• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE Lokasi dan Waktu

1. Fermentabilitas Beberapa Legum Pohon

Prosedur

1. Fermentabilitas Beberapa Legum Pohon

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah jumlah produksi gas yang dihasilkan dari masing-masing legum. Metode yang digunakan berdasarkan prosedur Menke (Close dan Menke, 1986). Sebanyak 230 mg sampel legum yang telah dikeringkan dan digiling dimasukkan dimasukkan ke dalam syringe 100 ml, kemudian ditambahkan cairan rumen 30 ml dan diinkubasi dalam waterbath pada suhu 39oC. Volume gas yang timbul dari proses fermentasi dibaca secara langsung pada syring. Pengamatan produksi gas dilakukan pada waktu 3, 6, 12, 24 dan 48 jam. Model persamaan yang digunakan untuk menghitung laju dan potensial produksi gas berdasarkan pada model kinetik dari Orskov dan McDonald (1979), yaitu:

P = a + b (1 - e-ct) Keterangan:

P = produksi gas (ml)

a = produksi gas dari fraksi terlarut (ml) b = produksi gas fermentasi (ml) c = laju produksi gas (% h-1)

t = waktu inkubasi (3, 6, 12, 24 dan 48 jam) 2. Pengukuran Kecernaan BK dan BO Secara in vivo

Percobaan in vivo dilakukan untuk menguji konsumsi dan kecernaan berbagai jenis legum untuk meningkatkan kualitas rumput lapang. Percobaan ini menggunakan 18 ekor domba lokal jantan dengan bobot hidup 12 - 17 Kg. Domba tersebut yang dibagi dalam 3 kelompok berdasarkan bobot badan. Setiap kelompok terdiri dari 6 ekor dan ditempatkan pada kandang individu yang terbuat dari bambu. Ransum yang digunakan adalah:

PI = RL + 20% Angsana GS = RL+ 20% Gamal CC = RL + 20% Kaliandra LL = RL + 20% Lamtoro SG = RL + 20% Turi

Peubah yang diamati dalam penelitian in vivo meliputi : a. Konsumsi ternak

Konsumsi diartikan sebagai banyaknya pakan yang bisa dimakan oleh ternak selama 24 jam. Pengukuran jumlah konsumsi dilakukan dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan pada keesokan harinya.

b. Kecernaan Bahan Kering/Organik Ransum

Analisis kecernaan In Vivo diawali dengan proses pengumpulan feses selama 5 (lima) hari. Feses dari masing-masing domba dikumpulkan kemudian ditimbang dan dikeringkan. Semua feses yang sudah kering kemudian digiling dan dianalisis bahan kering dan bahan organik. Hasil analisis dari pakan dan feses diperlukan untuk menghitung nilai Kecernaan Zat Makanan pada domba.

Perhitungan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang diperoleh dengan persamaan-persamaan : 100% konsumsi BK feses BK konsumsi BK KCBK(%)= × 100% konsumsi BO feses BO konsumsi BO KCBO(%)= × Keterangan :

KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering KCBO = Koefisien Cerna Bahan Organik BK = Bahan Kering

BO = Bahan Organik 3. Penyerapan Mineral Makro (Ca dan P)

Dalam penelitian In Vivo juga dilakukan pengukuran penyerapan mineral Ca dan P. Penyerapan mineral dihitung berdasarkan jumlah mineral yang konsumsi dikrangi dengan mineral yang diekskresi. Pengukuran kadar mineral dalam ransum

17 dan feses dilakukan dengan cara pengabuan basah (wet Ashing) menurut Reitz et al. (1960). Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam tabung erlenmeyer dan ditambahkan HNO3 5ml, lalu dibiarkan selama 1 jam sampai menjadi bening atau tidak ada buih. Labu Erlenmeyer dipanaskan pada hot plate selama ± 4 jam. Setelah dingin ditambahkan 0.4 ml H2SO4 pekat, labu Erlenmeyer dipanaskan kembali. Pada saat terjadi perubahan warna volume akan berkurang diteteskan larutan HClO4 dan HNO3 (perbandingan 2:1). Perubahan warna dimulai dari warna coklat menjadi kuning dan bening. Setelah bening, dipanaskan kembali selama 15 menit, lalu ditambahkan dengan 2 ml aquades dan 0.6 ml HCl pekat dan dipanaskan kembali hingga larut. Setelah didinginkan, ditambahkan dengan aquades hingga 100 ml. Pengukuran kadar Phospor dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer (UV Visible) dengan panjang gelombang 660 nm, sedangkan untuk anlisis Kalsium dibaca konsentrasinya pada Spektrofotometer serapan atom (AAS).

a. Pengenceran untuk analisa mineral Ca

Pengenceran dilakukan untuk menurunkan kadar mineral dalam sampel supaya tidak melebihi standar yang sudah ditetapkan. Langkah-langkah pengenceran adalah sebagai berikut: sebanyak 0.5 ml larutan sampel (sesuai dengan tinggi rendahnya kadar kalsium) yang sudah disiapkan dengan metode pengabuan basah dilarutkan dengan aquades sampai menjadi 5 ml pada tabung reaksi dengan menggunakan pipet volumetrik, kemudian ditambahkan larutan lantan sebanyak 0.05 ml yang berfungsi sebagai pengikat terhadap ion-ion pengganggu. Larutan sampel diaduk dengan menggunakan alat pengaduk vortex selama beberapa detik kemudian dimasukkan ke dalam sentrifusa pada kecepatan 2000 rpm selama 20 menit. Sampel siap untuk dianalisa jumlah kandungan mineral Ca dengan menggunakan mesin Atomic Absorption Spectrofoometric Flame Emission merk Shimidzu tipe AA-160. b. Pengenceran untuk analisa mineral P

Sebelum pengukuran phospor, terlebih dahulu dibuat larutan standar dengan konsentrasi 0, 2, 3, 4 dan 5 ppm. Larutan standar dibuat dengan beberapa tahap: Larutan A (NH4)6Mo7O24) 10% = Ammonium molibdat 10%

Sebanyak 10 gram Ammonium molibdat ditambah dengan 60 ml aquades dan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap, ditambahkan kembali aquades hingga 100 ml.

Larutan B dibuat dengan memasukkan 10 ml larutan A ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 60 ml aquades dan 5 gram FeSO4.7H2O. Larutan B dibuat menjadi 100 ml dengan menambahkan aquades. Larutan B digunakan dalam pembuatan larutan standar seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Larutan Standar Mineral Phorpor

Sampel yang telah diabukan diambil 0,5 (sesuai dengan tinggi rendahnya phospor dalam sampel), ditambahkan 2 ml larutan B dan aquades hingga menjadi 5 ml. Selanjutnya dikocok dengan menggunakan vortex agar dapat homogen. Sampel dan larutan standar siap untuk dianalisis kadar phospornya dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.

Analisis statistik

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian in vivo adalah Rancangan Acak kelompok (RAK) 6 x 3, yang terdiri dari 6 perlakuan dan 3 kelompok ternak berdasarkan bobot badan.

Adapun model matematis rancangan adalah sebagai berikut : Yij= µ + ôi +âj + åij

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke- j µ = Nilai tengah populasi

ôi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i (Jenis Legum) âj = Pengaruh aditif dari kelompok ke- j (Bobot Badan)

åij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji kontras ortogonal menurut Steel dan Torrie (1991).

Konsentrasi ppm KH2PO4 (ml) Larutan B (ml) H2O

0 - 2,0 3,0

2 0,4 2,0 2,6

3 0,6 2,0 2,4

4 0,8 2,0 2,2

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrisi Legum Pohon

Sebagai pakan ternak, rumput lapang memiliki kandungan protein yang rendah yaitu 7,15% dan serat kasar yang tinggi yaitu 31,61%. Selain rendahnya kandungan protein, rumput lapang juga mengandung sedikit mineral yang dibutuhkan ternak untuk mengganti sel-sel dan jaringan yang rusak, sehingga dalam penggunaannya sebagai pakan ternak perlu suplementasi dengan legum untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya.

Kualitas hijauan ditentukan oleh komposisi kimia hijauan. Hasil analisa komposisi kimia pakan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Rumput Lapang dan Beberapa Legum Pohon (% BK)

Jenis Abu PK SK LK Beta-N Ca P Ca:P

R.Lapang 10,01 7,15 31,61 1,37 37,61 0,56 0,17 3 : 1 Angsana 6,84 21,97 25,35 1,45 36,12 1,11 0,34 3 : 1 Gamal 8,19 19,97 21,22 2,22 41,42 1,56 0,29 5 : 1 Kaliandra 4,78 20,05 20,86 1,55 46,03 1,02 0,27 4 : 1 Lamtoro 7,66 24,09 19,55 3,20 39,97 1,84 0,37 5 : 1 Turi 8,49 23,44 24,24 1,48 31,90 1,42 0,41 4 : 1 Ket: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan

Legum pohon memiliki kandungan protein kasar antara 19,97 sampai 24,09 % BK (+ 3 kali lebih besar dari rumput lapang). Lamtoro memiliki kandungan protein kasar yang lebih tinggi dan serat kasar lebih rendah dibanding dengan legum yang lain, tetapi imbangan Ca dan P sangat besar (5:1). Imbangan Ca dan P dalam ransum sangat penting dibandingkan jumlahnya, karena kedua mineral tersebut akan sangat mempengaruhi. Imbangan Ca dan P pada ransum non ruminansia adalah antara 1 : 1 hingga 2 : 1, sedangkan ternak ruminansia dapat lebih toleran dengan imbangan yang lebih tinggi. Keberadaan Ca yang tinggi dapat menimbulkan gangguan, yaitu dapat mengakibatkan defisiensi pada beberapa mineral seperti Mg, Fe, I, Mn, dan Cu (Tillman et al, 1989). Angsana memiliki imbangan Ca dan P yang lebih baik (3:1), akan tetapi kandungan serat kasar dari angsana tinggi yaitu 25,35% BK. Serat kasar dapat mempengaruhi kecernaan pakan. Semakin tinggi kandungan serat kasar, kecernaan pakan akan semakin menurun.

Produksi Gas

Gas-gas yang terbentuk dalam rumen merupakan hasil fermentasi mikroba rumen. Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen yaitu menghidrolisa karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut menjadi asam lemak terbang (VFA) serta gas metan dan CO2 (Astuti, 2001). Hasil pengamatan terhadap laju dan produksi gas dari beberapa jenis legum pohon yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Produksi dan Laju Produksi Gas Beberapa Jenis Legum Pohon

Parameter Legum

Angsana Gamal Kaliandra Lamtoro Turi Produksi Gas (ml) 3 jam 3,56 5,81 3,54 4,23 3,87 6 jam 7,53 10,09 5,42 6,78 9,24 12 jam 13,72 16,43 8,52 10,99 16,56 24 jam 21,51 23,57 12,92 16,75 23,69 48 jam 28,65 28,48 18,05 22,53 27,65 Model Kinetik A 0,11 1,59 1,38 1,43 0,00 B 35,69 28,61 26,35 25,52 28,63 A+B 35,79 30,20 27,73 26,94 28,63 C 0,05c 0,06b 0,04c 0,04c 0,09a Ket : huruf yang berbeda pada nilai rataan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) A = Produksi gas dari fraksi terlarut (ml)

B = Produksi gas fermentasi (ml) A+B = Potensial produksi gas (ml) C = Laju produksi gas (%h-1)

Produksi gas pada waktu inkubasi 48 jam berkisar antara 18,05 sampai 28,65 ml. Produksi gas tertinggi adalah angsana diikuti Gamal, Turi, Lamtoro dan yang terendah adalah Kaliandra. Meskipun tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa legum angsana memiliki fermentabilitas lebih tinggi dibandingkan legum lainnya. Adanya gas menunjukkan aktifitas mikroba dalam rumen. Semakin tinggi gas yang dihasilkan berarti fermentabilitas legum tersebut cukup tinggi.

Pencernaan fermentatif merupakan pencernaan yang dilakukan oleh mikroba rumen dan di dalamnya terjadi proses katabolisme lebih lanjut dari monomer-monomer hasil pencernaan hidrolitik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencernaan fermentatif adalah jenis makanan, pH rumen, populasi mikroba dan kondisi

21 lingkungan. Pencernaan fermentatif dalam rumen akan menghasilkan produk berupa amonia, VFA, CH4, H2 dan CO2.

Model kinetik menunjukkan bahwa jenis legum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi gas baik dari fraksi terlarut (A) maupun yang tidak terlarut (B). Produksi gas terlarut merupakan jumlah gas yang diproduksi tanpa adanya fermentasi (gas spontan), sedangkan produksi gas tidak terlarut merupakan produksi gas yang dihasilkan dengan adanya fermentasi terlebih dahulu. Legum Turi memiliki nilai A terendah yaitu sebesar 0,00 ml yang menunjukkan bahwa mikroba memerlukan waktu lebih lama untuk dapat mencerna turi.

Persentase gas yang dihasilkan dalam tiap jam diartikan sebagai laju produksi gas. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa setiap legum memiliki laju produksi gas yang berbeda (P<0.05). Legum Turi dan Gamal memiliki laju produksi gas lebih cepat dibandingkan dengan legum Angsana, Lamtoro dan Kaliandra. Namun demikian potensial produksi gas (A+B) secara keseluruhan dari kelima jenis legum tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan karena pada legum Turi dan Gamal, pada awal inkubasi pertambahan produksi gas komulatifnya tinggi, tetapi menurun setelah 24 jam dan memperlihatkan pertambahan produksi gas yang lebih kecil. Sehingga setelah 48 jam produksi gas total tidak berbeda nyata (hampir sama) dengan legum lain yang memiliki laju produksi lebih lambat tetapi pertambahan produksinya terjadi secara konstan. Grafik laju produksi gas seperti terlihat pada Gambar 6.

0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 W a k tu In k u b a s i (J a m ) P ro du ks i G as ( m l) A ng s a na Gama l Kalia nd ra La mtoro Tu ri

Rendahnya laju dan produksi gas dari Kaliandra dan Lamtoro disebabkan karena kandungan antinutrisi berupa tanin dan mimosin dari legum tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Keir et al. (1997) dalam penelitiannya bahwa mimosin dalam lamtoro mengurangi fermentabilitas pakan oleh mikroba dalam rumen. Sehingga pertambahan produksi gas terjadi secara lambat dan menghasilkan potensial produksi yang rendah dan hal ini juga terjadi pada pakan yang mengandung tanin. Pada inkubasi 48 jam, produksi gas dari lamtoro adalah 22,2 ml. Sedangkan gamal menghasilkan gas 28,2 ml. Hasil ini berbeda dengan penelitian dari Keir et al. (1997), yaitu dalam waktu inkubasi 48 jam lamtoro hanya menghasilkan gas sebesar 15,7 ml. Sedangkan produksi gas gamal mencapai 29,7 ml. Perbedaan ini disebabkan oleh susunan kimia dari legum tersebut berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Pedraza (1998) menunjukkan bahwa pada inkubasi selama 24 jam, Gliricidia sepium menghasilkan produksi gas total sebesar 37,30 ml dengan laju produksi gas 0,0732%h-1. Akan tetapi, pertambahan produksi gas komulatifnya juga memperlihatkan penurunan setelah inkubasi 24 jam. Lebih lanjut juga dikatakan bahwa produksi gas berhubungan dengan ketersediaan atau kekurangan bahan organik untuk mikroba rumen, karena produksi gas merupakan hasil dari fermentasi pakan oleh mikroba rumen.

Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum

Penelitian in vivo dengan menggunanakan ternak domba lokal jantan. Penambahan legum pohon sebanyak 20% pada rumput lapang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan minertal khususnya Ca dan P. Komposisi nutrisi dan ransum tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.

Konsumsi merupakan jumlah makanan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al, 1989). Data konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 7.

23 Tabel 7. Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik

Kosumsi (g/ekor/hari) Ransum

Bahan Kering Bahan Organik R. Lapang (RL) 276,1b + 106 190,4b + 91,6 RL+20% Angsana 276,1a + 29,1 242,0a + 23,9 RL+20% Gamal 213,2b + 72,4 184,7b + 63,6 RL+20%Kaliandra 123,0c + 58,7 107,7c + 51,5 RL+20%Lamtoro 358,4a + 62,5 313,7a + 54,7 RL+20%Turi 398,5a + 19,9 347,4a + 17,3 Ket : huruf yang berbeda pada nilai rataan kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,05)

Konsumsi bahan kering ransum selama penelitian berkisar 123,0 sampai 398,5 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi bahan organik ransum berkisar antara 107,7 sampai 347,4 g/ekor/hari. Jumlah ini lebih rendah dari kisaran persentase konsumsi bahan kering dari bobot badan menurut Kearl (1982), yaitu 410 g sampai 545 g atau 2,5-4,5% dari bobot badan. Berdasarkan analisis sidik ragam, penggunaan legum pohon sebanyak 20% dalam ransum domba berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan organik (P<0,05), tetapi berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering (P>0.05). Penambahan Angsana, Gamal dan Turi sebanyak 20% nyata dapat meningkatkan konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum dibanding dengan rumput lapang.

Konsumsi bahan kering dan bahan organik yang diberi penambahan 20% kaliandra lebih rendah dibandingkan dengan rumput lapang. Hal ini mungkin disebabkan kandungan anti nutrisi dari kaliandra yang berupa tanin dapat mengganggu selera ternak, sehingga dapat menurunkan konsumsinya (Tangendjaja et al., 1992). Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa, tekstur dan suhu. • rskov (1988) menyatakan bahwa pengolahan fisik dan kimiawi dapat meningkatkan konsumsi pakan hijauan dengan kualitas rendah. Perlakuan mekanik, memotong, menggiling, menbentuk pelet akan dapat meningkatkan konsumsi dan laju aliran makanan ke dalam usus.

Selain tingkat palatabilitasnya, konsumsi juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dan kondisi fisiologis ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa makanan yang berkualitas baik tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan makanan dengan kualitas rendah.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan adalah ketersediaan zat makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan (Parakkasi, 1999). Tingkat kecernaan zat-zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut. Semakin tinggi kecernaan bahan kering pakan, maka semakin tinggi zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh ternak. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan (%) Ransum KCBK KCBO R. Lapang (RL) 44,18 + 7,5 45,24 + 7,4 RL+20% Angsana 43,94 + 2,2 38,36 + 10,1 RL+20% Gamal 53,75 + 8,8 34,41 + 14,9 RL+20%Kaliandra 48,72 + 7,5 56,63 + 17,5 RL+20%Lamtoro 40,12 + 5,7 41,63 + 5,9 RL+20%Turi 45,28 + 16,5 45,93 + 16,8

Analisis sidik ragam baik kecernaan bahan kering maupun bahan oraganik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara Rumput Lapang dengan penambahan legum pohon (P>0.05). Kecernaan bahan kering yang diberi 20% Lamtoro lebih rendah dibandingkan dengan Rumput Lapang, hal ini sesuai dengan Rahmawati (2001) yang mengatakan bahwa penggunaan Lamtoro 10% dalam ransum dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan akan semakin menurun dengan meningkatnya penggunaan lamtoro dalam ransum. Rendahnya kecernaan tersebut disebabkan tingginya zat anti nutrisi dari lamtoro, sehingga bahan kering yang dikandung oleh lamtoro tidak dapat didegradasi di rumen maupun pasca rumen. Menurut Skerman (1977), kandungan zat anti nutrisi yang terdapat dalam Lamtoro berupa tannin (10.15%) dan mimosin (3-5%) dari bahan kering. Keberadaan antinutrisi tersebut dapat menghambat proses fermentasi oleh mikroba. Karena tannin dalam tanaman dapat membentuk ikatan yang kuat dengan protein sehingga tidak dapat dicerna oleh mikroba dalam rumen.

Rataan kecernaan bahan organik dari perlakuan berkisar antara 34,41% sampai 56,63%. Kecernaan terendah terjadi pada domba yang diberi tambahan

25 gamal, sedangkan tertinggi pada domba yang diberi tambahan kaliandra. Analisis sidik ragam dari kecernaan bahan organik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara Rumput Lapang dengan beberapa jenis legum pohon (P>0.05). Hal ini disebabkan kandungan bahan organik dari pakan hampir sama.

Dokumen terkait