• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Fermentabilitas Dan Kecernaan Beberapa Legum Pohon Dengan Penyerapan Mineral Ca Dan P Pada Domba Lokal Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Fermentabilitas Dan Kecernaan Beberapa Legum Pohon Dengan Penyerapan Mineral Ca Dan P Pada Domba Lokal Jantan"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN BEBERAPA LEGUM POHON DENGAN PENYERAPAN MINERAL Ca DAN P PADA

DOMBA LOKAL JANTAN

OLEH

NUNIK PUJI HARYANTI D24101065

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

PENDAHULUAN Latar belakang

Hijauan merupakan bahan makanan utama bagi ruminansia seperti domba baik yang diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk hijauan kering. Pada pertanian lahan kering sumber air bergantung pada curah hujan, sehingga pada musim kemarau sering terjadi defisiensi nutrisi dan mineral yang disebabkan rendahnya produksi dan kualitas padang penggembalaan alam. Hal ini akan menyebabkan penurunan produktifitas ternak. Selain kandungan nutrisi yang rendah, keberadaan rumput juga berfluktuatif tergantung pada musim, yaitu terjadi surplus pada musim penghujan dan akan terjadi kekurangan pada saat musim kemarau. Untuk menanggulangi defisiensi pakan pada ternak, perlu dicari alternatif pakan lain yang cukup tersedia dan tidak bersaing dengan manusia.

Leguminosa pohon merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada lahan yang miskin unsur hara dan tahan kekeringan sampai beberapa bulan. Sehingga ketersediaannya tidak tergantung oleh musim. Karakteristik yang khas dari leguminosa adalah kandungan protein tinggi dan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput. Selain itu legum pohon memiliki kandungan mineral makro yang lebih tinggi dari rumput lapang, sehingga leguminosa dapat digunakan sebagai suplementasi hijauan pakan. Adanya antinutrisi pada leguminosa dalam batas tertentu dianggap menguntungkan karena dapat menyediakan protein by pass yang mudah dicerna oleh usus, Selain kandungan protein, legum pohon juga memiliki kandungan mineral makro yang cukup tinggi seperti Ca (kalsium) dan P (Phospor). Seperti yang telah diungkapkan oleh Underwood dan Suttle (1999), bahwa kandungan mineral legum cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan rumput. Selain untuk memenuhi kebutuhan ternak itu sendiri, mineral juga dibutuhkan oleh mikroba di dalam rumen.

(3)

3 Kandungan mineral makro dalam hijauan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya spesies, umur tanaman, pengelolaan, iklim dan tipe tanah (McDowell dan G. valle, 2000). Pada daerah yang masih mengandalkan sistem ekstensif, kandungan mineral hijauan tergantung pada ketersediaan air. Pada musim hujan kualitas hijauan relatif baik kandungan mineralnya, sedangkan pada musim kering akan terjadi sebaliknya.

Perumusan Masalah

Domba memerlukan hijauan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk berproduksi. Pada musim kemarau, produksi hijauan menurun dengan kualitas yang rendah, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi ternak. Untuk mengatasi defisiensi tersebut, perlu dilakukan suplementasi rumput lapang dengan legum pohon. Pada lahan yang krisis unsur hara, legum pohon dapt tumbuh dengan baik. Selain itu, legum pohon memiliki kandungan protein kasar dan mineral makro yang lebi tinggi dibandingkan degan rumput lapang. Sehingga suplementasi rumput lapang diharapkan dapat memnuhi kebutuhan nutrisi ternak

Tujuan penelitian

(4)

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pencernaan Domba

Ternak ruminansia berbeda dengan ternak non ruminansia karena memiliki lambung sejati (abomasum) dan lambung muka yang membesar yang terbagi dalam tiga ruangan yaitu rumen, retikulum dan omasum (Tillman et al, 1989). Ternak ruminansia memamah biak kembali dan mengunyah pakannya serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat tinggi (Arora, 1989).

Rumen merupakan suatu organ khusus pada ternak ruminansia tempat bangsungnya penernaan selulosa dan polisakarida tanaman melalui aktivitas fermentasi mikroba tertentu (Brock dan Madigan, 1991). Hungate (1966) menyatakan bahwa ada tiga macam ikroba yang ada dalam rumen yaitu protozoa, kapang dan bakteri. Adanya mikroba yang berperan dalam pemecahan pakan menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan serat yang berkualitas endah, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk nutrisi tidak sepenuhnya tergantung pad kualitas protein yang diberikan (Sutardi, 1980).

Fermentabilitas Pakan

Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam alat pencernaan, proses pencernaan dibagi menjadi tiga jenis yaitu; 1) pencernaan mekanik yang terjadi disalam mulut, 2) pencernaan hidrolik dan 3) pencernaan fermentatif yang terjadi didalam rumen (Sutardi, 1980). Percernaan fermentatif merupakan perubahan senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dengan molekul zat makanan asalnya. Dengan kata lain, pencernaan fermentatif merupakan pencernaan lebih lanjut dimana zat monomer-monomer dari pencernaan hidrolik segera dikataboliskan lebih lanjut, misalnya protein difermentasi menjadi amonia, karbohidrat menjadi VFA (Church, 1974).

(5)

5 kemudian menjadi urea melalui daur ulang saliva dan masuk kembali ke rumen, sebagian lagi dikeluarkan melalui urin (McDonald, 1988).

Asam asetat merupakan volatile fatty acids (VFA) utama yang dihasilkan oleh pencernaan fermentati dalam rumen dan merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Sutardi, 1980). Sebagian besar ketiga komponen VFA diserap langsung melalui dinding rumen; hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian butirat dapat diserap atau dimetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi, 1999).

Adanya organ pencernaan fermentatif bagi ruminansia memiliki beberapa keuntungan (Sutardi, 1980), yaitu: 1) dapat mencerna bahan makanan dengan serat kasar yang tinggi, sehingga tidak bersaing dengan manusia, 2) mampu mengubah sembarang N termasuk NPN seperti urea menjadi protein bermutu tinggi, 3) kebutuhan akan asam amino untuk nutrisi protein tidak bergantung pada kualitas protein makanan, 4) produk fermentasi dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk mudah dicerna dan 5) kapasitas rumen yang besar mampu menampung makanan dalam jumlah yang banyak sehingga proses makan berlangsung cepat.

Mikroba sangat berperan penting dalam proses fermentasi. Sebagian besar (70-80%) suplai energi pada ternak ruminansia berasal dari proses fermentasi didalam rumen, sehingga kebutuhan mikroba harus benar-benar diperhatikan. Kelarutan mineral baik langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi produk fermentasi

Leguminosa Pohon

Leguminosa pohon memiliki beberapa karakteristik yang khas antara lain : kandungan proteinnya yang tinggi (12,5 – 20,7 %) dengan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput, kandungan mineral (khususnya kalsium dan posfor) dan vitamin yang tinggi. Selain itu, leguminosa pohon mampu mensuplai protein fermentable dan by pass (dengan adanya tannin). Keuntungan lain dari leguminosa pohon adalah dapat meningkatkan kesuburan tanah, melidungi tanah dari erosi dan merupakan penghasil kayu yang bermutu (Allen dan Allen, 1981)

(6)

legum pakan lebih tinggi dari rumput (Serra et al,. 1995). Hal serupa juga dilaporkan Sutardi et. al, (1994) yang menganalisa kandungan abu, Ca dan P beberapa legum pohon (Tabel 1).

Tabel 1. Komposisi Abu, Ca dan P Beberapa Legum Pohon (% BK)

Jenis legum Abu Ca P

Mineral Ca dalam hijauan umumnya terikat dalam kalsium-oksalat (Ward dan Herber, 1982) bahkan dalam dindig sel (McManus et al., 1979), sehingga sulit untuk dicerna. Oleh karena itu ketersediaan mineral tidak selalu dikaitkan dengan kuantitas mineral. Untuk ternak ruminansia, mineral tidak hanya dibutuhkan bagi ternak tetapi juga diperlukan oleh mikroba didalam rumen yang digunakan untuk menunjang proses fermentasi yang optimal (Duran dan Kawashima, 1980).

Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

(7)

7

(a) (b)

Gambar 1. Daun Kaliandra, Bunga (a) dan Polongnya (b) Lamtoro (Leucaena leococephala)

Tanaman ini hanya tumbuh pada daerah tropik dan sub-tropik, tahan musim kering sampai 8-10 bulan (Allen dan Allen, 1981). Lamtoro merupakan legum pohon yang memiliki tipe daun majemuk ganda. Tanaman ini banyak digunakan sebagai hijauan makanan ternak, peneduh dan tanaman hias (Skerman, 1977). Lamtoro memiliki bunga berwarna putih seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2. Bentuk Daun, Bunga dan Polong Lamtoro

(8)

Gamal (Glirisidia sepium)

Gamal (Glirisidia sepium) merupakan legum pohon dengan ketinggian mencapai 5-15 m, tipe daunnya majemuk sederhana dan memiliki bunga berbentuk kupu-kupu berwarna putih dan merah jambu. Tandan perbungaan panjangnya 2-12 cm, muncul dibawah ketiak daun, terutama pada daun-daun yang telah gugur. Kelopak daun berwarna hijau kemerahan, sedangkan daun mahkota berwarna merah jambu keputihan atau ungu (Roemantyo, 1993).

Sebagai pakan, daun gamal mengandung 3-5% nitrogen, 13-30% serat kasar, 6-% abu, sedikit karoten dengan kecernaan berkisar antara 48-77% (Roemantyo, 1993) serta NDF 45%, ADF 34% (Allen dan Allen, 1981). Bentuk daun dan biji pada Gambar 3. Zat yang kurang menguntungkan dalam tanaman ini adalah adanya faktor anti nutrisi dengan kandungan flavanol 1-3,5% dan 3-5% fenol total menurut bahan kering. Kandungan tersebut dapat mengganggu selera ternak (Roemantyo, 1993). Untuk beberapa ternak seperti kuda dan tikus, tanaman ini merupakan racun tapi tidak untuk sapi dan kambing (Pittier, 1944).

(a) (b) Gambar 3. Daun dan Biji Polong Gamal

Turi (Sesbania glandiflora)

(9)

9 kasar 30.13% dan serat kasar 5.1%. (Kareem and Sundarajaj, 1967). Pemberian pada sapi umumnya 1.8 Kg segar/hari. Batasan penggunaanya dikarenakan adanya kandungan antinutrisi berupa conavanine dan saponin.

(a) (b) (c)

Gambar 4. Bentuk Daun,Bunga (a dan b) Biji Polong Turi(c) Angsana (Pterocarpus indicus)

Angsana merupakan tanaman hutan yang dapat tumbuh dengan cepat degan ketinggian 35-40m (Allen dan Allen, 1981). Penggunaan dalam pakan ternak dibatasi oleh adanya tannin yang merupakan senyawa kimia yang bersifat racun. Dalam jumlah kecil, tannin dipandang menguntungkan bagi ternak ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein yang berlebihan oleh mikroorganisme rumen, akan tetapi, kandungan tannin yang tinggi dapat mengganggu metabolisme protein dan karbohidrat sehingga dapat menurunkan penampilan ternak (Leng, 1997). Bantuk daun, bunga dan buah terlihat pada Gambar 5.

(10)

Gambar 5. Bentuk Daun dan Bunga Angsana Kandungan Antinutrisi Leguminosa

Anti nutrisi pada leguminosa sering dikatakan sebagai faktor pembatas dalam penggunannya sebagai pakan, karena sebagian besar dari zat tersebut bersifat racun bagi ternak. Secara alami, anti nutrisi tersebut terdapat dalam tanaman sebagai proteksi dari serangan hama. Tannin merupakan salah satu anti nutrisi yang sering terdapat dalam leguminosa (Leng, 1997), selain itu juga ada mimosin, asam sianida (pada lamtoro), saponin (turi), dan flavanol (gamal).

Tannin: merupakan senyawa polifenol yang terdapat alami dengan sifat utamanya

dapat berikatan dengan protein. Menurut Prince et al. (1980), tannin memiliki beberapa sifat yang dapat bersifat sebagai anti nutrisi, yaitu: 1) rasa sepat dari tannin dapat menurunkan konsumsi ternak, 2) tannin dapat membentuk ikatan kompleks engan protein dan zat makanan lainnya, dengan protein endogen dan dengan enzim-enzim pencernaan, 3) penyerapan tannin dan hasil hidrolisanya dapat meracuni ternak dan 4) mengganggu fungsi saluran pencernaan karena tanin dapat melukai saluran pencernaan.

(11)

HUBUNGAN FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN BEBERAPA LEGUM POHON DENGAN PENYERAPAN MINERAL Ca DAN P PADA

DOMBA LOKAL JANTAN

OLEH

NUNIK PUJI HARYANTI D24101065

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

PENDAHULUAN Latar belakang

Hijauan merupakan bahan makanan utama bagi ruminansia seperti domba baik yang diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk hijauan kering. Pada pertanian lahan kering sumber air bergantung pada curah hujan, sehingga pada musim kemarau sering terjadi defisiensi nutrisi dan mineral yang disebabkan rendahnya produksi dan kualitas padang penggembalaan alam. Hal ini akan menyebabkan penurunan produktifitas ternak. Selain kandungan nutrisi yang rendah, keberadaan rumput juga berfluktuatif tergantung pada musim, yaitu terjadi surplus pada musim penghujan dan akan terjadi kekurangan pada saat musim kemarau. Untuk menanggulangi defisiensi pakan pada ternak, perlu dicari alternatif pakan lain yang cukup tersedia dan tidak bersaing dengan manusia.

Leguminosa pohon merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada lahan yang miskin unsur hara dan tahan kekeringan sampai beberapa bulan. Sehingga ketersediaannya tidak tergantung oleh musim. Karakteristik yang khas dari leguminosa adalah kandungan protein tinggi dan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput. Selain itu legum pohon memiliki kandungan mineral makro yang lebih tinggi dari rumput lapang, sehingga leguminosa dapat digunakan sebagai suplementasi hijauan pakan. Adanya antinutrisi pada leguminosa dalam batas tertentu dianggap menguntungkan karena dapat menyediakan protein by pass yang mudah dicerna oleh usus, Selain kandungan protein, legum pohon juga memiliki kandungan mineral makro yang cukup tinggi seperti Ca (kalsium) dan P (Phospor). Seperti yang telah diungkapkan oleh Underwood dan Suttle (1999), bahwa kandungan mineral legum cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan rumput. Selain untuk memenuhi kebutuhan ternak itu sendiri, mineral juga dibutuhkan oleh mikroba di dalam rumen.

(13)

3 Kandungan mineral makro dalam hijauan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya spesies, umur tanaman, pengelolaan, iklim dan tipe tanah (McDowell dan G. valle, 2000). Pada daerah yang masih mengandalkan sistem ekstensif, kandungan mineral hijauan tergantung pada ketersediaan air. Pada musim hujan kualitas hijauan relatif baik kandungan mineralnya, sedangkan pada musim kering akan terjadi sebaliknya.

Perumusan Masalah

Domba memerlukan hijauan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk berproduksi. Pada musim kemarau, produksi hijauan menurun dengan kualitas yang rendah, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi ternak. Untuk mengatasi defisiensi tersebut, perlu dilakukan suplementasi rumput lapang dengan legum pohon. Pada lahan yang krisis unsur hara, legum pohon dapt tumbuh dengan baik. Selain itu, legum pohon memiliki kandungan protein kasar dan mineral makro yang lebi tinggi dibandingkan degan rumput lapang. Sehingga suplementasi rumput lapang diharapkan dapat memnuhi kebutuhan nutrisi ternak

Tujuan penelitian

(14)

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pencernaan Domba

Ternak ruminansia berbeda dengan ternak non ruminansia karena memiliki lambung sejati (abomasum) dan lambung muka yang membesar yang terbagi dalam tiga ruangan yaitu rumen, retikulum dan omasum (Tillman et al, 1989). Ternak ruminansia memamah biak kembali dan mengunyah pakannya serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat tinggi (Arora, 1989).

Rumen merupakan suatu organ khusus pada ternak ruminansia tempat bangsungnya penernaan selulosa dan polisakarida tanaman melalui aktivitas fermentasi mikroba tertentu (Brock dan Madigan, 1991). Hungate (1966) menyatakan bahwa ada tiga macam ikroba yang ada dalam rumen yaitu protozoa, kapang dan bakteri. Adanya mikroba yang berperan dalam pemecahan pakan menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan serat yang berkualitas endah, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk nutrisi tidak sepenuhnya tergantung pad kualitas protein yang diberikan (Sutardi, 1980).

Fermentabilitas Pakan

Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam alat pencernaan, proses pencernaan dibagi menjadi tiga jenis yaitu; 1) pencernaan mekanik yang terjadi disalam mulut, 2) pencernaan hidrolik dan 3) pencernaan fermentatif yang terjadi didalam rumen (Sutardi, 1980). Percernaan fermentatif merupakan perubahan senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dengan molekul zat makanan asalnya. Dengan kata lain, pencernaan fermentatif merupakan pencernaan lebih lanjut dimana zat monomer-monomer dari pencernaan hidrolik segera dikataboliskan lebih lanjut, misalnya protein difermentasi menjadi amonia, karbohidrat menjadi VFA (Church, 1974).

(15)

5 kemudian menjadi urea melalui daur ulang saliva dan masuk kembali ke rumen, sebagian lagi dikeluarkan melalui urin (McDonald, 1988).

Asam asetat merupakan volatile fatty acids (VFA) utama yang dihasilkan oleh pencernaan fermentati dalam rumen dan merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Sutardi, 1980). Sebagian besar ketiga komponen VFA diserap langsung melalui dinding rumen; hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian butirat dapat diserap atau dimetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi, 1999).

Adanya organ pencernaan fermentatif bagi ruminansia memiliki beberapa keuntungan (Sutardi, 1980), yaitu: 1) dapat mencerna bahan makanan dengan serat kasar yang tinggi, sehingga tidak bersaing dengan manusia, 2) mampu mengubah sembarang N termasuk NPN seperti urea menjadi protein bermutu tinggi, 3) kebutuhan akan asam amino untuk nutrisi protein tidak bergantung pada kualitas protein makanan, 4) produk fermentasi dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk mudah dicerna dan 5) kapasitas rumen yang besar mampu menampung makanan dalam jumlah yang banyak sehingga proses makan berlangsung cepat.

Mikroba sangat berperan penting dalam proses fermentasi. Sebagian besar (70-80%) suplai energi pada ternak ruminansia berasal dari proses fermentasi didalam rumen, sehingga kebutuhan mikroba harus benar-benar diperhatikan. Kelarutan mineral baik langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi produk fermentasi

Leguminosa Pohon

Leguminosa pohon memiliki beberapa karakteristik yang khas antara lain : kandungan proteinnya yang tinggi (12,5 – 20,7 %) dengan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput, kandungan mineral (khususnya kalsium dan posfor) dan vitamin yang tinggi. Selain itu, leguminosa pohon mampu mensuplai protein fermentable dan by pass (dengan adanya tannin). Keuntungan lain dari leguminosa pohon adalah dapat meningkatkan kesuburan tanah, melidungi tanah dari erosi dan merupakan penghasil kayu yang bermutu (Allen dan Allen, 1981)

(16)

legum pakan lebih tinggi dari rumput (Serra et al,. 1995). Hal serupa juga dilaporkan Sutardi et. al, (1994) yang menganalisa kandungan abu, Ca dan P beberapa legum pohon (Tabel 1).

Tabel 1. Komposisi Abu, Ca dan P Beberapa Legum Pohon (% BK)

Jenis legum Abu Ca P

Mineral Ca dalam hijauan umumnya terikat dalam kalsium-oksalat (Ward dan Herber, 1982) bahkan dalam dindig sel (McManus et al., 1979), sehingga sulit untuk dicerna. Oleh karena itu ketersediaan mineral tidak selalu dikaitkan dengan kuantitas mineral. Untuk ternak ruminansia, mineral tidak hanya dibutuhkan bagi ternak tetapi juga diperlukan oleh mikroba didalam rumen yang digunakan untuk menunjang proses fermentasi yang optimal (Duran dan Kawashima, 1980).

Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

(17)

7

(a) (b)

Gambar 1. Daun Kaliandra, Bunga (a) dan Polongnya (b) Lamtoro (Leucaena leococephala)

Tanaman ini hanya tumbuh pada daerah tropik dan sub-tropik, tahan musim kering sampai 8-10 bulan (Allen dan Allen, 1981). Lamtoro merupakan legum pohon yang memiliki tipe daun majemuk ganda. Tanaman ini banyak digunakan sebagai hijauan makanan ternak, peneduh dan tanaman hias (Skerman, 1977). Lamtoro memiliki bunga berwarna putih seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2. Bentuk Daun, Bunga dan Polong Lamtoro

(18)

Gamal (Glirisidia sepium)

Gamal (Glirisidia sepium) merupakan legum pohon dengan ketinggian mencapai 5-15 m, tipe daunnya majemuk sederhana dan memiliki bunga berbentuk kupu-kupu berwarna putih dan merah jambu. Tandan perbungaan panjangnya 2-12 cm, muncul dibawah ketiak daun, terutama pada daun-daun yang telah gugur. Kelopak daun berwarna hijau kemerahan, sedangkan daun mahkota berwarna merah jambu keputihan atau ungu (Roemantyo, 1993).

Sebagai pakan, daun gamal mengandung 3-5% nitrogen, 13-30% serat kasar, 6-% abu, sedikit karoten dengan kecernaan berkisar antara 48-77% (Roemantyo, 1993) serta NDF 45%, ADF 34% (Allen dan Allen, 1981). Bentuk daun dan biji pada Gambar 3. Zat yang kurang menguntungkan dalam tanaman ini adalah adanya faktor anti nutrisi dengan kandungan flavanol 1-3,5% dan 3-5% fenol total menurut bahan kering. Kandungan tersebut dapat mengganggu selera ternak (Roemantyo, 1993). Untuk beberapa ternak seperti kuda dan tikus, tanaman ini merupakan racun tapi tidak untuk sapi dan kambing (Pittier, 1944).

(a) (b) Gambar 3. Daun dan Biji Polong Gamal

Turi (Sesbania glandiflora)

(19)

9 kasar 30.13% dan serat kasar 5.1%. (Kareem and Sundarajaj, 1967). Pemberian pada sapi umumnya 1.8 Kg segar/hari. Batasan penggunaanya dikarenakan adanya kandungan antinutrisi berupa conavanine dan saponin.

(a) (b) (c)

Gambar 4. Bentuk Daun,Bunga (a dan b) Biji Polong Turi(c) Angsana (Pterocarpus indicus)

Angsana merupakan tanaman hutan yang dapat tumbuh dengan cepat degan ketinggian 35-40m (Allen dan Allen, 1981). Penggunaan dalam pakan ternak dibatasi oleh adanya tannin yang merupakan senyawa kimia yang bersifat racun. Dalam jumlah kecil, tannin dipandang menguntungkan bagi ternak ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein yang berlebihan oleh mikroorganisme rumen, akan tetapi, kandungan tannin yang tinggi dapat mengganggu metabolisme protein dan karbohidrat sehingga dapat menurunkan penampilan ternak (Leng, 1997). Bantuk daun, bunga dan buah terlihat pada Gambar 5.

(20)

Gambar 5. Bentuk Daun dan Bunga Angsana Kandungan Antinutrisi Leguminosa

Anti nutrisi pada leguminosa sering dikatakan sebagai faktor pembatas dalam penggunannya sebagai pakan, karena sebagian besar dari zat tersebut bersifat racun bagi ternak. Secara alami, anti nutrisi tersebut terdapat dalam tanaman sebagai proteksi dari serangan hama. Tannin merupakan salah satu anti nutrisi yang sering terdapat dalam leguminosa (Leng, 1997), selain itu juga ada mimosin, asam sianida (pada lamtoro), saponin (turi), dan flavanol (gamal).

Tannin: merupakan senyawa polifenol yang terdapat alami dengan sifat utamanya

dapat berikatan dengan protein. Menurut Prince et al. (1980), tannin memiliki beberapa sifat yang dapat bersifat sebagai anti nutrisi, yaitu: 1) rasa sepat dari tannin dapat menurunkan konsumsi ternak, 2) tannin dapat membentuk ikatan kompleks engan protein dan zat makanan lainnya, dengan protein endogen dan dengan enzim-enzim pencernaan, 3) penyerapan tannin dan hasil hidrolisanya dapat meracuni ternak dan 4) mengganggu fungsi saluran pencernaan karena tanin dapat melukai saluran pencernaan.

(21)

11 Menurut Mc Leod (1974), tannin digolongkan menjadi dua golongan yaitu ; tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan golongan taninyang udah dihidrolisis menjadi gula sederhana dan asam fenolat. Sedangkan tanin terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena kondensasi flavanol, dikenal sebagai proathocyanidins, tidak mudah dihidrolisis dan terdapat dalam bentuk yang sangat kompleks (Cheeke dan Shull, 1985)

Mimosin: merupakan asam amino bebas yang sedikit larut dalam air. Jones (1979)

menyatakan bahwa kandungan mimosin dipengaruhi oleh varietas tanaman lamtoro dan bagian-bagian tanaman. Ternak ruminansia lebih tahan terhadap pengaruh mimosin dianding ternak berlabung tunggal. Karena pada rumen terdapat bakeri yang mampu mengubah mimosin menjadi 3-hidroksi-4-1 (H)-piridon atau DHP yang kurang beracun.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa untuk menurunkan daya racun mimosin dari lamtoro adalah dengan memanaskan, menghancurkan jaringan daun lamtoro, menambahkan garam besi sulfat dan pencucian. Matsumoto et al. (1951) menyatakan bahwa pemanasan daun lamtoro pada suhu 90oC selama 20 jam mampu menurunkan pengaruh racun mimosin yang dibuktikan dengan memberikan daun lamtoro yang telah dipanaskan pada tikus putih tidak menimbulkan gejala keracunan.

Kandungan Mineral Legum Pohon

Pada daerah tropis sering dikatakan bahwa faktor pembatas produksi ruminansia adalah adanya undernutrisi, antara lain defisiensi energi, protein dan nutrien lainnya. Ketidakseimbangan kadar mineral dapat memperlihatkan produksi yang tidak normal meskipun makanan cukup banyak. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan mineral adalah (1) jenis dan level produksi (2) level dan bentuk ikatan (3) bangsa ternak (4) proses adaptasi (5) tingkat konsumsi mineral (6) umur ternak (7) adanya hubungan dengan zat makanan lain (Parakkasi, 1999)

(22)

magnesium (Mg), pospor (P), kalium (K), sulfur (S), natrium (Na) dan klor (Cl). masing-masing mineral tesebut sering terjadi defisiensi kecuali klor (Cl).

Kandungan mineral pakan sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor diantaranya spesies, tipe tanah, iklim dan umur tanaman (Underwood, 1981). French (1955) dan Underwood (1981) mengatakan bahwa secara umum hijauan didaerah tropis mengandung sedikit mineral makro dibandingkan hijauan yang tumbuh pada daerah sedang (temperate). Didaerah Nusa Tenggara, kandungan mineral hijauan sangat bergantung pada ketersediaan air. Pada musim hujan kualitas hijauan relatif baik kandungan mineralnya, namun pada musim kering hal ini terjadi sebaliknya. Kondisi ini juga terjadi di pulau Jawa, bahwa kandungan mineral makro pada hijauan sangat bervariasi seperti yang dilaporkan Kawashima et al. (1989) pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Mineral Makro pada Hijauan di Beberapa Lokasi di Pulau Jawa (% BK)

Ketersediaan Mineral Makro dalam Hijauan

Secara umum spesies legum mengandung mineral makro lebih tinggi daripada rumput. Di daerah tropis kandungan mineral umumnya lebih rendah dibandingkan di daerah temperate. Kecukupan Ca pada ternak yang digembalakan umumnya dapat terpenuhi, khususnya untuk pastura yang mengandung legum (Bamualim, 2004), sehingga untuk meningkatkan kestabilan ketersediaan mineral makro perlu adanya penambahan legum pohon pada pastura. Pada bagian daun hijauan kandungan Ca dua kali lebih tinggi dari pada bagian batang.

(23)

13 Kecernaan Pakan dan Faktor yang Mempengaruhinya

Koefisien cerna suatu zat makanan didefinisikan sebagai selisih antara zat-zat makanan yang dikandung dalam suatu makanan yang dimakan dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi, 1984), sedangkan menurut McDonald et al. (1988) kecernaan suatu bahan makanan diartikan sebagai bagian yang tidak dieksresikan melalui feses dan diasumsikan bahwa seluruh bagian tersebut dapat diserap oleh tubuh. Dikatakan pula bahwa kecernaan bahan kering ransum dinyatakan sebagai suatu koefisien atau persentase dari total kadar bahan kering ransum yang dikonsumsi.

(24)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Lapang, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB yang dilaksanakan selama 5 bulan.

Materi Legum Pohon

Sebanyak 5 jenis legum pohon digunakan dalam penelitian ini. Legum pohon tersebut adalah Angsana (Pterocarpus indicus), Gamal (Gliricidia sepium), Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Lamtoro (Leucaena leucocephala) dan Turi (Sesbania glandiflora).

Bahan pakan yang berupa hijauan dipangkas dalam bentuk segar, kemudian dijemur dibawah sinar matahari sampai terjadi penyusutan kadar air semaksimum mungkin dan siap untuk digiling. Penggilingan bahan pakan dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak, Institut Pertanian Bogor. Bahan pakan yang sudah digiling dicampur secara manual sesuai dengan ransum perlakuan. Ransum yang digunakan merupakan campuran dari 80% rumput lapang dan 20% legum pohon. Kandungan nutrisi dari masing-masing perlakuan seperti terlihat pada Tabel 3

Tabel 6. Kandungan Nutrisi Ransum Perlakuan (% BK) Ket: a. Berdasarkan penghitungan dari persamaan regresi berganda untuk menduga TDN dari

analisis proksimat (NRC, 1985)

{%TDN = 37.937 - 1.018 SK - .886 LK + 0.173 Beta-N + 1.042 PK + 0.015 SK2 – 0.058 LK2 + 0.008 (SK) (Beta-N) + 0.119 (LK) (Beta-N) + 0.038 (LK) (PK) + 0.003 (LK2) (PK)}

b. Hasil analisis dengan menggunakan AAS

(25)

15 Prosedur

1. Fermentabilitas Beberapa Legum Pohon

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah jumlah produksi gas yang dihasilkan dari masing-masing legum. Metode yang digunakan berdasarkan prosedur Menke (Close dan Menke, 1986). Sebanyak 230 mg sampel legum yang telah dikeringkan dan digiling dimasukkan dimasukkan ke dalam syringe 100 ml, kemudian ditambahkan cairan rumen 30 ml dan diinkubasi dalam waterbath pada suhu 39oC. Volume gas yang timbul dari proses fermentasi dibaca secara langsung pada syring. Pengamatan produksi gas dilakukan pada waktu 3, 6, 12, 24 dan 48 jam. Model persamaan yang digunakan untuk menghitung laju dan potensial produksi gas berdasarkan pada model kinetik dari Orskov dan McDonald (1979), yaitu:

P = a + b (1 - e-ct) Keterangan:

P = produksi gas (ml)

a = produksi gas dari fraksi terlarut (ml) b = produksi gas fermentasi (ml) c = laju produksi gas (% h-1)

t = waktu inkubasi (3, 6, 12, 24 dan 48 jam) 2. Pengukuran Kecernaan BK dan BO Secara in vivo

Percobaan in vivo dilakukan untuk menguji konsumsi dan kecernaan berbagai jenis legum untuk meningkatkan kualitas rumput lapang. Percobaan ini menggunakan 18 ekor domba lokal jantan dengan bobot hidup 12 - 17 Kg. Domba tersebut yang dibagi dalam 3 kelompok berdasarkan bobot badan. Setiap kelompok terdiri dari 6 ekor dan ditempatkan pada kandang individu yang terbuat dari bambu. Ransum yang digunakan adalah:

(26)

PI = RL + 20% Angsana GS = RL+ 20% Gamal CC = RL + 20% Kaliandra LL = RL + 20% Lamtoro SG = RL + 20% Turi

Peubah yang diamati dalam penelitian in vivo meliputi : a. Konsumsi ternak

Konsumsi diartikan sebagai banyaknya pakan yang bisa dimakan oleh ternak selama 24 jam. Pengukuran jumlah konsumsi dilakukan dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan pada keesokan harinya.

b. Kecernaan Bahan Kering/Organik Ransum

Analisis kecernaan In Vivo diawali dengan proses pengumpulan feses selama 5 (lima) hari. Feses dari masing-masing domba dikumpulkan kemudian ditimbang dan dikeringkan. Semua feses yang sudah kering kemudian digiling dan dianalisis bahan kering dan bahan organik. Hasil analisis dari pakan dan feses diperlukan untuk menghitung nilai Kecernaan Zat Makanan pada domba.

Perhitungan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang diperoleh dengan persamaan-persamaan :

KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering KCBO = Koefisien Cerna Bahan Organik BK = Bahan Kering

BO = Bahan Organik 3. Penyerapan Mineral Makro (Ca dan P)

(27)

17 dan feses dilakukan dengan cara pengabuan basah (wet Ashing) menurut Reitz et al. (1960). Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam tabung erlenmeyer dan ditambahkan HNO3 5ml, lalu dibiarkan selama 1 jam sampai menjadi bening atau tidak ada buih. Labu Erlenmeyer dipanaskan pada hot plate selama ± 4 jam. Setelah dingin ditambahkan 0.4 ml H2SO4 pekat, labu Erlenmeyer dipanaskan kembali. Pada saat terjadi perubahan warna volume akan berkurang diteteskan larutan HClO4 dan HNO3 (perbandingan 2:1). Perubahan warna dimulai dari warna coklat menjadi kuning dan bening. Setelah bening, dipanaskan kembali selama 15 menit, lalu ditambahkan dengan 2 ml aquades dan 0.6 ml HCl pekat dan dipanaskan kembali hingga larut. Setelah didinginkan, ditambahkan dengan aquades hingga 100 ml. Pengukuran kadar Phospor dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer (UV Visible) dengan panjang gelombang 660 nm, sedangkan untuk anlisis Kalsium dibaca konsentrasinya pada Spektrofotometer serapan atom (AAS).

a. Pengenceran untuk analisa mineral Ca

Pengenceran dilakukan untuk menurunkan kadar mineral dalam sampel supaya tidak melebihi standar yang sudah ditetapkan. Langkah-langkah pengenceran adalah sebagai berikut: sebanyak 0.5 ml larutan sampel (sesuai dengan tinggi rendahnya kadar kalsium) yang sudah disiapkan dengan metode pengabuan basah dilarutkan dengan aquades sampai menjadi 5 ml pada tabung reaksi dengan menggunakan pipet volumetrik, kemudian ditambahkan larutan lantan sebanyak 0.05 ml yang berfungsi sebagai pengikat terhadap ion-ion pengganggu. Larutan sampel diaduk dengan menggunakan alat pengaduk vortex selama beberapa detik kemudian dimasukkan ke dalam sentrifusa pada kecepatan 2000 rpm selama 20 menit. Sampel siap untuk dianalisa jumlah kandungan mineral Ca dengan menggunakan mesin Atomic Absorption Spectrofoometric Flame Emission merk Shimidzu tipe AA-160. b. Pengenceran untuk analisa mineral P

Sebelum pengukuran phospor, terlebih dahulu dibuat larutan standar dengan konsentrasi 0, 2, 3, 4 dan 5 ppm. Larutan standar dibuat dengan beberapa tahap: Larutan A (NH4)6Mo7O24) 10% = Ammonium molibdat 10%

(28)

Larutan B dibuat dengan memasukkan 10 ml larutan A ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 60 ml aquades dan 5 gram FeSO4.7H2O. Larutan B dibuat menjadi 100 ml dengan menambahkan aquades. Larutan B digunakan dalam pembuatan larutan standar seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Larutan Standar Mineral Phorpor

Sampel yang telah diabukan diambil 0,5 (sesuai dengan tinggi rendahnya phospor dalam sampel), ditambahkan 2 ml larutan B dan aquades hingga menjadi 5 ml. Selanjutnya dikocok dengan menggunakan vortex agar dapat homogen. Sampel dan larutan standar siap untuk dianalisis kadar phospornya dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.

Analisis statistik

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian in vivo adalah Rancangan Acak kelompok (RAK) 6 x 3, yang terdiri dari 6 perlakuan dan 3 kelompok ternak berdasarkan bobot badan.

Adapun model matematis rancangan adalah sebagai berikut : Yij= µ + ôi +âj + åij

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke- j

µ = Nilai tengah populasi

ôi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i (Jenis Legum) âj = Pengaruh aditif dari kelompok ke- j (Bobot Badan)

åij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji kontras ortogonal menurut Steel dan Torrie (1991).

Konsentrasi ppm KH2PO4 (ml) Larutan B (ml) H2O

0 - 2,0 3,0

2 0,4 2,0 2,6

3 0,6 2,0 2,4

4 0,8 2,0 2,2

(29)

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrisi Legum Pohon

Sebagai pakan ternak, rumput lapang memiliki kandungan protein yang rendah yaitu 7,15% dan serat kasar yang tinggi yaitu 31,61%. Selain rendahnya kandungan protein, rumput lapang juga mengandung sedikit mineral yang dibutuhkan ternak untuk mengganti sel-sel dan jaringan yang rusak, sehingga dalam penggunaannya sebagai pakan ternak perlu suplementasi dengan legum untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya.

Kualitas hijauan ditentukan oleh komposisi kimia hijauan. Hasil analisa komposisi kimia pakan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Rumput Lapang dan Beberapa Legum Pohon (% BK) Ket: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan

(30)

Produksi Gas

Gas-gas yang terbentuk dalam rumen merupakan hasil fermentasi mikroba rumen. Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen yaitu menghidrolisa karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut menjadi asam lemak terbang (VFA) serta gas metan dan CO2 (Astuti, 2001). Hasil pengamatan terhadap laju dan produksi gas dari beberapa jenis legum pohon yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Produksi dan Laju Produksi Gas Beberapa Jenis Legum Pohon

Parameter Legum

Angsana Gamal Kaliandra Lamtoro Turi Produksi Gas (ml) Ket : huruf yang berbeda pada nilai rataan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) A = Produksi gas dari fraksi terlarut (ml)

B = Produksi gas fermentasi (ml) A+B = Potensial produksi gas (ml) C = Laju produksi gas (%h-1)

Produksi gas pada waktu inkubasi 48 jam berkisar antara 18,05 sampai 28,65 ml. Produksi gas tertinggi adalah angsana diikuti Gamal, Turi, Lamtoro dan yang terendah adalah Kaliandra. Meskipun tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa legum angsana memiliki fermentabilitas lebih tinggi dibandingkan legum lainnya. Adanya gas menunjukkan aktifitas mikroba dalam rumen. Semakin tinggi gas yang dihasilkan berarti fermentabilitas legum tersebut cukup tinggi.

Pencernaan fermentatif merupakan pencernaan yang dilakukan oleh mikroba

(31)

21 lingkungan. Pencernaan fermentatif dalam rumen akan menghasilkan produk berupa amonia, VFA, CH4, H2 dan CO2.

Model kinetik menunjukkan bahwa jenis legum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi gas baik dari fraksi terlarut (A) maupun yang tidak terlarut (B). Produksi gas terlarut merupakan jumlah gas yang diproduksi tanpa adanya fermentasi (gas spontan), sedangkan produksi gas tidak terlarut merupakan produksi gas yang dihasilkan dengan adanya fermentasi terlebih dahulu. Legum Turi memiliki nilai A terendah yaitu sebesar 0,00 ml yang menunjukkan bahwa mikroba memerlukan waktu lebih lama untuk dapat mencerna turi.

Persentase gas yang dihasilkan dalam tiap jam diartikan sebagai laju produksi gas. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa setiap legum memiliki laju produksi gas yang berbeda (P<0.05). Legum Turi dan Gamal memiliki laju produksi gas lebih cepat dibandingkan dengan legum Angsana, Lamtoro dan Kaliandra. Namun demikian potensial produksi gas (A+B) secara keseluruhan dari kelima jenis legum tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan karena pada legum Turi dan Gamal, pada awal inkubasi pertambahan produksi gas komulatifnya tinggi, tetapi menurun setelah 24 jam dan memperlihatkan pertambahan produksi gas yang lebih kecil. Sehingga setelah 48 jam produksi gas total tidak berbeda nyata (hampir sama) dengan legum lain yang memiliki laju produksi lebih lambat tetapi pertambahan produksinya terjadi secara konstan. Grafik laju produksi gas seperti terlihat pada Gambar 6.

0

(32)

Rendahnya laju dan produksi gas dari Kaliandra dan Lamtoro disebabkan karena kandungan antinutrisi berupa tanin dan mimosin dari legum tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Keir et al. (1997) dalam penelitiannya bahwa mimosin dalam lamtoro mengurangi fermentabilitas pakan oleh mikroba dalam rumen. Sehingga pertambahan produksi gas terjadi secara lambat dan menghasilkan potensial produksi yang rendah dan hal ini juga terjadi pada pakan yang mengandung tanin. Pada inkubasi 48 jam, produksi gas dari lamtoro adalah 22,2 ml. Sedangkan gamal menghasilkan gas 28,2 ml. Hasil ini berbeda dengan penelitian dari Keir et al. (1997), yaitu dalam waktu inkubasi 48 jam lamtoro hanya menghasilkan gas sebesar 15,7 ml. Sedangkan produksi gas gamal mencapai 29,7 ml. Perbedaan ini disebabkan oleh susunan kimia dari legum tersebut berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Pedraza (1998) menunjukkan bahwa pada inkubasi selama 24 jam, Gliricidia sepium menghasilkan produksi gas total sebesar 37,30 ml dengan laju produksi gas 0,0732%h-1. Akan tetapi, pertambahan produksi gas komulatifnya juga memperlihatkan penurunan setelah inkubasi 24 jam. Lebih lanjut juga dikatakan bahwa produksi gas berhubungan dengan ketersediaan atau kekurangan bahan organik untuk mikroba rumen, karena produksi gas merupakan hasil dari fermentasi pakan oleh mikroba rumen.

Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum

Penelitian in vivo dengan menggunanakan ternak domba lokal jantan. Penambahan legum pohon sebanyak 20% pada rumput lapang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan minertal khususnya Ca dan P. Komposisi nutrisi dan ransum tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.

(33)

23 Tabel 7. Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik

Kosumsi (g/ekor/hari) Ransum

Bahan Kering Bahan Organik R. Lapang (RL) 276,1b + 106 190,4b + 91,6 Ket : huruf yang berbeda pada nilai rataan kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,05)

Konsumsi bahan kering ransum selama penelitian berkisar 123,0 sampai 398,5 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi bahan organik ransum berkisar antara 107,7 sampai 347,4 g/ekor/hari. Jumlah ini lebih rendah dari kisaran persentase konsumsi bahan kering dari bobot badan menurut Kearl (1982), yaitu 410 g sampai 545 g atau 2,5-4,5% dari bobot badan. Berdasarkan analisis sidik ragam, penggunaan legum pohon sebanyak 20% dalam ransum domba berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan organik (P<0,05), tetapi berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering (P>0.05). Penambahan Angsana, Gamal dan Turi sebanyak 20% nyata dapat meningkatkan konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum dibanding dengan rumput lapang.

Konsumsi bahan kering dan bahan organik yang diberi penambahan 20% kaliandra lebih rendah dibandingkan dengan rumput lapang. Hal ini mungkin disebabkan kandungan anti nutrisi dari kaliandra yang berupa tanin dapat mengganggu selera ternak, sehingga dapat menurunkan konsumsinya (Tangendjaja et al., 1992). Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa, tekstur dan suhu. • rskov (1988) menyatakan bahwa pengolahan fisik dan kimiawi dapat meningkatkan

konsumsi pakan hijauan dengan kualitas rendah. Perlakuan mekanik, memotong, menggiling, menbentuk pelet akan dapat meningkatkan konsumsi dan laju aliran makanan ke dalam usus.

(34)

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan adalah ketersediaan zat makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan (Parakkasi, 1999). Tingkat kecernaan zat-zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut. Semakin tinggi kecernaan bahan kering pakan, maka semakin tinggi zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh ternak. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan (%) Ransum

KCBK KCBO

R. Lapang (RL) 44,18 + 7,5 45,24 + 7,4 RL+20% Angsana 43,94 + 2,2 38,36 + 10,1 RL+20% Gamal 53,75 + 8,8 34,41 + 14,9 RL+20%Kaliandra 48,72 + 7,5 56,63 + 17,5 RL+20%Lamtoro 40,12 + 5,7 41,63 + 5,9 RL+20%Turi 45,28 + 16,5 45,93 + 16,8

Analisis sidik ragam baik kecernaan bahan kering maupun bahan oraganik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara Rumput Lapang dengan penambahan legum pohon (P>0.05). Kecernaan bahan kering yang diberi 20% Lamtoro lebih rendah dibandingkan dengan Rumput Lapang, hal ini sesuai dengan Rahmawati (2001) yang mengatakan bahwa penggunaan Lamtoro 10% dalam ransum dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan akan semakin menurun dengan meningkatnya penggunaan lamtoro dalam ransum. Rendahnya kecernaan tersebut disebabkan tingginya zat anti nutrisi dari lamtoro, sehingga bahan kering yang dikandung oleh lamtoro tidak dapat didegradasi di rumen maupun pasca rumen. Menurut Skerman (1977), kandungan zat anti nutrisi yang terdapat dalam Lamtoro berupa tannin (10.15%) dan mimosin (3-5%) dari bahan kering. Keberadaan antinutrisi tersebut dapat menghambat proses fermentasi oleh mikroba. Karena tannin dalam tanaman dapat membentuk ikatan yang kuat dengan protein sehingga tidak dapat dicerna oleh mikroba dalam rumen.

(35)

25 gamal, sedangkan tertinggi pada domba yang diberi tambahan kaliandra. Analisis sidik ragam dari kecernaan bahan organik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara Rumput Lapang dengan beberapa jenis legum pohon (P>0.05). Hal ini disebabkan kandungan bahan organik dari pakan hampir sama.

Penyerapan Mineral

Mineral merupakan elemen-elemen atau unsur kimia selain dari karbon, hidrogen dan nitrogen (Piliang, 2001). Konsumsi, ekskresi dan penyerapan mineral makro (Ca dan P) terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Konsumsi, Ekskresi dan Penyerapan Mineral Ca dan P Ransum

Konsmsi mineral Ca dan P dari penambahan 20% legum pohon pada rumput lapang tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, hal ini terkait dengan komposisi mineral bahan yang hampir sama, selain itu konsumsi mineral juga dipengaruhi oleh kebutuhan dan kemampuan dari ternak.

Ekskresi Ca melalui feses terdiri dari Ca dalam makanan yang tidak diserap dan Ca yang diekskresi kedalam saluran pencernaan yang berasal dari sumber endogenus misalnya Ca dari dalam cairan-cairan pencernaan. (Piliang, 2001). Ekskresi Ca dalam pengamatan berkisar antara 0,81 sampai 1,98 gram/ekor/hari. Angka ini lebih besar dari kisaran menurut Piliang (2001) yaitu 0,125 sampai 0,18 gram/hari. Berdasarkan analisis ragam bahwa penambahan 20% legum yang berbeda pada ternak menujukkan ekskresi Ca yang tidak berbeda nyata.

(36)

diserap dengan baik dan terjadi pembuangan Ca dari cairan pencernaan. Berdasarkan analisis ragam bahwa penambahan 20% legum dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyerapan Ca oleh ternak.

Ekskresi P melalui feses merupakan gabungan antara P yang disekresi ke dalam usus halus (duodenum) dan P yang tidak dipenyerapan oleh tubuh. Jumlah P dalam feses dipengaruhi oleh kadar dalam ransum dan kebutuhannya untuk hewan tersebut. Berdasarkan analisis ragam, penambahan 20% legum yang berbeda tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada ekskresi dan penyerapan P. Ekskresi P pada domba yang diberi ransum dengan penambahan kaliandra 20% lebih besar dari P yang dikonsumsi, hal ini menunjukkan terjadinya pembuangan P dari cairan perncernaan.

Hubungan Laju dan Produksi Gas dengan Kecernaan Koefisien korelasi merupakan suatu koefisien determinasi yang

menggambarkan keeratan suatu peubah dengan peubah yang lainnya (antara Y dengan peubah bebas). Hubungan laju dan produksi gas dengan kecernaan bahan kering dan bahan organik beberapa jenis legum diperlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hubungan Kecernaan BK, BO dengan Laju dan Produksi Gas dan Penyerapan Ca dan P

Korelasi KCBK KCBO Penyerapan Ca Penyerapan P

A 0,49 0,14 0,04 0,02

B 0,11 0,41 0,14 0,04

A+B 0,05 0,41 0,22 0,04

C 0,01 0,04 0,37 0,01

KCBK - - 0,06 0,05

KCBO - - 0,31 0,08

(37)

27 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan 20% Angsana, Lamtoro dan Turi pada rumput lapang dapat meningkatkan konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum. Penambahan legum pohon sebanyak 20% pada rumput lapang belum memberikan sumbangan mineral Ca dan P yang signifikan.

Tidak terdapat hubungan yang erat antara fermentailitas dan kecernaan pakan dengan penyerapan mineral Ca dan P

Saran

Penggunaan legum pohon dalam ransum ternak domba perlu adanya dilengkapi dengan penambahan sumber energi lain untuk meningkatkan fermentabilitasnya.

(38)

UCAPAN TERIMA KASIH Asallamu’alaikum wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang diberi judul Hubungan Fermentabilitas dan Kecernaan Beberapa Legum Pohon dengan Penyerapan Mineral Ca dan P pada Domba lokal Jantan.

Rasa terima kasih yang tulus penulis hanturkan kepada Ibu dan Bapak yang senantiasa berdoa, mencurahkan kasih sayang serta memberikan semangat baru bagi penulis. juga kepada Dr. Ir. Idat G. Permana dan Dr. Ir. Panca Dewi MHKS selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan pada Project Due Like yang telah memberikan biaya penuh selama penelitian. Kepada teman sepenelitian, Suharlina dan keluarga besarnya di Madura, terima kasih atas kerja sama dan bantuannya kepada Penulis. Juga kepada Mbok Upi, adek-adek tersayang (Bowo dan Yeni) dan keluarga besar di Jambi, keluarga besar Pakde Tukino di Bogor terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangnya.

Kepada Bu Dian, pak Adi, Pak Iman dan teman-teman yang telah membantu (Niken, Ani, Butet, Uyie, Edo, Marta, Ichwanul, Ito, Hindun, Evy, Ida dan Wanda), semua INMT’38 terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima atas semua bantuan, kritik dan sarannya.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi yang membutuhkan. Amin.

Wassallamu”alaikum Wr. Wb.

Bogor, Oktober 2005

Penulis

(39)

29 DAFTAR PUSTAKA

Allen,O.N and E. K. Allen. 1981. The Leguminosae, a source Book of Characteristic, Uses and Nodulation. The University of Wisconsin Press. Wisconsin. Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka. Jakarta. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ternak Ruminansia. Cetakan ke-2,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Astuti, W. 2001. Kecernaan in vitro dan in sacco kulit kayu yang mendapat perlakuan NaOH dan Urea. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bamualim, A. 2004. Strategi pengembangan peternakan pada lahan kering. Makalah Seminar Nasional pengembangan peternakan berwawasan lingkungan. Bogor.

Brock, T. D., and M. T. Madigan. 1991. Biology of Microorganisme. 6th Edition. Prentice-Hall International. London.

Chase, E.L. and C.J. Sniffen. 1989. Mineral in dairy cattle nutrition. In :International Seminar on Holstein Frisien. PPSKI-USHA and Padjadjaran University. Bandung.

Cheeke, P. R.,and L. R. Shull. 1985. Natural Toxicant in Feeds and Poisonous Plants. Avi Publishing Company. Inc.

Church, D. C. 1974. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant. O and B Books. Corvalis.

Close, W. and K. H. Menke. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition. The Institute of Animal Nutrition, University of Hohenheim. Germany.

Durand, M. and R. Kawashima. 1980. Influence of mineral in rumen microbial digestion. In : Y. Ruckebusch and P. Thivend (Editors). Digestive Physiology and Metabolism in Ruminants. MTP Ltd. Lancaster. 275–408.

Fleming,G.A. 1973. Mineral composition of herbage. In : Butler, G.W. and Bailey, R.W. (Editors) Chemistry and Biochemistry of Herbage. Academic Press, London. 529-563.

French, M.H. 1955. Earth-eating and the mineral needs of livestock. East African Agriculture Journal 20, 168-175.

Hungate, R. D. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press. New York. 245-441.

Kandylis, K. 1984. Toxicology of Sulfur in Ruminants. Review. J. Dairy Sci. 66 : 2263.

(40)

Kawashima, R., L.A. Sofyan, N. Ishida, J. Jachja, K. Katoh, H. Kumagai and H. Yano. 1989. Study on mineral in Java island in Indonesia. Kyoto University and IPB project. Bogor.

Keir, Brenda., Nguyen Van Lai., T. R. Preston and E. R. Orskov. 1997. Nutritive value of leaves from tropical trees and shrubs: 1. In vitro gas production and in sacco rumen degradability. Livestock Research for Rural Development. 9. 4.

Leng, R.A. 1997. Tree Foliage In Ruminant Nutrition. Food and Agricultural Organization of the United Nations. Rome.

Makkar, H. P. S.1993. Antinutritional factors in animals feedstuffs mode of actions. Int. J. Anim. Sci. 6:88-94.

Matsumoto, H., E. G. Smith and G. D. Sherman.1951. The Effect of Elevated Temperature on the Mimosin Content of Kao Haole (Leucaena glauca). Arch. Bioche. Biophys. 33:201-202.

Maynard, L. A and Loosli. 1969. Animal Nutrition. 4th Ed. Mcgraw-Hill Book Company, Inc. New York.

McDowell, L., and R., G. Valle. 2000. Major mineral in forage. In : D. I. Given, E. owen, R. F. E. Axford and H. M. Omed (Editors) Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. CABI Publishing. UK.

Mc Leod. N. 1974. Plant Tannins. Their Role in Forage and Quality Nutrition. Abs and Rev. 44. 804.

McManus, W.R., R.G. Antony, L.L. Grout, AS. Malin and V.N.E. Robinson. 1979. Biocristallization of mineral material on forage plant cell walls. Aust. J. Agric. Res. 30 : 635–649.

National Academy of Sciences. 1977. Leucaena Promising Forage and Crop for The Tropics. National Academy Press. Washington D. C.

National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of sheep. 6t Revised Edition. National Academy Press, Washington D. C.

•rskov, E. R., Mc Donald, P. The estimation of protein degradability in rumen from incubation measurements weighed according to rate of passage. J. Agri. Sci. 1979.:499-503.

•rskov, E. R. 1988. World Animal Science Disciplinary Approach. Volume B4. In Feed Sience. Orskov (Editor). Elsevier. Amsterdam.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press. Jakarta. Pedraza, R. M. 1998. Use of in vitro gas production technique to assess the

contribution of both soluble and insoluble fractions on the nutritive value of forages. Thesis. University of Aberdeen. Scotland.

(41)

31 Pittier, H. 1944. Leguminosas de Venezuela. In : Skerman, P.J. (Editor) 1977.

Tropical Forage Legume. Food Agriculture Organisation of The United Nations. Rome.

Prince, M. L., A. E. Hagerman and L. G. Butler.1980. Tannin content of cowpeas, chispeas, Pegeonpeas and Mung beans. J. Agric. Food. Chem. 28:459-461. Ranjhan, S. K. and N. N. Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes.Vikas

Publishing House Put Ltd. New Delhi.

Rahmawati. I.G.A.W.D 2001. Evaluasi in vitro kombinasi lamtoro merah (Acacia villosa) dan gamal (Gliricidia moculata) untuk meningkatkan kualitas pakan pada ternak domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Reitz, L. L. W. H. Smith, and M. P. Plumlee. 1960. A Simple Wet Ashing for Biological Materials. Animal Science Department. Purdue University West Lafyee.

Roemantyo, H.S. 1993. Pendayagunaan Tanaman Pakan pada Lahan Kritis. Prosea. Bogor.

Serra, S.D., A.B. Serra, T. Ichinohe and T. Fujuhara. 1996. Ruminal Solubilization of macro minerals in selected Philippine forages. AJAS. 9 : 75 – 81.

Skerman, P.J. 1977. Tropical Forage Legume. Food Agriculture Organisation of The united Nations. Rome.

Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistic. Mc Grow Hill Book Co. Inc.New York.

Sutardi. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Tangendjaja. B., E. Wina. T. Ibrahim dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan pemanfaatannya. E Wina (Editor). Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International Agriculture Research.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. UGM Press. Yogyakarta.

Underwood, E.J. 1981. The Mineral Nutrition of Livestock. Commonwealth Agricultural Bureaux, London,

Underwood, E. J. and N. F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Edition. CABI Publishing. London.

Ward, G. and L.H. Harbers. 1982. Effect of pH on extractibility of calcium and oxalate from alfafa leafs. J. Dairy Sci. 65 : 154 – 160.

(42)
(43)

33 Lampiran 1. Analisis Ragam Produksi Gas pada Waktu Inkubasi 3 Jam

Lampiran 2. Analisis Ragam Produksi Gas pada Inkubasi 6 Jam

SK db JK KT Fhit F0,5 F,01

Kelompok 2 113,7623 56,88113 7,792707* 4,460 8,650 Perlakuan 4 42,16447 10,54112 1,444132 3,840 7,010 Error 8 58,394 7,299277

Total 14 214,321

Lampiran 3.Analisis Ragam Produksi Gas pada Inkubasi 12 Jam

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 249,5095 124,7547 8,483228* 4,46 8,65 Perlakuan 4 148,365 37,09126 2,522177 3,84 7,01 Error 8 117,648 14,70605

Total 14 515,523

Lampiran 4. Analisis Ragam Produksi Gas pada Inkubasi 24 Jam

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 261,1643 130,5821 4,536423* 4,460 8,650 Perlakuan 4 266,5522 66,63805 2,315006 3,840 7,010 Error 8 230,282 28,78526

Total 14 757,999

Lampiran 5. Analisis Ragam Produksi Gas pada Inkubasi 48 Jam

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 155,6385 77,81925 4 4,46 8,65 Perlakuan 4 260,5502 65,13756 3,348146 3,84 7,01 Error 8 155,6385 19,45481

Total 14 887,165

SK db JK KT Fhit F0,5 F,01

Kelompok 2 52,70412 26,35206 5,062899* 4,46 8,65 Perlakuan 4 10,6218 2,65545 0,510179 3,84 7,01 Error 8 41,639 5,204935

(44)

Lampiran 6. Analisis Ragam Produksi Gas Fraksi Terlarut

Lampiran 7. Analisis Ragam Produksi Gas Fraksi Tidak Terlarut

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 591,603 295,801 2,878 4,46 8,65 Perlakuan 4 192,399 48,100 0,468 3,84 7,01 Error 8 822,108 102,764

Total 14 1606,110

Lampiran 8.Analisis Ragam Potensial Produksi Gas

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 609,789 304,895 2,516 4,46 8,65 Perlakuan 4 149,606 37,401 0,309 3,84 7,01 Error 8 969,416 121,177

Total 14 1728,811

Lampiran 9. Analisis Ragam Laju Produksi Gas

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 0,005 0,002 8,431* 4,46 8,65 Perlakuan 4 0,006 0,001 5,275* 3,84 7,01 Error 8 0,002 0,0003

Total 14 0,012

(45)

35 Lampiran 11. Analisis Ragam Konsumsi Bahan Kering

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 12254,07 6127,03 1,47 4,1 7,56 Perlakuan 5 128031,45 25606,29 6,13** 3,33 5,64 Eror 9 37597,00 4177,44

Total 16 185313,64

Lampiran 12. Analisis Ragam Konsumsi Bahan Organik

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 19305,780 9652,890 2,495 4,1 7,6 Perlakuan 5 113480,131 22696,026 5,867** 3,3 5,6 Eror 9 34813,517 3868,169

Total 16 179330,922

Lampiran 13. Analisis Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 177,847 88,923 1,085 4,1 7,56 Perlakuan 5 330,292 66,058 0,806 3,33 5,64 Error 10 819,734 81,973

Total 17 1327,873

Lampiran 14. Analisis Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 229,766 114,883 0,648 4,1 7,56 Perlakuan 5 880,553 176,111 0,993 3,33 5,64 Error 10 1774,180 177,418

(46)

Lampiran 15. Analisis Ragam Konsumsi Ca

Lampiran 16. Analisis Ragam Ca Terekskresi

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 1,515 0,758 0,288 4,1 7,56 Perlakuan 5 6,059 1,212 0,461 3,33 5,64 Error 10 26,277 2,628

Total 17 33,851

Lampiran 17. Analisis Ragam Ca Terserap

SK db JK KT Fhit F,05 F,01

Kelompok 2 0,562 0,281 2,630 4,1 7,56 Perlakuan 5 1,731 0,346 3,241 3,33 5,64 Error 10 1,068 0,107

Total 17 3,361

Lampiran 18. Analisis Ragam Konsumsi P

SK db JK KT Fhit F,05 F,001

Kelompok 2 0,273 0,137 2,695 4,1 7,56 Perlakuan 5 0,665 0,133 2,623 3,33 5,64 Error 10 0,51 0,0507

Total 17 1,45

Lampiran 19. Analisis Ragam P Terekskresi

SK db JK KT Fhit F,05 F,001

Kelompok 2 0,135 0,067 1,342 4,1 7,56 Perlakuan 5 0,464 0,093 1,844 3,33 5,64 Error 10 0,503 0,050272

Total 17 1,101

Lampiran 20. Analisis Ragam P Terserap

SK db JK KT Fhit F,05 F0,01

Kelompok 2 0,014 0,007 0,419 4,1 7,56 Perlakuan 5 0,190 0,038 2,309 3,33 5,64 Error 10 0,16 0,016

(47)

Gambar

Tabel 1. Komposisi Abu, Ca dan P Beberapa Legum Pohon (% BK)
Gambar 1. Daun Kaliandra, Bunga (a) dan Polongnya (b)
Gambar 3. Daun dan Biji Polong Gamal
Gambar 4. Bentuk Daun,Bunga (a dan b) Biji Polong Turi(c)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrat yang diberikan mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik (serat kasar yang lebih rendah) dibandingkan dengan rumput gajah meskipun ternak mengkonsumsi pakan dalam

Menilik dari kandungan nutriennya, limbah kedelai ini (ampas tempe, ampas tahu dan ampas kecap) masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, khususnya

Williamsom dan Payne (1993) menambahkan bahwa hijauan adalah pakan yang termurah untuk ternak ruminansia, akan tetapi menurut Ismail dan Pardi (2000) pada umumnya hijauan

Hasil ini menunjukkan daun rumput gajah, kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar memiliki kualitas pakan sumber hijauan yang sama, hal ini menunjukkan bahwa kecernaan

Salah satu cara untuk meningkatkan silase rumput alam yang berkualitas rendah adalah meningkatkan aktivitas mikroba rumen dengan suplementasi pakan dengan kandungan

Keuntungan pembuatan pakan lengkap antara lain meningkatkan efisiensi dalam pemberian pakan dan menurunnya sisa pakan dalam palungan, hijauan yang palatabilitas rendah

Hasil analisis variansi menunjukan bahwa pengukusan dedak padi dan suplementasi MHA berbeda tidak nyata (P&gt;0,05) terhadap konsumsi bahan organik pakan domba lokal

Konsentrat yang diberikan mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik (serat kasar yang lebih rendah) dibandingkan dengan rumput gajah meskipun ternak mengkonsumsi pakan dalam