• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kualitas pakan yang diberikan untuk ternak sangat berpengaruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kualitas pakan yang diberikan untuk ternak sangat berpengaruh"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas pakan yang diberikan untuk ternak sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Salah satu nutrien yang mendukung produktivitas ternak adalah protein. Protein pakan didegradasi melalui mekanisme tertentu di dalam tubuh ternak menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu asam amino sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak. Sumber asam amino bagi ternak ruminansia diperoleh dari protein pakan, protein mikrobia, dan nitrogen (N) endogen. Ternak ruminansia memiliki rumen yang memberi kemampuan bagi ternak untuk memanfaatkan senyawa nitrogen (N) sebagai sumber protein yang bermanfaat bagi ternak. Sebagian besar sumber N ruminansia didapat dari tanaman sebanyak 60 sampai 80%, dan sisanya terdiri dari non protein nitrogen (NPN) dan sejumlah kecil nitrogen yang mengalami lignifikasi (Van Soest, 1994). Menurut Orskov (1992) aktivitas mikrobia di dalam rumen menyebabkan protein pakan banyak terdegradasi menjadi asam amino, amonia (NH3), dan kerangka karbon. Hal ini menyebabkan kehilangan

protein pakan yang sangat berarti, karena protein yang terdegradasi di dalam rumen tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh ternak, tetapi dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikrobia, sehingga perlu diupayakan untuk melindungi protein pakan dari degradasi oleh mikrobia rumen, agar protein pakan dimanfaatkan oleh ternak secara optimal melalui proses

(2)

2

degradasi dan absorpsi di dalam usus halus. Degradasi bahan pakan di dalam rumen dapat diketahui salah satunya dengan uji in vitro gas.

Usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi protein di dalam rumen adalah dengan menambah senyawa yang mampu memberi proteksi terhadap protein di dalam pakan. Beberapa senyawa yang mampu memberi proteksi terhadap protein pakan yaitu formaldehid dan tanin (Van Soest,1994). Pemberian protein pakan yang terproteksi dari degradasi mikrobia rumen dapat meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Kandungan tanin dalam bahan pakan diharapkan akan menurunkan pemanfaatan protein oleh mikrobia yang ditandai dengan menurunnya kecernaan protein kasar dan kadar NH3 di dalam rumen.

Menurut Fahey dan Berger (1988) kemampuan tanin dalam menurunkan kecernaan pakan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kemampuan tanin untuk berikatan dengan protein pakan pada proses pencernaan ruminansia, kemampuan tanin bereaksi dengan lapisan terluar pada rumen sehingga menurunkan penyerapan nutrisi oleh dinding rumen, dan kemampuan tanin menghambat aktivitas enzim pencernaan. Kemampuan tanin untuk berikatan dengan protein pakan dijelaskan oleh Van Soest (1994), tanin mampu membentuk ikatan dengan protein dan pada umumnya ikatan yang terbentuk adalah ikatan hidrogen. Kompleks yang terjadi antara tanin dengan protein bersifat stabil pada pH 4 sampai 7 dan akan terlepas pada pH kurang dari 4 dan lebih dari 7.

(3)

3

Jati (Tectona grandis) merupakan tanaman penghasil kayu bermutu tinggi. Kemampuan jati untuk menggugurkan daunnya pada musim kemarau menyebabkan ketersediaan serasah daun jati menjadi berlimpah. Penelitian Windyasmara (2011) menunjukkan kandungan tanin pada daun jati adalah 16,25%. Menurut Schingoethe et al. (1988), pembatasan penggunaan metabolisme N di dalam rumen dapat dilakukan dengan mengurangi kecernaan protein pakan di dalam rumen namun juga harus memperhatikan ketersediaan protein pasca rumen. Tanin yang ada pada daun jati diharapkan mampu memberikan proteksi terhadap protein pakan dari degradasi mikrobia di dalam rumen sehingga kecernaan pakan di dalam rumen menurun.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tanin yang berasal dari serasah daun jati terhadap degradasi pakan di dalam rumen dan produksi gas secara in vitro.

Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini untuk eksplorasi sumber tanin dari limbah hasil perkebunan dan sebagai landasan dalam pemanfaatan serasah daun jati untuk meningkatkan efisiensi penggunaan protein pakan pada ternak ruminansia sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak.

(4)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Daun Jati sebagai Sumber Tanin

Jati adalah jenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Jati memiliki morfologi yaitu tinggi dapat mencapai 30 sampai 45 m, diameter batang dapat mencapai 220 cm, kulit kayu berwarna kecokelatan yang mudah terkelupas. Daun muda berwarna hijau kecokelatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan. Tanaman jati tergolong tanaman yang memiliki kemampuan untuk menggugurkan daunnya saat musim kemarau dan akan tumbuh lagi ketika ketersediaan air mencukupi. Tumbuhnya daun ini juga secara umum ditentukan oleh kondisi musim (Sumarna, 2003).

Menurut Lowry dan Seebeck (1997) beberapa pohon di daerah tropis pada musim kering berganti daun dan daunnya berguguran, sehingga serasah daun tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kualitas serasah daun tersebut lebih rendah daripada daun segar, tetapi kualitasnya masih lebih tinggi daripada kualitas rumput pada musim kering. Meskipun serasah daun biasanya sulit dicerna, tetapi sangat mudah diremah sehingga ternak dapat makan lebih banyak daripada rumput. Kandungan kimia serasah daun jati tertera pada Tabel 1.

(5)

5

Tabel 1. Komposisi kimia serasah daun jati kering

No Analisa bahan Kandungan (% BK)

1 Bahan kering (BK) 93,32

2 Abu 24,34

3 Kadar air (KA) 6,08

4. Protein kasar (PK) 5,82 5. Lemak kasar (LK) 6,63 6. Serat kasar (SK) 22,9 7. Carbon (C) 46,09 8. Nitrogen (N) 0,93 9. Tanin 16,25 Windyasmara (2011)

Degradasi Protein Pakan di dalam Rumen

Rumen merupakan organ pencernaan pada ternak ruminansia yang berfungsi sebagai organ pencernaan fermentatif. Organ tersebut memberi keuntungan yaitu dapat mencerna bahan makanan yang berserat kasar tinggi, dapat memenuhi kebutuhan asam amino yang berasal dari mikrobia, mampu mengubah sumber N termasuk non protein nitrogen menjadi protein bermutu tinggi, dapat menyediakan produk fermentasi rumen dalam bentuk yang lebih mudah diserap usus halus dan dapat memanfaatkan ransum bermutu relatif rendah untuk tujuan yang lebih produktif (Arora, 1989). Menurut Beever dan Mould (2000), keberadaan mikrobia yang mampu mendegradasi dinding sel tanaman di dalam rumen memberikan kemampuan pada rumen untuk menyediakan sumber protein yang dapat dicerna oleh ternak inang yaitu berupa protein mikrobia.

Protein atau khususnya asam amino pada ternak ruminansia digunakan untuk perkembangan secara fisiologis meliputi perawatan,

(6)

6

pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan ternak akan asam amino antara lain status fisiologis, adanya suplemen pakan serta kondisi lingkungan (NRC, 1976). Menurut Van Soest (1994) terdapat tiga sumber yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen pada ternak ruminansia yaitu (1) nitrogen tersedia yang secara langsung diubah menjadi amonia yang merupakan sumber utama dari mikroorganisme, (2) sumber protein yang mengalami degradasi menjadi peptida dan asam amino yang merupakan nutrien untuk pertumbuhan maksimum dari mikroorganisme, (3) serta protein yang mengalami degradasi post rumen, sehingga asam amino dapat dimanfaatkan secara langsung oleh hewan ternak. Komponen nitrogen pakan mendukung metabolisme protein organisme rumen dan metabolisme protein pada ternak itu sendiri, namun interaksi bahan pakan, mikroba, dan keadaan ternak yang menentukan pasokan protein yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Menurut Jouany (1991), protein yang digunakan oleh ternak ruminansia 70% berasal dari protein mikrobia, 20% dari protein pakan, dan sisanya berasal dari N endogen (deskuamasi jaringan pencernaan, mucin, dan enzim pencernaan).

Proses pencernaan protein di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikrobia rumen sehingga proses degradasi nutrien pakan oleh mikrobia rumen sulit dihindari (Church, 1988). Protein yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi dan difermentasi oleh mikrobia rumen menjadi NH3, asam lemak volatil (VFA), dan gas metan (CH4). Protein

(7)

7

pakan dalam rumen dipecah oleh mikrobia menjadi peptida dan asam amino. Beberapa asam amino mengalami katabolisme menjadi NH3,

kemudian NH3 dimanfaatkan oleh mikrobia untuk proses pembentukan

protein mikrobia bersama peptida dan asam amino (McDonald et al., 2002). Hal ini didukung oleh pernyataan Sutardi (1980), bahwa protein yang masuk dalam rumen mula-mula akan mengalami proteolisis menjadi oligopeptida, sebagian dari oligopeptida akan dimanfaatkan oleh mikrobia rumen untuk menyusun protein selnya, sebagian lagi akan dihidrolisis lebih lanjut menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi asam keton dan NH3. Proporsi protein yang didegradasi dalam

rumen umumnya sekitar 70 sampai 80% atau 30 sampai 40% untuk protein yang sulit dicerna dan ini merupakan undegraded yang akan dimanfaatkan oleh ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Berdasarkan penjelasan di atas, konsentrasi NH3 dan protein mikrobia

yang terdapat dalam rumen dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kelarutan dan fermentasi protein dalam rumen dan penggunaannya oleh mikrobia.

Pada ternak ruminansia sebagian energi pakan ada yang terbuang dalam bentuk produksi gas CH4 yang terbentuk dari reaksi antara gas

karbon dioksida (CO2)dengan gas hidrogen (H2). Pembentukan gas CH4 di

dalam rumen merupakan hasil dari proses metanogenesis yang dilakukan oleh mikrobia. Menurut Yokohama dan Johnson (1988) secara umum gas CH4 yang diproduksi bertujuan untuk menghindarkan ternak dari

(8)

8

akumulasi H2 pada proses fermentasi. Terbentuknya CH4 dapat

meningkatkan pertumbuhan mikrobia rumen dan meningkatkan efisiensi fermentasi pakan dalam rumen. Berdasarkan penjelasan di atas akumulasi gas CH4 yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat

menggambarkan keaktifan mikrobia rumen dalam proses degradasi pakan. Menurut Williams (2000) akumulasi produksi gas yang dilakukan pada uji in vitro gas tes dapat menunjukkan perkembangan mikrobia di dalam rumen sehingga memberi gambaran tentang kecernaan pakan yang diberikan.

Proteksi Protein Pakan oleh Tanin

Tanin merupakan senyawa yang terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidolisis adalah tanin yang mempunyai struktur poliester yang mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim dan sebagai hasil hidrolisisnya adalah suatu asam polifenol dan glukosa (Hagerman, 1992). Tanin terhidrolisis juga dapat dihidrolisis oleh enzim enzim saluran pencernaan. Salah satu senyawa yang dihasilkan dari hidrolisis ini adalah asam galat dan dapat diabsorpsi lalu diekskresikan ke dalam urine (Cheeke dan Shull, 1985). Gambar struktur kimia tanin terhidrolisis tersaji pada gambar 1.

Tanin terkondensasi adalah jenis tanin yang banyak ditemukan dalam legum dan dikenal sebagai proanthocyanidin yang tidak mudah dihidrolisis dan terdapat dalam bentuk yang sangat kompleks. Tanin

(9)

9

terkondensasi dan tanin terhidrolisis mempunyai struktur molekul yang berbeda tetapi pengaruhnya sebagai antinutrisi hampir sama (Cheeke dan Shull, 1985). Tanin terkondensasi dapat menurunkan ketersediaan nutrien dan aktifitas enzim (McAllister et al., 1994). Struktur kimia tanin terkondensasi tersaji pada Gambar 1.

(a) (b)

Gambar 1. Struktur kimia molekul tanin. (a) tanin terhidrolisis, (b) tanin terkondensasi.

Tanin dapat digunakan untuk melindungi protein pakan dari degradasi mikrobia di dalam rumen, dengan membentuk ikatan kompleks dengan protein, sehingga mikrobia rumen tidak mampu mendegradasinya. Tanin terkondensasi mampu membentuk ikatan kovalen dari interaksi antar gugus quinon dari tanin yang terkondensasi dengan gugus reaktif protein (McSweeney et al., 2001). Penambahan bahan pakan yang mengandung tanin dapat menurunkan degradasi protein dalam rumen ternak ruminansia sehingga akan membuat produksi NH3 dan sintesis

protein mikrobia menurun (Makkar, 1998). Tanin dalam rumen juga mempengaruhi penurunan gas CH4. Penurunan gas CH4 tersebut

(10)

10

disebabkan adanya pengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan bakteri metanogen (Travendale et al., 2005). Menurut Jouany (1991) defaunasi akan menyebabkan penurunan produksi gas CH4 sebanyak 30

sampai 45%.

Interaksi antara tanin dengan protein terdapat tiga bentuk ikatan yaitu: ikatan hidrogen, ikatan ion, ikatan kovalen. Ikatan hidrogen di bentuk karena adanya gugus hidroksil dari tanin dengan gugus reaktif protein. Ikatan hidrogen merupakan bentuk ikatan yang paling banyak terjadi antara protein dengan tanin. Struktur kimia kompleks ikatan hidrogen yang terbentuk antara tanin dengan protein tersaji pada gambar 2. Ikatan ion terjadi karena tanin sebagai anion dan protein sebagai kationnya, sedangkan ikatan kovalen terbentuk sebagai interaksi gugus quinon dari tanin yang teroksidasi dengan gugus reaktif dari protein (Makkar, 2005). Menurut Makkar (1993) tanin akan berikatan dengan protein pakan, sehingga bakteri rumen tidak akan mampu mendegradasinya. Hal ini akan berpengaruh terhadap produksi NH3 dan

sintesis protein mikrobia yang menurun. Penurunan gas CH4 juga terjadi

karena pengaruh secara langsung terhadap bakteri metanogen. McSweeney et al. (2001) menyatakan bahwa tanin mampu membentuk kompleks dengan protein dan mampu melindungi protein dari degradasi di dalam rumen. Selanjutnya dinyatakan bahwa kompleks yang terjadi antara tanin dengan protein ini bersifat stabil pada pH sampai 7, akan terurai kembali pada pH kurang dari 4 atau lebih dari 7. Pada pencernaan ternak

(11)

11

ruminansia mulai dari mulut hingga rumen, tanin akan berikatan dengan protein pakan, tetapi ikatan tersebut akan lepas di abomasum pada pH kurang dari 3 (El-Wazyri et al., 2005) dan di usus halus pada pH lebih dari 7 (Cheeke dan Shull, 1985).

Gambar 2. Ikatan hidrogen antara tanin dengan protein

Penelitian Sahoo et al. (2010) menunjukkan hasil penambahan tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis masing masing 1 mg/26 mg protein kasar pada tumbuhan Grewia optiva menggunakan metode in vitro menurunkan secara nyata tingkat degradasi N sebesar masing masing 30% dan 32% dari kontrol. Penelitian Sasongko (2010) menunjukkan hasil yang serupa yaitu penambahan level tanin terkondensasi sebanyak 0,7% dari bahan pakan tinggi protein akan menurunkan tingkat degradasi protein pakan di dalam rumen sebesar 3,85% dari kontrol. Kadar tanin di dalam ternak ruminansia yang dapat ditoleransi sehingga tidak memberi

(12)

12

pengaruh yang negatif pada ternak adalah sebanyak 20 mg/ g BK dalam pakan (Cheeke dan Shull, 1985).

(13)

13

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

Landasan Teori

Rumen merupakan organ pencernaan pada ternak ruminansia yang berfungsi sebagai organ pencernaan fermentatif. Proses pencernaan protein di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikrobia rumen sehingga proses degradasi nutrien pakan oleh mikrobia rumen sulit dihindari. Protein pakan dalam rumen dipecah oleh mikrobia menjadi peptida dan asam amino. Beberapa asam amino mengalami katabolisme yang menghasilkan NH3, kemudian NH3 tersebut dimanfaatkan oleh

mikrobia untuk proses pembentukan protein sel. Hal ini menyebabkan kehilangan nilai nutrien pakan yang cukup berarti bagi ternak.

Tanin dapat digunakan untuk melindungi protein pakan dari degradasi mikrobia di dalam rumen, dengan membentuk ikatan kompleks dengan protein, sehingga mikrobia rumen tidak mampu mendegradasinya. Kompleks yang terjadi antara tanin dengan protein bersifat stabil pada pH 4 sampai 7 dan akan terdisosiasi kembali pada pH kurang dari 4 dan lebih dari 7. Ikatan yang terbentuk antara protein dengan tanin akan menyebabkan kecernaan protein dalam rumen dan produksi gas menurun. Kemampuan tanin dalam menurunkan kecernaan protein akan berdampak pada turunnya kadar NH3, kecernaan bahan kering, dan

kecernaan bahan organik di dalam rumen. Salah satu sumber tanin yaitu serasah daun jati yang memiliki kandungan tanin sebanyak 16,25%.

(14)

14 Hipotesis

Kandungan tanin pada serasah daun jati mampu memberikan proteksi pada protein pakan terhadap degradasi oleh mikrobia di dalam rumen sehingga menurunkan produksi gas, kecernaan protein kasar, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan kadar NH3 di

(15)

15

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari 2015 hingga Maret 2015 yang berlokasi di Laboratorium Biokimia Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Materi

Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu serasah daun jati kering sebagai sumber tanin. Rumput raja (Penisetum purpureum) dan bekatul digunakan sebagai substrat dengan perbandingan 60:40, dan sebagai donor cairan rumen diambil dari dua ekor sapi Peranakan Ongole (PO). Beberapa bahan kimia digunakan untuk pembuatan medium kecernaan gas test serta analisis kimia.

Bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan medium kecernaan gas tes meliputi 1) larutan elemen utama terdiri dari natrium fosfat (Na2PO4), kalium hidrogen fosfat (KH2PO4), magnesium sulfat heptahidrat

(MgSO4.7H2O), 2) larutan elemen tambahan terdiri dari kalsium klorida

heksahidrat (CaCl2.6H2O), mangan klorida tetrahidrat (MnCl2.4H2O), kobalt

klorida heksahidrat (CoCl2.6H2O) dan ferrum klorida heksahidrat

(FeCl3.6H2O), 3) larutan buffer terdiri dari asam karbonat (NaHCO3),

(16)

16

larutan pereduksi yang terdiri dari natrium hidroksida (NaOH) dan natrium (Na2).

Alat alat yang digunakan meliputi aspirator (untuk mengambil cairan rumen), grinder yang dilengkapi dengan lubang penyaring sebesar 2 mm untuk preparasi sampel, timbangan analitik merek Sartorius kapasitas 160 g dengan kepekaan 0,0001 g untuk menimbang sampel, seperangkat alat untuk analisis proksimat dan seperangkat alat uji kecernaan secara in vitro gas tes dan pH meter merek Hanna.

(17)

17 Metode

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola searah sebagai desain penelitian dengan penambahan serasah daun jati yang setara dengan level tanin 0, 1, 2, 3, dan 4% BK. Setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan.

Preparasi dan analisis kimia sampel

Rumput raja dikeringkan dalam oven suhu 55oC selama 3 hari, selanjutnya digiling menggunakan grinder yang dilengkapi dengan lubang penyaring berdiameter 2 mm. Kemudian sampel rumput raja kering dan bekatul dianalisis komposisi kimia meliputi kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), dan protein kasar (PK) (AOAC, 2005). Serasah daun jati juga dipreparasi dengan dikeringkan dan digiling serta dianalisis komposisi kimia seperti sampel rumput raja dan bekatul (Lampiran 1). Kandungan tanin pada daun jati dianalisis menggunakan metode Burn (Makkar, 1993). Langkah analisis kadar tanin pada daun jati tertera pada Lampiran 2.

Uji kecernaan pakan di dalam rumen dengan metode produksi gas secara in vitro

Uji kecernaan pakan dilakukan dengan mengukur produksi gas secara in vitro metode Menke dan Steingass (1988). Metode in vitro produksi gas menurut Menke dan Steingass tertera pada Lampiran 3.

(18)

18

Menurut Yusiati (1996) salah satu metode in vitro menggunakan teknik produksi gas yang mengukur produksi gas yang dihasilkan selama inkubasi. Bahan pakan (rumput raja dan bekatul, imbangan 60:40) ditimbang sebanyak 300 mg dan dimasukkan ke dalam syringe 50 ml. Kemudian ditambahkan serasah daun jati dengan level tanin sebesar 0% BK pakan (0 mg), 1% BK pakan (50,4 mg), 2% BK pakan (100,8 mg), 3% BK pakan (151,2 mg), dan 4% BK pakan (201,6 mg) setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Perhitungan serasah daun jati yang ditambahkan menurut level perlakuan tersaji pada Lampiran 4. Selanjutnya pada setiap tabung gas test yang sudah berisi sampel pakan dan serasah daun jati ditambah dengan 30ml medium dan diinkubasi pada suhu 39oC selama 48 jam. Kenaikan piston pada tabung diamati pada jam ke 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36, serta 48. Setelah proses fermentasi rumen secara gas test selesai, isi tabung disaring menggunakan gooch crucible yang dilapisi glasswool yang telah diketahui beratnya dan tabung gas test dicuci dengan menggunakan aquades panas sehingga tidak ada sampel yang tertinggal. Residu yang didapat digunakan untuk menentukan kadar BK dan dilanjutkan dengan penentuan kadar BO.

Variabel yang diamati

Produksi gas. Produksi gas digunakan untuk menggambarkan kinetika fermentasi berdasarkan persamaan eksponensial P=a+b (1-ect) (Blummel and Orskov, 1993). Untuk memudahkan analisa data digunakan program new way exel. Menurut Chen (1994) dari analisis produksi gas

(19)

19

didapat produksi gas dari fraksi yang cepat terdegradasi (fraksi a), nilai produksi gas dari fraksi yang lambat terdegradasi (fraksi b), dan laju produksi gas dari pakan yang terdegradasi (fraksi c).

pH. Nilai pH supernatan diukur menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan buffer pH 7 kemudian dengan buffer pH 4.

Protein Kasar tercerna. Residu hasil penyaringan pada kertas saring digunakan untuk menentukan kadar PK menggunakan metode Kjeldahl (AOAC, 2005). Kadar PK yang diperoleh digunakan untuk menghitung protein kasar tercerna dengan persamaan :

% 100 (g) awal sampel Berat PK (g) vitro in setelah sampel Berat PK -(g) awal sampel Berat PK x

Bahan organik tercerna. Gooch crusible yang berisi sampel hasil penetapan kecernaan bahan kering diabukan dalam tanur 600oC sampai putih kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (AOAC, 2005). Hasil yang diperoleh digunakan untuk menghitung bahan organik tercerna dengan persamaan :

% 100 (g) awal sampel Berat BO (g) vitro in setelah sampel Berat BO -(g) awal sampel Berat BO x

Bahan kering tercerna. Gooch crusible yang berisi sampel hasil saringan dimasukkan ke dalam oven 105oC selama semalam kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam lalu ditimbang (AOAC, 2005).

(20)

20

Kadar BK yang diperoleh digunakan untuk menghitung bahan kering tecerna dengan persamaan :

% 100 (g) awal sampel Berat BK (g) vitro in setelah sampel Berat BK -(g) awal sampel Berat BK x

Kadar NH3. Kadar NH3 dianalisis menggunakan metode

Weatherburn (1987), supernatan disentrifus pada kecepatan 3.000 g selama 15 menit, 1 ml supernatant digunakan sebagai sampel analisis kadar NH3, hasil dibaca menggunakan spektrofotometer pada panjang

gelombang 625 nm. Penetapan kadar NH3 tertera pada Lampiran 5.

Kadar protein mikrobia. Supernatan hasil sentrifus pada kecepatan 3000 g diambil 2 ml sampel kemudian disentrifus pada kecepatan 10.0000 g selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dianalisis kadar protein mikrobia menggunakan metode Lowry (Plumer, 1978). Penetapan kadar protein mikrobia tertera pada Lampiran 6.

Analisis statistik

Data yang diperoleh dianalisis variansi pola searah, dan dilanjutkan dengan Duncan’s new multiple range test (DMRT) untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan (Astuti, 2007).

Gambar

Tabel 1. Komposisi kimia serasah daun jati kering
Gambar 1. Struktur kimia molekul tanin. (a) tanin terhidrolisis,   (b) tanin terkondensasi
Gambar 2. Ikatan hidrogen antara tanin dengan protein

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Peningkatan Kualitas Nutrisi Tepung Daun Lamtoro Dengan Penambahan Ekstrak Enzim Cairan Rumen Domba ( Ovis aries ) untuk Bahan Pakan

sebagai bahan perekat dalam pembuatan pakan ikan dari bahan baku limbah bulu. ayam dan ampas tahu yang telah difermentasi serta ikan rucah sebagai

Kandungan kimia lain yang terdapat pada daun belimbing wuluh yaitu saponin, tanin (Anonim, 2001), asam ferulat, asam lemak seperti asam miristat, etil palmitat dan 6,10,14

Penelitian ini hanya sebatas untuk mengetahui pemberian aneka pakan hijauan yaitu daun papaya ( Carica papaya, Linn.), daun kangkung darat( Ipomea reptans Poir.)dan

Kandungan Lignin, Selulosa, dan Hemiselulosa Limbah Baglog jamur tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Masa Inkubasi yang Berbeda Sebagai Bahan Pakan Ternak,

Mengingat pentingnya hal tersebut, maka penelitian ini akan mempelajari pembuatan pelet dari pakan lengkap ternak ruminansia yang berbasis biomassa kelapa

Ketiga pedoman hidup ini haruslah dicapai semuanya, apabila satu hal dari tiga hal itu tidak dapat diraih, maka habislah harga diri manusia, lebih berharga dari daun jati

Pemberian level EM-4 pada level 22,5 ml atau pada perlakuan E3 terjadi penurunan kandungan protein kasar apabila dibandingkan dengan perlakuan E2 namun penurunan pada E3 ini