• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Analisis Struktur Pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao

4.1.2 Penokohan dan Perwatakan

Dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin banyak sekali tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Hampir semua tokoh yang muncul telah mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh. Tokoh yang paling dominan dalam novel ini adalah Jia Baoyu, Lin Daiyu dan Xue Baochai. Mereka digambarkan sebagai nyawa dari Griya Rong Guo, kediaman keluarga besar Jia Fa dan segala keturunannya. Tokoh dan watak perempuan yang terdapat pada novel ini yang sesuai dengan judul penulis akan dijelaskan dalam uraian berikut:

a) Lin Daiyu

Lin Daiyu adalah tokoh utama perempuan dalam novel ini. Dari segi fisiologis, Lin Daiyu digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan mempunyai sopan santun. Namun kenyataannya Lin Daiyu adalah sosok perempuan yang mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Sosok tubuh Lin Daiyu memang anggun, tetapi ia terlihat lemah. Melihat keadaan si “Batu Giok Hitam” alias Lin Daiyu,

neneknya lalu bertanya, “Kulihat kau beigtu lemah, apakah kau telah

memeriksakan diri ke tabib secara teliti? Obat apa saja yang telah

diberikan kepadamu?”

Lin Daiyu lalu melanjutkan, “Aku ingat ketika aku berumur 3 tahun, seorang biksu Buddha berambut kusut masai datang menemui ayah, meminta untuk membawaku pergi untuk dijadikan tumbal pengorbanan kepada Buddha. Jika biksu Buddha itu boleh membawaku, aku akan baik; kalau tidak, aku akan sakit-sakitan. Aku tidak boleh menangis terisak-isak, juga tidak boleh menemui sanak saudara dari pihak ibu. Tentu saja, tidak ada yang mengacuhkan

nasihat itu karena menggelikan dan tidak masuk akal.” (Impian di Bilik Merah, 2014:56).

Dilihat dari segi sosiologis, Lin Daiyu adalah perempuan keturunan bangsawan yang terlahir dari keluarga Jia, yaitu Jia Min dan Lin Ruhai yang tinggal di kota Yang Zhou. Dia terlahir ketika ayahnya sudah berumur 40 tahun. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

Lin Ruhai orang kelahiran Su Zhou, dari keluarga terpandang. Kakek buyutnya dulu bangsawan kepala daerah. Walau Lin Ruhai sudah mengambil beberapa orang selir, takdir tetap menentukan lain dan ia pun tak punya pewaris lelaki.

Pada usia 40 tahun sekarang, ia hanya mempunyai seorang anak perempuan dari istrinya, Nyonya Jia. Anak itu diberi nama Lin Daiyu, yang sekarang berumur 5 tahun. (Impian di Bilik Merah, 2014:34 dan 36).

Lin Daiyu juga seorang anak yang cerdas dan memiliki semangat dalam belajar. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:

Yu Cun amat senang dengan pekerjaannya, apalagi Daiyu yang menjadi murid tunggalnya adalah anak yang cakap dan sangat bersemangat belajar. (Impian di Bilik Merah, 2014:36).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa Lin Daiyu adalah seorang perempuan keturunan bangsawan yang cantik dan mempunyai sopan santun. Lin Daiyu juga seseorang yang sejak lahir sudah mendapat penyakit yang aneh yang tidak tahu nama dan sebabnya. Dia tidak boleh mendengar suara

tangisan, juga tidak boleh mengeluarkan air mata. Penyakitnya akan sembuh jika dia menjadi seorang biksuni seperti yang dikatakan biksu Buddha kepada orang tuanya.

Lin Daiyu berasal dari keluarga keturunan bangsawan yang mana pada masa itu jika ada keluarga keturunan bangsawan boleh mendapat pendidikan. Pada masa itu, hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar wanita di rumahnya. Ayah Daiyu, Lin Ruhai sangat menyayangi anak perempuan tunggalnya. Dia memberikan pendidikan kepada anaknya meskipun pendidikan hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Untuk itu dia mencari guru untuk mengajar anaknya. Dan akhirnya seseorang bernama Yu Cun yang disetujui untuk dijadikan guru bagi Lin Daiyu dan menurutnya Lin Daiyu adalah seorang anak yang cerdas.

Ketika berumur 6 tahun, ibunya meninggal karena penyakit menahun. Nenek Lin Daiyu, Nyonya Besar, memintanya untuk tinggal bersama. Tak berapa lama setelah dia tinggal bersama neneknya di Griya Rong Guo, ayahnya pun meninggal dunia akibat sakit yang dialaminya.

Dilihat dari segi psikologis, Lin Daiyu adalah seorang perempuan yang sangat sensitif perasaannya. Seperti yang terlihat pada kutipan-kutipan berikut:

“Oh, dia mirip sekali dengan Lin Meimei.”

Mendengar terkaan Xiang Yun, semua tertawa sambil mengiyakan bahwa pemain itu mirip sekali dengan Lin Daiyu.

Tiba-tiba, Lin Daiyu cemberut sehingga suasana menjadi tidak nyaman. Lin Daiyu pun pergi ke kamarnya.

Baoyu masuk ke kamar Lin Daiyu dan berkata, “Kenapa kau

harus tersinggung?”

“Ucapannya terlalu menghinaku!” seru Lin Daiyu. “Masa aku disamakan dengan pemain panggung?” (Impian di Bilik Merah, 2014:324 dan 327).

Namun tak lama kemudian, ia melihat sekelompok orang menuju ke kediaman Baoyu. Xifeng dan Nyonya Besar tampak di antara mereka.

Oh, alangkah bahagianya Bao Yu karena setiap orang selalu memperhatikannya, pikirnya. Sungguh berbeda dengan diriku. Apakah hal ini karena kedudukan orangtuanya? Tiba-tiba saja hati Lin Daiyu jadi sedih. (Impian di Bilik Merah, 2014:447).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Lin Daiyu perasaannya sangat mudah tersinggung, apabila orang lain membicarakan hal yang tidak baik kepadanya, dia akan marah bahkan sampai menangis. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan dirinya yang telah kehilangan kedua orang tua ketika usianya masih sangat muda. Bagi anak, orang tua adalah guru dalam melakukan hal apapun. Hubungan yang baik dengan kedua orang tua berdampak untuk membentuk karakter anak. Di dalam batin seorang anak, apabila kehilangan kedua orang tua

pasti akan memendam sebuah perasaan murung “di dunia ini hanya tinggal diri sendiri sangat tidak beruntung”. Sehingga anak tersebut akan selalu merasa

rendah diri di hadapan orang lain. b) Xue Baochai

Xue Baochai adalah anak dari adik perempuan ibu Baoyu, dikenal oleh keluarga Jia sebagai Bibi Xue. Dilihat dari segi fisiologis, ia adalah seorang perempuan yang cantik dan rendah hati. Ditinjau dari segi sosiologis, Xue Baochai adalah sosok yang disenangi keluarga dan patuh terhadap tradisi serta nilai-nilai tradisional. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut:

Selain Xue Pan, Bibi Xue juga dikaruniai anak perempuan

bernama Baochai atau “Kebajikan Mulia”. Usia Baochai beberapa

tahun lebih muda dari Xue Pan. Gadis ini cantik dan rendah hati, karena itu ayahnya amat menyayanginya. Selain itu, ia diberi kesempatan untuk belajar di bawah bimbingan guru pribadi.

Kecerdasannya ternyata 10 kali lipat dari kakaknya. Namun setelah ayahnya meninggal, ia kurang tertarik pada buku. Apalagi, ia menyadari betapa nakal kakaknya. Karena itu, ia memutuskan untuk ikut merasakan tanggung jawab ibunya. (Impian di Bilik Merah, 2014:90).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa di dalam keluarganya, hanya Xue Baochai lah yang dapat dibanggakan. Kakak laki-lakinya sangat dibenci oleh keluarganya karena sifatnya yang tidak baik. Karena ayahnya yang meninggal ketika masih kecil, ibunya menggantungkan masa depan keluarganya kepada dirinya.

Selain itu, Xue Baochai juga selalu menghibur hati orang lain ketika sedang bersedih. Seperti tertulis pada kutipan berikut:

“Kau orang sabar,” kata Baochai. “Karena itu, aku tak perlu

lagi mengatakan soal sikap majikanmu terhadapmu. Tapi karena hari ini dia tidak dapat mengendalikan diri, dia lupa apa yang telah dilakukannya terhadapmu. Padahal ia merasa dekat sekali denganmu. Apalagi, tak ada orang lain yang bisa menenangkannya jika ia marah. Sekarang, jika kau menangis terus, semua orang akan mendengarnya dan akan menertawakan majikanmu. Bukankah kau tak menginginkan hal seperti itu terjadi?” (Impian di Bilik Merah, 2014:486-487).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Xue Baochai tidak ingin hati orang lain selalu bersedih. Tidak peduli meskipun seorang pelayan yang sedang bersedih, ia selalu berusaha menghiburnya. Dia adalah perempuan yang selalu berusaha melihat segala sesuatu secara positif. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, dan lebih suka mencari solusi daripada membuat orang frustasi.

Dari segi psikologis, Xue Baochai memiliki sifat yang perhatian terhadap sesama, terutama kepada Lin Daiyu. Seperti tertulis pada kutipan berikut:

“Kemarin, kulihat resep obatmu banyak menggunakan

ginseng dan kayu manis. Kurasa ramuan itu hanya untuk memperkuat saraf dan merangsang semangat saja. Jadi, tidak baik jika kau meminum terlalu banyak obat yang mengandung panas. Seharusnya, kau memperkuat hatimu dulu, karena itu dapat mempengaruhi unsur bumi sehingga kau bisa mencerna makanan lebih baik. Sebaiknya kau makan saja sup yang dibuat dari satu ons sarang burung dan setengah ons gula batu. Ini lebih baik dari obat,

dan sarang walet lebih bermanfaat bagimu daripada yang lain,” kata

Baochai. (Impian di Bilik Merah, 2014:450).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang perempuan bernama Xue Baochai sangat memperhatikan kesehatan saudaranya. Meskipun terkadang Lin Daiyu merasa iri dan cemburu dengan kedekatan Xue Baochai bersama Baoyu, tapi Xue Baochai tidak membalas kecemburuan Lin Daiyu dengan kecemburuan juga. Dia lebih suka memperhatikan kesehatan orang lain karena kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia.

c) Wang Xifeng

Wang Xifeng merupakan tokoh antagonis dalam novel ini. Dia adalah keponakan Nyonya Wang, ibu Baoyu, yang menikah dengan Jia Lian. Jia Lian adalah anak laki-laki Jia She, yang merupakan putra pertama Nyonya Besar.

Dari segi fisiologis, Wang Xifeng memiliki wajah yang cantik, matanya seperti mata burung phoenix, bertubuh semampai, dan bergaya glamour atau mewah. Hal itu tertulis seperti kutipan berikut:

Kira-kira dua tahun yang lalu, Lian telah kawin dengan

keponakan Nyonya Wang bernama Xifeng, si „Burung Cantik‟.

Meski tak suka membaca, tapi tutur katanya halus di tengah-tengah keluarganya. (Impian di Bilik Merah, 2014:47).

Tiba-tiba seorang wanita muda yang manis masuk. Perawakannya semampai dan sikapnya mandiri. Ia mengenakan pakaian yang berwarna lebih cerah daripada yang dipakai oleh para

cucu di situ. Selain itu, ia pun mengenakan perhiasan yang serba gemerlap. (Impian di Bilik Merah, 2014:58).

Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ karena matanya besar dan

tajam seperti burung phoenix. Phoenix dalam mitologi China merupakan burung yang lemah lembut, ia turun dengan sangat hati-hati sehingga tidak merusak apa pun yang dipijak atau disentuhnya. Phoenix dianggap kekuatan yang dikirim dari surga yang ditujukan untuk kaisar. Phoenix, dalam bahasa Mandarin disebut feng huang, mengindikasikan bahwa feng adalah kata „angin‟ sehingga pada masa

legenda phoenix dikenal sebagai dewanya angin. Dalam sejarah China, phoenix menjadi simbol sanjungan bagi penguasa yang berhasil dalam memimpin negara dengan damai. Berdasarkan penjelasan tentang burung phoenix tersebut, maka

pantaslah Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ yang sesuai dengan

fisiknya.

Dari segi sosiologis, Wang Xifeng sedikit dermawan. Dia pernah menolong kerabatnya yang miskin. Seperti pada kutipan berikut:

Xifeng kemudian mengambilnya, lalu memberikannya kepada nenek Liu.

“Terimalah perak ini dan buatlah pakaian untuk anak-anak,” kata Xifeng. “Sering-seringlah datang kemari jika tidak ada kesibukan. Bukankah kita ini masih saudara? Tapi aku juga tidak berusaha untuk menahan kalian karena aku tahu hari sudah siang, sedangkan perjalanan pulangmu masih jauh. Hanya saja, kumohon agar kalian mau menyampaikan salamku kepada siapa saja yang

masih ingat kepada kami.” (Impian di Bilik Merah, 2014:124).

Meskipun dalam novel ini Wang Xifeng digambarkan sebagai sosok yang antagonis, tetapi dia juga memiliki sifat yang baik. Kedermawanannya dalam menolong kerabatnya (memiliki hubungan keluarga dengan kakek Wang Xifeng) ikhlas, tidak meminta pamrih.

Dari segi psikologis, Wang Xifeng memiliki watak yang kejam, terutama kepada pelayan yang membantah perintahnya. Dia juga suka merendahkan para pelayan. Seperti pada kutipan-kutipan berikut:

Kemudian, ia memberi perintah dengan nada keras, “Bawa dia keluar, dan cambuk dia 20 kali.” Mendengar keputusan itu, tak

seorang pun pembantu yang berani memohon pengampunan padanya karena raut muka Xifeng sangat menakutkan hingga menggetarkan hati semua orang. Karena itu, mereka langsung menarik keluar pembantu yang lalai itu, dan mencambuknya sebanyak perintah yang diberikan. Sebagai lanjutan hukuman itu, ia tidak diberi gaji selama sebulan. (Impian di Bilik Merah, 2014:222-223).

Sesudah berkata begitu, Xifeng menampar pipi kiri dan pipi kanan pelayan itu. Seketika itu juga, muka pelayan itu menjadi sembab.

“Coba kau tampar dia,” perintah Xifeng. “Tanyakan padanya, kenapa dia lari. Jika tidak mengaku, robek saja mulutnya!” (Impian di Bilik Merah, 2014:480-481).

Mendengar kata-kata Jia Lian, akhirnya Xifeng naik pitam. Karena mengira Ping-Er secara diam-diam suka mengadu kepada Jia Lian, Xifeng lalu menghampiri Ping-Er dan langsung menampar mukanya. Sesudah itu, ia segera masuk ke kamar, lalu menjambak istri Bao-Er dan memukulnya bertubi-tubi. (Impian di Bilik Merah, 2014:483).

Dari kutipan-kutipan di atas jelas sekali terlihat bahwa Xifeng sosok perempuan yang berani dan bertindak kejam terhadap siapapun yang melawannya. Dalam mengambil keputusan, dia mengambil cara menyerang dan bahkan tak segan akan membunuh seseorang. Keberanian seperti itu hanya dilakukan untuk kejahatan. Setelah melakukan suatu kejadian atau peristiwa, dia selalu tidak menyesal, dan akan membasmi sampai ke akar-akarnya. Kekerasan membuat orang tunduk kepadanya.

Wang Xifeng juga sangat pandai memeriksa hati seseorang dari air muka dan ucapannya. Hal ini membuat banyak orang yang was-was jika bertemu dengannya. Tertulis dalam kutipan berikut:

Saat itu, datanglah para gadis muda dari Da Guan Yuan. Mula-mula mereka tampak ragu-ragu, tapi setelah mereka bertukar pandang, Xifeng akhirnya dapat menduga apa yang hendak mereka kemukakan.

Karena Xifeng dapat menerka tugas apa yang sebenarnya akan diberikan kepadanya, Xifeng segera berkata, “Kalian jangan

mempermainkanku, sebab aku sudah tahu maksud kalian. Bukankah perkumpulan itu hanya untuk hiburan di antara kalian saja? Karena itu, kurasa kalian tidak memerlukan pengawasan. Tapi yang kalian butuhkan sebenarnya hanya orang yang dapat membiayai pertemuan

itu. Betul, kan?”

Mendengar perkataan Xifeng yang tepat, akhirnya mereka tertawa. (Impian di Bilik Merah, 2014:491-492).

Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa kehebatan Wang Xifeng yang lain ternyata bisa membaca maksud seseorang hanya dari ekspresi muka dan ucapannya. Pada saat pihak pembicara tidak ada berbicara, dia sudah bisa menebaknya. Pihak pembicara baru saja akan bicara, dia sudah bisa menanganinya. Oleh karena itu, banyak orang-orang berkata kalau Wang Xifeng

“punya seribu mata hati”.

Wang Xifeng juga memiliki sifat yang dengki. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut:

Tabib kemudian memberinya resep ginseng dengan mutu paling tinggi, yang hanya terdapat di Tai Yuan. Ketika Nyonya Wang diminta untuk memberi ginseng itu, ia menyuruh Xifeng untuk memberikan ginseng itu. Namun, Xifeng malah mengirimkan ginseng yang bermutu rendah. (Impian di Bilik Merah, 2014:195).

Kutipan di atas terjadi ketika Jia Rui jatuh sakit akibat perbuatan Xifeng kepadanya. Dalam novel diceritakan kalau Jia Rui jatuh cinta kepada Wang

Xifeng dan ingin selalu berada di dekatnya. Untuk itu dia mengatur rencana menipu Jia Rui sehingga dia menjadi sakit. Karena mengetahui yang sakit adalah Jia Rui, maka Wang Xifeng tidak ingin melihatnya sembuh. Untuk itu dikirimkannya ginseng yang bermutu rendah.

d) Yuanyang

Yuanyang adalah pelayan kesayangan Nyonya Besar. Dari segi fisiologis, dia adalah sosok perempuan yang cantik dan baik hati. Yuanyang juga seorang pelayan yang pintar dan terampil. Seperti yang tertulis dalam kutipan berikut:

Ketika Yuanyang berkunjung ke tempat Jia She, si tua ini terpesona oleh kecantikan Yuan Yang. Ia terus mengawasi gadis itu. (Impian di Bilik Merah, 2014:505).

Setelah menunggu beberapa saat di kediaman Nyonya Besar, Nyonya Xing segera masuk ke kamar Yuanyang. Di sana, ia mendekati Yuanyang yang sedang merenda dan memuji kepandaiannya. (Impian di Bilik Merah, 2014:508).

Dilihat dari segi psikologis, Yuanyang mempunyai sifat berpendirian teguh dan berani. Hal ini terjadi ketika Nyonya Xing mengatakan kepada Yuanyang tentang suaminya, Jia She, yang ingin menjadikannya selir. Terlihat pada kutipan berikut:

“Suamiku sedang membutuhkan seseorang yang dapat

dipercaya. Ternyata, dia memilihmu, Yuanyang. Dari sekian banyak calon yang ingin sekali terpilih, kaulah yang diambilnya. Jika pada suatu hari kau melahirkan bayi lelaki dari Jia She, kau akan mendapat tempat yang sederajat dengan yang lainnya. Mari kita

menghadap Nyonya Besar.”

Yuanyang tidak menjawab, tetapi malah menarik tangannya secara kasar. (Impian di Bilik Merah, 2014:508-509).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Yuanyang mempunyai sifat memegang teguh apa yang menjadi pendapatnya. Dia selalu membangun

hidupnya di atas dasar prinsip kebenaran yang bersifat mutlak. Dia sangat menjunjung nilai nilai kesucian dan tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan prinsipnya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan kepada orang yang pada dasarnya tidak suka dengan prinsip kebenarannya.

Sifat beraninya muncul ketika dia menolak tawaran Nyonya Xing. Dia tidak mau dijadikan selir meskipun yang akan menikah dengannya adalah anak majikannya sendiri, yang mana pada masa itu jika ada perempuan budak yang akan dijadikan selir merupakan suatu kebanggan bagi dirnya dan keluarganya. Terlebih lagi jika bisa melahirkan anak laki-laki yang sesuai dengan sistem Patriarki pada masa itu. Dia berani untuk menolak demi mempertahankan harga dirinya sebagai seorang perempuan dan juga tidak bersedia mengalah demi kepentingan orang banyak terhadap sistem feodal pada masa itu.

Dokumen terkait