• Tidak ada hasil yang ditemukan

Figur dan Pemikiran Masa Depan: Nelson Mandela dan Inspirasi Penyelesaian Masa Lalu * Edisi Khusus

Dalam dokumen 2000 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 99-102)

BERCERMIN pada sosok Nelson Mandela dan konteks Afrika Selatan untuk mengambil inspirasi utama bagi dunia mau tidak mau akan memaksa mengajak orang pada satu sumbangan pokok bagi peradaban dunia yaitu sumbangan untuk menyikapi bahkan menyelesaikan sejarah masa lalu dengan meletakkan tatapan, pikiran dan orientasi perjuangan ke masa depan. Dua kata kunci yang penting dan dihayati adalah rekonsiliasi dan gerakan menularkan komisi kebenaran yang menggugat kecenderungan normal tiap bangsa untuk mengawetkan dendam dan luka sejarah masa lampau hingga orientasi peradaban bangsa itu tidak ke depan tetapi habis energi kreatifnya untuk berjalan di tempat dalam pengawetan pengabadian benci dan balas dendam antaranggota masyarakatnya. Mengapa sosok Nelson Mandela yang telah dijatuhi hukuman seumur hidup dan sudah dipenjara 27 tahun karena perjuangan menentang "apartheid" memberi inspirasi bagi kita? Mengapa pula realitas apartheid yang membagi masyarakat Afrika Selatan menjadi dua-dalam garis diskriminasi ras putih dan ras hitam-sampai pada puncak kekejian sistem politik rasialis, dengan menjadi warga hitam Afrika di tanah airnya sendiri harus punya surat izin jalan yang melarang mereka bermukim, duduk-duduk di taman atau sekolah, bekerja di tempat-tempat yang hanya eksklusif diperuntukkan bagi warga kulit putih dengan legislasi hukum yang memberi hukuman penjara bagi yang melanggar, dengan perjuangan panjang akhirnya bisa dipatahkan? Padahal semua itu sudah melembaga dalam kekerasan struktural di mana perjuangan awal ANC (gerakan Kongres Nasional Afrika pimpinan Mandela) memakai tradisi tanpa kekerasan warisan Mahatma Gandhi, tetapi kemudian sayap radikalnya menjadikan kekerasan sebagai strategi dan aksi manakala realitas struktur segregasi apartheid adalah wujud sehari-hari kekerasan struktural itu sendiri? Mengapa taktik sabotase untuk sebuah kesadaran di antara warga kulit hitam harus diambil untuk melawan segregasi itu sendiri? Bagaimana akhirnya kesetaraan di depan hukum menjadi syarat mutlak pembebasan Mandela untuk perombakan sistem hukum rasialis menjadi penghapusan apartheid? Bagaimana pula semua itu lalu diproses untuk mengolah masa lampau-dengan perhatian pada korban-korban kemanusiaan--kemudian disumbangkan ke dunia beradab? Ini sendiri dilakukan dengan dibaharuinya pikiran keadilan yang tidak saja melibatkan hukum tetapi lebih jauh lagi. Yang dimaksud di sini, keadilan retributif diperbarui menjadi keadilan restoratif. (Keadilan retributif adalah paham keadilan hukum klasik yang memberi balasan hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan oleh negara hingga pihak yang dirugikan mendapat kompensasi bagi kerugian yang ia alami. Keadilan restoratif adalah yang memandang bahwa posisi korban yang menderita luka atau kehilangan nyawa akibat kekerasan terhadap kemanusiaan tak akan mungkin bisa diganti oleh keadilan hukum dan hanya mungkin bila kompensasinya diserahkan ke korban untuk merumuskan dan di pihak lain ada aksi riil restorasi kemanusiaan oleh pelaku kejahatan dalam wujud perbaikan riil bagi keluarga korban dalam soal pendidikan, atau santunan kemanusiaan yang melambangkan secara ihlas sikap tobat dan minta maaf dalam tindakan restorasi kemanusiaan yang dirumuskan korban). Jawaban atas sekian banyak pertanyaan di atas akan kita coba telusuri dalam pokok-pokok uraian berikut ini. 1. Lahirnya piagam kemerdekaan Ketika apartheid sudah melembaga menjadi diskriminasi rasialis secara kekerasan struktural di mana gerakan Kongres Afrika Mandela dilarang dalam wujud apa pun, di sana sebenarnya orang tidak bisa lagi merdeka dalam pilihan moral perjuangan untuk memilih antara gerakan tanpa kekerasan atau dengan kekerasan. Mengapa? Alasannya, realitas politik riil tidak lagi memberi kemungkinan pilihan, manakala semua gerakan antikekerasan, protes bisu serta apa saja sudah langsung dilayani dengan tembakan peluru tajam, membuat gugurnya anak-anak yang protes. Dalam situasi riil di mana semua lini berwajah rasialis kekerasan, tidak mungkin ANC bersikap netral dan berilusi mengandaikan kemauan dialog dari musuh untuk demokrasi dalam menuntut hapusnya apartheid. Maka syarat mendasar bagi kesetaraan hukum harus dipenuhi dahulu untuk segala macam perundingan dan perubahan sistem baik untuk penindas maupun untuk tertindas. Karena itulah, tidak akan ada perubahan apalagi penghapusan diskriminasi rasial bila tidak ada kesamaan kebebasan antara warga hitam yang setara dengan warga kulit putih. Pada tanggal 26 Juni 1955 di Johanesburg, tuntutan kesetaraan itu tergumpal menjadi nyala perjuangan yang terus membakar dalam piagam kemerdekaan sebagai berikut: rakyat harus memerintah! Semua lapisan kelompok pembentuk bangsa harus memiliki hak yang sama. Semua orang sama di muka hukum. Rakyat harus mendapat bagian dari kekayaan

kliping

ELSAM

negeri. Tanah harus dibagikan di antara mereka yang menggarapnya. Semua orang harus menikmati hak asasi yang sama. Ciptakan pekerjaan dan keamanan. Pintu pendidikan dan budaya harus dibuka. Berikan rumah, keamanan dan kenyamanan. Ciptakan perdamaian dan persahabatan. Biarkan semua orang yang mencintai rakyat dan tanah airnya menyerukan apa yang disuarakan: "kebebasan ini akan terus kami perjuangkan, bahu- membahu, sepanjang hidup sampai kami menang". Kesamaan hak dan kesetaraan hukum antarwarga hitam dan putih ini dikukuhi secara konsisten oleh Nelson Mandela dengan menolak tawaran-tawaran bebas bersyarat dari rezim apartheid ketika Mandela dibuang di pulau penjara Robben yang diisolasi ketat selama 18 tahun. Ia menolak tawaran rezim bebas bersyarat untuk mencari suaka ke Transkei (negara suku tetangga); bebas dan diam bersama keluarga di tempat yang disediakan rezim, ketika perjuangan emansipasi warga hitam sampai ke titik-titik yang tidak bisa kembali lagi di puncak- puncak tekanan dunia terhadap rezim rasialis putih Afrika Selatan. Mandela berteguh hanya mau meninggalkan penjara tanpa syarat dan hanya mau bebas sebagai orang merdeka untuk meneruskan perjuangan hapusnya apartheid dan kesamaan hak warga hitam di Afrika Selatan. Pada titik inilah inspirasi bagi perubahan tata masyarakat bebas rasialis terbukti. Masyarakat seperti itu harus diakui dengan legislasi dan struktural hukum yang menjamin kesetaraan tiap manusia dengan HAM-nya dalam hidup bernegara dan berbangsa. Apa refleksi Mandela sendiri mengenai piagam perjuangan kemerdekaan? Ia menulis: "Piagam kemerdekaan (ini bagiku dan bagi kami) lebih dari sekadar tuntutan perubahan yang demokratis. Piagam ini adalah dokumen revolusioner karena ingin memperjuangkan perubahan mendasar sekaligus yaitu perubahan kondisi ekonomi dan kondisi politik di Afrika Selatan. Untuk mencapainya, jalan berorganisasi, menggerakkan massa dan proses

penyadaran massa menjadi sarana kendaraannya. 2. Kekerasan struktural Ketika sayap radikal ANC akhirnya mengambil keputusan untuk pilihan perjuangan kekerasan karena diskriminasi rasialis sudah begitu mengeras dan menghantam aksi damai dengan kekerasan, dan bahkan ANC pecah pada Agustus 1958 dengan pisahnya Robert Mangaliso Sobukwe karena menganggap ANC tidak bersikap radikal atas pemberlakuan surat izin (pas) jalan bagi warga hitam di negerinya sendiri, Mandela berada dalam posisi yang sangat berat. Sebab aksi protes membakar pas jalan dan sengaja berada bersama-sama di tempat-tempat yang dilarang untuk orang kulit hitam ternyata benar-benar dijadikan pembantaian di Sharpeville 21 Maret 1960 dalam aksi massa. Ini berbuntut pelarangan ANC dan PAC (pecahan ANC dalam Kongres Pan Afrika sayap radikal). Mandela tetap memilih jalan perjuangan tanpa kekerasan dengan memimpin kampanye menuntut konvensi nasional untuk membuat UU baru Afrika Selatan yang adil dan antidiskriminasi Mei 1961. Ketika pemerintah menolak, Mandela kampanye aksi pemogokan yang ditanggapi secara keras dan brutal oleh rezim. Pada Juni 1961 inilah berproses titik balik kesadaran Mandela dan bangsa hitam Afrika, kekerasan apartheid sudah benar-benar menjadi kekerasan struktural. Karena itu perjuangan naif sekadar aksi-aksi damai antikekerasan tidak mampu menembus mati-bekunya jalan dialog, hingga keputusan pilihan moral riil aksi sabotase pun diambil lantaran situasi ekstrem kekerasan sudah tidak lagi memberi peluang memilih antara non violence dan violence. Perlawanan dengan aksi sabotase adalah pilihan untuk sebuah perjuangan penghapusan apartheid bila perjuangan hidup mati untuk peradaban tanpa diskriminasi mau ditegakkan. Di sini kita hanya akan naif bila menafsirnya dalam ruang ilusi dikotomi moral klasik, ketika antikekerasan berada dalam situasi ekstrem, yaitu-apa pun perjuangannya-dihantam dengan peluru. Maka legitimasi moral aksi sabotase adalah realisme perjuangan antara pilihan hidup dan mati, antara baik dan jahat, antara naluri purba biadab jahat manusia dan struktur kekerasan biadab yang dibuatnya, dengan pilihan kemanusiaan yang mau dibunuh oleh kajahatan kekerasan struktural. Sejak saat itulah ANC di bawah tanah, dan atas dasar aksi sabotase itulah rezim apartheid memakai dalih busuk memberontak dan mau menghancurkan pemerintahan yang sah untuk menangkap, mengadili, dan memenjarakan Mandela seumur hidup. Aksi sabotase (Umkhonto we Sizwe) selalu berusaha untuk mencapai kebebasan tanpa pertumpahan darah apalagi perang saudara. "Kami berharap, bahkan sampai saat ini, detik ini, aksi-aksi kami tetap menyadarkan bahwa pemerintah dan segala kebijakannya harus diubah sebelum segalanya menuju tahap perang saudara (tulisan pernyataan Umkhonto we Sizwe, 16 Desember 1961). 3.

Bisakah...? Bisakah matinya orang-orang tercinta: pembunuhan, penganiayaan, luka-luka kemanusiaan, dendam benci dan rentetan sejarah trauma di pihak para korban dan yang paling mengalami luka mendalam sayatan sejarah ini, diganti dengan hukuman setimpal pada pelaku kriminal sejarah? Bisakah suara bisu dalam nyanyi sunyi para korban yang hanya bisa meneruskan hidup ke depan dalam

penderitaan tanpa suara dan kesunyian tanpa kompensasi ditarik ke masa depan pengampunan? Di sinilah inspirasi Mandela dan konteks Afrika Selatan dalam menyikapi masa lalu bisa menjadi cermin

kliping

ELSAM

berkaca. Pertama, bila analogi pertanyaan-pertanyaan yang sama diajukan ke sosok Nelson Mandela, dengan seluruh riwayat penderitaan 27 tahun di penjara, dan berapa ratus ribu nyawa warga hitam Afrika yang dibunuh; derita dan luka dendam tak berbahasakan selama sistem kekerasan struktural apartheid berlangsung; dengan keadilan hukum setimpal menghukum pelaku-pelaku kriminal dan keadilan struktural baru dalam sistem hukum yang menghormati kesamaan HAM tanpa rasialis, apakah itu mencukupi? Sumbangan penentu di sini adalah didekonstruksikannya paham keadilan retributif selama ini yang mengganti secara adil kerugian akibat kejahatan pelaku kekerasan dengan kompensasi hukuman setimpal bagi pelaku. Paham ini tidak memadai lagi karena luka derita kejiwaan dan dendam mengendap tidak bisa diganti dengan kompensasi materiil hukuman bagi pelaku. Apalagi asumsi pengambil aksi praktik keadilan ada pada negara-yang diandaikan berkeadilan-padahal negara ikut sebelumnya dalam praktik kekerasan struktural langsung atau tidak langsung hingga ketidak-adilan sebagai kondisi masyarakat berlangsung. Paham keadilan retributif ini juga tidak memiliki pemihakan apalagi pendirian di posisi korban. Dengan kata lain, paradigma sisi korban tidak ada. Asumsinya sama seperti yang dikritik oleh Walter Benyamin sebelum ia menunjukkan perlunya melihat sejarah dengan dialektika para korban kemanusiaan hasil perubahan-perubahan masyarakat. Sebab selama ini sejarah diagungkan dalam posisi penguasa, dalam dialektika sukses positif keuntungan dan kemegahan rezim di atas mayat-mayat dan kerugian serta pengorbanan para korban rakyat kecil. Dekonstruksi paham keadilan retributif yang tidak menghitung posisi korban lalu diberi konstruksi baru untuk keihlasan merajut masa depan bersama yang baru dalam konstruksi keadilan restoratif. Artinya, kompensasi perbaikan ke depan dihitung benar-benar dan dirumuskan bersama dengan para korban dalam wujud restorasi pendidikan anak-anak korban kekerasan oleh pelaku serta sistem dari rezim pelaku kejahatan. Sebuah komisi kebenaran yang memaparkan benar-benar kejahatan- kejahatan kemanusiaan dibentuk bukan untuk aksi balas dendam, tetapi untuk menyelesaikan bersama luka-luka kemanusiaan dalam mengakui bahwa kejahatan itu benar-benar telah dilakukan; direkonsiliasi lalu dikonstruksi ke paradigma sistemik baru yang tidak mau lagi memberi satu peluang pun untuk kembalinya kekerasan antarsesama. Dalam sosok Mandela dan konteks Afrika Selatan ternyata proses untuk memviruskan rekonsiliasi melawan iklim budaya balas dendam inilah yang paling sulit sebagai proses pendidikan, karena itu menuntut pematangan moralitas individu untuk tidak menghabiskan energi guna pengawetan dendam masa lalu. Sementara yang dituju sudah jelas, yakni perajutan rekonsiliasi baru hingga menjadi moralitas bersama dan pencarian bahasa-bahasa struktural agar kondisi hukum, ekonomi dan politik lebih adil, demokratis dan sejahtera tanpa diskriminasi ras . Fenomena Afrika Selatan dengan Mandela-nya menginspirasi adaMandela-nya penuntasan tiga tahap sekaligus. Tahap kesatu adalah benar-benar

dijawabnya luka-luka sejarah dan dendam karena dianiaya oleh sistem hukum apartheid secara bahasa hukum keadilan yaitu retributif dan restoratif. Bingkai nyatanya, penindas benar-benar dihukum dan rakyat merasakan kompensasi penyembuhan luka rasa keadilannya karena terbukti pelaku dihukum dan terbukti konstruksi hukum baru yang anti rasialis dan restoratif menghormati HAM dipastikan

pelaksanaannya. Dari posisi korban, budaya benci dan balas dendam diproses dengan pendidikan iklim budaya rekonsiliasi, di mana secara struktural, korban benar-benar mendapatkan santunan pendidikan anak- anak piatu dan yatim piatu serta struktur ekonomi dikonstruksi untuk penghapusan kemiskinan. Tahap kedua, saling rekonsiliasi ditatapkan ke depan-dan itu diberi teladan oleh Mandela sendiri-yang tidak mendendam masa lalu, mendirikan kesetaraan hak dan hukum, dalam hal ini membuat nyata konstruksi sistem hukum baru yang tanpa rasialis, baik untuk warga hitam maupun putih, sampai ke sistem pemerataan pemilikan tanah dan konstruksi demokratis. Secara nyata, sistem ekonomi dalam jaringan internasional demi Afrika Selatan baru benar-benar dipilih untuk kesejahteraan Afrika Selatan baru. Ini rumusan struktural dari kata-kata kunci perjuangan Mandela yang tetap konsisten dihayati sejak diucapkan lagi saat pembebasannya 27 tahun kemudian-tahun 1990-dan tetap dihayatinya sampai masa transisi ke penggantinya diselesaikan pula. "Aku (Mandela) berjuang menentang dominasi kulit putih dan aku berjuang menentang dominasi kulit hitam. Aku membawa gagasan untuk cita-cita sebuah masyarakat demokratis dan bebas, di mana semua orang hidup dalam harmoni dan kesempatan yang sama. Inilah gagasan cita-cita kehidupan yang ingin kujalani dan ingin kewujudkan. Namun, bila perlu, dan sejarah menghendaki, aku rela mati demi cita-cita ini". Tahap ketiga, syarat-syarat mendasar harus dijernihkan dahulu dari logika-logika hingga aksi praksis perjuangan emansipasinya. Apa itu?

Ditinggalkannya dikotomi naif pilihan perjuangan kekerasan dan antikekerasan ketika realisme politik seluruhnya sudah berwajah kekerasan dari rejim kekuasaan. Berikutnya, dijernihkannya makna sejati rekonsiliasi: tobat, mengampuni, bukan sebagai basa-basi politik yang busuk untuk menipu para korban

kliping

ELSAM

Dalam dokumen 2000 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 99-102)

Dokumen terkait