• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SUBSTITUSI DAUN RUMPUT GAJAH DENGAN KELOBOT JAGUNG DAN LIMBAH TANAMAN UBI JALAR TERHADAP KECERNAAN RANSUM KOMPLIT PADA KELINCI LOKAL JANTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH SUBSTITUSI DAUN RUMPUT GAJAH DENGAN KELOBOT JAGUNG DAN LIMBAH TANAMAN UBI JALAR TERHADAP KECERNAAN RANSUM KOMPLIT PADA KELINCI LOKAL JANTAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SUBSTITUSI DAUN RUMPUT GAJAH DENGAN KELOBOT JAGUNG DAN LIMBAH TANAMAN UBI JALAR

TERHADAP KECERNAAN RANSUM KOMPLIT PADA KELINCI LOKAL JANTAN

SKRIPSI ADYA RAHMI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

RINGKASAN

ADYA RAHMI. D24080157. 2012. Pengaruh Substitusi Daun Rumput Gajah dengan Kelobot Jagung dan Limbah Tanaman Ubi Jalar terhadap Kecernaan Ransum Komplit pada Kelinci Lokal Jantan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor.

Dosen Pembimbing Utama : Ir. Lidy Herawati, M. S Dosen Pembimbing Anggota : Ir. Lilis Khotijah, M. Si

Limbah pertanian merupakan salah satu sumber hijauan yang potensial untuk pakan kelinci sebagai pengganti rumput yang biasa dikonsumsi kelinci. Kelobot atau kulit jagung adalah limbah pertanian yang memiliki nilai kecernaan yang cukup tinggi, namun belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber serat bagi kelinci.

Kelobot memiliki kandungan protein kasar dalam bahan kering sebesar 6,21% dan serat kasar sebesar 47,32%. Limbah pertanian lain yang telah umum digunakan untuk pakan kelinci adalah limbah tanaman ubi jalar. Limbah tamanan ubi jalar yang digunakan meliputi batang, tangkai daun, dan daun ubi jalar. Limbah tanaman ubi jalar memiliki kandungan protein kasar sebesar 18,75% dan serat kasar sebesar 37,66%.

Ternak yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 16 ekor kelinci lokal jantan berumur 4 bulan dengan rataan bobot badan 1.111 ± 50 g. Kelinci diberikan pellet komplit dengan sumber hijauan kelobot jagung (KJ) dan limbah tanaman ubi jalar (LUJ) sebagai substitusi daun rumput gajah (DRG). Komposisi pellet pada masing-masing perlakuan adalah sebanyak 82% konsentrat dan 18% hijauan.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan yang diberikan merupakan kombinasi dari hijauan antara lain R0 (18% daun rumput gajah), R1 (12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar), R2 (6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung dan 6% limbah tanaman ubi jalar), R3 (9% kelobot jagung dan 9% limbah tanaman ubi jalar). Data yang diperoleh diuji dengan analisis sidik ragam (ANOVA), dan jika berbeda nyata dilakukan uji jarak Duncan. Peubah yang diamati adalah kecernaan nutrien yang terdiri dari kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar, neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF).

Hasil pengukuran kecernaan menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap koefisien cerna protein kasar dan ADF, akan tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap koefisien cerna bahan kering, bahan organik, serat kasar dan NDF. Nilai selang koefisien cerna

protein kasar dan ADF berturut-turut adalah 71,15% - 83,79% dan 8,96% - 80,04%

sedangkan selang koefisien cerna bahan kering, bahan organik, serat kasar dan NDF berturut-turut adalah 58,19% - 71,37%, 60,06% - 72,70%, 13,13% - 36,51%, dan 39,99% - 74,13%.

Kata-kata kunci: kecernaan zat makanan, kelobot jagung, limbah tanaman ubi jalar.

(3)

ABSTRACT

Digestibility on Nutrient of Complete Feed with the Sweet Corn Husks and Sweet Potato Vines as a Substitution of Napier Grass Leaves

in the Local Buck

A. Rahmi, L. Herawati and L. Khotijah

Rabbit is very potential animal as a meat source for small scale farming systems.

Rabbit also can use the agriculture by-product for the fiber need. Agriculture by- products such as sweet corn husk (SCH) and sweet potato vines (SPV) can replace grass that usually used for the fiber source. This experiment was to measure digestibility on nutrient of complete feed with the sweet corn husk (SCH) and sweet potato vines (SPV) as a substitution of Napier Grass (Pennisetum purpureum) leaves (NPL) in the local bucks. The experiment using 16 local bucks live weight 1,111 ± 50 grams, were completly random design with four treatments and four replications.

The complete pellet consists of 82% concentrate per treatment and combination of 18% forage in the control of the treatment (R0); 18% NPL, the first treatment (R1);

12% NPL, each 3% SCH and SPV, the second treatment (R2); each 6% NPL, SCH and SPV, the third treatment (R3); each 9% SCH and SPV. The data were analyzed with ANOVA (analysis of variance) and Duncan test. The experiment variables measured were nutrient digestibilities made up dry matter, organic matter, crude protein, crude fiber, neutral detergent fiber (NDF), and acid detergent fiber (ADF).

The results of digestibilities test indicated that the treatments had gave significant effect (P<0.05) on protein and ADF digestibilities, but no significant effect on dry matter, organic matter, crude fiber and NDF digestibilities. The digestibilities of crude fiber between 71.15% to 83.79% and ADF between 8.96% to 80.04%. The digestibilities of dry matter between 58.19% to 71.37%, organic matter between 60.06% to 72.70%, crude fiber between 13.13% to 36.51%, and NDF between 39.99% to 74.13%

Key words: nutrient digestibility, sweet corn husk, sweet potato vines.

(4)

PENGARUH SUBSTITUSI DAUN RUMPUT GAJAH DENGAN KELOBOT JAGUNG DAN LIMBAH TANAMAN UBI JALAR

TERHADAP KECERNAAN RANSUM KOMPLIT PADA KELINCI LOKAL JANTAN

ADYA RAHMI D24080157

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(5)

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1990 di Lubuk Jantan, Batusangkar, Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Adlis, S.Pd dan Ibu Yasneli.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SDN 35 Pincuran VII, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 3 Lintau Buo Utara, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 1 Lintau Buo Utara.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008 dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif sebagai pengurus di Biro Nutisari dan Nutricom, HIMASITER pada tahun 2009/2010 sampai 2010/2011. Penulis juga aktif mengikuti kegitan di Klub Nutrisi Unggas dan Klub Nutrisi Perah. Penulis pernah mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat melalui kegiatan IPB Goes to Field 2011 yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB selama satu bulan. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa BPOM pada tahun 2008/2009 sampai 2009/2010 dan beasiswa BBM pada tahun 2010/2011. Penulis juga berkesempatan mengikuti kegiatan magang di PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Unit Tangerang pada tahun 2012.

Bogor, Agustus 2012

Adya Rahmi D24080157

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Substitusi Daun Rumput Gajah dengan Kelobot Jagung dan Limbah Tanaman Ubi Jalar terhadap Kecernaan Ransum Komplit pada Kelinci Lokal Jantan yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Desember 2011 sampai April 2012.

Pemberian dan penyediaan pakan merupakan hal penting bagi peternakan khususnya ternak kelinci. Kelinci sangat sensitif terhadap kekurangan dan kelebihan kandungan serat dalam pakan, sehingga diperlukan pakan komplit dengan kandungan serat yang tepat dan bersumber dari hijauan berkualitas. Pemberian pakan bentuk pellet telah terbukti memberikan pertumbuhan dan produktivitas yang paling baik dibandingkan pemberian pakan bentuk lain. Ransum komplit berbentuk pellet yang komersil umumnya memiliki harga relatif mahal sehingga diperlukan sumber hijauan yang belum banyak dioptimalkan, mudah diperoleh, jumlah yang banyak kandungan nutrisi yang baik, serta tersedia secara kontinyu.

Kelobot jagung merupakan salah satu hijauan yang potensial sebagai pakan ternak yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama sebagai pakan kelinci.

Ketersediaan kelobot jagung sebagai limbah pertanian diharapkan dapat diolah untuk pakan kelinci sebagai sumber serat. Hijauan lain yang potensial sebagai sumber serat dan telah umum digunakan sebagai pakan kelinci adalah limbah tanaman ubi jalar.

Kandungan protein limbah tanaman ubi jalar yang cukup tinggi yaitu sebesar 18,75%

diharapkan dapat dimanfaatkan untuk sumber protein selain sebagai sumber serat.

Pembuatan pellet untuk pakan kelinci pedaging dengan sumber hijauan dari limbah pertanian ini diharapkan dapat diterapkan dengan pola pertanian terintegrasi secara vertikal, sehingga peternak kelinci yang mempunyai lahan pertanian, dapat mengoptimalkan hijauan tersebut sebagai pakan ternak kelinci.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dalam dunia peternakan dan dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

(7)

Judul : Pengaruh Substitusi Daun Rumput Gajah dengan Kelobot Jagung dan Limbah Tanaman Ubi Jalar terhadap Kecernaan Ransum Komplit pada Kelinci Lokal Jantan

Nama : Adya Rahmi NIM : D24080157

Menyetujui, Pembimbing Utama

(Ir. Lidy Herawati, M. S.) NIP: 19620914 198703 2 009

Pembimbing Anggota

(Ir. Lilis Khotijah, M. Si.) NIP: 19660703 199203 2 003

Mengetahui:

Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat G. Permana, M. Sc. Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 10 Agustus 2012 Tanggal Lulus:

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Kelinci ... 3

Daun Rumput Gajah ... 5

Kelobot Jagung ... 6

Limbah Tanaman Ubi Jalar ... 6

Kecernaan Zat Makanan ... 7

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 8

Kecernaan Protein Kasar ... 8

Kecernaan Serat Kasar ... 8

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ... 9

Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) ... 10

MATERI DAN METODE ... 11

Lokasi dan Waktu ... 11

Materi ... 11

Ternak ... 11

Kandang dan Peralatan ... 11

Pakan dan Air Minum ... 12

Metode ... 12

Prosedur ... 12

Pembuatan Pellet ... 12

Pemeliharaan ... 15

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kecernaan .... 15

Rancangan Percobaan ... 16

Perlakuan ... 16

(9)

ix

Peubah yang Diukur ... 16

Analisis Data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Kecernaan ... 17

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 17

Kecernaan Protein Kasar ... 20

Kecernaan Serat Kasar ... 21

Kecernaan NDF ... 22

Kecernaan ADF ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

Kesimpulan ... 25

Saran ... 25

UCAPAN TERIMA KASIH ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

LAMPIRAN ... 30

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Persentase Zat Makanan dalam Ransum Komplit yang Digunakan

untuk Kelinci pada Masa Pertumbuhan ... 3

2. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci ... 4

3. Kandungan Zat Makanan Rumput Gajah ... 5

4. Kandungan Zat Makanan Kelobot Jagung ... 5

5. Kandungan Zat Makanan Limbah Tanaman Ubi Jalar ... 7

6. Kandungan Zat Makanan Sumber Hijauan berdasarkan Bahan Kering ... 12

7. Persentase Penggunaan Bahan Pakan ... 14

8. Kandungan Zat Makanan Ransum berdasarkan Bahan Kering ... 15

9. Nilai Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses, dan Koefisien Cerna Bahan Kering ... 17

10. Nilai Konsumsi Bahan Organik, Bahan Organik Feses, dan Koefisien Cerna Bahan Organik ... 19

11. Nilai Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses, dan Koefisien Cerna Protein Kasar ... 20

12. Nilai Konsumsi Serat Kasar, Serat Kasar Feses, dan Koefisien Cerna Serat Kasar ... 21

13. Nilai Konsumsi NDF, NDF Feses, dan Koefisien Cerna NDF . ... 22

14. Nilai Konsumsi ADF, ADF Feses, dan Koefisien Cerna ADF ... 23

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Saluran Pencernaan Kelinci ... 3

2. Kelinci Lokal Jantan ... 11

3. Kandang ... 12

4. Diagram Alur Proses Pembuatan Pellet ... 13

5. Daun Rumput Gajah, Daun Rumput Gajah Satelah Dicacah, dan Tepung Daun Rumput Gajah ... 13

6. Kelobot Jagung, Kelobot Jagung setelah Dicacah, dan Tepung Kelobot Jagung ... 13

7. Batang, Tangkai Daun, dan Daun Ubi Jalar, Batang, Tangkai Daun, dan Daun Ubi Jalar setelah Dicacah, serta Tepung Limbah Tanaman Ubi Jalar ... 14

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering ... 31

2. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Bahan Organik ... 31

3. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Protein Kasar ... 31

4. Hasil Uji Lanjut Duncan Koefisien Cerna Protein Kasar ... 32

5. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Serat Kasar ... 32

6. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna NDF ... 32

7. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna ADF ... 33

8. Hasil Uji Lanjut Duncan Koefisien Cerna ADF ... 33

9. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering ... 33

10. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik ... 34

11. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar ... 34

12. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Serat Kasar ... 34

13. Hasil Sidik Ragam Konsumsi NDF ... 35

14. Hasil Uji Lanjut Duncan Konsumsi NDF ... 35

15. Hasil Sidik Ragam Konsumsi ADF ... 35

16. Hasil Uji Lanjut Duncan Konsumsi ADF ... 36

17. Hasil Sidik Ragam Bahan Kering Feses ... 36

18. Hasil Uji Lanjut Duncan Bahan Kering Feses ... 36

19. Hasil Sidik Ragam Bahan Organik Feses ... 37

20. Hasil Sidik Ragam Protein Kasar Feses ... 37

21. Hasil Uji Lanjut Duncan Protein Kasar Feses ... 37

22. Hasil Sidik Ragam Serat Kasar Feses ... 38

23. Hasil Sidik Ragam NDF Feses ... 38

24. Hasil Sidik Ragam ADF Feses ... 38

25. Hasil Uji Lanjut Duncan ADF Feses ... 39

26. Perhitungan Estimasi TDN ... 39

27. Rataan Pertambahan Bobot Badan selama Penelitian ... 39

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang potensial untuk dikembangkan. Pemberian dan penyediaan pakan menjadi hal penting bagi peternakan khususnya ternak kelinci. Kelinci sangat sensitif terhadap kekurangan dan kelebihan kandungan serat dalam pakan, sehingga diperlukan pakan komplit dengan kandungan serat yang tepat dan bersumber dari hijauan berkualitas.

Pemberian pakan bentuk pellet telah terbukti memberikan pertumbuhan dan produktivitas yang paling baik dibandingkan pemberian pakan bentuk lain. Ransum komplit berbentuk pellet yang komersil umumnya memiliki harga relatif mahal sehingga diperlukan sumber hijauan lain yang belum banyak dioptimalkan, memiliki kualitas zat makanan yang baik, mudah diperoleh, jumlah yang relatif banyak dan tersedia secara kontinyu.

Ketersediaan hasil samping pertanian belum banyak digunakan untuk pakan kelinci. Hasil samping pertanian merupakan sumber hijauan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan pengganti rumput. Hasil samping pertanian tersebut yang digunakan pada penelitian ini adalah kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar.

Kelobot (kulit) jagung adalah hasil samping pertanian yang ketersediaan yang cukup banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber hijauan untuk ternak kelinci. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2012), produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 adalah 17.643.250 ton. Menurut Tangendjaja dan Wina (2008) sebanyak 50% berat total tanaman jagung adalah limbah yang digunakan setelah panen dan persentase masing-masing limbah antara lain: 50% tangkai, 20%

daun, 20% tongkol dan 10% kelobot. Kelobot mempunyai sifat bulky, sehingga penggunaan dalam ransum terbatas, akan tetapi ketersediaan kelobot yang cukup banyak diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk ternak khususnya kelinci.

Limbah tanaman ubi jalar memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yaitu sebesar 18,75% (Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2011). Produksi ubi jalar di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik (2012) pada tahun 2011 adalah 2.196.033 ton dan Jawa Barat merupakan daerah penghasil ubi jalar terbesar yaitu

(14)

2 sebanyak 429.378 ton/tahun. Aregheore (2005) melaporkan bahwa limbah tanaman ubi jalar (daun, tangkai daun dan batang) menyumbang sekitar 64% dari biomassa segar ubi jalar, sehingga jumlah limbah tanaman ubi jalar yang dihasilkan dapat dioptimalkan untuk pakan ternak terutama kelinci. Limbah tanaman ubi jalar juga sangat disukai oleh kelinci dan mendukung performa kelinci yang baik.

Daya cerna suatu ransum penting untuk diketahui karena dapat berguna dalam menentukan kualitas ransum. Daya cerna yang tinggi menunjukkan kualitas ransum yang baik, sehingga pengukuran daya cerna menjadi salah satu pertimbangan dalam mengetahui kualitas ransum yang diberikan kepada ternak.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan koefisien cerna nutrien yang terdiri dari koefisien cerna bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO), protein kasar (KCPK), serat kasar (KCSK), Neutral Detergent Fiber (KCNDF), dan Acid Detergent Fiber (KCADF), serta menentukan kombinasi terbaik dari ransum komplit berbentuk pellet dengan sumber hijauan berupa daun rumput gajah, limbah tanaman ubi jalar dan kelobot jagung yang diberikan kepada kelinci lokal jantan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies cuniculus. Kelinci lokal, Orytolagus cuniculus, terdiri dari beberapa subspesies yang awalnya berasal dari Barat Daya Eropa dan Afrika Utara (De Blas dan Wiseman, 1998).

Menurut Farrel dan Raharjo (1984), di Indonesia terdapat bangsa kelinci lokal yang lebih kecil dari kelinci impor. De Blas dan Wiseman (1998) menyatakan bahwa kelinci relatif lebih mudah untuk dipelihara, dikelola pada tempat yang lebih kecil dan mampu memenuhi kebutuhan daging bagi manusia.

McNitt et al. (2000), menyatakan bahwa kelinci cukup rentan terhadap penyakit pada usus yaitu enteritis dan diare. Kelinci sangat sensitif terhadap faktor palatabilitas. Persyaratan nutrisi kelinci dipengaruhi oleh fisiologi saluran pencernaan kelinci. Kelinci memfermentasikan mikroba dalam sekum dan mengonsumsi isi sekum yang disebut Cecothrophy. Cecotrophy biasanya terjadi satu atau dua per periode 24 jam, umumnya pada malam hari yang nantinya akan dimakan kembali. Konsumsi feses lunak menghasilkan sumber protein dan vitamin B yang tersedia bagi mikroba. Tabel 1 menunjukkan persentase zat makanan dalam ransum komplit untuk kelinci dalam masa pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan saluran pencernaan kelinci. Kebutuhan ternak kelinci berdasarkan status fisiologis ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 1. Persentase Zat Makanan dalam Ransum Komplit yang Digunakan untuk Kelinci dalam Masa Pertumbuhan

Analisa % Bahan Kering

Serat kasar 14-18

Acid Detergent Fiber 16-21

Neutral Detergent Fiber 27-42

WICW (water insoluble cell-wall) / (dinding sel yang tidak larut air: lignin, selulosa, hemiselulosa dan pectin)

28-47

Pati 10-20

Protein kasar 13-18

Sumber: Gidenne (2003)

(16)

4 Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci (Cheeke dan Dierenfeld, 2010)

Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci

Zat Makanan Pertumbuhana Penggemukanb

Energi tercerna (kcal) 2500 2786,6

TDN (%) 65 -

Energi metabolis (kkal) - 2652,8

Serat kasar (%) 10-12 15,0 – 16,7

Lemak (%) 2 -

Protein Kasar (%) 16 16,1 - 18,0

NDF (%) - 35.6 - 38,9

ADF (%) - 17,8 - 20,5

ADL (%) - 6,1

Ca (%) 0,4 0,54

P (%) 0,22 0,36

Sumber: a: NRC (1977), b: Cheeke (2005)

(17)

5 Daun Rumput Gajah

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) disebut juga Elephant grass, atau Napier grass. Karakteristik morfologi rumput gajah adalah tumbuh tegak, merumpun lebat, tinggi dapat mencapai 7 m, berbatang tebal dan keras, daun panjang, dan berbunga seperti es lilin. Kandungan zat makanan dalam rumput gajah terdiri atas 19,9% bahan kering, 10,2% protein kasar, 1,6% lemak, 34,2% serat kasar, 11,7% abu dan 42,3% bahan ekstrak tanpa nitrogen (Rukmana, 2005).

Rukmana (2005), juga menyatakan bahwa rumput gajah mempunyai beberapa varietas yaitu varietas Afrika dan Hawai. Varietas Afrika ditandai dengan batang dan daun kecil, tumbuh tegak, berbunga, dan produksi lebih rendah dibandingkan varietas Hawai. Varietas Hawai ditandai dengan batang dan daun lebar, pertumbuhan rumpun sedikit melebar, produksi cukup tinggi dan berbunga.

Tabel 3 menunjukkan kandungan zat makanan rumput gajah berdasarkan bahan kering.

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Daun Rumput Gajah

Zat Makanan (%) Sumber

Ansah et al. (2010) Hartadi et al. (1980)

Bahan kering 49,99 17,00

Abu 7,76 10,10

Protein kasar 12,22 3,60

Serat kasar - 32,50

Lemak kasar - 1,20

Beta-N - 52,70

NDF 70,86 -

ADF 46,85 -

ADL 10,58 -

Hemiselulosa 24,01 -

Selulosa 36,28 -

(18)

6 Kelobot Jagung

Menurut Tangendjaja dan Wina (2008), kelobot atau kulit jagung merupakan hasil samping jagung dengan proporsi terkecil yaitu sebesar 10%, tetapi mempunyai kecernaan bahan kering secara in vitro lebih tinggi (68%) dibandingkan limbah jagung lainnya yaitu batang, daun, dan tongkol jagung masing-masing memiliki nilai kecernaan 51, 58, dan 60%. Data yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny et al.

(2006), limbah jagung dari batang berkisar antara 55,40%-62,3%, dari daun 22,6%- 27,4% dan dari kelobot antara 11,9%-16,4%. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah panen, kelobot jagung dapat digunakan sebagai makanan ternak. Kelobot jagung antara lain dapat berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol, untuk mempertahankan kesegaran sehingga tidak akan terlampau keras untuk dikunyah ternak. Tabel 4 menunjukkan kandungan zat makanan dalam kelobot jagung berdasarkan bahan kering.

Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Kelobot Jagung Zat Makanan

(%)

Sumber

Tangendjaja dan Wina (2008) Cheva-Isarakul et al. (2001)

Bahan kering 50-55 17,79

Abu - 3,87

Protein kasar 2,80 5,41

Serat kasar - -

Lemak kasar - 1,51

Beta-N - -

NDF - 77,47

ADF - 38,73

Limbah Tanaman Ubi Jalar (Ipomea batatas)

Aregheore (2005) menyatakan bahwa dulu ubi jalar ditanam untuk diamanfatkan umbinya, sedangkan bagian daun dianggap sebagai sampah dan kurang dimanfaatkan. Saat ini ubi jalar ditanam oleh petani kecil sebagai tanaman dwiguna.

Bagian yang merambat digunakan untuk pakan ternak dan umbinya digunakan untuk pangan. Potensi produksi bahan kering per hektar dari beberapa varietas ubi jalar bisa mencapai 4,3-6,0 ton/ha dan limbah tanaman ubi jalar (daun, tangkai daun dan

(19)

7 batang) menyumbang sekitar 64% dari biomasa segar. Limbah tanaman ubi jalar mengandung 11-17% protein kasar dan kecernaan yang relatif lebih dari 62%.

Limbah tanaman ubi jalar sebagai sumber hijauan, mampu meningkatkan asupan pakan dan bobot badan. Limbah tanaman ubi jalar dikaitkan dengan produktivitas, palatabilitas dan kadar protein kasar serta kadar air yang tinggi. Kandungan zat makanan dalam limbah tanaman ubi jalar berdasarkan bahan kering ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Limbah Tanaman Ubi Jalar Zat Makanan

(%)

Sumber

Cuong et al. (2008) Aregheore (2005) Katongole et al.(2008)

Bahan kering 11,4 37.3 19,7

Protein kasar 23,6 18.3 11,2

Abu 8,4 8.6 11,7

Lemak kasar - - 2,2

NDF 43,1 39.6 40,9

ADF 33,0 20.3 30,3

ADL - 6.8 8,0

Kecernaan Zat Makanan

Hewan tidak dapat mengekstrak semua zat makanan yang ada dalam pakan.

Nilai aktual zat makanan yang dimakan tergantung pada penggunaannya dalam tubuh. Pertimbangan pertama dalam menentukan nilai aktual nutrisi adalah kecernaaan, karena nutrisi yg tidak dicernakan tidak masuk ke dalam tubuh dengan tepat (Ensiminger, 1977).

Makanan yang dicerna adalah bagian yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh ternak. Daya cerna dapat diukur dengan menggunakan metode in vivo dan in vitro. Palatabilitas dan kualitas yang ditunjukkan oleh daya cerna dan nilai zat makanan tergantung pada jenis yang dipakai di lingkungan iklim tersebut, metode yang digunakan, dan umur penggunaan bahan pakan (Williamson dan Payne, 1993).

(20)

8 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)

Menurut Damron (2006), bahan kering ditentukan dengan memanaskan sampel pakan sampai semua air menguap. Persentase dari sampel yang tidak mengandung air ini kemudian disebut sebagai bahan kering sampel. Kecernaan bahan organik merupakan faktor yang penting yang dapat menentukan nilai pakan.

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut (Sutardi, 1980). Menurut Parakkasi (1999), kecernaan bahan kering dan organik dipengaruhi oleh konsumsi dan kadar NDF. Nilai kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum berbentuk pellet yaitu sebesar 47% (Chekee, 1987).

Kecernaan Protein Kasar (KCPK)

Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh tingginya kadar protein kasar dalam ransum (Garcia et al., 1993). Kecernaan bahan makanan akan cenderung meningkat, serta kualitas protein sangat penting bagi kelinci karena konsumsi akan meningkat jika ransum mengandung protein yang berkualitas tinggi (Lang, 1981).

Peningkatan kandungan polisakarida non-pati dari pakan telah berhubungan dengan penurunan daya cerna protein kasar, kandungan dinding sel tidak selalu berkaitan dengan daya cerna protein. Sehubungan dengan pakan komplit, kecernaan protein kasar bervariasi sesuai dengan bahan pakan daripada komposisi kimia.

Kecernaan protein kasar pakan kelinci dipengaruhi oleh umur kelinci. Studi tentang kecernaan ditentukan pada umur yang berbeda (dari menyapihan pada umur 28 hari sampai 11 minggu). Kecernaan protein kasar menurun setelah penyapihan untuk selang nilai yang stabil sekitar minggu kedelapan sampai minggu kesembilan, dengan penurunan yang lebih lambat dari minggu kelima. Efek ini umum untuk semua komponen pakan, tetapi penurunan kecernaan protein kasar adalah lebih tinggi daripada penurunan koefisien cerna bahan organik pakan (De Blas dan Wiseman, 1998).

Kecernaan Serat Kasar (KCSK)

Kelinci adalah hewan herbivora monogastrik, fisiologi pencernaan yang baik disesuaikan dengan asupan tinggi dinding sel tanaman. Serat pakan adalah komponen utama dari pakan kelinci (bahkan dalam produksi intensif % BK) dan tergantung dari berbagai teknik analisis dari 15% - 50% (Gidenne, 2003).

(21)

9 Van soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan serat kasar erat hubungannya dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan sumber energi. Kandungan serat yang tinggi akan mengurangi nilai kecernaan dan berhubungan dengan produksi VFA sebagai sumber energi.

Serat memiliki hubungan positif dengan tingkat konsumsi, kenaikan tingkat serat akan menurunkan tingkat kecernaan, ternak akan mengonsumsi lebih banyak pakan agar dapat memenuhi kebutuhan energi. Masalah utama dalam penggunaan serat kasar adalah kadar lignin yang tidak dapat dicerna bervariasi dengan prosedur analisis serat kasar (Parakkasi, 1995). Anggorodi (1979) menyatakan bahwa umumnya semakin tinggi suatu bahan mengandung serat kasar semakin rendah daya cerna dari bahan makanan tersebut.

Ternak akan mengonsumsi pakan dalam jumlah lebih banyak jika bersumber dari hijauan dengan protein kasar dan mineral tinggi, sedangkan serat kasar lebih rendah, dan menghasilkan kurang beban panas dalam tubuh sehingga meningkatkan jumlah yang dimakan (Williamson dan Payne, 1993). Koefisien cerna serat kasar pada kelinci yaitu sebesar 14% (De Blas dan Wiseman, 1998).

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (KCNDF)

NDF terdiri dari empat komponen kimia utama. Secara kuantitatif selulosa dan hemiselulosa komponen terbesar dan berpotensi dicerna, namun struktur kimianya kompleks. Komponen utama lain dari NDF adalah lignin dan cutin, yang hampir tidak dapat dicerna, baik di rumen dan usus halus. Lignin dan cutin menghambat pencernaan yang mendasari dan atau berhubungan dengan selulosa atau hemiselulosa baik dengan pelindung fisik atau kimia. Meningkatnya level NDF dalam pakan kelinci persilangan masa pertumbuhan menurunkan berat badan harian dan kecernaan nutrien, dengan level NDF: 37%, 41%, 45%, 49%, 53%, dan 57%

(NDF dalam % bahan kering). Level NDF sebanyak 41% dalam pakan memberikan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan manfaat lebih baik bagi produsen (Dong dan Giang, 2008). Koefisien cerna NDF pada kelinci lokal persilangan menurut Dong dan Giang (2008) dengan level NDF pakan dalam bahan kering yang diujikan sebesar 37%, 41%, 45%, 49%, 53% dan 57% secara berurutan adalah 50,9%, 54,1%, 48,5%, 47,1%, 46,5% dan 42,3%.

(22)

10 Kecernaan Acid Detergent Fiber (KCADF)

ADF adalah serat yang tidak larut dalam larutan deterjen asam dan NDF adalah serat yang tidak larut dalam deterjen netral yang erat hubungannya dengan konsumsi dan tersedianya Net Energy (NE) dan Digestible Energy (DE). ADF dan NDF digunakan untuk mengestimasi secara langsung penampilan ternak dan oleh karena itu, lebih bermanfaat dibandingkan serat kasar (Parakkasi, 1995).

Penyediakan pakan berserat untuk kelinci tumbuh sangat penting untuk menghindari gangguan pencernaan. Selulosa dan lignin yang sulit dicerna berperan dalam mengurangi diare pada kelinci masa pertumbuhan. Penggabungan sumber serat yang mudah dicerna dalam pakan kelinci mencakup tujuan ganda yaitu sebagai sumber pati yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan, dan dapat meningkatkan kesehatan pencernaan hewan. Kecernaan serat mudah dicerna yang tinggi, mungkin juga memiliki peran lain dalam menstimulasi aktivitas flora sekum pada kelinci muda (Dong dan Giang, 2008). Koefisien cerna ADF yang dilaporkan oleh Dong dan Giang, 2008) pada level pemberian NDF sebanyak 37%, 41%, 45%, 49%, 53%

dan 57% masing-masing adalah 47,9%, 47,8%, 40,4%, 35,8%, 31,9% dan 26,7%.

(23)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penyusunan ransum bertempat di Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Pembuatan pakan bertempat di Indofeed.

Pemeliharaan kelinci dilakukan di kandang Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan pada bulan Februari sampai April 2012. Analisa proksimat dan Van Soest dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2011 sampai April 2012.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan adalah 16 ekor kelinci lokal jantan dengan bobot badan 1.111 ± 50 gram berumur 4 bulan. Kelinci diperoleh dari daerah Bogor.

Kelinci dipelihara secara intensif pada kandang individu. Kelinci lokal jantan yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kelinci Lokal Jantan Kandang dan Peralatan

Kelinci dipelihara dalam kandang individu berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Kandang dilengkapi dengan tempat minum, tempat pakan dan jaring kawat.

Jaring kawat dipasang di bagian bawah kandang agar feses dapat tertampung dan terpisah dengan urin. Peralatan lain yang digunakan adalah tempat pakan dan tempat minum, timbangan digital dengan ketelitian 0,05 gram, timbangan Ohaus dengan ketelitian 20 gram, penjemur feses dan plastik. Gambar 3 menunjukkan kandang yang digunakan dalam penelitian.

(24)

12 Gambar 3. Kandang

Pakan dan Air Minum

Ternak diberikan ransum berbentuk pellet dengan substitusi daun rumput gajah sebagai sumber hijauan dengan klobot jagung dan jerami ubi jalar. Air minum diberikan ad libitum. Kandungan nutrien sumber hijauan ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan Zat Makanan Sumber Hijauan berdasarkan 100 % Bahan Kering

Nutrien (%) Daun Rumput Gajah (DRG)

Kelobot Jagung (KJ)

Limbah Tanaman Ubi Jalar (JUJ)

Abu 13,42 3,43 9,16

Protein kasar 12,64 6,21 18,75

Serat kasar 47,32 46,74 37,66

Lemak kasar 1,47 2,30 0,53

BET-N 25,16 41,32 33,90

Ca 0,53 0,70 1,23

Phospor 0,38 0,39 0,35

Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2011).

Prosedur Pembuatan Pellet

Kelobot jagung yang digunakan adalah kelobot jagung manis yang diperoleh dari pasar Bogor. Limbah tamanan ubi jalar yang digunakan adalah bagian batang, tangkai daun dan daun ubi jalar setelah dipanen. Kelobot jagung dan limbah tamanan ubi jalar dikumpulkan, disortir dan dicacah kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari dan digiling. Kemudian dicampurkan dengan konsentrat yang terdiri dari jagung, pollard, onggok, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung ikan, CPO, CaCO3, garam dan premix sampai homogen, lalu dimasukkan dalam mesin pellet dengan ukuran diameter die 3 mm. Pellet diangin-anginkan dan disimpan dalam karung.

Berikut adalah diagram alir proses pembuatan tepung hijauan. Diagram alur proses pembuatan pellet ditunjukkan pada Gambar 4 dan persentase penggunaan bahan

(25)

13 pakan ditunjukkan pada Tabel 7. Daun rumput gajah segar, setelah dikeringkan dan tepung daun rumput gajah diperlihatkan pada Gambar 5. Gambar 6 memperlihatkan kelobot jagung segar, setelah dikeringkan dan tepung kelobot jagung. Jerami ubi jalar dalam kondisi segar, setelah dikeringkan dan tepung jerami ubi diperlihatkan pada Gambar 7. Tabel 8 menunjukkan kandungan zat makanan dalam ransum berdasarkan bahan kering.

Daun rumput gajah Dicacah Dijemur Digiling Tepung daun rumput

gajah

Kelobot jagung Disortir Dicacah Dijemur Digiling Tepung kelobot

Limbah tanaman ubi jalar Disortir

Dicacah Dijemur Digiling

Tepung limbah tanaman ubi jalar

Pencampuran dengan konsentrat Pembuatan Pellet

Pendinginan Pengepakan

Gambar 4. Diagram Alur Proses Pembuatan Pellet

(a) (b) (c)

Gambar 5. a. Daun Rumput Gajah, b. Daun Rumput Gajah setelah Dicacah, c. Tepung Daun Rumput Gajah

(26)

14

(a) (b) (c)

Gambar 6. a. Kelobot jagung, b. Kelobot Jagung setelah Dicacah, c. Tepung Kelobot Jagung

(a)

(b) (c)

Gambar 7. a. Batang, Tangkai Daun dan Daun Ubi Jalar, b. Batang, Tangkai Daun dan Daun Ubi Jalar setelah Dijemur, c. Tepung Limbah Tanaman Ubi Jalar

Tabel 7. Persentase Penggunaan Bahan Pakan

Bahan Pakan (%) R0 R1 R2 R3

Tepung daun rumput gajah 18 12 6 0

Tepung kelobot jagung 0 3 6 9

Tepung limbah tanaman ubi jalar 0 3 6 9

Jagung 21 21 21 21

Pollard 13 13 13 13

Onggok 10 10 10 10

Bungkil kedelai 24 24 24 24

Bungkil kelapa 6 6 6 6

Tepung ikan 3 3 3 3

CPO 3 3 3 3

CaCO3 1 1 1 1

Premix 0,5 0,5 0,5 0,5

Garam 0,5 0,5 0,5 0,5

(27)

15 Tabel 8. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum berdasarkan Bahan Kering

Zat Makanan Perlakuan

R 0 R 1 R 2 R 3

---%---

Abu 9,91 8,30 9,09 8,51

Protein kasar 20,54 21,06 21,09 20,96

Serat kasar 15,46 15,35 14,77 15,19

Lemak kasar 3,60 3,78 4,45 4,07

Beta-N 50,49 51,51 50,60 51,27

TDN* 69,82 71,16 75,60 72,90

NDF 72,32 57,09 46,39 75,50

ADF 67,27 34,53 17,85 21,62

Hemiselulosa** 15,05 22,56 28,54 53,88

Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2012).

*Perhitungan TDN berdasarkan rumus menurut Hartadi et al., (1980).

** NDF-ADF.

Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan selama 5 minggu, ternak dikandangkan secara individu. Sebelum diberi perlakuan, ternak ditimbang untuk mengetahui bobot awal.

Pakan diberikan pada jam 7.00 pagi dan jam 16.00 sore hari. Pakan dan air minum diberikan secara adlibitum.

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kecernaan

Feses dikumpulkan pada minggu terakhir pengamatan selama 7 hari yaitu pada minggu kelima. Feses diambil saat pagi hari sebelum pemberian pakan. Sampel ditimbang dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Sebanyak 10% feses yang terkumpul setiap hari dikomposit dan digiling, Sampel tersebut selanjutnya dianalisa bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar, ADF, dan NDF. Koefisien cerna dihitung dengan rumus berikut ini:

Koefisien cerna = A − B

A x 100%

Keterangan: A = jumlah zat makanan yang dikonsumsi per hari (g) B = jumlah zat makanan dalam feses per hari (g)

(28)

16 Rancangan Percobaan

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan empat perlakuan dengan empat ulangan.

Perbandingan antara hijauan dan konsentrat pada masing-masing perlakuan adalah 18% : 82%. Kompisisi hijauan keempat perlakuan tersebut adalah:

R0: DRG 18%

R1: DRG 12% + KJ 3% + LUJ 3%

R2: DRG 6% + KJ 6% + LUJ 6%

R3: KJ 9% + LUJ 9%.

Keterangan: DRG; Daun rumput gajah, KJ; Kelobot Jagung, LUJ; Limbah tamanan ubi jalar.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Model matematika (Steel dan Torrie, 1993) dari rancangan percobaan ini adalah :

Yij = µ + τi + εij Keterangan :

Yij : respon percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : nilai rataan umum pengamatan

τi : efek perlakuan ke-i

εij : pengaruh eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Peubah yang Diukur

Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kecernaan zat makanan meliputi kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar, NDF dan ADF ransum komplit yang diberikan kepada kelinci lokal jantan.

Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dilakukan Analisis Sidik Ragam (ANOVA). Jika berbeda nyata dilakukan Uji Jarak Duncan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1993).

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kecernaan

Daya cerna suatu ransum penting untuk diketahui karena dapat berguna dalam menentukan kualitas ransum. Daya cerna yang tinggi menunjukkan kualitas ransum yang baik, sehingga pengukuran daya cerna menjadi salah satu pertimbangan dalam mengetahui kualitas ransum yang diberikan kepada ternak.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Nilai konsumsi bahan kering, bahan kering feses, dan kecernaan bahan kering pada kelinci lokal jantan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Koefisien Cerna Bahan Kering

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi BK (g/e/h) 87,16±16,39 83,32±13,31 88,88±7,79 90,69±3,06 BK Feses (g/e/h) 27,56±3,86ab 25,391±3,00a 29,93±2,85ab 33,50±4,90b

KCBK (%) 68,07±3,88 69,34±2,03 66,34±0,62 63,11±4,92

Keterangan: R0; 18% daun rumput gajah, R1; 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar, R2; 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar, R3; 9% kelobot jagung dan 9%

limbah tanaman ubi jalar. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan kering. Substitusi daun rumput gajah dengan kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar menunjukkan nilai konsumsi yang sama. Semakin banyak persentase kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar dalam ransum dimungkinkan menunjukkan peningkatan palatabilitas ransum, hal ini sesuai dengan pernyataan Aregheore (2005) bahwa limbah tanaman ubi jalar sebagai sumber hijauan, mampu meningkatkan asupan pakan dan bobot badan, selain itu limbah ubi jalar dikaitkan dengan produktivitas, palatabilitas dan protein kasar serta kadar air yang tinggi.

(30)

18 Perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bahan kering pada feses berdasarkan hasil sidik ragam. Perlakuan dengan pemberian 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung dan 3% limbah tanaman ubi jalar (R1) menunjukkan bahan kering pada feses yang paling sedikit dan jumlah bahan kering yang dicerna paling tinggi. Perlakuan dengan pemberian 18% daun rumput gajah (R0), dan 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung dan 6% limbah tanaman ubi jalar (R2) menunjukkan nilai yang sama. Semakin tinggi konsumsi bahan kering, maka semakin tinggi bahan kering feses yang dikeluarkan karena jumlah zat makanan yang tidak dicerna atau yang terkandung dalam feses dipengaruhi oleh jumlah zat makanan yang dikonsumsi. Bahan kering feses juga dapat dipengaruhi oleh jumlah air minum yang dikonsumsi. Mengonsumsi pakan yang mengandung bahan kering tinggi dapat meningkatkan rasa haus sehingga ternak akan mengonsumsi air minum yang lebih banyak.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai koefisien cerna bahan kering, hal ini menunjukkan bahwa koefisien cerna bahan kering ransum pada R0 sama besarnya dengan koefisien cerna R1, R2, dan R3. Hasil ini menunjukkan daun rumput gajah dapat disubstitusi dengan kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar sebagai sumber serat bagi kelinci. Daun rumput gajah, kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar memiliki kualitas hijauan yang sama sebagai sumber serat. Nilai kecernaan pada kelobot jagung (secara in vitro) dan limbah tanaman ubi jalar masing-masing sebesar 68% (Tangendjaja dan Wina, 2008) dan sebesar 62% (Aregheore, 2005).

Nilai kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum berbentuk pellet yaitu sebesar 47% (Chekee, 1987). Tabel 10 menunjukkan konsumsi bahan organik, bahan organik feses dan koefisien cerna bahan organik.

(31)

19 Tabel 10.Nilai Konsumsi Bahan Organik, Bahan Organik Feses dan Koefisien Cerna

Bahan Organik

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi BO (g/e/h) 78,53±14,77 76,41±12,20 80,80±7,08 82,97±2,80 BO Feses (g/e/h) 23,73±3,47ab 22,14±2,63a 25,65±2,56ab 29,10±4,41b

KCBO (%) 69,49±2,65 70,84±1,86 68,28±0,98 64,97±4,91

Keterangan: R0; 18% daun rumput gajah, R1; 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar, R2; 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar, R3; 9% kelobot jagung dan 9%

limbah tanaman ubi jalar. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik (g/e/hari) menunjukkan peningkatan seiring dengan peningkatan konsumsi bahan kering. Perlakuan menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bahan organik pada feses berdasarkan hasil sidik ragam. Bahan organik pada feses pada perlakuan 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar menunjukkan nilai paling rendah dan jumlah bahan organik yang dicerna paling tinggi dibandingkan perlakuan lain karena nilai bahan organik feses lebih dipengaruhi oleh nilai bahan kering feses karena nilai bahan organik merupakan hasil pengurangan bahan kering dengan abu yang terkandung dalam ransum.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai koefisien cerna bahan organik. Koefisien cerna R0 sama dengan R1, R2 dan R3, hal ini seiring dengan nilai koefisien cerna bahan kering yang menunjukkan nilai koefiesien cerna yang sama. Menurut Sutardi (1980), nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Hasil ini menunjukkan daun rumput gajah, kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar memiliki kualitas pakan sumber hijauan yang sama, hal ini menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik ransum lebih dipengaruhi oleh jumlah zat makanan yang dicerna dibandingkan jumlah yang terdapat dalam feses.

(32)

20 Kecernaan Protein Kasar

Nilai konsumsi protein kasar, protein kasar feses, dan kecernaan protein kasar pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses dan Koefisien Cerna Protein Kasar

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi PK (g/e/h) 17,91±3,37 17,55±2,80 18,75±1,64 19,01±0,64 PK Feses (g/e/hari) 4,43±0,84bc 3,21±0,48a 3,64±0,30ab 4,58±0,51bc KCPK (%) 74,98±4,41b 81,57±2,71a 80,57±0,85a 75,89±0,89b Keterangan: R0; 18% daun rumput gajah, R1; 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung,

dan 3% limbah tanaman ubi jalar, R2; 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar, R3; 9% kelobot jagung dan 9%

limbah tanaman ubi jalar. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05).

Konsumsi protein kasar (g/e/hari) pada penelitian ini berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh tidak nyata (P>0,05). Konsumsi protein akan meningkat dengan peningkatan konsumsi bahan kering dan bahan organik. Jumlah protein kasar pada feses berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05). Perlakuan R1 yaitu 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar menunjukkan jumlah protein kasar pada feses paling rendah dibandingkan perlakuan lain, dan menunjukkan jumlah protein kasar yang dicerna paling tinggi karena komponen dinding sel dari kombinasi hijauan pada R1 lebih mudah dicerna dibandingkan perlakuan lain.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap koefisien cerna protein kasar. Perlakuan dengan 18% daun rumput gajah (R0) dan masing-masing 9% kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar (R3) memiliki koefisien cerna yang lebih kecil dibandingkan ransum dengan 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar (R1) dan masing-masing 6% daun rumput gajah, kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar (R2). Ransum dengan substitusi kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar masing-masing 3% dan 6% menunjukkan koefisien cerna yang lebih tinggi, diduga kombinasi dari ketiga hijauan menyebabkan protein dari hijauan tesebut lebih mudah

(33)

21 dicerna dibandingkan R0 dan R3. Hasil ini tidak seiring dengan nilai pertambahan bobot badan harian yang diperoleh Lestari (2012) bahwa pertambahan bobot badan harian terbesar ditunjukkan pada perlakuan R2 dan terendah pada perlakuan R1 yaitu masing-masing sebesar 13,79%-18,55% dan 18,73%-21,69%.

Kecernaan Serat Kasar

Nilai konsumsi serat kasar, serat kasar feses, dan kecernaan serat kasar pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai Konsumsi Serat Kasar, Serat Kasar Feses dan Koefisien Cerna Serat Kasar

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi SK (g/e/h) 13,48±2,53 12,79±2,04 13,13±1,15 13,77±0,46 SK Feses (g/e/h) 10,31±1,04 9,26±1,25 9,44±1,47 10,33±1,43 KCSK (%) 25,59±7,47 27,21±5,37 28,10±8,41 27,92±8,52 Keterangan: R0; 18% daun rumput gajah, R1; 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung,

dan 3% limbah tanaman ubi jalar, R2; 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar, R3; 9% kelobot jagung dan 9%

limbah tanaman ubi jalar.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi serat kasar. Konsumsi serat kasar yang sama menunjukkan bahwa serat memiliki hubungan positif dengan tingkat konsumsi, kenaikan tingkat serat akan menurunkan tingkat kecernaan, ternak akan mengonsumsi lebih banyak pakan agar dapat memenuhi kebutuhan energi (Parakkasi, 1995). Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap koefisien cerna serat kasar, diduga serat yang terdapat dalam hijauan memiliki kualitas yang sama. Rendahnya nilai koefisien cerna pada kelinci sesuai dengan pernyataan De Blas dan Wiseman (1998) bahwa kelinci tidak mencerna serat secara efisien. Pada penelitian ini koefisien cerna serat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan nilai koefisien cerna serat pada kelinci menurut De Blas dan Wiseman (1998) yaitu sebesar 14%.

(34)

22 Kecernaan NDF

Tabel 13 menunjukkan konsumsi NDF, NDF feses dan koefisien cerna NDF.

Tabel 13. NilaiKonsumsi NDF, NDF Feses dan Koefisien Cerna NDF

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi NDF (g/e/h) 63,03±11,85b 47,57±7,60a 41,23±3,61a 68,47±2,31b NDF Feses (g/e/h) 25,20±6,40 19,37±3,37 22,78±2,51 24,30±6,92 KCNDF (%) 58,67±13,01 58,63±8,29 44,71±5,13 64,67±11,46 Keterangan: R0; 18% daun rumput gajah, R1; 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung,

dan 3% limbah tanaman ubi jalar, R2; 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar, R3; 9% kelobot jagung dan 9%

limbah tanaman ubi jalar. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05).

Tabel 13 menunjukkan bahwa konsumsi NDF dipengaruhi oleh kandungan NDF dalam pakan (Tabel 8). Kandungan NDF pakan pada R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 72,32%, 57,09%, 46,39% dan 75,50%, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan NDF pakan, semakin tinggi pula konsumsi NDF.

Kandungan NDF pakan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pernyataan Gidenne (2003) yang mendapatkan bahwa kandungan NDF pakan berupa ransum komplit untuk kelinci untuk masa pertumbuhan berkisar antara 27%-42%.

Berdasarkan hasil sidik ragam NDF feses, perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap kandungan NDF feses. NDF feses menunjukkan nilai yang sama, diduga bahwa nilai NDF feses tidak mempengaruhi oleh jumlah konsumsi NDF.

Hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap koefisien cerna NDF. Koefisien cerna NDF antar perlakuan menunjukkan nilai yang sama, karena kelobot jagung memiliki sifat lebih bulky dibandingkan daun rumput gajah dan limbah tanaman ubi jalar. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan pernyatan Dong dan Giang (2008) dengan level pemberian NDF sebanyak 41% (bahan kering) menunjukkan kecernaan NDF tertinggi dibandingkan pada taraf 37%, 45%, 49%, 53% dan 57%, akan tetapi kecernaan bahan tertinggi ditunjukkan pada persentase NDF sebanyak 37% dengan pemberian rumput Brachiaria mutica secara adlibitum dan limbah tanaman ubi jalar

(35)

23 dengan persentase pemberian masing-masing 100%, 80%, 60%, 40%, 20% dan 0%

serta konsentrat sebanyak 20 gram per hari.

Kecernaan ADF

Tabel 14 menunjukkan konsumsi ADF, ADF feses dan koefisien cerna ADF.

Tabel 14. Nilai Konsumsi ADF, ADF Feses dan Koefisien Cerna ADF

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi ADF (g/e/h) 58,67±11,03c 28,77±4,59b 15,86±1,39a 19,60±0,66bc ADF Feses (g/e/h) 12,95±1,56ab 11,57±1,39a 12,25±1,03a 15,35±2,6b KCADF (%) 77,70±2,34a 59,56±0,91b 22,70±0,79c 21,85±14,95c Keterangan: R0; 18% daun rumput gajah, R1; 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung,

dan 3% limbah tanaman ubi jalar, R2; 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar, R3; 9% kelobot jagung dan 9%

limbah tanaman ubi jalar. Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ADF, hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan ADF ransum (Tabel 8) yaitu dengan kandungan ADF pakan berturut-turut adalah 67,27%, 34,53%, 17,85% dan 21,62%. Hasil ini juga diduga bahwa semakin tinggi ADF pakan, semakin tinggi pula konsumsi ADF. Berdasarkan hasil sidik ragam ADF feses, perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan ADF feses. Perlakuan dengan pemberian 12% daun rumput gajah, 3% kelobot jagung, dan 3% limbah tanaman ubi jalar (R1) dan 6% daun rumput gajah, 6% kelobot jagung, dan 6% limbah tanaman ubi jalar (R2) memiliki kandungan ADF feses paling rendah dibandingkan perlakuan lain dan menunjukkan semakin rendah konsumsi ADF maka semakin rendah pula kandungan ADF feses, serta semakin rendah pula kecernaan ADF pakan. Konsumsi yang tinggi menunjukkan laju pengosongan saluran pencernaan yang lebih cepat sehingga pakan yang dibutuhkan lebih banyak.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap koefisien cerna ADF. Diduga semakin tinggi penggunaan kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar dalam ransum, semakin rendah kecernaan ADF pakan, hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik hijauan. Kelobot jagung memiliki sifat lebih bulky dibandingkan daun rumput gajah dan limbah tanaman ubi

(36)

24 jalar sehingga semakin tinggi persentase penggunaan kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar dalam ransum, maka jumlah yang dikonsumsi semakin rendah karena bahan yang bulky akan lebih cepat mengisi saluran pencernaan.

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Perlakuan substitusi daun rumput gajah dengan kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar tidak memberikan pengaruh terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, dan serat kasar, namun memberikan pengaruh terhadap kecernaan protein kasar dan ADF. Perlakuan dengan persentase hijauan 12% daun rumput gajah, dan masing-masing 3% kelobot jagung dan limbah tanaman ubi jalar dapat mensubstitusi daun rumput gajah dengan nilai koefisien cerna paling baik dibandingkan perlakuan lain jika dilihat dari nilai koefisien cerna protein kasar dan ADF.

Saran

Kelobot jagung dan limbah tanaman ubi dapat digunakan sebagai sumber serat bagi kelinci, namun perlu penelitian lanjutan dengan penggunaan kelobot jagung atau limbah tamanan ubi jalar.

(38)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbilalamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Lidy Herawati, M.S. sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi, dan Ir. Lilis Khotijah, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, nasihat dan saran kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas saran yang telah diberikan oleh Ir. Widya Hermana, M. Si. sebagai dosen pembahas seminar, Dr. Ir. Didid Diapari, M.Si. dan Ir. Sri Rahayu, M.Si. sebagai dosen penguji sidang.

Terima kasih kepada Ayahanda Adlis dan Ibunda Yasneli yang telah memberikan doa, motivasi, berjuang sekuat tenaga dan pikiran, serta memberikan kasih sayang kepada penulis selama ini. Terima kasih pula penulis ucapakan kepada kedua saudara yang penulis sayangi Adya Gunawan dan Adya Rahmad dan segenap keluarga besar kedua orang tua atas segala bantuan dan motivasi yang telah diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Fauzi, Bapak Idris, Bapak Ateng, Bapak Wardi, Bapak Atip, Ibu Anis, Mas Kus, Kak Ihsan, Kak Ari, Kak Agung, Kak Riki, Kak Bedi, Bapak Hadi dan keluarga, serta teknisi Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis selama penelitian. Terima kasih kepada teman- teman satu tim penelitian Diah, Yosi, Ancha, Ana dan Jihad atas kerjasama yang baik, Novya, Meta, Rossy, Sarah, Mayang, Ayu, Fauzia, Indri, Heru, teman-teman di HIMASITER, dan INTP 45. Terima kasih kepada segenap dosen dan karyawan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menempuh pendidikan selama ini.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1973. Ilmu Makanan Ternak Umum. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anggraeny, Y. N., U. Umiyasih, & N.H. Krishna. 2006. Potensi limbah jagung siap rilis sebagai sumber hijauan sapi potong. Prosiding Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Puslitnak. p 149-153.

Ansah, T., E. L. K Osafo, & H. H. Hansen. 2010. Herbage yield and chemical composition of four varieties of Napier (Pennisetum purpureum) grass harvested at three different days after planting. Agric. Bio. J. N. Amin. 1 (5):

923-929.

Aregheore. E. M. 2005. Feeds and forages in Pacific Island farming systems. The University of the South Pacific. School of Agriculture. Animal Sciennce Department Alafue Campus. Apia Samoa. http://

www.fao.org/ag/AGP/doc/Newpub/feeds forages/feed forages/htm [20 Maret 2012].

Badan Pusat Statistika. 2012. Tabel luasan panen, produktivitas, produksi tanaman pangan. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3 [11 September 2012].

Cheeke, P. R & E. S. Dierefeld. 2010. Comparative Animal Nutrition and Metabolism. CABI. Cambridge University Press, London.

Cheeke, P. R. 1987. Rabbit Feeding and Nutrition. Academic Press. INC, Florida.

Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition Feed and Feeding. 3rd Edition.

Pearson Education, New Jersey.

Cheva-Isharakul, B., B. Cheva-Isharakul. S. Promna & S. Pumisutapool. 2001. Net energy of sweet corn huks and cob silage calculated from digestibility in cows. Kasetsart J. Nat Sci. 35: 299-303.

Cuong, N. K., D. N. Kang & T. R Preston. 2008. Digestibility and growth in rabbits fed a basal diet of sweet potato vines replaced with cassava folliage meal.

Prosiding MEKARN Rabbit Conference: Organic rabbit production from forages. Cantho University, Hanoi.

Damron, W. S. 2006. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social and Industry Perspectives. 3rd Edition. Pearson Prentice Hall, New Jersey.

DeBlas, C & J. Wiseman. 1998. The Nutrition of the Rabbit. 1st Edition. CABI Publishing, London.

DeBlas, C & J. Wiseman. 2010. The Nutrition of the Rabbit. 2nd Edition. CABI Publishing, London.

Dong, N. T. K. & N. T. Giang. 2008. Effect of different levels of neutral detergent fiber in the diets on feed utilization, growth rate and nutrient digestibility of growing crossbred rabbits. Prosiding MEKARN Rabbit Conference: Organic rabbit production from forages. Cantho University, Hanoi.

(40)

28 Ensiminger, M. E. 1977. Animal Science. 7th Edition. The Interstate Printers &

Publishers. New York.

Farrell, D. J. & Y. C. Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbits. Central Research Institut for Animal Science, Bogor.

Gidenne, T. 2003. Fibers in rabbit feeding for digestible troubles prevention:

respective role of low-digested and digestible fiber. Livestock Production Science. 81: 105-117.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Lebdosukojo, A. D. Tillman, L. C. Kearl & L. E.

Harris. 1980. Tabel-Tabel Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Internatinal Feedstuffs Institute. Utah State University, Utah.

Katongole, C. B, F. B. Bareeba, E. N. Sabiiti & I. Ledin. 2008. Nutritional characterization of some tropical urban market crop waste. Anim. Feed Sci and Tech. 142: 275-291.

Lang, J. 1981. The Nutrition of the Commercial Rabbit. I. Physiology, digestibility and reviews Series B 51 (A). Common Wealth, Bureau of Nutrition. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food, Wolverhamton, London.

Lestari, D. 2012. Substitusi daun rumput gajah dengan klobot jagung dan limbah ubi jalar dalam ransum bentuk pellet terhadap performa kelinci lokal jantan.

Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

McDonal, P., A. R. Henderson, & J. F. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage.

Chalcombe Publications, 13 Highwoods Drive, Marlow Bottom, Marlow.

McNitt J. I, N.M. Patton, & S. D Lukefahr, P. R Cheeke. 2000. Rabbit Production.

8th Edition. Interstate Publishers. Danville, Illinois.

National Research Council. 1977. Nutrient Requirements of Rabbits. Revised 2nd Edition. National Academy of Science, Washington.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rukmana, H. R. 2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Kanisius.

Yogyakarta.

Steel, R. G. D & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Gramedia. Pustaka Utama, Jakarta.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tangendjaja, B & E. Wina. 2008. Limbah tanaman dan produk samping industri jagung untuk pakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor. p 427-455.

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp1048.pdf [14 Februari 2012].

(41)

29 Tillman, A. D., S Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1991.

Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Van Soest, P. J . 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant. 2nd Edition. Comell University Press, New York.

Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Edisi ke-3. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

(42)

LAMPIRAN

(43)

31 Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering

Sumber Variasi DB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 3 87,444 29,148 3,271 3,287 5,417

Galat 12 106,990 8,916

Total 15 194,434

Keterangan: db= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

F 0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)

F 0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01)

Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Bahan Organik

Sumber Variasi DB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 3 75,837 25,279 2,888 3,287 5,417

Galat 12 105,048 8,754

Total 15 180,885

Keterangan: db= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

F 0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)

F 0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01)

Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Protein Kasar

Sumber Variasi DB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 3 130,703 43,568 6,133** 3,287 5,417

Galat 12 85,246 7,104

Total 15 215,949

Keterangan: db= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

F 0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)

F 0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01)

Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.01)

(44)

32 Lampiran 4. Hasil Uji Lanjut Duncan Koefisien Cerna Protein Kasar

Ransum N α= 0,05

2 1

R3 4 74,978

R2 4 75,890

R0 4 80,573

R1 4 81,570

Sig. 0,637 0,606

Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna Serat Kasar

Sumber Variasi DB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 3 15,665 5,222 0,111 3,287 5,417

Galat 12 563,441 46,953

Total 15 579,106

Keterangan: db= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

F 0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)

F 0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01)

Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam Nilai Koefisien Cerna NDF

Sumber Variasi DB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 3 859,760 286,587 3,267 3.287 5.417

Galat 12 1053,003 87,750

Total 15 1912,763

Keterangan: db= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

F 0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)

F 0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01)

Gambar

Tabel 1. Persentase Zat Makanan  dalam Ransum Komplit yang Digunakan untuk   Kelinci dalam Masa Pertumbuhan
Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci
Tabel 3  menunjukkan kandungan zat makanan  rumput gajah berdasarkan bahan  kering.
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Kelobot Jagung   Zat Makanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya, pihak Quraisy menolak untuk mengembalikan orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah, (4) selama sepuluh tahun dilakukan genjatan senjata antara masyarakat Madinah

Perubahan nama ini dilakukan sebagai suatu langkah untuk menghilangkan stigma bahwa RSJ itu bukan merupakan rumah sakit bagi orang gila saja dan dengan penggantian nama

Atmosphere rumah makan, kualitas pelayanan, kualitas makanan dan harga terbukti memiliki pengaruh terhadap kepuasan pelanggan Waroeng Spesial Sambal Pati.. Kata

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Iuran Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai kontribusi wajib setiap orang pribadi dan/atau

Dari pengamatan yang dilakukan terhadap perhatian siswa kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Reksosari 03 Kec.. Hal ini disebabkan selain model pembelajaran yang baru

Selain memiliki perbandingan jumlah neutron dan proton lebih besar dari satu, suatu isotop bersifat tidak stabil jika perbandingan jumlah neutron dan protonnya lebih kecil dari

Untuk lebih detailnya pengukuran paparan radiasi maka akan dijelaskan tentang penyerapan antara timbal dengan kayu bangkirai terhadap sinar-x tersebut sebagai

listrik yang berfungsi menurunkan arus yang besar menjadi arus dengan ukuran yang lebih kecil. Current transformer atau disebut juga dengan trafo arus digunakan karena