SIDANG Tahunan (ST) MPR, yang pertama kali di era reformasi ini tampaknya diwarnai manuver politik para elite, khususnya berbagai kekuatan lama (status quo) yang merasa "terganggu" oleh kerja ekstra pemerintah baru dalam mengusut berbagai masalah masa lalu. Walaupun demikian yang lebih penting bagi kita adalah ST MPR ini merupakan ujian bagi "proses penyempurnaan demokrasi" kita. Pertanyaannya, apakah kehidupan demokrasi kita menuju lebih mapan dalam arti bahwa setiap komponen bangsa menghargai dan mentaati mekanisme konstitusional kita sehingga ST MPR
menghasilkan keputusan yang sejalan dengan keputusan SU MPR yang lalu. Ataukah justru sebaliknya bahwa ST MPR akan menghantarkan kita pada keterpurukan demokrasi. Demikian pula apakah demokrasi kita (melalui ST MPR) pada akhirnya mengutamakan kepentingan rakyat ataukah
kepentingan elite semata. Sejumlah pertanyaan di atas sangat wajar karena beberapa alasan. Pertama, Sidang Tahunan MPR termasuk mekanisme demokrasi di negara kita di mana setiap produknya dianggap sebagai kesepakatan seluruh bangsa. Maka kepentingan rakyat sudah seharusnya menjadi inti dari keseluruhan agenda ST MPR. Kedua, ST MPR pertama kali ini merupakan pertaruhan masa depan bangsa. Terutama karena ST MPR berlangsung di tengah kondisi perekonomian yang masih rapuh. Upaya pemulihan ekonomi dirasakan tersendat, antara lain karena keraguan investor terhadap stabilitas politik dan keamanan di Indonesia. Pelaksanaan ST MPR juga berlangsung di tengah konflik
kepentingan sebagian elite politik, yang bersifat pribadi maupun kelompok dan golongan. Berbagai manuver politik dilakukan untuk memuluskan kepentingannya, memaksakan kehendak pada yang lain dan mau menang sendiri (sikap egoisme dan vested interest). Tidak jarang hal itu dilakukan tanpa mengindahkan moralitas politik dan etika berdemokrasi lagi. Lebih mengerikan lagi, muncul kecenderungan akhir-akhir ini untuk menurunkan konflik sampai ke tingkat massa bawah. Sehingga kelak bisa menimbulan benturan fisik antar massa pendukung. Selain itu, ada upaya mengarahkan agenda utama ST MPR pada masalah kekuasaan semata, lebih-lebih menyangkut kelangsungan kepemimpinan nasional. Ada keinginan sebagian elite politik untuk melengserkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kursi kepresidenan dengan alasan fisik. Padahal kelemahan ini sebenarnya sudah melekat pada Gus Dur sebelum dipilih menjadi presiden. Kiranya perlu dipertanyakan ulang, apakah dengan lengsernya Gus Dur, masalah bangsa terselesaikan ataukah justru semakin parah karena tidak adanya kepastian politik. Setiap kali bisa terjadi, seorang presiden terpilih dapat dilengserkan dengan pola yang sama. Rekonsiliasi Nasional Kondisi yang mewarnai ST MPR ini tampaknya memang perlu dicermati secara arif oleh kita semua, khususnya para elite politik. Mungkin paling penting dalam ST MPR ini adalah penekanan beberapa hal. Pertama, mengukuhkan kembali cita-cita reformasi kita yang menekankan proses koreksi terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia dengan ukuran moralitas kebenaran demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara, bukan demi kepentingan kelompok atau golongan. Kedua, kondisi krisis ekonomi dan penataan demokrasi kita tampaknya harus menjadi perhatian utama dalam reformasi ini. Apalagi dalam kondisi krisis ini yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat banyak. Ketiga, penataan kehidupan demokrasi di mana kepentingan kelompok dan golongan tidak membuat kinerja bangsa ini menjadi terasa lambat, termasuk kinerja pemerintah. Keempat, menekankan pada Presiden Abdurahman Wahid untuk tetap menjalankan reformasi secara menyeluruh seperti peningkatan kinerja kabinet, reformasi internal TNI dan penyelesaian masalah keamanan di beberapa daerah Maka menurut hemat penulis, langkah pertama dalam rangka menyelesaikan bangsa bukanlah melengserkan Gus Dur dari kursi ke-presidenan karena hal ini tidak menjamin selesainya kemelut bangsa yang sudah terjadi sebelum reformasi. Langkah yang pertama dan utama, tanpa bermaksud menggurui siapa pun, adalah rekonsiliasi nasional seluruh komponen bangsa. Rekonsiliasi nasional ini diperlukan agar seluruh komponen bangsa mampu mensinergikan masing-masing kemampuannya untuk membangun kembali bangsa ini. Rekonsiliasi ini kita mulai dari kesadaran bersama dalam menata kehidupan yang demokratis. Demokrasi hanya bisa berjalan manakala setiap pelaku demokrasi memiliki kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi. Juga perlu dipahami, dalam kehidupan demokrasi, hanya sebagian dari keinginan dan pikiran kita yang akan diterima dan dilaksanakan. Sikap perfeksionisme dan absolutisme adalah pandangan yang berlawanan dengan demokrasi. Setiap kepentingan politik didialogkan dan dicarikan jalan keluar
kliping
ELSAM
sehingga tercapai win-win solution. Tidak saling ngotot-ngototan untuk menang sendiri seperti yang berkembang akhir-akhir ini. Selanjutnya dilakukan saling tenggang rasa dalam ucap dan tindakan satu sama lain dengan tetap berpegang pada asas supremasi hukum, melakukan penyamaan visi tentang masa depan bangsa dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan golongan. Perlu dibangun kembali kesepakatan dalam gerak dan langkah secara bersama-sama seluruh komponen bangsa. Hal paling penting dalam melakukan rekonsiliasi adalah niat yang ikhlas, jujur dan berangkat dari hati nurani yang bersih. Sehingga rekonsiliasi bukan semata-mata bersifat artifisial, formalistik. Jika memang kita pernah berbuat salah, apa salahnya kita meminta maaf dan mengakui kesalahan. Sebaliknya kita memaafkan kesalahan yang lain selama tidak bertentangan dengan hukum. Fraksi TNI DPR/MPR Dalam situasi yang setiap saat bisa menimbulkan disintegrasi bangsa ini, Fraksi TNI sangat diharapkan proaktif menjembatani berbagai kekuatan politik yang ada di MPR untuk melakukan rekonsiliasi nasional. Fraksi TNI di MPR diperkirakan akan lebih mampu melepaskan subyektivitasnya terhadap kekuasaan (ambisi kekuasaan) dan dapat mengambil jarak yang sama kepada semua kekuatan politik. Peran ini menjadi penting sebagai tebusan atas kesalahan ABRI di masa lalu yang telah ikut secara dominan mengantar bangsa ini terpuruk dalam krisis multi-dimensional yang berkepanjangan. Perjalanan bangsa ini masih panjang dan reformasi tidak boleh berhenti hanya karena kepentingan golongan dan kelompok. Jatuh bangunnya bangsa ini antara lain ditentukan oleh para wakil rakyat yang bersidang pada bulan Agustus ini. Mudah-mudahan kita masih peduli pada nasib bangsa. * Saurip Kadi, Mayor Jenderal, mantan Asisten Teritorial KSAD, anggota DPR/MPR.kliping
ELSAM
KOMPAS - Senin, 14 Aug 2000 Halaman: 29 Penulis: Wawa, Jannes Eudes Ukuran: 11673 Foto: 1Pengungsi Sambas Ingin Rekonsiliasi, Bukan Relokasi * Teropong
KONDISI fisik Iwan (2) tampak sangat loyo, lesu, dan kurus. Raut wajahnya begitu pucat. Tubuhnya terus-menerus mengucurkan keringat, sekalipun hari masih pagi. Kaki, tangan, punggung, leher dan kepala Iwan pun terserang penyakit kulit. "Keadaan ini dialaminya sejak dua bulan lalu. Hari demi hari kondisinya semakin parah. Kami pun sudah kebingungan dan hanya bisa pasrah," kata Ny Fitria (25), ibu kandung Iwan. APA yang diderita Iwan adalah gambaran nyata yang dialami para pengungsi kerusuhan sosial Sambas (Kalimantan Barat). Kerusuhan antar-etnik yang terjadi pada Februari 1999, masih meninggalkan derita sampai kini. Mereka yang terpaksa tercabut dari tanah yang memberi mereka kehidupan jumlahnya 53.948 jiwa atau 9.913 kepala keluarga (KK). Yang tinggal di Kodya Pontianak sebanyak 30.120 jiwa atau 5.535 KK. Hal itu meliputi 18.757 jiwa atau 3.408 KK tinggal di lokasi pengungsian dan yang diamankan di rumah keluarga 11.363 jiwa atau 2.127 KK. Sementara itu di Kabupaten Pontianak 16.319 jiwa atau 2.961 KK. Mereka yang diamankan di lokasi pengungsian sebanyak 6.120 jiwa atau 1.156 KK, sedangkan di rumah keluarga 10.199 jiwa atau 1.806 KK. Di Kabupaten Bengkayang 7.504 jiwa atau 1.416 KK. Sebanyak 4.209 jiwa atau 848 KK di antaranya tinggal di lokasi pengungsian, dan sisanya 3.295 jiwa atau 568 KK menetap di rumah keluarga. Sejak awal Maret 1999, mereka diungsikan dari Kabupaten Sambas, menyusul meletusnya pertikaian antaretnik selama Februari 1999, rumah dibakar serta ratusan jiwa lainnya tewas dibunuh. Selama menetap di dalam lokasi pengungsian, penderitaan mereka semakin rumit, kompleks, sertamenyedihkan. Tidur pun di lantai hanya beralaskan tikar, koran, dan kain seadanya. Tempat itu juga sekaligus berfungsi sebagai dapur. Dalam gedung pun tampak disesaki pengungsi sehingga suasana ruangan terasa sangat panas. Di luar gedung sampah dibuang di sembarang tempat. Kamar mandi, cuci dan kakus (MCK) pun jarang dimanfaatkan. Kondisi ini diperparah lagi dengan begitu langkanya pasokan air bersih oleh instansi terkait sehingga yang dipakai untuk masak dan minum adalah air hujan, sedang mandi dan cuci memanfaatkan air yang tergenang dalam parit yang ada di sekitar lokasi
pengungsian. Buruknya sanitasi dan rendahnya kesadaran memelihara kesehatan lingkungan serta diri mengakibatkan berbagai jenis penyakit begitu mudah menyerang tubuh pengungsi. Pengobatan yang dilakukan kalangan medis pun menjadi mubazir. Selang beberapa hari berikutnya penyakit yang sama kambuh kembali. Bahkan, sedikitnya 65 pengungsi di antaranya meninggal dunia. Mereka umumnya anak berusia di bawah lima tahun (balita). Penyakit yang diderita pengungsi antara lain, diare, kulit, tifus, dan kurang gizi. Untuk mendapatkan ruang yang lebih sehat dan bebas, pengungsi pun terpaksa mendirikan gubuk-gubuk dengan luas berkisar antara 16-20 meter persegi di sekeliling lokasi
pengungsian. Gubuk itu dibangun secara swadaya. Dananya diperoleh dari penjualan sejumlah barang kebutuhan pokok yang dibagikan instansi pemerintah dan lembaga swasta. *** PERSOALAN
pengungsi Sambas bukan itu saja. Begitu banyak anak usia sekolah yang tadinya di Sambas menikmati pendidik formal, namun kini gairah tersebut sirna. Selain tak ada pakaian seragam dan buku pelajaran, suasana hidup di lokasi pengungsian pun tak memungkinkan siswa untuk bersekolah. Orangtua atau keluarga pun sepertinya sudah kehilangan semangat untuk mendorong anaknya bersekolah. Data yang diperoleh Kompas dari Posko Ikatan Keluarga Korban Kerusuhan Sambas menyebutkan, dari 53.948 pengungsi Sambas sekitar 15.579 jiwa di antaranya adalah anak usia sekolah. Akan tetapi, yang sedang menimba ilmu pada Sekolah Dasar (SD) hanya 755 siswa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMTP) 283 siswa, dan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMTA) 25 orang. Mereka ini umumnya menetap di wilayah Kodya Pontianak dan sekitarnya. Sedangkan, anak pengungsi yang berada di Kabupaten Bengkayang, khususnya di dalam lokasi pengungsian di Desa Marhaban, Kecamatan Tujuhbelas, sebanyak 620 orang tak bersekolah lagi. Alasannya, jarak antara sekolah dengan lokasi pengungsian sejauh kurang lebih empat kilometer. "Sebelumnya, saat pertama kali pengungsi ditempatkan di lokasi tersebut sempat didirikan sekolah darurat dan ditugaskan dua tenaga guru. Tetapi, sekolah ini hanya berjalan tiga bulan, sesudah itu ditutup, sebab tenaga guru mengundurkan diri," jelas Abdullah, Koordinator Urusan Pengungsi Sambas di Kabupaten Bengkayang. "Kami sadar, sekolah sangat penting bagi anak-anak. Tetapi, kalau kondisi hidup seperti ini untuk apa mereka sekolah. Lebih baik anak- anak jadi pemulung untuk membantu kami mendapatkan uang. Itu mungkin jauh lebih
bermanfaat bagi kami sekeluarga dalam menyambung hidup," tutur M Ilham (37), pengungsi di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman, yang dua putranya disuruh menjadi pemulung di Pontianak. Penghasilan