0 0 0 2 1 1 1 1 2 0 2 1 0 1 17 PM6 0 1 2 0 0 2 1 1 1 0 1 0 2 1 0 0 18 P4 1 2 1 2 0 2 1 1 2 2 2 1 0 0 0 1 19 IPB 0 0 0 2 0 2 1 1 1 1 2 0 2 1 0 0
ABSTRACT
HENGKY LUKAS WAMBRAUW. Morphological and Isozyme Characterization of Matoa (Pometia pinnata Forst.). Supervised by RITA MEGIA and TATIK CHIKMAWATI
Variability of wild and cultivated matoa has long been the subject of controversy because of its morphological variation. It was also recognized also as several species names of matoa, although it has been revised under one type name and some synonyms at forma category that are seldom used. It is difficult to differentiate between morphological characters of matoa variants, therefore it needs to use other approaches. Nineteen accessions originated from six areas, Papua Forest, Mekarsari Fruit Garden, Germplasm of LIPI Cibinong, Bogor Botanical Garden, Arboretum of Bogor Agricultural University, and Bogor Research and Development Agency of Forestry and Conservation were characterized and examined their diversity of morphological and isozyme characters. Three isozyme analysis systems, esterase (EST), malate dehydrogenase (MDH), and peroxidase (PER) were used. Morphological characters were transformed into binary and multistate character data and then were analyzed to build a phenogram based on UPGMA approach using NTSYs pc. 2.2i software. Matoa has variation on 16 morphological characters: root pattern; stem texture and color; rachis size and colour of leaves; hair of rachis, the number of pinna; pinnae position; auricle shape; pinnae size, the base, apex, margin shapes of pinna, pinnae colour; and young pinna colour. Matoa also varied on the three enzyme systems, but only PER showed clear isozyme banding patterns of matoa at 0.29 to 0.34 migration length (Rf). Phenetic analysis based on 16 morphological characters grouped 19 matoa accessions into three major groups, and the bigest group consisted of two sub-group included four identic accessions of cultivated matoa. All accession studied were identified as one species, Pometia pinnata, with two varieties, var. pinnata and javanica, and one cultivated variety, cv. Kelapa. Pinnata variety consist of three forma which were f. pinnata, f. tomentosa, f. repanda, while var. javanica has one forma, f. glabra.
Keywords: Matoa, Pometia pinnata Forst., morphological characteristics, isozyme.
RINGKASAN
HENGKY LUKAS WAMBRAUW. Karakterisasi Morfologi dan Isozim Matoa (Pometia pinnata Forst.). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan TATIK CHIKMAWATI
Variabilitas matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya telah direvisi di bawah nama jenis tunggal Pometia pinnata Forst., dan subdivisinya diberi sinonim di bawah kategori forma, tetapi jarang digunakan karena terdapat beragam interpretasi terhadap variasi morfologinya yang cukup tinggi pada karakter, pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun. Varian matoa juga sukar dibedakan, maka dilakukan analisis isozim sistem enzim esterase, malatdehidrogenase dan peroksidse terhadap 19 aksesi matoa yang dipilih secara purposif dari Hutan Wisata Alam Gunung Meja Manokwari-Papua Barat, Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekarsari, Kebun Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum IPB serta Balitbang. Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor. Karakter morfologi dan isozim dicirikan dan diidentifikasi berdasarkan spesimen koleksi di Herbarium Manokwariense dan Herbarium Bogoriense. Enambelas karakter morfologi telah dianalisis menggunakan program NTSYSpc 2.02i, SAHN-Clustering untuk mendapatkan fenogram UPGMA.
Variabilitas matoa meliputi matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya. Umumnya matoa di hutan alam memiliki pola akar berbanir papan dan kurang berbanir. Sedangkan varian-variannya yang umumnya dibudidaya untuk buah konsumsi tidak memiliki pola banir tersebut. Tiga macam pola akar, yaitu berbanir papan; berbanir sedang; tanpa banir. Tekstur kulit luar juga bervariasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu halus-tidak mengelupas; kasar-mengelupas; mengelupas dan menyerpih-berlekah. Lima macam warna tekstur kulit pada batang, yaitu coklat karatan dan ungu dadu dengan bercak putih; hijau kecoklatan dan krem; kehijauan dan ungu dadu dengan bercak putih; ungu dadu dengan bercak putih; kehijauan dan kekuningan jingga. Tiga macam variasi warna pada sumbu daun ditemukan, yaitu ungu-kehitaman; hijau kekuningan; hijau kecoklatan. Permukaan sumbu daun dan pertulangan tengah anak daun matoa ada yang tidak berambut, tetapi terdapat dua macam warna rambut, yaitu rambut putih dan rambut coklat keemasan. Matoa juga memiliki tiga macam variasi panjang sumbu daun, yaitu 15-35 cm pendek; 36-56 cm sedang; 57-100 cm tergolong panjang. Anak daun matoa berhadapan; berhadapan sampai berseling. Jumlah pasangan anak daun terdiri atas tiga kelompok, yaitu 5-7 pasang, 8-10 pasang, lebih dari 10 pasang. Pasangan bawah lebih kecil, menyerupai cuping yang tampak seperti memeluk batang, bentuk semi arit (subfalcate), arit (falcate) maupun pola dua tanduk. Lima macam bentuk anak daun, yaitu membundar telur-melonjong; membundar telur-lonjong atau telur-melonjong; membundar telur,
melonjong-membundar telur terbalik (obovate); membundar telur sampai
melonjong hingga memanjang (oblongate); lonjong. Berdasarkan panjang anak daun, matoa memiliki tiga macam variasi ukuran anak daun, yaitu < 10 cm pendek; 10-20 cm sedang; > 20 cm panjang.
Matoa juga bervariasi dalam sistem isozim esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase. Dalam sistem enzim esterase, terbentuk dua pola pita pada jarak
lebih jelas memperlihatkan dua pola pita pada jarak migrasi Rfa 0.29 meliputi lima aksesi dan Rfb 0.34 meliputi tigabelas aksesi. Empat aksesi memiliki pola pita ganda sebagai wujud dari sifat yang lebih kompleks. Dalam sistem enzim peroksidase, aksesi matoa asal hutan alam Papua maupun yang dibudidaya di daerah Bogor memiliki jarak migrasi sama, tetapi dibedakan oleh pola pita ganda.
Sembilanbelas aksesi matoa yang dianalisis tergolong dalam jenis P.
pinnata terdiri atas dua varietas, yaitu pinnata dan javanica. Varietas pinnata
meliputi tiga forma yaitu f. pinnata, f. tomentosa dan f. repanda. Varietas
javanica terdiri atas satu forma glabra dan cv. Kelapa. Karakter penunjuk kategori varietas pada variabilitas matoa cukup adaptif, sehingga penerapan nama dengan tingkat forma lebih konsisten.
PENDAHULUAN
Latar BelakangMatoa merupakan tumbuhan buah khas Papua. Kayunya tergolong
kelompok veneer dan dimanfaatkan sebagai bahan kusen rumah; bagian kulit
batang dan daun sebagai obat luka dan eksim. Variabilitas matoa telah direvisi
dengan satu tipe P. pinnata Forst., berumah satu dalam suku Sapindaceae;
tersebar di seluruh kawasan Malesia hingga Kepulauan Pasifik (Jacobs 1962). Karakter morfologinya masih diperdebatkan karena variasinya cukup tinggi pada pola, bentuk dan ukuran serta warna pada bagian akar, batang dan daun, sehingga
di Papua, penebang pohon membedakan pada tingkat jenis, yaitu P. pinnata
Forst., P. acuminata Radlk, P. tomentosa Radlk. dan P. coriacea Radlk. Selain
itu, keterbatasan material generatif bergantung pada musim dan distribusi
geografis yang luas menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi, sehingga diperlukan pendekatan lain.
Varibilitas matoa terdiri atas jenis biologi di hutan alam dan varian-varian atau kultivarnya yang dibudidaya secara luas saat ini. Matoa juga dikonservasi
secara ex situ di Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI
Cibinong, Arboretum IPB dan Balitbang dan Konservasi Alam Bogor serta ditanam di Taman Buah Mekarsari Bogor. Umumnya bibit yang ditanam berasal dari Papua dan diperbanyak secara vegetatif, sehingga siklus produktivitasnya lebih pendek, jika dibandingkan dengan jenis liarnya di hutan alam. Matoa tipe liar dan varian-variannya memiliki variasi infraspesies yang sukar dibedakan secara langsung, bahkan record datanya pun masih kurang hingga saat ini. Di lain pihak, perlindungan varietas tanaman di Indonesia telah diatur dalam Lembaran Negara No. 29 tahun 2000.
Matoa beragam dalam karakter morfologinya, namun menurut Jacobs (1962) variabilitas matoa tidak stabil, sehingga cukup dikelompokkan dengan
nama tunggal P. pinnata Forst. dan sinonim dengan kategori forma. Karakter
morfologi terdiri atas perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan di antara tumbuhan yang terjadi secara umum, nilainya dapat diukur dari kestabilannya, semakin banyak karakter yang stabil, maka lebih baik tingkat kepercayaannya atau sebaliknya (Lawrence 1955). Sifat fenotipe yang teramati relatif terhadap
perbedaan genetik yang sesungguhnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun isozim stabil terhadap lingkungan geografis, sehingga karakterisasi bahan suatu tumbuhan dapat membantu meminimalkan pemahaman yang terbatas terhadap sifat-sifat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan (Horry 1989). Karakterisasi sifat morfologi matoa yang ada merupakan kemampuan untuk menstabilkan pengaruh faktor lingkungan terhadap fenotipenya agar diperoleh gambaran yang jelas tentang tingkat variasinya.
Keragaman morfologi matoa di bawah tingkat jenis juga tidak selalu tersedia, maka penggunaan karakter tambahan selain morfologi seperti analisis isozim dapat membantu memperlihatkan pengelompokan sifat keragaman genetiknya. Isozim merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas gabungan beberapa molekul enzim berbeda yang aktif di dalam sel organisme, bersifat polimorf dan berbeda sifat fisika dan kimianya, namun dapat mengkatalis reaksi kimia yang sama. Perbedaan molekul-molekul ini disebabkan oleh berbedanya urutan asam amino penyusunnya, sehingga menjadi dasar dilakukannya pemisahan dengan teknik elektroforesis (Markert & Moller 1959). Dalam larutan elektrolit, molekul-molekul biologis bermuatan listrik dengan beda potensial akan bermigrasi ke kutup berlawanan hingga mencapai jarak relatif sebagai pola pita isozimnya.
Penanda isozim sangat berguna untuk karakterisasi dan identifikasi kultivar, penentuan asal genetik benih, membedakan keturunan hasil penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri, mendokumentasikan persentase kultivar serta menguji similaritas kultivar (Peirce & Brewbaker 1973). Sebaliknya pendekatan morfologi sudah lama dipakai untuk melakukan identifikasi, tetapi dalam banyak kasus ketersediaan material berupa bunga ataupun buah tidak selalu tersedia karena bergantung musim, ketidak-matangan bahan atau terjadi kerusakan tertentu (Torres 1983). Analisis sistem isozim untuk forma-forma matoa belum dilakukan. Dengan andanya pendekatan isozim ini diharapkan dapat melengkapi data keragaman infraspesies P. pinnata.
3
Perumusan Masalah
Variasi morfologi sering dijadikan dasar penamaan matoa ke dalam beberapa jenis. Padahal menurut Jacobs (1962), sifat-sifat variabilitas matoa cukup ditempatkan pada posisi kategori forma. Matoa di hutan alam maupun yang dibudidaya memiliki variasi morfologi cukup tinggi antara lain pada: pola akar, tekstur kulit, bentuk anak daun, tepi, ujung anak daun dan warna. Selain itu, informasi tentang jenis matoa dan varian-variannya masih kurang, jika dibandingkan dengan pemanfaatan kayu dan buahnya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal antara lain: keterbatasan material generatif terkait musim bunga,
buah dan distribusi geografis yang luas serta karakteristik varian infraspesies sukar dibedakan secara langsung menjadi beberapa kelemahan dalam identifikasi morfologi, sehingga diperlukan pendekatan isozim.
Dalam analisis isozim tumbuhan, tidak semua sistem enzim yang digunakan dapat memperlihatkan pola-pola pita secara jelas, karena enzim tertentu memiliki spesifikasi terhadap molekul-molekul protein suatu tanaman. Molekul bermuatan yang dielektorforesis dengan beda potensial dalam jangka waktu tertentu dapat bermigrasi dengan jarak relatif tertentu merupakan pola pita isozim. Sistem enzim yang cocok dapat memperlihatkan sifat genetik (polimorfis) variabilitas matoa dalam wujud pola-pola pita elektroforesis. Karakterisasi morfologi dan isozim dapat menentukan perbedaan-perbedaan dan kemiripan-kemiripan agar dapat diukur tingkat perbedaan dan kemiripan-kemiripannya guna menentukan variasi matoa yang ada.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi sifat morfologi dan isozim esterase, malat dehidrogenase dan peroksidase pada aksesi matoa asal hutan Papua, Kebun Raya Bogor, Kebun Koleksi Plasma Nutfah LIPI Cibinong, Arboretum Balitbang Kehutanan dan Konservasi Alam Bogor, Arboretum Institut Pertanian Bogor serta Taman Buah Mekarsari Bogor. Hasilnya diharapkan menjadi salah satu model pendekatan dalam melacak variasi jenis matoa pada kategori infraspesies dan menambah informasi tentang matoa sebagai salah satu potensi plasma nutfah agar dikonservasi secara in situ maupun ex situ.
Jacobs (1962) mendeskripsikan matoa sebagai tumbuhan berumah satu; pohon berukuran sedang sampai besar, memiliki dinding penunjang, getah merah.
Daun majemuk menyirip genap (paripinate), tersusun spiral, anak daun paling
bawah pada sumbu daun menyerupai daun penumpu dan sering tereduksi; tangkai
daun pulvinate; daun muda berwarna krem dan sangat mencolok; daun pada pangkal perbungaan sering tereduksi menjadi stipula semu. Anak daun berhadapan sampai berseling, pasangan bawah selalu lebih kecil; setiap pertulangan anak daun berakhir atau bermuara pada setiap ujung anak daun atau ujung dari tiap gigi anak daun (hydathoda) dan setiap pertulangan antara menekuk atau melengkung ke arah bagian atas tetapi tidak mencapai tepi anak daun; anak daun menjarum sampai bergigi mencolok; terdapat kelenjar minyak pada bagian permukaan bawah pangkal daun. Tangkai anak daun melebar dan rapat, bagian atas memiliki dua alur lateral atau lekukan tipis.
Perbungaan terdapat di ujung ranting, kadang-kadang di bagian ketiak
daun. Braktea menyerupai bentuk segitiga sempit sampai benang. Bunga yang
paling atas soliter, tanpa brakteole, uniseksual, simetri radial; tangkai bunga
terete, ramping, articulate, panjang dan tenggelam di dalam buah, sepal 5, ramping sampai lebih dari separuh bersatu, bagian kuncup mengatub, dua bagian terluar selalu lebih tipis dan lebih kecil; tepi rata, persisten pada buah; petal 5, umumnya pendek sampai panjang dan jelas, jika dibandingkan dengan kelopak, tidak atau berkuku keras, hampir rata, cakram dalam bentuk cincin, pulvinate, tidak bercuping, kurang lebih bergelombang; benang sari 5 (6), pada bunga jantan lebih panjang, menjarum, berambut terutama pada bagian paruh bawah atau licin,
kepala sari rapat menyerupai bentuk pola kupu-kupu; ovarium duduk, bentuk
jantung, 2 (-3) ruang, tangkai putik sama panjang atau lebih panjang dari ovarium, 1 bakal biji tiap ruang. Buah menempel langsung tanpa ditopang tangkai buah, sering memiliki satu ruang biji yang tidak merekah, halus, licin dan tidak berambut, merah sampai hitam saat ranum; kulit luar kasar, agak tipis; kulit