• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Karakteristik Fermentasi Rumen

Karakteristik fermentasi rumen yang diamati adalah nilai derajat keasaman pH, konsentrasi NH3, VFA Total, DBK, DBO dan biomassa mikroba yang dihasilkan setelah 48 jam inkubasi (Tabel 6). Konsentrasi NH3, VFA, DBK, DBO dan biomassa mikroba menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.05). Pakan perlakuan F menghasilkan nilai tertinggi pada keenam variabel fermentasi rumen.

Pada penelitian ini didapatkan nilai rataan pH cairan rumen sebelum diinkubasi yaitu 6,85 dan nilai rataan pH cairan rumen setelah diinkubasi yang telah ditambah dengan buffer sebesar 7,08. Data rataan nilai pH pada pakan perlakuan yang diukur dari supernatan setelah diinkubasi selama 48 jam melalui produksi gas secara in vitro disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa antar perlakuan memberikan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dalam hal pH akhir fermentasi.

Tabel 6.Karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dari 6 pakan perlakuan pada waktu inkubasi 48 jam.

Macam Perlakuan Karakteristik A B C D E F SEM Nilai pH 7,23 7,22 7,20 7,19 7,17 7,00 0,632 NH3 (mg/100ml) 4,81 a 4,94ab 4,98ab 5,32abc 5,75bc 6,09c 0,208 VFAtotal (mM) 121,14 a 132,97a 153,01ab 188,8bc 220,73c 228,69 c 18,541 DBK (%) 61,62a 61,38a 62,41a 64,29b 64,33b 65,04b 0,639 DBO (%) 61,87a 62,35ab 62,84ab 64,43ab 64,72ab 65,17b 0,564 Biomassa 64,42a 66,45a 70,47ab 75,22b 73,92b 76,40b 0,671 Mikroba(mg)

Keterangan:NH3 (konsentrasi amonia); Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) Total; DBK (Degradasi Bahan Kering); DBO (Degradasi Bahan Organik) ; A (Molases (MO) 5%, Urea (U) 5%, Dedak (DD) 70%, Isi rumen (IR)20%) , (B = MO 5%, U5%, DD 60%, IR 30%), (C = MO 5%, U 5%, DD 50%, IR 40%), (D = MO 10%, U 5%, DD 65%, IR 20%), (E = MO 10%, U 5%, DD 55%, IR 30%) , (F= MO 10%, U 5%, DD 45%, IR 40%).; angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05); SEM (standard error mean)

Pada penelitian ini didapatkan nilai rataan pH cairan rumen sebelum diinkubasi yaitu 6,85 dan nilai rataan pH cairan rumen setelah diinkubasi yang telah ditambah dengan buffer sebesar 7,08. Data rataan nilai pH pada pakan perlakuan yang diukur dari supernatan setelah diinkubasi selama 48 jam melalui produksi gas secara in vitro disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa antar perlakuan memberikan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dalam hal pH akhir fermentasi.

Nilai pH terendah adalah pakan perlakuan F yaitu 7,00 sedangkan nilai pH tertinggi adalah pakan perlakuan A yaitu 7,23. Keenam pakan perlakuan menghasilkan rata – rata nilai pH yang optimal untuk mendukung fermentasi pakan oleh mikroba. Chuzaemi (1997) menyatakan bahwa pH yang optimal untuk mikrobia selulolitik adalah > 6,50 sehingga apabila pH < 6,50 akan menurunkan laju degradasi dinding sel. Pada kondisi tersebut fermentasi rumen dapat

berlangsung dengan baik. Hal ini didukung pula oleh suhu fermentasi 38 - 39 °C dan rataan pH cairan rumen sebelum diinkubasi 6,85. Menurut Johnson (1966) suhu fermentasi in vitro sekitar 37 - 39 °C. Suhu ini harus diusahakan tetap dan tidak melebihi 40 °C karena bakteri rumen sangat sensitif terhadap suhu tinggi, sedangkan menurut Hoover dan Miller (1992) pH normal rumen sekitar 5,70 - 7,30. Jadi, baik dari suhu fermentasi dan pH, cairan rumen sudah memenuhi syarat kondisi cairan rumen yang baik untuk digunakan sebagai media in vitro.

Hal ini menunjukkan bahwa Nilai pH yang diperoleh yaitu 7,00 – 7,23 berada dalam kondisi yang optimum untuk pertumbuhan mikroba rumen. Pemeliharaan kestabilan nilai pH perlu dilakukan agar aktivitas mikroba rumen dapat berjalan optimal. Dalam penelitian Kumar et al. (2012) dilaporkan bahwa nilai pH yang tidak stabil akan menyebabkan terganggunya aktivitas mikroba rumen kerbau yang direpresentasikan oleh menurunnya produk – produk fermentasi seperti VFA, NH3 dan degradasi nutrien pakan.

Nilai pH pakan perlakuan D, E, dan F lebih rendah dibandingkan pakan perlakuan A, B dan C diduga disebabkan oleh kandungan karbohidrat mudah terlarut (molases) pada pakan pelakuan D, E, dan F lebih tinggi dibanding pakan perlakuan A, B dan C. kondisi ini ditandai oleh produksi VFA total pakan perlakuan D, E, dan F lebih tinggi pula dibandingkan pakan perlakuan A, B, dan C (Tabel 6). Produksi VFA total yang tinggi merupakan gambaran bahwa pakan perlakuan D, E, dan F lebih banyak mengandung karbohidrat yang mudah larut. Calsamiglia et al. (2008) melaporkan bahwa fermentasi mikroorganisme rumen didahului oleh substrat yang mudah dicerna terlebih dahulu, nutrisi karbohidrat

yang mudah dicerna akan cepat memproduksi VFA. Penurunan pH cairan rumen dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi VFA dalam rumen karena fermentasi pakan yang mengandung karbohidrat mudah larut (Kerley et al. 1987). Perbedaan nilai pH keenam pakan perlakuan juga membuktikan bahwa meskipun komposisi sumber konsentrat sama, namun perbedaan jumlah kadar beberapa bahan pakan dapat mempengaruhi kondisi ekositem mikroba rumen yang dipresentasikan dalam besaran nilai pH.

Hasil analisis konsentrasi NH3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05) pada pakan perlakuan setelah diinkubasi selama 48 jam secara in vitro berturut-turat disajikan pada Tabel 6. Pakan perlakuan F menghasilkan rata rata konsentrasi NH3 tertinggi yaitu 6,09 mg/100 ml disusul oleh pakan perlakuan E, D, C, dan B dengan konsentrasi 5,75, 5,32, 4,98 dan 4,94 mg/100 ml. Konsentrasi NH3 terendah dihasilkan oleh pakan perlakuan A dengan konsentrasi 4,81 mg/100 ml. Kisaran konsentrasi NH3 pada penelitian ini cukup tinggi yaitu antara 4.81 – 6.09 mg/100 ml. Rataan konsentrasi NH3 yang tinggi memberikan indikasi bahwa pakan perlakuan yang digunakan mempunyai nilai degradasi protein yang tinggi, sehingga tersedia NH3 diatas kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba. Konsentrasi optimal NH3 untuk fermentasi mikroba dalam kultur sistem tertutup adalah 5,00 mg/100 ml namun juga bergantung pada tingkat fermentabilitas pakan (Wanapat & Rowlison 2007, Wanapat et al. 2013). Satter dan Slyter (1979) melaporkan bahwa sintesis protein bakteri dalam rumen berlangsung optimum pada konsentrasi amonia 3 – 8 mg/100 ml. Konsentrasi NH3 tinggi yang dihasilkan sebagai akibat dari akumulasi NH3 selama inkubasi. Hal tersebut karena

fermentasi teknik in vitro gas test dilakukan pada sistem tertutup. Sistem ini mempunyai implikasi dimana NH3 yang terbentuk selama inkubasi berasal dari larutan bufer dan degradasi protein tidak terabsorpsi, sehingga terjadi akumulasi dalam tabung fermentor dan menyebabkan tingginya konsentrasi NH3 hasil pengukuran.

McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa jika konsentrasi NH3 sudah mencapai optimum (8,50 - 20,00 mg/100 ml) maka sebagian NH3 yang tersisa akan diserap oleh darah kemudian dibawa ke hati dan diubah menjadi urea. Urea tersebut sebagian akan dikembalikan ke rumen melalui saliva dan sebagian diserap dinding rumen dan sebagian besar akan diekskresikan lewat urin. Oleh karena itu, pada metode in vitro ini tidak ada NH3 yang diserap secara langsung oleh dinding rumen.

Data pada Tabel 6. Menunjukan peningkatan konsentrasi NH3 cenderung sedikit, hal ini disebabkan oleh persentase penggunaan sumber NPN (urea) dalam pakan disetiap perlakuan yang identik (Tabel 3). Kang & Wanapat (2013) melaporkan bahwa mikroba rumen kerbau memiliki efisiensi tinggi dalam penggunaan NPN yang bersumber dari urea untuk sintesis protein mikroba dibandingkan bahan pakan lain. Jumlah protein dalam pakan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produksi NH3 (McDonald et al. 2002). Konsentrasi NH3 juga ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi (Moante, 2004). Protein sebagai sumber produksi NH3 dan pembentukannya dipengaruhi oleh besarnya sumber protein pada pakan. Hal ini juga sesuai dengan perbedaan konsentrasi NH3 yang berbanding lurus terhadap perbedaan komposisi nutrisi

berupa PK pada (Tabel 4). Kandunga PK tertinggi terdapat pada pakan perlakuan F disusul oleh pakan perlakuan E, D, C, B dan A, sehingga urutan konsentrasi NH3 yang dihasilkan juga sama.

Menurut Arora (1955) amonia adalah salah satu prekursor protein mikroba yang sangat penting pada ternak ruminansia, semakin tinggi kadar amonia didalam rumen maka semakin banyak sumber untuk mensintesis protein mikroba. Asam + Asam Alanin transaminase

amino piruvat Asam α keto + alanin

Asam + Asam glutamat transaminase

amino α ketoglutarat Asam α keto + asam glutamat

Amonia yang tidak diserap akan diangkat dari otot menuju hati oleh asam amino alanin, melalui kerja siklus glukosa–alanin. Alanin memindahkan gugus amonianya ke α – ketoglutarat oleh kerja alanin transminase. Kemudian menghasilkan glutamat, yang mengalami deaminasi menghasilkan α - ketoglutarat dan amonia, melalui kerja glutamat dehidrogenasi. Amonia yang dihasilkan oleh hati menjadi urea melalui siklus ura (Gambar 6).

Gambar 6. Siklus Urea (Marks, 2000)

Protein di dalam rumen dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh mikroba proteolitik menjadi asam amino dan oligopeptida. Oligopeptida yang terbentuk ini ada yang dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhannya, langsung masuk ke dalam usus dan dihidrolisis menjadi asam amino. Sebagian asam amino yang dihasilkan ada yang diserap dinding rumen, masuk ke dalam usus, langsung dimanfaatkan oleh mikroba rumen dan ada yang mengalami deaminasi menjadi asam alfa keto yang menghasilkan NH3 dan CO2 (Gambar 2).

Protein didalam pakan perlakuan akan mengalami degredasi yang melibatkan aktivitas enzim enzim protease, peptidase dan deaminase yang dihasilkan oleh mikroba rumen (Gambar 2). Protein dalam pakan akan menghasilkan peptida. Peptida dihidrolisis oleh enzim peptidase dan

menghasilkan asam amino bebas yang selanjutnya didegradasi oleh enzim deaminase dan menghasilkan NH3, VFA dan CO2. NH3 dikonversi menjadi protein dan senyawa N lainnya untuk mensintesis sel mikroba (Gambar 2).

Hasil analisis produksi VFA Total pada setiap perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) pada pakan perlakuan setelah diinkubasi selama 48 jam secara in vitro berturut-turat disajikan pada Tabel 6. Hasil Produksi VFA total pakan perlakuan F lebih tinggi sebesar 228,69 mM dan diikuti perlakuan E, D, C, B dan A. Pebedaan VFA total sangat nyata terjadi pada perlakuan pakan yang diberi pemberian jumlah molases 5% yaitu pakan perlakuan A, B dan C dengan pemberian jumlah molases 10% yaitu pakan perlakuan D, E, dan F. Tingginya VFA total pada perlakuan D, E dan F karena adanya peningkatan jumlah bakteri selulotik yang memecah pati menjadi VFA. Peningkatan jumlah bakteri selulotik ini dapat disebabkan peningkatan populasi protozoa akibat penambahan jumlah molases. Harfoot dan Hazlewood, 1997 melaporkan bahwa lemak yang masuk kedalam rumen akan mengalami proses hidrolisis oleh bakteri rumen yang akan mengeluarkan enzim lipase, galaktosidase dan phospholipase. Menurut Lock et al. (2006) menyatakan bahwa bakteri selulotik memegang peranan penting dalam proses hidrolisis lemak walaupun protozoa juga mampu menghidrolisis lemak. Tingkat hidrolisis lemak dalam rumen sangat tinggi yaitu lebih dari 85% lemak terhidrolisis menjadi asam lemak bebas, gula, fosfat, dan gliserol (Gambar 7).

Gambar 7. Metabolisme lemak dalam rumen (Davis, 1990)

Gliserol dan gula akan mengalami proses perubahan menjadi asam lemak terbang (volatile fatty acid) atau VFA, dan kemudian VFA digunakan untuk membentuk sel mikroba rumen. Asam lemak bebas didalam rumen kemudian akan mengalami beberapa proses yaitu proses isomerisasi dari posisi “cis” menjadi “trans” dan proses biohidrogenasi sehingga asam lemak yang tidak jenuh (lebih dari 2 ikatan rangkap) sehingga terbentuk asam lemak konjugasi (conjugated linoleic: CLA) (Bauman dan Lock, 2006). Manurut Hungate (1966), VFA total merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama asal rumen. Peningkatan produksi VFA total menunjukan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA total pada cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai VFA total adalah nilai pH. Mikroba memanfaatkan bahan nutrisi dalam rumen menghasilkan asam berupa

asam suksinat, asetat, butirat, dan propionat sebagai hasil fermentasi dalam kondisi anaerob. Meningkatnya jumlah asam yang dihasilkan maka semakin rendah nilai pH cairan rumen. Menurut Nuswantara (2009) penurunan pH berkaitan dengan meningkatnya produksi VFA total yang merupakan senyawa asam hal ini mengakibatkan nilai pH menjadi lebih asam. Hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan penyataan di atas. Produksi VFA total yang tinggi pada masing masing pakan perlakuan mengakibatkan nilai pH menjadi lebih asam.

Kandungan protein kasar (PK) dalam pakan berpengaruh terhadap produksi VFA total. Kandungan protein kasar yang tinggi pada pakan perlakuan F menyebabkan meningkatnya produksi VFA total pada pakan perlakuan F, karena fermentasi protein dalam rumen oleh bakteri dilakukan dengan menghidrolisis pakan menjadi asam amino dan polipeptida yang akan menghasilkan VFA total. Menurut Sutardi (1979) protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen mula-mula akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi oligopeptida yang akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menyusun protein selnya, sedangkan sebagian lagi akan dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam amino. Hasil degradasi asam amino berupa VFA total. Hal ini menunjukkan adanya korelasi positif antara VFA total dengan protein kasar (PK).

VFA total dihasilkan dari proses fermentasi karbohidrat di dalam rumen. Enzim-enzim mikroba rumen akan menghidrolisis polisakarida menjadi monosakarida, selanjutnya monosakarida berupa glukosa difermentasi menjadi VFA total berupa asetat, propionat, butirat dan gas CH4 serta CO2 (Gambar 5). Menurut Arora (1989), perbandingan VFA total di dalam rumen berkisar pada

50%-70% asetat, 17%-21% propionat, 14%-20% butirat, valerat dan format hanya terbentuk dalam jumlah kecil. Dinding rumen akan menyerap senyawa VFA melalui penonjolan-penonjolan yang menyerupai jari (vili). Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung retikulorumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap di usus halus (McDonald, et al., 2002).

Fermentasi yang dilakukan oleh mikroba rumen akan mendegradasi komponen yang terkandung dalam bahan - bahan yang terdapat dalam pakan perlakuan. Nilai rata-rata degradasi bahan kering (DBK) dan degradasi bahan organik (DBO) keenam pakan perlakuan sealam 48 jam inkubasi disajikan pada Tabel 6. pakan perlakuan A memiliki nilai DBK dan DBO terendah dibandingkan perlakuan yang lain sebesar 61,62% dan 61,87% diikuti oleh perlakuan B menghasilkan sebesar 61,38 % dan 62,35%, perlakuan C sebesar 62.41% dan 62,84%, perlakuan D sebesar 64,29% dan 64,43% dan perlakuan E sebesar 64,33% dan 64,72%, sedangkan perlakuan F memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain sebesar 65,04% dan 65,17%. Nilai DBK adalah parameter penting yang mempresentasikan tinggi rendahnya kandungan nutrisi dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen karena nilai DBK lebih melibatkan bahan organik yang dapat langsung dimanfaatkan oleh mikroba rumen.

Hasil analisis keragaman menunujukkan bahwa perlakuan peningkatan molases pada keenam pakan perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap presentase DBK dan DBO (P<0,05) dimana peningkatan molases

sebanyak 10% pada perlakuan D, E dan F menghasilkan presentase DBK dan DBO yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A, B dan C. Peningkatan presentase DBK dan DBO pada perlakuan D, E dan F disebabkan penambahan jumlah kadar salah satu bahan penyusunnya yaitu molases. Kecernaan pakan bergantung akan kemampuan mikroba untuk mencerna, tergantung pada jenis dan ketersediaan pakan yang dimakan ternak (Czerkawski, 1986). Proses degradasi pakan oleh mikroba dimulai dari yang paling mudah didegradasi. Mikroba rumen memilih nutrisi yang lebih mudah larut untuk didegradasi lebih lanjut (Firsoni, 2005). Molases memiliki kandungan sumber energi mudah terlarut sehingga pakan semakin mudah terdegradasi oleh mikroba rumen dan akan meningkatkan kemampuan kecernaan pakan. Hal ini menandakan bahwa penambahan jumlah kadar molases dalam pakan mampu untuk meningkatkan nilai DBK dan DBO.

Nilai degradasi bahan kering dan bahan organik menunjukkan seberapa besar kandungan zat makanan dalam bahan pakan sumber energi dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Menurut Suryahadi dan Piliang (1993), degradasi bahan kering dan degradasi bahan organik menggambarkan nilai efisiensi kandungan zat makanan dalam pakan untuk dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Besar nilai degradasi bahan kering maupun bahan organik berkorelasi positif dengan kecernaan pakan dalam tubuh ternak.

Berdasarkan hasil sidik ragam, menunjukkan bahwa level pemberian dedak, molases, isi rumen kerbau dan urea ke dalam pakan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (P>0,05) meningkatkan produksi biomassa mikroba (Tabel.6). Setiap perlakuan menghasilkan biomassa mikroba yang

berbeda-beda. Perbedaan tersebut menunjukkan ketersediaan dan keseimbangan jumlah protein dengan energi (karbohidrat) yang berbeda pada pakan perlakuan selama proses fermentasi (Firsoni, 2005).

Berdasarkan hasil sidik ragam, menunjukkan bahwa level pemberian molases da nisi rumen dalam pakan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05) meningkatkan produksi biomassa mikroba (Tabel 6). Pada pakan perlakuan A, B dan C, menghasilkan biomassa mikroba sebesar 64,42, 66,45 dan 70,47 mg sedangkan pada pakan perlakuan D, E dan F, produksi biomassa mikroba mengalami peningkatan yaitu sebesar 75,22, 73,92 dan 76,40 mg hal ini karena adanya penambahan level molases yang dapat menghasilkan faktor pertumbuhan untuk mikroba sehingga meningkatkan populasi mikroba. Karena tingginya karbohidrat yang mudah terlarut dalam molases. Menurut Brock dan Madigan (1991) protozoa lebih menyukai substrat yang mudah difermentasi seperti pati dan gula, protozoa mengkonsumsi karbohidrat mudah larut dan disimpan dalam bentuk polisakarida (amilopektin). Pada perlakuan F dengan kandungan persen molases dan isi rumen yang tinggi dapat meninkatkan jumlah bakteri selulotik sehingga dapat mendukung aktivitas bakteri metanogen dalam memfermentasi karbohidrat secara besar-besaran sehingga meningkatkan populasi protozoa dalam rumen.

Perkembangan mikroba rumen sangat tergantung kualitas pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia, terutama untuk persediaan bahan makanan bagi mikroba untuk mensintesis protein mikroba melalui fermentasi (McDonald et al., 2002). Mikroba membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

NH3 menjadi sumber nitrogen utama untuk sintesis asam amino bagi mikroba rumen. Untuk mensintesis protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N-NH3. Kekurangan salah satu unsur ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen (Kaunang, 2005).

Produksi biomassa mikroba dapat dipengaruhi oleh produksi VFA total. Semakin tinggi produksi VFA total yang dihasilkan maka semakin tinggi juga kandungan karbohidrat yang mudah larut. Peningkatan produksi VFA total juga dapat disebabkan adanya peningkatan kandungan protein pakan perlakuan. Menurut Sutardi (1980), jumlah konsentrasi VFA yang dihasilkan memiliki peran ganda yaitu sebagai sumber energi utama bagi ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa kandungan protein kasar yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan dan sintesis tubuh mikroba rumen. Peningkatan karbohidrat mudah terlarut meningkatkan jumlah bahan organik tercerna. Bahan pakan tercerna akan diubah oleh mikroba rumen menjadi VFA dan protein mikroba dengan meningkatkannya pertumbuhan. Produksi biomassa mikroba dan VFA total pada pakan perlakuan F lebih tinggi (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara produksi biomassa mikroba dengan produksi VFA total.

Biomassa mikroba dapat dipengaruhi oleh konsentrasi NH3. Tingginya konsentrasi NH3 diikuti dengan tingginya produksi biomassa mikroba. Peranan NH3 sangat penting sebagai bahan baku untuk membentuk sel-sel mikroba rumen dalam proses metabolisme rumen. Konsentrasi NH3 yang tinggi menggambarkan

tingginya aktifitas bakteri dalam rumen tinggi dan protein pakan mempunyai kelarutan yang tinggi sehingga mudah didegradasi oleh bakteri rumen. Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba sebagai sumber nutrisi mikroba (McDonald

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait