• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonsiliasi Spiritual

Dalam dokumen 2000 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 66-69)

KEANEKARAGAMAN hayati yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara merupakan karunia Allah yang tak ternilai bagi bangsa ini. Kita semua telah lama menyadarinya. Tetapi, kesadaran ini baru terbatas dalam format flora dan fauna. Sebab, ketika kita bicara tentang keanekaragaman hayati dalam konteks etnis, kultur dan agama, yang muncul ke permukaan bukan lagi rahmat Tuhan, tetapi persoalan yang semakin hari semakin kompleks dan krusial. Bahkan, belakangan menjadi sebuah ancaman serius bagi integritas negara-bangsa. Di beberapa tempat, terutama di kawasan Ambon-Maluku, gejolak antaretnis bahkan berkembang menjadi konflik etnis-plus (agama) berkepanjangan, dengan korban harta-benda dan nyawa yang tidak sedikit. Sudah banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu, politisi, tokoh masyarakat, juga para petinggi sipil maupun militer, membahas masalah ini, akan tetapi konflik itu terus menggelinding menelan korban, meninggalkan jejak dendam yang semakin mendalam. Belakangan peristiwa sejenis menjalar sampai ke Poso, Sulawesi Tengah. Kini kita tampaknya sudah mulai letih menghadapi konflik yang tak jelas ujung-pangkalnya itu, sehingga diam-diam di hati kita tumbuh dorongan yang sangat kuat untuk melakukan semacam rekonsiliasi nasional. Akan tetapi, carut-marutnya peta persoalan sosial-politik-ekonomi di negeri ini, membuat kita kesulitan menentukan prioritas agenda rekonsiliasi itu. Apakah rekonsiliasi etnis, seperti pernah dilakukan para pemuda pada 28 Oktober 1928, untuk meredam gerakan separatisme kesukuan? Atau rekonsiliasi sipil dengan militer-yang dianggap sebagai pewaris tunggal dosa-dosa Orde Soeharto-agar kondisi keamanan menjadi lebih baik, dan pemerintahan sipil sekarang tidak dibayang-bayangi ancaman kudeta militer? Atau rekonsiliasi sejarah, dengan memutihkan seluruh catatan konflik sosial-politik di masa lalu, baik di zaman Orla maupun Orba? Atau rekonsiliasi antar-agama, sehingga konflik berdarah seperti terjadi di kawasan Ambon-Maluku dan Poso tidak menjalar ke mana-mana? Kultural paradoks Meskipun semua orang merasakan pentingnya rekonsiliasi-demi terciptanya suasana kondusif agar kita bisa segera keluar dari krisis-tetapi ternyata tidak mudah menentukan prioritas bentuk rekonsiliasi yang tepat dan bisa dilakukan dalam waktu dekat. Dan, persoalan rekonsiliasi ini menjadi semakin pelik karena paradoksalnya kita dalam menyikapi simpul-simpul persoalan yang nyata itu. Kita memang mempunyai "sindroma kultural paradoks". Penyakit yang membenarkan dua hal yang bertentangan satu sama lain. Misalnya, kita percaya ada masalah dalam hubungan antar-etnik, juga antara pusat dan daerah, tetapi pada saat yang sama kita menganggap hal itu tidak ada. Kita percaya ada perseteruan yang panas antara politisi sipil dan militer. Tetapi, pada saat yang sama kita mengatakan, "di negeri ini tidak dikenal supremasi sipil atau militer". Kita juga melihat dengan nyata ada konflik keras di masyarakat yang dilandasi sentimen keagamaan. Namun, pada saat yang sama kita terus menolak fakta-fakta yang bermunculan di lapangan, hanya karena kita percaya bahwa semua agama (Langit) itu baik. Semua agama menganjurkan perdamaian dan cinta kasih, seraya mengutip risalah kitab suci masing-masing agama, yang dilegitimasi teks sejarah perkembangan keberagamaan di negeri ini yang harmonis. Akibatnya, ketika persoalan-persoalan itu diangkat ke permukaan untuk dicarikan solusinya, kita menjadi seperti menggantang asap. Memang, sepanjang pemerintahan kokoh karena dikendalikan oleh orang kuat seperti Soeharto di masa jayanya, persoalan-persoalan itu (antaretnik, antaragama, dan sipil-militer) mungkin bisa diredam dengan pendekatan kekuasaan. Tetapi sampai kapan seorang presiden bisa menjadi kepala pemerintahan dengan kekuatan penuh? Prioritas rekonsiliasi Untuk menentukan prioritas rekonsiliasi, tampaknya kita harus melakukan rekonstruksi timbulnya persoalan yang membelit bangsa Indonesia sepanjang satu dekade terakhir dengan jernih, jujur, dan kepala dingin. Dan, niscaya kita akan melihat betapa setiap pernik persoalan itu dirangkai oleh "moralitas bangsa yang berkarat" akibat kurang mendapat sentuhan "tangan-tangan yang bersih", tangan-tangan yang bisa memproteksi jiwa bangsa dari korosi. Sebab, dampak yang ditimbulkan akibat "moralitas bangsa yang berkarat" ini, merapuhkan sendi-sendi yang menjadi basis berdirinya negara-bangsa. Dan, itulah yang sekarang sedang kita alami bersama. Sebenarnya kenyataan berkaratnya mental bangsa ini, mulai dari birokrat, pejabat, pengusaha, politis sipil, militer, jaksa, hakim sampai pengacara, dan sebagainya sudah kita ketahui sejak lama. Karena itu, pada awal-awal badai krisis menerjang negeri ini, kita semua telah sepakat bahwa krisis multidimensional yang memporak-porandakan bangunan

kekuasaan Orde Soeharto itu adalah klimaks dari rusaknya moral bangsa ini. Akan tetapi, berbeda dengna krisis ekonomi, politik, hukum, dan persoalan yang berhubungan dengan ketatanegaraan, krisis

kliping

ELSAM

di sektor moral-yang sudah disepakati merupakan "ibu dari segala krisis"-tak pernah mendapat sentuhan reformasi. Buktinya, dari ribuan unjuk rasa yang pernah digelar sejak era Orde Baru sampai sekarang, kita tak pernah mendengar ada demo yang digelar untuk mempertanyakan dan minta pertanggungjawaban lembaga-lembaga yang memilik otoritas menjaga moral bangsa, yakni institusi atau organisasi keagamaan yang langsung berada di bawah "struktur agama" seperti MUI, KWI, PGI, Walubi. Atau, lembaga-organisasi sosial keagamaan, yang tersebar di seluruh Indonesia Sebab, bukan mustahil lembaga-lembaga keagamaan tempat para pemuka agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha) menyusun strategi dakwah itu, tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga kerusakan moral ini terus berlanjut. Akibatnya, perilaku manusia-manusia Orba yang korup, kolutif, nepotis dan tidak menghargai hukum, terus berjalan sampai sekarang. Bahkan "moralitas yang berkarat" itu pula, tampaknya, yang membuat sebagian di antara kita tak segan-segan menjarah, membakar fasilitas sosial, tempat-tempat ibadah, juga saling melukai dan saling bunuh. Oleh sebab itu, apabila benar lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi sosial keagamaan itu kurang berfungsi sebagaimana mestinya, maka adalah tugas kita semua untuk memberdayakannya. Salah satu caranya dengan mengajak tokoh-tokohnya ke meja rekonsiliasi. Tetapi sebelumnya, lembaga dan organisasi sosial keagamaan ini, perlu mengadakan self reformation, untuk bekal kembali ke khitah, sebagai lokomotif gerakan pelurusan moral-spiritual menurut ajaran agamanya masing-masing. Kebersamaan keberagamaan Memang, kini kita tidak bisa lagi menggunakan sentimen nasionalisme-kebangsaan untuk meredam berbagai gejolak sosial, karena ia sudah rapuh akibat pembusukan yang dilakukan rezim Orba sepanjang tiga dasawarsa. Sedangkan untuk menggunakan kekuatan militer sebagaimana dilakukan Soeharto, sudah bukan zamannya lagi. Jalan satu-satunya yang tersisa kini hanyalah melalui jalan spiritual, jalan agama. Universalitas agama bagi para pemeluknya, memiliki potensi untuk dijadikan pengikat heterogenitas kesukuan bangsa ini. Benar, menempuh jalan keagamaan ini bukannya tanpa hambatan. Sebab "hierarki struktur keagamaan" telah tercemar oleh berbagai kelompok kepentingan. Akibatnya, komunikasi sosial para pemuka agama dengan umatnya mengalami distorsi serius. Gejalanya bisa dilihat pada berbagai gejolak sosial di beberapa tempat, di mana imbauan para ulama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha) kepada massanya untuk menahan diri, tidak digubris sama sekali. Bali meledak. Kupang meledak. Ambon-Maluku meledak. Poso meledak. Mataram meledak. Kenyataan yang memprihatinkan ini seharusnya menjadi bahan pemikiran serius di kalangan para pemuka agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha).Sebab bila ini dibiarkan, maka akan semakin lebar jarak komunikasi sosio-kultural-spiritual antara para pemuka agama dengan umatnya. Pada gilirannya, cepat atau lambat, hal ini akan mendegradasikan kepercayaan umat terhadap ajaran kebenaran agama-agama yang bersangkutan. Dan inilah salah satu penyebab lahirnya semangat sektarianisme yang ditakuti oleh para pemimpin lembaga keagamaan. Rekonsiliasi Keagamaan Agama pada hakekatnya adalah Sumber Nilai Agung, parameter perilaku penganutnya, baik secara horizontal dengan sesama manusia maupun secara vertikal dengan Sang Pencipta. Parameter ini terletak jauh di dasar hati-sanubari. Oleh sebab itu, bila terjadi benturan antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya, maka harus dibaca sebagai "benturan dua dasar sanubari". Itulah sebabnya setiap terjadi konflik antar-agama, yang terluka adalah hati-sanubari, yang penyembuhannya perlu waktu dan kesabaran luar biasa. Ingat, Perang Salib yang terjadi sekitar 10 abad silam dan di tempat yang jauh, nyeri lukanya kadang masih terasa sampai hari ini, di sini! Itulah sebabnya Belanda yang kita tahu merupakan "ibu yang melahirkan divide et impera", tak pernah membenturkan dua pemeluk agama yang berbeda ketika menjajah negeri ini. Dan memang, hanya politisi bodoh yang memainkan perbedaan agama untuk mencapai tujuan politiknya. Sebab, konflik antar-agama tak pernah melahirkan kemenangan untuk siapa pun. Lihatlah Ambon-Maluku sekarang, bukan hanya bangunan fisik yang luluh-lantak, tetapi juga tatanan sosio-kultural yang dibangun nenek-moyang mereka sepanjang belasan abad! Oleh sebab itu, menurut hemat saya, rekonsiliasi nasional harus dimulai dari sektor keagamaan. Para pemuka semua agama merumuskan main stream nilai moral, untuk dijadikan acuan dalam berdakwah. Sehingga kelak akan ada ribuan juru dakwah dari berbagai agama yang menyebarkan nilai moral yang sama, bertakwa kepada Tuhan, dengan landasan cinta kasih kepada sesama umatNya. Antikekerasan, antikorupsi, antiketidakadilan, dan sebagainya. Jangan biarkan satu agama memonopoli satu kebenaran. Misalnya, selama ini hanya umat Islam yang selalu kampanye antimaksiat, antijudi, dan lain-lain. Padahal dampak dari

kemerosotan moral ini, yakni menyuburkan perilaku tindak kriminal, bisa menimpa siapa saja. Para ulama, mari kita jadikan negeri ini sebagai "surga bagi kehidupan keberagamaan yang beragam". * Adhie M Massardi, Komunitas Tandalaga, Forum Studi Persoalan Bangsa.

kliping

kliping

ELSAM

Dalam dokumen 2000 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 66-69)

Dokumen terkait