• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK FERMENTABILITAS PAKAN ISI RUMEN SEBAGAI KONSENTRAT UNTUK TERNAK RUMINANSIA IN - VITRO SELVITIA ULANDARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK FERMENTABILITAS PAKAN ISI RUMEN SEBAGAI KONSENTRAT UNTUK TERNAK RUMINANSIA IN - VITRO SELVITIA ULANDARI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK FERMENTABILITAS PAKAN ISI RUMEN

SEBAGAI KONSENTRAT UNTUK TERNAK RUMINANSIA

IN - VITRO

SELVITIA ULANDARI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KARAKTERISTIK FERMENTABILITAS PAKAN ISI RUMEN

SEBAGAI KONSENTRAT UNTUK TERNAK RUMINANSIA

SECARA IN - VITRO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

SELVITIA ULANDARI

1111096000079

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SAYA DENGAN ARAHAN DARI PEMBIMBING DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN DARI

PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN

DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI

Jakarta, januari 2017

Selvitia Ulandari 1111096000079

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fermentabilitas Pakan Isi Rumen Sebagai Konsentrat Untuk Ternak Ruminansia Secara In - Vitro” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar strata 1 (S1) Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skrips ini tak lepas dari bantuan banyak pihak. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir. Firsoni, M.P selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

2. La Ode Sumarlin, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Sandra Hermanto, M.Si dan Anna Muawanah, M.Si selaku Penguji I d a n I I yang telah banyak memberikan kritik dan masukan yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

5. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Kedua orangtua, adik, dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan, memberikan nasihat dan dukungan moril maupun materil kepada penulis. 8. Dr. Irawan Sugoro M.Si, Bapak Teguh, Ka Tia, Pak Edy, dan Pak Dedy yang

telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi selama melakukan penelitian di laboratorium Nutrisi Ternak, BATAN.

9. Teman-teman Kimia angkatan 2011 yang senantiasa member dukungan kepada penulis.

10. Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Jakarta, Januari 2017

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi ABSTRAK ... xii ABSTRACT ... xiii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Hipotesis Penelitian ... 4 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruminansia ... 6

2.2 Pakan Ternak Ruminansia ... 11

2.3 Dedak ... 14

2.4 Molases ... 15

2.5 Urea ... 16

2.6 Fermentasi Pakan dalam Rumen ... 17

2.7 Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik ... 21

2.8 Biomassa Mikroba ... 22

2.9 Teknik Pengukuran Kecernaan ... 24

(9)

2.9.2 Produksi Gas ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.2 Alat dan Bahan ... 28

3.3 Prosedur Kerja ... 29

3.3.1 Persiapan Pakan ... 29

3.3.2 Perlakuan ... 30

3.3.3 Analisis Data ... 30

3.3.4 Metode Penelitian ... 30

3.3.5 Uji in-vitro “ Hohenheim Gas Tes” ... 31

3.3.6 Parameter Uji ... 33

3.3.6.1 Derajat Keasaman pH ... 33

3.3.6.2 Pengukuran Konsentrasi NH3... 33

3.3.6.3 Pengukuran Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) Total ... 34

3.3.6.4 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Bahan Organik (DBO).35 3.3.6.5 Pengukuran Produksi Gas Total ... 35

3.3.6.6 Pengukuran Produksi CH4... 36

3.3.6.7 Pengukuran Biomassa Mikroba ... 36

3.3.7 Komposisi Nutrisi ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Nutrisi Pakan ... 39

4.2 Produksi Gas Total ... 41

4.3 Produksi Gas CO2dan CH4... 44

4.4 Karakteristik Fermentasi Rumen ... 49 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

(10)

5.1 Simpulan ... 64

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA……….65

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Persyaratan Khusus Mutu konsentrat Sapi Potong………... 11

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Molases ………15

Tabel 3. Komposisi Perlakuan Penelitian (Berdasarkan % Bahan Kering) ………..30

Tabel 4. Kandung Bahan Ke ring, Bahan Organik dan Protein Kasar ………...39

Tabel 5. Produksi Gas Total In vitro (ml/200mg BK) ………..42

Tabel 6. Karakteristik Fermentasi Rumen Secara In vitro ………50

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Skema lintasan utama fermentasi anaerobik karbohidrat menjadi VF …….. 8

Gambar 2. Degradasi protein dalam pencernaan ruminansia…………...……….10 Gambar 3.Kurva laju produksi gas 48 jam Inkubasi ………...…43

Gambar 4. Konsentrasi CO2& CH4pakan perlakuan hasil inkubasi 48 jam ………… 45

Gambar 5.Metabolisme hidrogen dan metanogenesis ………....48

Gambar 6.Siklus Urea………...………...55

(13)

ABSTRAK

SELVITIA ULANDARI. Karakteristik Fermentabilitas Pakan Isi Rumen Sebagai Konsentrat Untuk Ternak Ruminansia Secara In - Vitro. Dibimbing oleh Firsoni dan La Ode Sumarlin Firsoni.

Ketersediaan bahan pakan konsentrat yang murah dan mengandung nutrisi yang cukup serta dapat digunakan oleh ternak ruminansia sangat sulit dan langka. Dedak dapat digunakan sebagai konsentrat yang ekonomis dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Dedak dapat ditingkatkan kualitasnya dengan fermentasi memanfaatkan molases, urea, dan isi rumen sebagai starter dan sumber karbohidrat untuk memberikan hasil yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui komposisi terbaik diantara beberapa perlakuan dengan teknik

in– vitro produksi gas total. Formula pakan perlakuan yang diuji adalah: A (70%

Dedak (DD) + 20% Isi rumen (IR) + 5% Molases (M) + 5% Urea (U)); B (60% DD + 30% IR + 5% M + 5% U); C (50% DD + 40% IR + 5% M + 5% U); D (65% DD + 20% IR + 10% M + 5% U); E (55% DD + 30% IR + 10% M + 5% U); dan F (45% DD + 40% IR + 10% M + 5% U). Parameter yang diukur adalah produksi gas total, produksi gas CH4 dan CO2, serta karakteristik fermentasi

rumen berupa nilai pH, konsentrasi amonia (NH3), Produksi Volatile Fatty Acid

(VFA) total, Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Bahan Organik (DBO) serta biomassa mikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi optimal antara dedak yang ditambahkan molases, isi rumen dan urea adalah perlakuan F. Perlakuan F memiliki kandungan protein pakan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A, B, C, D dan E. Hal tersebut dipresentasikan dari parameter produksi gas total yang tinggi dan konsentrasi gas CH4 yang rendah,

serta pakan perlakuan F mampu meningkatkan karaktarestik fermentasi rumen dibandingkan kelima perlakuan lain yang memberikan perbedaan yang nyata (P<0,05).

(14)

ABSTRACT

SELVITIA ULANDARI. Characteristics In - Vitro Fermentation of Feed Ruminant Concentrate Addition With Rumen Fluid . Supervised by Firsoni and La Ode Sumarlin.

The availability of feed concentrates are cheap and contain enough nutrients and can be used by ruminants is very difficult and rare. Bran can be used as a concentrate that is economical and has sufficient nutrition. Bran can be enhanced by utilizing the fermentation of molasses, urea and rumen contents as a starter and a source of carbohydrates to give better results. The purpose of this study was to determine the best composition among several treatments with techniques in -vitro gas production total. Formula feeding treatments tested were: A (70% Bran (DD) + 20% Fill in the rumen (IR) + 5% molasses (M) + 5% Urea (U)); B (60% DD IR + 30% + 5% + 5% M U); C (50% DD IR + 40% + 5% + 5% M U); D (65% DD IR + 20% + 10% + 5% M U); E (55% DD IR + 30% + 10% + 5% M U); and F (45% DD IR + 40% + 10% + 5% M U). Parameters measured were gas production total, production of CH4 and CO2, as well as the characteristics of

fermentation rumen such as pH value, the concentration of ammonia (NH3),

Production of Volatile Fatty Acids (VFA) total, Degradation of Materials Dry (DBK) and Degradation of Organic Materials (DBO) as well as microbial biomass. The results showed that the optimal composition of the bran is added molasses, paunch manure and urea is the treatment F. Treatment of F protein content of feed is higher than treatment A, B, C, D and E. It is presented of the total gas production parameters high and low concentrations of CH4 gas, as well

as feed F treatment can improve rumen fermentation karaktarestik than five treatments that give significant differences (P <0.05).

(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ternak ruminansia merupakan salah satu penyuplai kebutuhan protein hewani bagi manusia. Daging dan susu sapi merupakan sebagian sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat di indonesia yang berasal dari ternak ruminansia. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Quran Surat Al-Mu‟minun ayat 21:

Artinya:

“Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian dari padanya kamu makan” [Q.S An-Mu‟minun: 21].

Ternak ruminansia berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan Nasional, upaya mencukupi kebutuhan daging dalam negeri perlu didukung oleh perbaikan sistem pemberian pakan terutama dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan produktivitas ternak ruminansia. Sumber pakan yang digunakan untuk ternak ruminansia biasanya berasal dari pakan berkualitas rendah, padahal 75%

(16)

produktivitas ternak ditentukan oleh faktor lingkungan dengan pakan sebagai faktor penentu terbesarnya yaitu hingga 60%, sedangkan 25% ditentukan oleh keturunan, oleh karena itu peningkatan kualitas pakan perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia (Tim Laboratorium ITPFP IPB, 2012; Agustini, 2010).

Ketersediaan bahan pakan yang murah dan mengandung nutrisi yang tinggi serta dapat digunakan oleh ternak untuk produktivitasnya sangatlah sulit dan langka. Fikar dan Dadi (2012) melaporkan konsentrat adalah bahan pakan untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk dicampur sebagai pakan lengkap seperti mineral, garam, dedak, ampas tahu atau campuran dari bahan – bahan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dicari suatu formulasi dari bahan pakan alternatif yang murah namun masih mempunyai potensi sebagai pakan ternak dan mengandung nilai nutrisi yang tinggi. Pemberian pakan pada ternak ruminansia harus dalam keadaan seimbang yaitu pakan yang menyediakan sejumlah nutrisi yang diperlukan bagi ternak untuk melakukan fungsi – fungsi tertentu.

Dedak merupakan hasil samping dari proses penggilingan gabah padi sehingga ketersediaanya cukup melimpah. Dedak dapat digunakan sebagai pakan konsentrat yang ekonomis dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup karena dedak mengandung 13-17 persen lipida (3-5% diantaranya wax), 11-14% protein dan sekitar 45-50% karbohidrat. Bahan pakan lain yang ditambahkan pada pakan konsentrat selain dedak terdiri dari isi rumen kerbau sebagai starter (Sumber mikroba), bahan pakan sumber karbohidrat yaitu molases dan non protein

(17)

nitrogen (NPN) yaitu urea. Molases merupakan sumber energi yang murah karena

merupakan hasil ikutan dari pabrik gula tebu yang biasanya didapatkan sebanyak 25-50 persen dari berat gula yang dihasikan, baik dalam bentuk sukrosa 20–30 persen maupun dalam bentuk gula pereduksi 10-30 persen. Gula-gula perduksi tersebut sangat mudah dicerna dan dapat langsung diserap oleh darah dan digunakan untuk pembakaran untuk keperluan energi. Molases juga mengandung 2,5-4,5 persen protein kasar, separuh dari protein tersebut merupakan protein yang mudah dicerna. Urea murni makanan mengandung 65 persen N. Urea merupakan sumber N untuk ruminansia. Penguraian urea dalam tubuh ruminansia akan terjadi selama proses fermentasi yang dilakukan oleh bakteri rumen melalui enzim urease yang yang disekresikan menjadi ammonia dan karbondioksida. Amonia hasil fermentasi tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai pembentuk asam amino (protein mikroba). Sutardi (1980) menjelaskan salah satu keuntungan ruminansia mempunyai organ pencernaan fermentatif sebelum usus halus adalah mampu mengubah jenis nitrogen (N) seperti urea menjadi protein .

Pemanfaatan keenam perlakuan formulasi pakan konsentrat fermentasi dengan isi rumen kerbau yang ditambahkan dedak, molases, dan urea belum diketahui secara optimal. Perlu perancangan strategi yang tepat dalam pemanfaatan formulasi pakan konsentrat yang terdiri dari dedak, molases, urea dan isi rumen kerbau sebagai sumber energi bagi ruminansia. Strategi tersebut adalah dengan menguji formula pakan yang mengandung molases sebanyak 5% dibandingkan dengan pakan yang mengandung 10% diikuti dengan penambahan jumlah isi rumen kerbau. Pengujian dilakukan secara in – vitro dilakukan dengan

(18)

perunutan Hohenheim gas test untuk mewakili metode batch culture untuk menganalisa potensi pakan konsentrat fermentasi dengan isi rumen kerbau yang mengandung molases sebagai sumber energi mudah terdegradasi bagi kerbau. Pengujian secara in – vitro dengan metode Hohenheim gas test ini digunakan untuk mengevaluasi nilai pH, tingkat degradasi pakan, laju pertumbuhan mikroba, produk fermentasi rumen, dan dinamika fermentasi rumen terhadap konsentrat fermentasi dengan isi rumen kerbau yang mengandung molases sebagai strategi pengujian skala laboratorium sebelum melangkah ke tahap uji in – vivo.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh perbandingan komposisi pakan konsentrat fermentasi dengan isi rumen kerbau terhadap parameter produksi gas total, konsentrasi gas CO2 dan CH4 serta karakteristik fermentasi rumen secara in vitro?

1.3 Hipotesis Penelitian

Perbandingan komposisi pakan konsentrat fermentasi dengan isi rumen kerbau berpengaruh nyata terhadap parameter produksi gas total, konsentrasi gas CO2 dan CH4 serta karakteristik fermentasi rumen secara in vitro.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi terbaik diantara beberapa perlakuan yang terdiri dari dedak, molases, urea dan isi rumen kerbau sebagai konsentrat untuk ternak ruminansia terhadap parameter produksi gas total, konsentrasi gas CO2 dan CH4 serta karakteristik fermentasi

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada komunitas ilmiah mengenai metode pengolahan pakan ternak ruminansia, melalui upaya fermentasi konsentrat dengan isi rumen kerbau terhadap kualitas pakan secara in

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruminansia

Ruminansia merupakan salah satu ternak yang memiliki sistem pencernaan yang kompleks dibandingkan ternak lain. dimana ruminansia dapat menyerap energi dari serat tumbuhan lebih baik dibandingkan dengan herbivora lain, oleh karenanya ruminansia dapat memanfaatkan serat kasar seperti rumput. Anatomi dari sistem pencernaan ruminansia terdiri dari mulut, lidah, kelenjar ludah, esofagus, empat bagian lambung (rumen, retikulum, omasum dan abomasum), pankreas, kantung empedu, usus halus (duodenum, jejunum dan ileum) dan usus besar (sekum, kolon dan rektum) (Parish, 2009).

Mulut dan lidah berperan untuk mengambil makanan dan mengunyah makanan. Air ludah di dalam mulut berperan untuk mempermudah dalam mengunyah dan menelan makanan. Air ludah juga berperan dalam menghasilkan enzim-enzim yang berfungsi untuk memecah lemak (salivary lipase) dan pati (salivary amilase), dan terlibat dalam siklus nitrogen didalam rumen. Peran penting utama air ludah yaitu sebagai buffer untuk mempertahankan tingkat pH dalam retikulum dan rumen. Makanan yang telah dicerna di mulut kemudian akan menuju retikulum melewati saluran yang disebut esofagus. Esofagus juga berperan sebagai saluran dua arah dimana ruminansia dapat memuntahkan makanannya yang telah dikunyah untuk dikunyah kembali, jika dibutuhkan (Parish, 2009).

(21)

Makanan yang telah dikunyah kembali selanjutnya menuju retikulum dan dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian makanan yang kasar atau berupa padatan selanjutnya perlahan-lahan akan menuju rumen, sedangkan bagian yang cair akan menuju omasum dan abomasum secara cepat. Makanan yang berada dalam rumen akan tertinggal didalam rumen selama 48 jam, selanjutnya mikroorganisme akan memanfaatkan serat-serat yang berada di rumen dan membentuk prekursor untuk menghasilkan energi. Pada ruminansia, lambung menempati hingga 75% dari luas rongga perutnya. Rumen dan retikulum menempati ruang paling besar yaitu hingga 84%, omasum 12% dan 4% abomasum (Parish, 2009).

Rumen dan retikulum (retikulorumen) merupakan tempat bagi populasi mikroorganisme yang terdiri dari bakteri, fungi dan protozoa. Mikroorganisme memfermentasi dan memecah dinding sel tumbuhan menjadi fraksi karbohidrat dan menghasilkan asam lemak bebas (VFA) seperti asetat (berperan dalam sintesis lemak), propionat (berperan dalam sintesis glukosa) dan butirat dari karbohidrat tersebut. VFA selanjutnya dapat digunakan oleh ruminansia sebagai energi. Rumen dilapisi oleh papila yang berperan dalam penyerapan nutrisi. Rumen berperan sebagai tangki fermentasi dalam sistem pencernaan ruminansia, yaitu sekitar 50% hingga 65% pati dan gula terlarut dicerna didalam rumen. Mikroorganisme rumen (terutama bakteri) mencerna selulosa dari dinding sel tumbuhan, pati kompleks, mensintesis protein dari nitrogen nonprotein dan mensintesis vitamin B dan vitamin K. Gas yang diproduksi di rumen diantaranya yaitu karbondioksida ( ), metan ( ) dan hidrogen sulfat (H2S) (Parish,

(22)

Gambar 1. Skema lintasan utama fermentasi anaerobik karbohidrat dalam rumen menjadi VFA total (Cavinanto, 2011)

Omasum memiliki lipatan-lipatan yang berfungsi untuk memperluas permukaan penyerapan nutrisi dari makanan dan air. Penyerapan air terjadi didalam omasum. Abomasum merupakan lambung sesungguhnya pada ruminansia. Abomasum memproduksi asam hidroklorik dan enzim pencernaan seperti pepsin, dan menerima enzim pencernaan yang disekresi dari pankreas seperti pankreatik lipase, yang membantu penyerapan protein di usus halus. pH abomasum umumnya berkisar antara 3,5 hingga 4. Usus halus merupakan saluran dengan panjang lebih dari 150 kaki dan kapasitas sekitar 20 galon. Makanan yang telah dicerna sebelumnya akan bercampur dengan sekresi dari pankreas dan hati, yang kemudian akan menyebabkan pH menjadi meningkat dari 2,5 menjadi 7 hingga 8. pH yang tinggi dibutuhkan oleh enzim di usus halus agar dapat bekerja

As. Piruvat

Format Asetil CoA

CH4 CO2 + H2 Propionat Butirat Asetat Lintasan Suksinat Lintasan Embden-Mayerhoff

Selulosa Pati Pektin Hemiselulosa

Heksosa

Pentosa

(23)

dengan baik. Cairan empedu dari usus halus akan disekresikan ke duodenum untuk membantu dalam pencernaan makanan. Penyerapan nutrisi aktif terjadi di sepanjang usus halus termasuk penyerapan protein bypass yaitu protein yang tidak tercerna didalam rumen (Parish, 2009).

Dinding usus halus memiliki fili yang berperan dalam memperluas permukaan untuk penyerapan nutrisi, sedangkan kontraksi otot pada usus halus berperan dalam mencampur cernaan dan melanjutkannya ke bagian pencernaan selanjutnya. Usus besar berperan dalam penyerapan air yang masih terdapat pada cernaan yang melewati usus besar dan mensekresikan padatan yang tersisa sebagai feces melalui rektum. Sekum merupakan bagian pertama pada usus besar dengan panjang sekitar 3 kaki dengan kapasitas 2 galon, sedangkan kolon merupakan tempat paling banyak terjadinya penyerapan air di usus besar (Parish, 2009).

Mikroorganisme yang terdapat didalam rumen akan memecah protein yang dapat dicerna menjadi amonia ( ), asam amino dan peptida yang digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme. Amonia yang tersedia kemudian akan diserap melalui dinding rumen dan dikonversi menjadi urea didalam hati, yang kemudian akan dieksresikan tubuh. Pada keadaan dimana jumlah amonia terlalu banyak, hati tidak dapat mendetoksifikasi amonia tersebut menjadi urea. Hal ini dapat menyebabkan kematian pada hewan ternak (Parish, 2009). Berikut jalur pencernaan protein pada hewan ruminansia.

(24)

Gambar 2. Degradasi Protein dalam pencernaan ruminansia (McDonald, 2010)

Mikroorganisme rumen berperan dalam menyediakan sebagian besar energi yang dibutuhkan oleh hewan inangnya dengan mentransformasi karbohidrat dari pakan menjadi asetat, propionat dan butirat, sedangkan nitrogen diperoleh dalam bentuk asam-asam amino, peptida dan amonia, dengan cara memecah fraksi nitrogen pada pakan. Protein mikroorganisme melewati rumen dan akan dicerna di usus halus, yang kemudian akan menjadi asam amino yang dapat digunakan oleh ruminansia (McDonald, 2010).

(25)

2.2 Pakan Ternak Ruminansia

Standar pakan diartikan sebagai sejumlah nutrisi yang dibutuhkan oleh hewan. selain itu, dikenal juga istilah "kebutuhan nutrisi" yaitu rata-rata jumlah yang dibutuhkan untuk suatu fungsi tertentu, sedangkan istilah "tambahan nutrisi" berarti dibutuhkan jumlah lebih banyak pada batas aman yang didesain khusus untuk memenuhi variasi yang dibutuhkan pada tiap individu. Umumnya protein dalam pakan untuk hewan ruminansia dievaluasi sebagai protein kasar atau protein kasar dapat dicerna (McDonald, 2010).

Tabel 1.Persyaratan Khusus Mutu Konsentrat Sapi Potong Berdasarkan Bahan Kering (Badan Stndarisasi Nasional, 2009).

No. Jenis Pakan Kadar Air Abu

Protein

kasar Ca P

Maks (%) Maks (%) Min (%) (%) (%)

1 Penggemukkan 14 12 13 0,8-1,0 0,6-0,8

2 Induk 14 12 14 0,8-1,0 0,6-0,8

3 Pejantan 14 12 12 0,5-0,7 0,3-0,5

Standar pakan yaitu standar yang menetapkan klasifikasi, persyaratan mutu dan pengujian konsentrat untuk penggemukan, induk dan pejantan. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya terdiri dari campuran bermacam-macam bahan pakan, karena adanya variasi kandungan nutrisi dan diharapkan efisiensi pakan menjadi lebih tinggi karena bahan-bahan tersebut akan saling melengkapi. Pakan konsentrat bisa digunakan untuk menambah energi metabolisme dan kandungan N dalam pakan ternak (Stewart, 1993). Konsentrat merupakan pakan yang kaya sumber protein yaitu minimal 14% kaya akan energi dan zat gizi serta dapat mengandung pelengkap atau imbuhan pakan, yang sering digunakan untuk

(26)

meningkatkan produktivitas ternak ruminansia (Badan Standarisasi Nasional, 2009). Standar pakan Indonesia ditunjukkan pada tabel 1.

Energi merupakan indikator utama dalam menentukan kebutuhan pakan ruminansia. Setiap sumber bahan energi tersebut memiliki potensi yang berbeda sebagai penyedia energi tergantung pada tingkat degradabilitas dan fermentabilitasnya. Kebutuhan energi dipengaruhi oleh kondisi ternak. Pakan berkualitas rendah mengakibatkan efisiensi pakan yang lebih rendah karena heat

increment atau energi yang dikeluarkan ternak untuk proses pencernaan pakan

dalam saluran cernanya tinggi. Ukuran tubuh serta perbedaan kemampuan mikroba rumen dalam mencerna pakan turut menentukan efisiensi pemanfaatan energi yang ada di dalam pakan. Kerbau umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dan mikroba rumen dengan kemampuan mencerna pakan berserat yang lebih tinggi dibandingkan sapi. Sebagian energi yang terkandung dalam pakan akan terbuang sebagai energi gas metana yang jumlahnya dapat bervariasi dari 2 - 15% dari energi yang ada dalam pakan (Haryanto, 2012; Haryanto dan Thalib, 2009).

Protein yang mengalami degradasi dalam akan melepaskan gugus amina ( ) dan menghasilkan gugus rantai karbon yang dapat menjadi substrat dalam fermentasi mikrobial rumen. Sumber protein dapat berasal dari hijauan terutama dari tanaman leguminosa, biji-bijian yang telah diekstrak minyaknya seperti bungkil kedelai, limbah industri minyak atau tepung yang berasal dari hewan seperti tepung ikan, tepung darah, tepung daging, tepung bulu dan lainnya (Schei, 2005; Haryanto, 2012).

(27)

Protein yang dimanfaatkan ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi dua kelompok protein berdasarkan degradibilitasnya dalam rumen, yaitu protein mudah didegradasi dan protein tahan degradasi. Protein pakan yang mudah didegradasi dalam rumen akan kehilangan fungsinya sebagai sumber asam amino karena proses deaminasi akan memisahkan gugus amonia dan rantai karbon utamanya.

Senyawa nitrogen seperti urea dapat menjadi sumber nitrogen non-protein yang dapat dikonversi menjadi protein mikroba yang akan menjadi sumber protein juga bagi ternak. Protein tahan degradasi akan mencapai saluran cerna pascarumen secara utuh, sehingga apabila masih dapat dicerna, hasil hidrolisis di saluran cerna pascarumen akan menghasilkan asam-asam amino yang akan diserap melalui dinding usus ke saluran peredaran darah menuju hati (Haryanto, 2012). Anggorodi (1979) menyatakan bahwa pakan tambahan berhubungan dengan penambahan zat-zat mineral, vitamin atau nutrisi lainnya ke dalam pakan. Pakan ini juga mengandung Non Protein Nitrogen (NPN) seperti urea yang diubah menjadi protein bermutu tinggi. dengan harapan dapat memberikan pengaruh yang baik melalui peningkatan protein mikroba, peningkatan kecernaan dan peningkatan konsumsi pakan. Selain itu, agar dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan dan kegiatan mikroba secara efisien di dalam rumen.

Mineral dan vitamin juga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pakan ternak ruminansia. Mineral dan vitamin dibutuhkan hewan ternak sebagai sumber zat gizi untuk produktifitasnya sehingga, pakan seharusnya kaya akan mineral dan vitamin. mineral ada yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit

(28)

(mikromineral) dan ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (makromineral). mikromineral diantaranya yaitu Zn, Cr, Se dan Mo, sedangkan Makromineral diantaranya Ca, P, Mg, K dan S. Beberapa penelitian mengenai peranan mineral pada ternak ruminansia diantaranya menunjukkan bahwa mineral berperan dalam meningkatkan bobot harian ternak, serta dapat menjadi senyawa detoksifikasi logam berat pada tubuh hewan ternak (Haryanto, 2012).

2.3 Dedak

Dedak padi (hu‟ut dalam bahasa sunda) merupakan hasil sisa dari penumbukan atau penggilingan gabah padi. Dedak dihasilkan sebanyak 8 – 10% dari berat padi yang digiling , sehingga ketersediannnya cukup melimpah. Dedak merupakan sumber karbohidrat mudah tersedia (“Readily – available

Carbohydrate,”RAC) dan sangat efektif dalam memperbaiki kualitas fermentasi

dari jerami padi karena dapat meningkatkan suplai energy tersedia bagi pertumbuhan mikroba (yang terdapat dalam substrat dan bolus) Blosen (1996).

Dedak merupakan salah satu sumber pakan konsentrat ekonomis dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Dedak memiliki kandungan protein 14,5%, 15 % air, 48,7% lemak dan 7,0% abu serta nilai martabat pati (MP) adalah 67. Kadar minyak yang berasam lemak tidak jenuh dan enzim lipolitik dam dedak cukup tinggi, karena itu dedak mudah sekali tengik. Dari hasil penelitian ternyata kadar asam lemak bebas dalam dedak rata – rata meningkat 1% setiap jam dalam penyimpanan suhu kamar (Somaatmadja, 1981). Dedak mempunyai kandungan mineral yang beragam seperti alumunium, kalsium, klor, besi, magnesium,

(29)

mangan, fosfat, kalium, silikon, natrium, dan seng (Puslitbangtan, 2002). 2.4 Molases

Molases adalah hasil ikutan dari pabrik gula tebu yang biasanya didapatkan sebanyak 25 - 50 % dari berat gula yang dihasilkan, baik dalam bentuk sukrosa 20-30 persen maupun dalam bentuk gula pereduksi 10-30 persen. Gula – gula pereduksi tersebut sangat mudah dicerna dan dapat lansung diserap oleh darah dan digunakan untuk pembakaran untuk keperluan energi. Kandungan nutrien molases menurut Kusumawardhani (2003) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Molases (Kusumawardhani, 2003)

Nutrien Persentase (%)

Air 15,00-24,00

Sukrosa 30,00-40,00

Gula tereduksi (invert) 15,00-32,00

PK (protein kasar) 2,00-4,60 K2O 3,00-6,50 Na2O 0,50-3,00 Ca 0,50-4,70 Mg 0,50-1,70 Cu 0,00-0,40 Zn 0,10-1,05 P20 0,01-0,30

Molasses mengandung 2,5-4,5 persen protein kasar, separuh dari protein tersebut merupakan protein yang dapat dicerna. Berbagai asam amino yang banyak terdapat pada molases adalah aspartat, glutamat, pyrolidin karboksilat, asparagin, lysin, dan alanin. Disamping itu molases sangat kaya akan mineral. Kadar abu molasses antara 2,5-7 persen sebagai karbonat. Sebagian besar dari kadar abu tersebut terdiri dari kalium 30-50 persen (sebagai K2O), besi dengan

kadar 0,4-7 persen (sebagai Fe2O3), dan fosfor 0,5-2,5 persen (P2O5). Kadar

(30)

vitamin – vitamin yang tahan panas dan basa (CaOH2) relatif sangat tinggi

didalam molases.

Kegunaan molases dalam pakan ternak adalah bertujuan untuk meningkatkan konsumsi pakan, meningkatkan aktivitas mikroba rumen, sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan pelet, sebagai sumber energi. Penggunaan molases dalam pakan ternak disarankan tidak boleh lebih dari 15 % karena dapat menyebabkan pakan menjadi lengket dan sulit ditangani, serta menyebabkan gangguan metabolisme seperti diare pada ternak (Cullison, 1979).

2.5 Urea

Menurut Parakkasi (1999), urea murni mengandung 65 persen N. Urea untuk makanan atau „feed-grade‟ berbeda untuk urea untuk pupuk. Urea untuk makanan mengandung 45 persen N karena sudah dicampur dengan beberapa bahan antara lain kaolin, kapur atau tepung yang akan mempermudah pencampuran dengan ingredient lain bila menyusun ransum. Beberapa sumber non protein nitrogen (NPN) misalnya urea, garam – amonia, dan beberapa amida merupakan sumber N untuk ruminansia. Yang paling banyak digunakan dalam praktek adalah urea.

Daya tarik penggunaan NPN (urea) dalam pakan adalah untuk menyediakan pakan yang memenuhi syarat dengan biaya yang lebih murah dibanding bila menggunakan bungkil – bungkilan (atau bahan makanan lain) sebagai sumber protein. Penggunaan NPN seperti ini tidak pernah menghasilkan penampilan ternak yang lebih baik dibandingkan pemakaian bungkil-bungkilan sebagai sumber protein. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan urea terutama adalah

(31)

kecepatan perubahannya menjadi NH3 yang empat kali lebih cepat dibandingkan

dengan kecepatan penggunaan NH3 menjadi sel mikroba (Parakkasi, 1999).

Penguraian urea akan terjadi selama proses fermentasi yang dilakukan oleh bakteri rumen melalui enzim urease yang disekresikannya menjadi amonia dan karbondioksida. Yang dimaksud dengan urea dibuat dengan jalan mereaksikan amonia dan karbon dioksida seperti reaksi berikut :

O O Amonia + Karbon Dioksida Diamonium Karbonat Urea

Amonia hasil fermentasi tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai pembentuk asam amino (protein mikroba). Proses pembentukan amonia ini berlangsung cepat sehingga dapat menyebabkan terjadinya alkalosis akibat dinding usus menyerap amonia dalam jumlah terlalu banyak (Payne, 1989). Salah satu keuntungan ruminansia mempunyai organ pencernaan fermentatif sebelum usus halus adalah mampu mengubah jenis nitrogen (N) termasuk Non Protein

Nitrogen (NPN) seperti urea menjadi protein dalam bentuk protein mikroba.

Produk fermentatif dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna (Sutardi, 1980).

2.6 Fermentasi Pakan dalam Rumen

Rumen merupakan media yang penting dalam proses pencernaan pada ternak ruminansia. Aktivitas sebagian besar dilakukah oleh mikroba yang terdapat di dalamnya sehingga ternak ruminansia mampu untuk mencerna pakan yang

(32)

mengandung PK tinggi (Cullison, 1979). Kondisi yang cocok untuk kehidupan mikroba rumen menurut Czerkawski (1986) yaitu memiliki pH antara 6,50 - 7,00 dengan suhu antara 39-41 °C yang merupakan suhu optimum untuk sistem enzim mikroba rumen.

Kapasitas rumen cukup besar, menurut Cullison (1979) volume retikulorumen mencapai lebih dari 50 % volume total saluran pencernaan, sehingga memungkinkan pakan dapat tinggal lebih lama dan memberi kesempatan kepada mikroba rumen untuk mencerna selulosa dan senyawa karbohidrat komplek yang lain yang tidak dapat dicema oleh enzim pencernaan. Sebagian besar senyawa karbohidrat dalam pakan (pati, hemiselulosa, selulosa dan pektin) difermentasi oleh mikroba rumen menjadi VFA yang merupakan sumber energi untuk induk semang (Cullison, 1979).

Protein dalam pakan juga mengalami fermentasi dalam retikulorumen, protein didegradasi dan dirombak menjadi asam amino dan NH3. Jika salah satu

protein pakan mempunyai kelarutan tinggi yang memungkinkan terjadinya degradasi oleh mikroba rumen, maka akan terbentuk NH3 yang akan digunakan

sebagai bakalan sintesis protein mikroba atau terserap melalui dinding rumen dan diubah menjadi urea dalam hati (Soebarinoto et al., 1991). Pencernaan protein terjadi pada dua pool pencernaan, yaitu retikulorumen dan saluran pencernaan pascarumen (Soebarinoto et al., 1991) dimana hasil fermentasi protein mikroba dapat dimanfaatkan atau dicerna di usus halus dan yang tidak dapat dicema akan diekskresikan melalui feses bersama-sama dengan hasil fermentasi pada saluran pencernaan pascarumen. Soetanto et al., (1988) menyatakan bahwa pencernaan

(33)

protein yang lolos dari proses degradasi mikroba rumen akan menghasilkan asam amino dan peptida rantai pendek kemudian diabsorbsi oleh vili-vili usus halus masuk ke vena porta dan masuk pada bagian Pool asam amino dalam hati.

Hasil fermentasi pakan dalam rumen salah satunya Volatil Fatty Acid (VFA). VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan menjadi sumber energi utama ruminansia asal rumen (Parakkasi, 1999). Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Hasil fermentasi dari VFA total menghasilkan asam asetat, butirat, dan propionat.

Pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasikan untuk menghasilkan produk berupa VFA total, sel-sel mikroba, serta gas CH4 dan CO2 (Brock dan

Madigan, 1991) Polisakarida (pektin, pentosan, selulosa, pati) di dalam rumen dihidrolisis menjadi monosakarida. Fermentasi anaerobik karbohidrat dalam rumen menghasilkan gas hidrogen (H2) yang digunakan untuk sintesis asam

lemak volatile. Produksi H2 yang berlebih, dimanfaatkan oleh bakteri metanogen

untuk membentuk gas CH4 (Bunthoen, 2007). Senyawa H2 merupakan produk

akhir dari protozoa, fungi dan bakteri, tidak terakumulasi di dalam rumen karena langsung dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas CH4 (Moss

et al., 2000). Gas CH4 kemudian dikeluarkan oleh hewan ruminansia pada saat

bersendawa (Madigan et al., 2003).Kisaran produk VFA cairan rumen normal adalah 80-160 mM (Sutardi, 1980). Mc Donald et al., 2002 menjelaskan

(34)

konsentrasi VFA dipengaruh oleh jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan.

Selain produksi VFA di dalam rumen, hasil fermentasi yang lainnya adalah ammonia (NH3). Di dalam rumen, protein pakan akan mengalami proses

degradasi menjadi peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. Ammonia (NH3) berasal dari protein pakan yang didegradasi oleh enzim

proteolitk. Di dalam rumen protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen (Arora, 1989). Produksi ammonia tergantung pada kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya makanan berada dalam rumen dan pH rumen (Ørskov, 1992).

Pengukuran Ammonia (NH3) dapat digunakan untuk mengestimasi

degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum di capai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung pada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Jika pakan tinggi kandungan protein yang lolos degradasi maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/L) dan pertumbuhan organisme

rumen akan lambat. Sebaliknya jika degradasi protein lebih cepat dari pada sintesis protein mikroba maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi

optimumnya. Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/L

(Mc Donald et al., 2002).

Peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi ammonia karena terjadi kenaikan penggunaan ammonia untuk

(35)

pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat

NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan

sebagi sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami kecernaan di dalam usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1977).

Hasil fermentasi anaerobik karbohidrat dalam rumen menghasilkan gas hidrogen (H2) yang digunakan untuk sintesis asam lemak volatile. Produksi H2

yang berlebih, dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas metana (Bunthoen, 2007). Senyawa H2 merupakan produk akhir dari protozoa,

fungi dan bakteri, tidak terakumulasi di dalam rumen karena langsung dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas metana (Moss et al., 2000). Pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reaksi sebagai berikut:

CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O

Gas metana kemudian dikeluarkan oleh hewan ruminansia pada saat bersendawa (Madigan et al. 2003).

2.7 Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik

Degradabilitas pakan berkaitan dengan komposisi nutrisi dari pakan. Pengukuran degradabilitas bahan organik dilakukan karena peran bahan organik dalam memenuhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok maupun produksi

(36)

(Rahmawati, 2001). Bahan kering terdiri dari abu dan bahan organik seperti protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut, dengan demikian degradabilitas bahan kering dan bahan organik dapat dijadikan salah saru indikator untuk menentukan kualitas pakan, Nilai dari degradasi bahan kering dan bahan organik menunjukkan seberapa besar zat makanan dalam pakan dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1977).

Konsentrsai amonia di dalam rumen ikut menentukan efisiensi sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan organik pakan. Tinggi rendahnya konsentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitas, lamanya makanan berada didalam rumen dan pH rumen. Penambahan karbohidrat mudah terdegradasi dan protein secara bersamaan mampu meningkatkan degradasi bahan organik pakan dan meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yang berimplikasi terhadap peningkatan produktifitas ternak.

2.8 Biomassa Mikroba

Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerob mempunyai temperatur 38 – 42 oC dan pH dipertahankan kisaran 6,8 (Arora, 1989) penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010 - 1012 sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang dapat mencapai 105-106 sel/ ml cairan rumen, namun demikian

(37)

karena ukuran tubuh protozoa lebih besar dari pada bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni mengandung lebih kurang 40% total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Protozoa dapat mencerna partikel makanan dan tidak dapat memanfaatkan selulosa. Protozoa dalam rumen berperan sebagai organisme proteolitik utama bersama Prevotella ruminicola, Peptostreptococci sp. (McDonald, et al., 2010).

Protozoa berperan dalam degradasi protein dalam rumen. Protein dalam pakan akan dihidrolisis menjasi peptida-peptida dan asam amino, beberapa asam amino selanjutnya akan terdegradasi menjadi asam organik, NH3 dan

karbondioksida. NH3 yang dihasilkan dan beberapa peptida ukuran kecil dan asam

amino bebas akan digunakan oleh mikroba rumen untuk sintesis protein mikroba (Gambar 2). Peranan protozoa dalam pencernaan rumen terhadap nutrisi dan produktivitas ruminansia. meski protozoa berperan signifikan dalam perombakan polisakarida, protozoa akan tetap bertahan dalam rumen dan mengkonversi NH3

menjadi protein mikroba dalam rumen dan menghambat jalurnya menuju penyerapan di usus halus. Defaunasi rumen akan mereduksi perombakan polisakrida (terutama hemiselulosa), akan tetapi defaunasi dapat meningkatkan kuantitas protein mikroba di duodenum hingga 5%, hal ini dapat meningkatkan produktivitas hewan ternak (McDonald, et al., 2010).

Ørskov (1992) menyatakan bahwa produksi biomassa mikroba merupakan hasil dari pemanfaatan sumber N dengan sumber kerangka karbon pada pakan oleh mikroba. Adanya mikroba rumen menyebabkan temak ruminansia mempunyai kemampuan untuk mencerna Non Protein Nitrogen (NPN). Biomassa

(38)

mikroba sebagai hasil dari proses fermentasi akan dapat dijadikan sebagai sumber protein bagi ternak ruminansia di pasca rumen. Protein mikroba merupakan sumber protein yang utama bagi ternak ruminansia. Produksi protein mikroba dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan karbohidrat mudah dicerna dalam rumen seperti molases, pati, glukosa, fruktosa dan sukrosa (Hungate, 1966). Sutardi (1980) menyebutkan bahwa kisaran kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-12 mM.

2.9 Teknik Pengukuran Kecernaan

Pengukuran kecernaan pada ternak yang umum dilakukan di laboratorium ada dua, yaitu metode in-vitro dan produksi gas.

2.9.1 Metode in - vitro

Untuk menghitung daya cerna, khususnya pada hewan ruminansia dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran nilai kecernaan secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan metode in vivo, in vitro, dan in sacco, yang mana ketiganya termasuk metode non isotop. Sedangkan pengukuran nilai kecernaan secara tidak langsung dapat menggunakan radioisotop. Teknik in vivo dilakukan dengan mengukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan banyaknya feses yang dikeluarkan oleh ternak dalam satu hari. Metode in sacco merupakan teknik pengukuran nilai kecernaan menggunakan kantung nilon. Sedangkan metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode in vitro adalah suatu teknik simulasi keadaan lingkungan rumen

(39)

sebenarnya dengan menginkubasi cairan rumen pada media buffer secara anaerob pada suhu 39°C dengan variasi periode inkubasi.

Metode penentuan kecemaan yang lazim digunakan di laboratorium adalah teknik in vitro (Reksohadiprojo, 1988). In vitro dengan metode tabung harus mirip dengan sistem in vivo agar sedapat mungkin menghasilkan pola yang sama, jadi nilai yang didapat juga mendekati nilai yang diproses dengan teknik in vivo (Arora, 1989). Teknik ini sering digunakan karena memberikan hasil yang cepat dengan cara vang murah dan kelebihannya adalah jumlah hijauan yang digunakan relatif sedikit (Tisserand ,1989 dalam Chenost dan Reiniger, 1939). Metode in

vitro memiliki beberapa keunggulan diantaranya waktu yang relatif singkat dan

efisien, dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan induk semang dengan hasil yang memuaskan, sampel yang dibutuhkan hanya sedikit, sampel dalam jumlah besar dapat dikerjakan dalam waktu yang bersamaan (Widodo, 2012). Keberhasilan metode in vitro dipengaruhi oleh pencampuran bahan pakan, cairan rumen, kontrol suhu, dan ada tidaknya kesalahan terhadap proses fermentasi khususnya pada larutan buffer, variasi waktu dan metode analisis kimia yang digunakan.

2.9.2 Produksi Gas

Komposisi gas dalam rumen diantaranya yaitu 40% karbondioksida ( ), 30-40% metan ( ), 5% Hidrogen (H) dan sisanya Oksigen (O) dan Nitrogen (N) yang berasal dari udara. Sebagian karbondioksida diproduksi sebagai produk atau hasil dari proses fermentasi dan sebagiannya lagi berasal dari reaksi asam organik dengan bikarbonat dari saliva. Gas metan dibentuk melalui reaksi reduksi

(40)

karbondioksida oleh hidrogen, dan beberapa diturunkan dari asam format. Metanogenesis merupakan suatu proses yang rumit yang melibatkan asam folat dan vitamin B12. Sekitar 4,5 g metan dibentuk setiap 100 g karbohidrat dicerna, dan ruminansia kehilangan 7% energi dari pakan yang dicernanya sebaga metan (Mcdonald, et al., 2010).

Fermentasi dalam rumen yang mengarah ke sintesis propionat akan lebih menguntungkan, karena pada sintesis propionat banyak menggunakan gas hidrogen sehingga produksi gas metan menjadi berkurang. Pada proses sintesis asetat dan butirat banyak dihasilkan gas hidrogen. Gas hidrogen dengan CO2 akan

membentuk gas metan yang sesungguhnya tidak beimanfaat bagi ternak induk semang (Ørskov dan Ryle, 1990). Jenis pakan yang berbeda akan menunjukkan jumlah produksi gas yang berbeda pada selang waktu fermentasi yang sama (Menke et al., 1979).

Menurut Firsoni (2005), produksi gas menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat dicerna oleh mikroorganisme rumen. Semakin tinggi produksi gas yang dihasilkan menunjukkan semakin banyaknya jumlah bahan organik yang dapat difermentasi menjadi bentuk lain seperti VFA. Menurut Lidya A. dan Firsoni (2010), produksi gas akan mempengaruhi produksi biomassa mikroba, yaitu makin tinggi produksi gas makin besar pula konsentrasi biomassa mikroba.

Produksi gas akan mencapai puncak pada inkubasi 24 jam pertama, selanjutnya akan mengalami penurunan hingga 96 jam dan akhirnya mencapai nol. Hal semacam ini terjadi untuk semua jenis pakan oleh karena semakin lama jenis pakan dalam rumen semakin berkurang sumber bahan organik yang

(41)

dimanfaatkan oleh mikroba untuk memproduksi gas (Ella, et al., 1997). Hasil produksi gas memang tidak memiliki manfaat bagi ternak namun hasil yang cepat dengan cara yang murah dan kelebihannya adalah jumlah hijauan yang digunakan relatif sedikit (Tisserand, 1989 dalam Chenost dan Reiniger, 1989). Metode in

vitro memiliki beberapa keunggulan diantaranya waktu yang relatif singkat dan

efisien, dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan induk semang dengan hasil yang memuaskan, sampel yang dibutuhkan hanya sedikit, sampel dalam jumlah besar dapat dikerjakan dalam waktu yang bersamaan (Widodo, et

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 sampai Januari 2016 di Laboratorium Nutrisi Ternak, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN, Jl. Lebak Bulus Raya, Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas schott Duran®, sentrifuge

High Speed Centrifuge, pH meter 765 calimatic knick®, oven Fisher®, desikator Phyrex, termos, kain kassa, kantong nilon (10×20 cm, pori-pori 100 dan 50 μm, ANKOM Technology, NY, USA), heater, neraca aknnalitik Sartorius®, tanur

Pyrolbo®, cawan porselin, cawan conway Phyrex, oven 60o C dan105oC (Fisher

Isotemp Oven), pipet volumetrik, mikropipet, destilator Glascol®, buret, waterbath, syringe dan piston glass Hohenheim 100 ml, peristaltic pump, stirrer,

tabung gas CO2, gas bag (Sanshin gas collection type 5 L A), microtube,

sentrifuse Hitachi®, grinder Fritsch Standard Funnel V2A 14304®, drum,

Kjeldahl digital Analyzer dan CH4 analyzer MRU gas Analyzer®.

Bahan-bahan yang digunakan adalah dedak, urea, molases, isi rumen kerbau, cairan rumen kerbau, netral detergent soluble (NDF), larutan , akuades, H3BO3 berindikator merah metil dan hijau brom kresol, buffer pH

(43)

0,5 N, HCl 0,01 N, 15%, larutan mikromineral ( , , dan ), larutan buffer rumen ( dan ), larutan makromineral ( , dan ), larutan resazurin 0,1% dan larutan pereduksi (NaOH 1 N dan ).

3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Persiapan Pakan

Persiapan pakan dilakukan dengan cara mencampurkan dedak, urea, dan rumen kerbau hingga homogen dengan perbandingan sesuai perlakuan penelitian (Tabel 3), lalu ditambahkan molases, kegunaan molases ditambahkan terakhir bertujuan sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan pakan. Kemudian di simpan di dalam drum dengan volume 50L pada suhu kamar (±25oC). Proses pembuatan pakan fermentasi akan berlangsung selama 10 hari. Setelah 10 hari, masing-masing sampel pakan A, B, C, D, E, dan F dikeringkan menggunakan oven 105oC sampai berat pakan konstan, kemudian dihaluskan menggunakan grinder hingga didapatkan serbuk. Selanjutnya sampel dimasukkan kedalam kantong plastik, dan disimpan pada suhu 60oC. Identitas masing-masing sampel dilakukan dengan pemberian nama perlakuan pada permukaan kantong plastik.

(44)

3.3.2 Perlakuan

Penelitian ini menggunakan enam perlakuan yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi perlakuan penelitian (berdasarkan % bahan kering)

Bahan Pakan Perlakuan (%)

A B C D E F

Dedak 70 60 50 65 55 45

Isi rumen kerbau 20 30 40 20 30 40

Urea 5 5 5 5 5 5

Molases 5 5 5 10 10 10

3.3.3 Analisis Data

Penelitian ini dianalisis menggunakan sidik ragam Analysis of Variance (Anova) RAK (Rancangan Acak Kelompok) dengan 6 perlakuan dan 4 kelompok. Pengelompokan berdasarkan waktu pengambilan cairan rumen. Pengambilan rumen dilakukan setiap satu minggu pada saat pengujian pakan secara in – vitro. Pengujian dilakukan dengan 4 kali pengulangan pada setiap sampel

Pengujian hipotesis berdasarkan pada ketetapan Ho dan H1: Ho : pakan berpengaruh terhadap kualitas cairan rumen H1 : pakan tidak berpengaruh terhadap kualitas cairan rumen Jika p<0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima

Jika p>0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak 3.3.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan produksi gas secara

in vitro menurut (Menke, et al., 1979) yang dihentikan pada waktu inkubasi 48

jam, kemudian dilakukan pemisahan antara supernatan dan residu cairan rumen. Supernatan cairan rumen hasil inkubasi 48 jam dianalisis total gas, konsentrasi

(45)

CH4, produk fermentasi rumen yaitu pH, konsentrasi NH3, Produksi VFA total, Biomassa mikroba, degradasi bahan kering (DBK) dan degradasi bahan organik (DBO) (Sugoro, et al., 2004; Sugoro dan Yunianto, 2006).

3.3.5 Uji in Vitro “Hohenheim Gas Test”

Sampel diinkubasi selama 48 jam dengan metode hohenheim gas tes (Menke, et al., 1979), selanjutnya dilanjutkan dengan uji peubah setelah sampel diinkubasi 48 jam yaitu nilai pH, konsentrasi amonia (NH3), Produksi Volatile

Fatty Acid (VFA) total, Biomassa mikroba, Degradasi Bahan Kering (DBO) dan

Degradasi Bahan Organik (DBO), serta produksi gas (produksi gas total dan produksi CH4).

Uji In Vitro gas test dilakukan dengan pertama membuat saliva buatan (Larutan Mc Dougall). Larutan Mc Dougall dibuat dengan mencampurkan beberapa larutan, antara lain 0,213 ml larutan mikromineral, 413,33 ml larutan makromineral, 413,33 ml larutan buffer, 2,133 ml larutan resazurin 0,1 %, dan 80 ml larutan pereduksi yang dicampurkan ke dalam 826,67 ml akuades. Larutan mikromineral dibuat dengan mencampurkan 13,2 g CaCl2.2H2O, 10 g

MnCl2.4H2O, 1 g CoCl2.6H2O, dan 8 g FeCl3.6H2O ke dalam 100 ml akuades.

Larutan makromineral dibuat dengan mencampurkan 5,7 g Na2HPO4, 6,2 g

KH2PO4, dan 0,6 g MgSO4.7H2O ke dalam 1000 ml akuades. Larutan buffer

dibuat dengan mencampurkan 35 g NaHCO3 dan 4 g NH4HCO3 ke dalam 1000 ml

akuades. Larutan resazurin 0,1 % dibuat dengan mencampurkan 100 mg resazurin ke dalam 100 ml akuades. Larutan pereduksi dibuat dengan mencampurkan 497,34 mg Na2S.9H2O, dan 3,46 ml NaOH 1 N ke dalam 82,6 ml akuades.

(46)

Tahap kedua yaitu pengambilan cairan rumen. Pengambilan cairan rumen kerbau dilakukan pada pagi hari sebelum diberi pakan. Cairan rumen diambil dari kerbau berfistula kemudian disaring dengan kain kassa empat lipatan untuk menyaring material pakan. Dalam proses penyaringan selalu diinkubasi pada suhu 39oC disertai aliran gas CO2. Hasil saringan dimasukkan kedalam termos yang

sebelumnya diisi air pada suhu ± 39oC dan dibuang terlebih dahulu. Sebelum digunakan sebagai tabung fermentor, cairan rumen dalam termos harus dialiri gas CO2 terlebih dahulu selama 30 detik (pH 6,5-6,9) dan ditutup dengan karet

berventilasi. Tabung dimasukkan kedalam shaker water bath dengan suhu 39oC kemudian dilakuan inkubasi selama 48 jam (Krishnamoorty, 2001)

Tahap ketiga yaitu mengamati produksi gas sampel. Produksi gas dilakukan dengan menimbang sampel sesuai perlakuan yang digunakan (Tabel 3). Sampel pakan dimasukkan sebanyak 200 ml ke dalam syringe menggunakan spatula dan diusahakan tidak menempel pada dinding syringe. Kemudian piston dilumuri dengan vaselin dan dimasukkan ke dalam syringe. Sebanyak 1200 ml larutan Mc Dougall dan 870 ml cairan rumen dicampurkan untuk membuat larutan media.

Larutan Mc Dougall terlebih dahulu diaduk menggunakan magnetic stirrer dan disuplai gas CO2 hingga warna berubah dari biru menjadi merah muda

kemudian akhirnya menjadi tidak berwarna atau bening. Larutan Mc Dougall yang bening menandakan lariiutan tersebut dalam kondisi anaerob dan siap dicampurkan dengan cairan rumen. Selanjutnya sebanyak 40 ml larutan media dimasukkan ke dalam syringe berisi sampel melalui selang syringe. Setelah selang

(47)

ditutup menggunakan klem pastik, syringe diinkubasi dalam waterbath pada suhu 39o C selama 48 jam.

3.3.6 Parameter Uji

3.3.6.1 Derajat Keasaman (pH) (Plummer D.T, 1971)

Pengukuran pH sampel dilakukan dengan terlebih dulu mengkalibrasi pH meter dengan menggunakan larutan pH standar (4,7, dan 9). Setelah dikalibrasi, elektroda pH meter kemudian dimasukkan ke dalam sampel dan dicatat nilai pH yang terbaca dilayar setelah nilai pH pada layar stabil, kemudian diulang pada sampel yang sama hingga 3 kali ulangan. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.

3.3.6.2 Pengukuran Konsentrasi NH3 (General Laboratory Procedures, 1966) Pengukuran konsentrasi NH3 ditentukan dengan teknik mikrodifusi

conway. Sampel cairan rumen dimasukkan sebanyak 1 mL ke dalam salah satu

sekat Conway. Sebanyak 1 mL K2CO3 dimasukkan pada sekat yang lainnya dan

cawan kecil ditengah Conway diisi dengan 1 mL indikator Conway. Bagian tepi Conway diolesi dengan vaselin kemudian ditutup. Conway digoyangkan. Sampel dibiarkan selama dua jam hingga larutan pada cawan kecil di bagian tengah Conway berubah menjadi kebiruan yang menandakan adanya amonia yang terikat dengan asam borat. Larutan hasil mikrodifusi Conway dititrasi dengan HCl 0,01 N sampai warna kebiruan tersebut berubah kembali menjadi merah muda. Kadar amonia dihitung dengan rumus berikut:

(48)

3.3.6.3 Pengukuran Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) Total (General Laboratory Procedures, 1966)

Pengukuran kadar VFA total dilakukan dengan meggunakan metode destilation. Sampel cairan rumen sebanyak 5 mL dimasukkan ke dalam yellow tube dan ditambahkan H2SO4 sebanyak 1 mL. Sampel disentrifugasi dengan

kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan antara supernatan dengan pelet. Cairan supernatan sebanyak 5 mL dimasukkan ke dalam tabung destilasi, lalu tabung ditutup dan dihubungkan dengan labu pendingin (Leibiq). Tabung yang berisi sampel dimasukkan ke dalam labu penyuling berisi air mendidih yang dipanaskan selama proses destilasi. Uap air panas yang mendesak VFA total akan terkondensasi dalam pendingin dan air yang terbentuk ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 mL NaoH 0,5 N. Destilat yang terkumpul sebanyak 300 mL, lalu ditambahkan indikator fenolftalein 0,1% sebanyak dua tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi tidak berwarna. Produksi VFA total diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

(mM) (A-B) x ( ) Keterangan: A = Volume akhir (mL)

(49)

3.3.6.4 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Bahan Organik (DBO) (IK07 BATAN-PAIR)

Pengukuran DBK dan DBO dilakukan dengan cara memasukkan Netral

Detergent Soluble (NDS) sekitar 50 – 60 ml kedalam sampel hasil inkubasi dalam syringe. Campuran tersebut kemudian dimasukkan kedalam beaker glass untuk

selanjutnya dimasak hingga mendidih sekitar 1 jam. Sampel kemudian disaring dengan menggunakan cawan crusible dan dibilas dengan air panas dan aseton dan dimasukkan kedalam oven 100oC selama 24 jam. Sampel yang telah dioven kemudian dimasukkan dalam desikator untuk kemudian ditimbang sebagai berat kering. Sampel kemudian ditanur pada suhu 600oC selama 6 jam untuk mendapatkan berat organik. Degradasi bahan kering dan bahan organik dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut :

3.3.6.5 Pengukuran Produksi Gas Total

Pengukuran produksi gas total dilakukan pada jam ke- 2, 4, 6, 8, 10, 12, 24, 26 , 28, 30 dan 48 jam inkubasi dengan cara membaca skala yang tertera pada

syringe. Pembacaan dilakukan dengan cepat untuk meminimalisir perubahan

(50)

Krishnamoorthy (2001). Volume produksi gas (PG) dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut:

PG (ml/200mg BK) = – –

3.3.6.6 Pengukuran Produksi CH4

Pengukuran konsentrasi gas CH4 dilakukan menggunakan alat MRU gas

Analyzer®. Pengukuran konsentrasi gas CH4 dilakukan terhadap hasil inkubasi 48

jam. Angka yang terbaca pada MRU gas Analyzer® merupakan persentase gas CH4. Adapun volume gas CH4 diperoleh dengan rumus berikut:

Produksi gas CH4 jam ke- (ml) =konsentrasi gas CH4 (%) x produksi gas

total jam ke- (ml)

3.3.6.7 Pengukuran Biomassa Mikroba (Blummel et al., 1997)

Mikrotub kosong dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105˚C selama satu jam. Mikrotub dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang bobot awal (B0). Sampel cairan rumen sebanyak 1,5 mL dimasukkan ke dalam mikrotub. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit hingga membentuk supernatan dan pelet. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam mikrotub baru. mikrotub tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit hingga membentuk endapan. Endapan yang terbentuk adalah protozoa. Supernatan yang terbentuk, dipindahkan ke mikrotub lain dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan menghasilkan endapan. Endapan yang terbentuk adalah bakteri. Kemudian mikrotub berisi endapan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60˚C selama 24

(51)

jam lalu dipindahkan ke dalam oven dengan suhu 105˚C selama satu jam. Mikrotub diletakkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang bobot akhir (Bt). Biomassa mikroba dapat dihitung dengan rumus:

( ) Keterangan : Bt = Bobot awal

B0 = Bobot akhir

3.3.7 Komposisi Nutrisi

Komposisi nutrisi sampel dianalisis menggunakan analisis proksimat (AOAC, 2005). Adapun komposisi nutrisi yang diukur adalah sebagai berikut.

Pengukuran Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) dilakukan dengan memasukkan cawan kosong dimasukkan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam. Lalu cawan tersebut dipindahkan dalam desikator selama kurang lebih 30 menit, kemudian ditimbang sebagai berat cawan kosong. Sampel kemudian dimasukkan kedalam cawan dan ditimbang sebagai berat cawan + sampel. Cawan yang sudah berisi sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100oC selama 24 jam. Sampel yang telah dioven kemudian dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang sebagai berat cawan+ sampel (100oC). Setelah itu cawan yang berisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC selama 6 jam. Lalu diletakkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang sebagai berat cawan+ sampel (600oC). Penentuan berat kering dan berat organik diketahui dengan rumus sebagai berikut :

(52)

% Bahan Kering = ( ( ) ) ( ) ) % Bahan Organik = – [( ( )) ) ( ( )) ) ]

Pengukuran kadar protein kasar diukur dengan menggunakan Kjeldahl

digital Analyzer. Sebanyak 1 g sampel ditimbang dalam cawan kuarsa lalu

ditempatkan ke dalam auto-sampler. Hasil analisis diperoleh melalui software SN-Access dan ditampilkan pada layar computer.

(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kandungan Nutrisi Pakan

Sampel pakan pada masing-masing pakan perlakuan dilakukan analisis nilai kandungan nutrisinya. Analisis yang diperoleh menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada setiap parameter pakan yang meliputi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar (Tabel 4). Hal ini terjadi karena adanya perbedaan perbandingan jumlah perlakuan setiap sampel pakan.

Tabel 4. Kandungan Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), dan Protein Kasar (PK) perlakuan.

Perlakuan Kandungan nutrisi (%)

BK BO PK A 91,22 78,18 17,79 B 89,68 77,87 18,13 C 89,06 76,35 18,31 D 88,94 78,16 21,11 E 87,04 78,23 22,32 F 88,15 78,37 22,86

Keterangan : A (70% Dedak (DD):20% Isi rumen (IR):5% Molases (M):5% Urea (U)); B (60% DD:30% IR:5% M: 5% U); C (50% DD:40% IR:5% M:5% U); D (65% DD:20% IR:10% M:5% U); E (55% DD:30% IR:10% M:5% U); dan F (45% DD:40% IR:10% M:5% U)

Kandungan bahan kering (BK) pakan perlakuan yang diperoleh lebih tinggi yaitu antara 88,15% sampai 91,22%. Bahan kering (BK) merupakan pakan bebas air , sehingga dapat dihitung nilai kadar airnya dengan cara 100 dikurang jumlah bahan keringnya, dimana kadar air diukur merupakan persen bobot yang hilang setelah pemanasan pada suhu 105 0

C sampai beratnya tetap. sehingga dapat dinyatakan kadar airnya rendah, hal ini sangat wajar karena bahan penyusun

(54)

pakan yang digunakan dalam keadaan sudah kering. Menurut Tilman (1991) bahwa bahan kering suatu bahan mengandung bahan organik, mineral dan abu. Kandungan bahan kering yang diperoleh memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3148.2 Tahun 2009 persyaratan mutu pakan yaitu sebesar ±86%. Selanjutnya yaitu pengujian bahan organik, bahan organik (BO) merupakan selisih bahan kering dan abu yang secara kasar terdiri dari kandungan karbohidrat, lemak dan protein.

Kandungan bahan organik (BO) pakan perlakuan berkisar antara 76,35% sampai 78,37% (Tabel 4). Bahan organik menunjukan kandungan nutrisi yang dapat dipergunakan ternak. Kandungan bahan organik tertinggi terdapat pada pakan perlakuan F sebesar 78.37%, sedangkan kandungan bahan organik terendah terdapat pada perlakuan C sebesar 76.35%, rendahnya nilai bahan organik pada perlakuan C karena pemanfaatan bahan organik yang kurang oleh isi rumen (mikroba) sebagai sumber energi. Sedangkan tingginya kandungan bahan organik pada F karena terjadi peningkatan aktivitas mikroba dalam menggunakan bahan organik berupa molases sebagai sumber energi. Kandungan bahan organik yang diperoleh memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3148.2 Tahun 2009 persyaratan mutu pakan yaitu sebesar ±74%.

Hasil analisis kandungan protein kasar (PK) antar pakan yaitu antara 17,79% sampai 22,86%. Kandungan protein kasar (PK) paling tinggi terdapat pada perlakuan F sebesar 22,86% dan terendah yaitu pada perlakuan A sebesar 17,79 %. Proses fermentasi pada perlakuan F dapat meningkatkan kualitas pakan berupa protein kasar. Protein kasar dibutuhkan mikroba untuk mensintesis protein

Gambar

Gambar 1. Skema lintasan utama fermentasi anaerobik karbohidrat menjadi VF …….. 8 Gambar 2
Gambar 1. Skema lintasan utama fermentasi anaerobik karbohidrat  dalam rumen  menjadi VFA total (Cavinanto, 2011)
Gambar 2. Degradasi Protein dalam pencernaan ruminansia (McDonald, 2010)
Tabel  1.Persyaratan  Khusus  Mutu  Konsentrat  Sapi  Potong  Berdasarkan  Bahan  Kering (Badan Stndarisasi Nasional, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian telah dilakukan secara in vitro untuk mengukur nilai nutrisi dari pakan komplit yang berbasis jerami fermentasi untuk ruminansia yang mengandung kombinasi

Produksi NH 3 cairan rumen dipengaruhi oleh kadar protein kasar pakan, kelarutan protein pakan dalam rumen, sumber dan proporsi karbohidrat terlarut dan

Kandungan protein kasar dan serat kasar pakan komplit berbasis tongkol jagung dengan penambahan azolla sebagai pakan ruminansia menggunakan rancangan acak

Konsentrat berbahan pakan fermentasi dapat digunakan untuk pakan ternak ruminansia karena tidak mengganggu proses pencernaan dalam rumen yang ditunjukkan oleh kecernaan

Proteksi suplemen VCO menggunakan formaldehid memberikan hasil yang lebih baik pada ransum yakni pakan sumber lemak dan protein tidak banyak terdegradasi dalam rumen namun

Parameter yang diukur meliputi produksi bahan segar dan bahan kering (BK) limbah yang dihasilkan tanaman sorgum, kandungan nutrisi limbah meliputi protein kasar (PK), lemak

konsentrasi VFA tertinggi yang juga diperoleh pada perlakuan P2, P3 dan P4 serta degradasi bahan kering dan bahan organik pakan terting- gi pada P2 menggambarkan potensi murbei

konsentrasi VFA) yang lebih tinggi dibandingkan rumput raja dan hijauan jagung tetapi produk fermentasi rumen dari ketiga jenis pakan masih pada kisaran yang normal untuk