• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Fermentasi Pakan dalam Rumen

Amonia + Karbon Dioksida Diamonium Karbonat Urea

Amonia hasil fermentasi tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai pembentuk asam amino (protein mikroba). Proses pembentukan amonia ini berlangsung cepat sehingga dapat menyebabkan terjadinya alkalosis akibat dinding usus menyerap amonia dalam jumlah terlalu banyak (Payne, 1989). Salah satu keuntungan ruminansia mempunyai organ pencernaan fermentatif sebelum usus halus adalah mampu mengubah jenis nitrogen (N) termasuk Non Protein

Nitrogen (NPN) seperti urea menjadi protein dalam bentuk protein mikroba.

Produk fermentatif dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna (Sutardi, 1980).

2.6 Fermentasi Pakan dalam Rumen

Rumen merupakan media yang penting dalam proses pencernaan pada ternak ruminansia. Aktivitas sebagian besar dilakukah oleh mikroba yang terdapat di dalamnya sehingga ternak ruminansia mampu untuk mencerna pakan yang

mengandung PK tinggi (Cullison, 1979). Kondisi yang cocok untuk kehidupan mikroba rumen menurut Czerkawski (1986) yaitu memiliki pH antara 6,50 - 7,00 dengan suhu antara 39-41 °C yang merupakan suhu optimum untuk sistem enzim mikroba rumen.

Kapasitas rumen cukup besar, menurut Cullison (1979) volume retikulorumen mencapai lebih dari 50 % volume total saluran pencernaan, sehingga memungkinkan pakan dapat tinggal lebih lama dan memberi kesempatan kepada mikroba rumen untuk mencerna selulosa dan senyawa karbohidrat komplek yang lain yang tidak dapat dicema oleh enzim pencernaan. Sebagian besar senyawa karbohidrat dalam pakan (pati, hemiselulosa, selulosa dan pektin) difermentasi oleh mikroba rumen menjadi VFA yang merupakan sumber energi untuk induk semang (Cullison, 1979).

Protein dalam pakan juga mengalami fermentasi dalam retikulorumen, protein didegradasi dan dirombak menjadi asam amino dan NH3. Jika salah satu protein pakan mempunyai kelarutan tinggi yang memungkinkan terjadinya degradasi oleh mikroba rumen, maka akan terbentuk NH3 yang akan digunakan sebagai bakalan sintesis protein mikroba atau terserap melalui dinding rumen dan diubah menjadi urea dalam hati (Soebarinoto et al., 1991). Pencernaan protein terjadi pada dua pool pencernaan, yaitu retikulorumen dan saluran pencernaan pascarumen (Soebarinoto et al., 1991) dimana hasil fermentasi protein mikroba dapat dimanfaatkan atau dicerna di usus halus dan yang tidak dapat dicema akan diekskresikan melalui feses bersama-sama dengan hasil fermentasi pada saluran pencernaan pascarumen. Soetanto et al., (1988) menyatakan bahwa pencernaan

protein yang lolos dari proses degradasi mikroba rumen akan menghasilkan asam amino dan peptida rantai pendek kemudian diabsorbsi oleh vili-vili usus halus masuk ke vena porta dan masuk pada bagian Pool asam amino dalam hati.

Hasil fermentasi pakan dalam rumen salah satunya Volatil Fatty Acid (VFA). VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan menjadi sumber energi utama ruminansia asal rumen (Parakkasi, 1999). Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Hasil fermentasi dari VFA total menghasilkan asam asetat, butirat, dan propionat.

Pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasikan untuk menghasilkan produk berupa VFA total, sel-sel mikroba, serta gas CH4 dan CO2 (Brock dan Madigan, 1991) Polisakarida (pektin, pentosan, selulosa, pati) di dalam rumen dihidrolisis menjadi monosakarida. Fermentasi anaerobik karbohidrat dalam rumen menghasilkan gas hidrogen (H2) yang digunakan untuk sintesis asam lemak volatile. Produksi H2 yang berlebih, dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas CH4 (Bunthoen, 2007). Senyawa H2 merupakan produk akhir dari protozoa, fungi dan bakteri, tidak terakumulasi di dalam rumen karena langsung dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas CH4 (Moss

et al., 2000). Gas CH4 kemudian dikeluarkan oleh hewan ruminansia pada saat bersendawa (Madigan et al., 2003).Kisaran produk VFA cairan rumen normal adalah 80-160 mM (Sutardi, 1980). Mc Donald et al., 2002 menjelaskan

konsentrasi VFA dipengaruh oleh jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan.

Selain produksi VFA di dalam rumen, hasil fermentasi yang lainnya adalah ammonia (NH3). Di dalam rumen, protein pakan akan mengalami proses degradasi menjadi peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. Ammonia (NH3) berasal dari protein pakan yang didegradasi oleh enzim proteolitk. Di dalam rumen protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen (Arora, 1989). Produksi ammonia tergantung pada kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya makanan berada dalam rumen dan pH rumen (Ørskov, 1992).

Pengukuran Ammonia (NH3) dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum di capai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung pada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Jika pakan tinggi kandungan protein yang lolos degradasi maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/L) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat. Sebaliknya jika degradasi protein lebih cepat dari pada sintesis protein mikroba maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/L (Mc Donald et al., 2002).

Peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi ammonia karena terjadi kenaikan penggunaan ammonia untuk

pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagi sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami kecernaan di dalam usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1977).

Hasil fermentasi anaerobik karbohidrat dalam rumen menghasilkan gas hidrogen (H2) yang digunakan untuk sintesis asam lemak volatile. Produksi H2

yang berlebih, dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas metana (Bunthoen, 2007). Senyawa H2 merupakan produk akhir dari protozoa, fungi dan bakteri, tidak terakumulasi di dalam rumen karena langsung dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas metana (Moss et al., 2000). Pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reaksi sebagai berikut:

CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O

Gas metana kemudian dikeluarkan oleh hewan ruminansia pada saat bersendawa (Madigan et al. 2003).

Dokumen terkait