• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2. Analisis Kandungan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah

4.2.1 Figur Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada

Cao Xueqin mengangkat figur perempuan China tradisional yang hidup dalam masa feodalisme. Di tengah-tengah indahnya istana Ning Guo dan Rong

Guo, terselip berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan China. Dalam novel ini ada dua perempuan dimunculkan sebagai sosok-sosok yang berambisi, terampil dan patuh terhadap majikan. Dua tokoh paling penting yang sangat berpengaruh dalam penceritaan novel ini adalah Wang Xifeng dan Yuanyang.

Figur tokoh perempuan China yang sangat berambisi adalah Wang Xifeng, seorang perempuan dari kelas bangsawan yang berambisi besar untuk dapat menguasai griya Rong Guo. Padahal pada masa itu, perempuan hanya bisa berdiam diri di rumah dan dilarang untuk memimpin suatu kedudukan. Terlihat pada kutipan berikut ini:

Namun ternyata, Xifeng ingin sekali menerima tugas itu

sehingga ia agak mendesak, “Kuharap Bibi menyetujuinya karena

kakak tertua benar-benar membutuhkan bantuan kita.”

“Apakah kau yakin bisa menunaikan tugas itu?”tanya

Nyonya Wang.

“Saya rasa tugas itu tidak terlalu sulit,” jawab Xifeng. “Bukankah kakak tertua sudah mengaturnya? Saya hanya bertugas

mengawasi pekerjaan dalam rumah saja. Jika ada yang tidak saya

ketahui, bukankah saya bisa bertanya pada Bibi?” (Impian di Bilik Merah, 2014:217-218).

Semangat Wang Xifeng menjadi kenyataan ketika dia dipilih untuk memimpin upacara kematian Qin Shi. Selain itu, dia juga dipilih sebagai orang yang mengatur keuangan istana. Sifatnya yang pandai berbicara di hadapan orang lain, membuat mereka menaruh kepercayaan kepada Xifeng untuk mengatur segala urusan di istana. Dia sangat mendambakan panggung politik yang lebih besar untuk mengembangkan kepandaiannya. Dalam mengurus suatu hal, dia sangat tajam dan tidak mau kalah. Dia juga suka

memamerkan kepandaiannya di hadapan keluarganya, terdapat dalam kutipan berikut:

“Kurasa kurang bijaksana kalau kita menempatkan para

biksuni dan pendeta wanita itu di beberapa kuil. Jika sewaktu-waktu Yang Mulia Yuan Chun diizinkan mengunjungi kita lagi, kita tentu harus mengumpulkan mereka kembali secara terburu-buru. Menurut pendapatku, lebih baik kita menempatkan mereka di Biara Bulan Air. Selain biayanya tidak besar, mereka juga mudah dipanggil bila

diperlukan.” (Impian di Bilik Merah, 2014:349-350).

Kutipan di atas merupakan pendapat Xifeng dalam hal mencarikan tempat tinggal bagi para biksuni muda Buddha dan pendeta wanita Tao. Dia berpendapat bahwa lebih baik para biksuni dan pendeta wanita tinggal di tempat mereka daripada harus tinggal di beberapa kuil. Pendapatnya yang lain juga terlihat pada kutipan berikut ini:

“Jika saya jadi Ibu Mertua,” kata Xifeng, “Saya akan berpikir

seribu kali, sebab Nyonya Besar selain tidak mau ditinggalkan oleh Yuanyang, beliau juga sering mengatakan bahwa dia tidak senang terhadap ayah mertua yang suka mencari selir. Menurut pendapat saya, lebih baik Ibu Mertua mencegahnya. Memang siapa saja bisa berbuat begitu selagi masih muda, tapi lain halnya jika sudah punya anak, keponakan, dan cucu. Jika sampai memalukan, tentu Nyonya

Besar akan mengecamnya secara terbuka.” (Impian di Bilik Merah, 2014:503-504).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Wang Xifeng memiliki kepandaian yang luar biasa dalam memberikan pendapat. Dia dianggap dapat memberi solusi terbaik jika ada terjadi suatu masalah. Seperti Nyonya Xing, Ibu Mertuanya, yang bingung harus melakukan apa karena suaminya menyuruh Yuanyang untuk menjadi selir. Sebelum hal itu terjadi dia khawatir kalau Nyonya Besar, majikan dari Yuanyang, akan menolak keputusan suaminya tersebut. Oleh

sebab itu dia mencari Wang Xifeng untuk mencari solusi dan pendapat Wang Xifeng pun diterimanya.

Kemudian ada figur perempuan China yang memiliki keterampilan khas seorang perempuan kelas bawah yaitu Yuanyang, seorang pelayan kesayangan Nyonya Besar. Perempuan China yang berkelas bawah harus bekerja sebagai pelayan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedudukan budak muda atau Ya Tou sangat rendah pada masa itu. Mereka harus melayani semua kebutuhan majikannya, seperti melayani berganti pakaian, membersihkan semua ruangan majikannya, serta membawakan makanan dan minuman. Majikan dapat memaksakan kehendak kepada pelayannya. Seperti tokoh Yuanyang yang dipaksa menikah dengan suaminya Nyonya Xing, Jia She. Keluarga Yuanyang pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya, terdapat pada kutipan berikut:

“Kenapa kau tidak mau menjadi majikan atau nyonya? Masa

kau ingin terus jadi pelayan? Coba kalau beberapa tahun lagi kau menikah dengan salah seorang pesuruh di sini, bukankah kau akan tetap menjadi budak? Ayo, pergi bersamaku. Kalau sekarang aku bersikap baik terhadapmu, sampai kelak pun aku akan tetap bersikap

baik kepadamu.” (Impian di Bilik Merah, 2014:509).

Mendengar ancaman Jia She, Jin Wen Xiang tak bisa berbuat

lain kecuali mengucapkan kata “ya, ya, ya” dan berjanji akan

memaksa adiknya. (Impian di Bilik Merah, 2014:515).

Dalam masyarakat China tradisional, lelaki dijadikan puncak segalanya, termasuk kekuasaan sehingga lelaki memainkan peran yang sangat dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Dunia perempuan kelas bawah dapat berubah jika menikah dengan majikannya. Perempuan itu akan menjadi selir yang kedudukannya menjadi lebih tinggi dari orang tua dan neneknya. Seorang perempuan yang dijadikan selir akan dibangun rumah baru sebagai pengganti

rumah lama yang tidak memasang nama seorang selir, seperti terlihat pada kutipan berikut:

Selain itu, Kaisar juga memberi izin kepada keluarga selir dari Kerajaan Zhou dan Wu serta Griya Rong Guo untuk membangun istana atas biaya kaisar.

Da Guan Yuan, nama istana yang diberikan kepada Yuan Chun, didirikan di halaman Griya Ning Guo di bagian timur halaman Griya Rong Guo. (Impian di Bilik Merah, 2014:249).

Perempuan China pada masa feodal masih sangat taat pada adat yang sebagian besar merugikannya, bahkan mereka sering merasa tertindas oleh perbuatan majikannya. Dari sinilah Yuanyang ingin agar perempuan China dapat sedikit lebih dihargai agar mereka bisa merasakan kebahagiaan. Selain itu, untuk dapat menguasai suatu kekuasaan, perempuan China harus pandai bicara agar dapat memimpin suatu kekuasaan, seperti yang dilakukan Wang Xifeng. Perempuan China digambarkan sebagai perempuan yang ulet, pekerja keras dan patuh maka sudah sewajarnya perempuan mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki.

4.2.2 Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada

Dokumen terkait