• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Fisiologi dan Patologi GLP-1 .1 Penemuan Hormon Inkretin .1 Penemuan Hormon Inkretin

Bayliss dan starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pankreas melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran pencernaan. Pada 1906 Moore mencoba menawarkan kemungkinan menyembuhkan diabetes dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan Labarre menyambut ide ini dengan melakukan serangkaian percobaan dengan ekstrak usus, yang mampu membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia. Mereka memperkenalkan istilah INKRETIN untuk substansi kimia yang terkandung dari ekstrak usus tersebut.

Perkembangan pesat penelitian mengenai inkretin dimulai setelah ditemukannya Radioimmunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard, 2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama ‘Entero Insular Axis’ untuk mengambarkan hubungan antara saluran pencernaan dan pankreas (Green dan Flatt, 2007). Creutzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada pankreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti: insulin, glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna, khususnya karbohidrat. Dimana akan dilepaskannya suatu sinyal fisiologis yang

13

akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst dkk., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfetl, saat itu Gastric inhibitory polipeptide (GIP) yang dapat disebut sebagai Inkretin. GIP saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 2003 mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron tetapi juga suatu Inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya, dimana peningkatan aktifitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan release insulin bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemia tidak akan muncul. Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory

polipeptide oleh karena menghambat sekresi asam lambung, GIP juga dikenal

sebagai Glucose-dependent Insulinotropik Polipeptide. Sehubungan dengan fungsinya sebagai Enterogastron dan Inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejenum (Salvatore dkk., 2007).

GIP merupakan Inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada 1970, meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya sekresi hormon Pankreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian dilakukan pada anglefish, dimana ditemukan adanya suatu Glucose related peptide

14

(GRP) sebagai glukagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. Secara genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. GRP diyakini merupakan inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pankreas dan saluran pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pankreas Anglefish. Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentifikasi adanya inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa c-DNA preproglukagon pada manusia ditemukan homologi dengan c-DNA GRP Anglefish, yang sekarang dikenal sebagai GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP (Theodorakis dkk., 2011).

GIP merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1 disintesis dan dilepaskan oleh sel enteroendokrine, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak terdapat pada distal jejenum, ileum, kolon dan terbanyak di rektum. Sel L ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12 minggu pada kolon (Theodorakis dkk., 2011).

GIP merupakan suatu peptide aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984 Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal. Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmaol / L dan meningkatkan dalam 5-15 menit dari asupan glukosa pada makan. GLP-1 memiliki dua bentuk molekul yang

15

beredar yaitu GLP-17-37 dan GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1 dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolime serta inaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal. Waktu paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP (Girard, 2008).

2.5.2 Struktur GLP-1

Gen proglukagon manusia terletak pada kaki panjang dari kromosom 2 yang memiliki 6 ekson dan 5 intron (Hansotia dkk., 2004). Melalui proses transkripsi dan translasi dari gen proglukagon sel L pada usus memproduksi GLP-1 (Gromada dkk., 2007; Dunning dkk., 2007). GLP-1 tersebut tidak aktif sampai diikat oleh NH2 dari asam amino 1 - 6. (Sinclair dkk., 2012). Suatau peptide aktif hormon termasuk GLP-1 (7-36) dan GLP-1 (7-37). Sel L didistribusikan pada usus tetapi paling banyak pada jejunum, ilium, kolon dan sebagainya. (Schirra dkk., 2009).

Gambar. 2.4.

Struktur GLP-1 (Deacon, 2004)

2.5.3 Sekresi dan Regulasi GLP-1

Sekresi fase awal GLP-1 diinisiasi oleh pencernaan makanan dan biasanya berlangsung 30-60 menit. Fase ini dikendalikan dari proksimal ke distal, kombinasi

16

dengan neural dan hormon mediator (Hansotia dkk., 2004). Siklus proksimal ke distal telah banyak diduga tetapi belum ditetapkan pada manusia (Theodorakis dkk., 2011). Fase kedua berlangsung 1-3 jam karena adanya interaksi langsung antara bahan makanan dengan sel L (Deacon, 2004, Sinclair dkk., 2012). Kadar plasma dari bioaktif GLP-1 berkisar 5-10 pmol/L pada keadaan puasa ( Deacon, 2004).

Mekanisme regulasi sekresi GLP-1 dipengaruhi oleh nutrient, neuron dan endokrin (Deacon, 2004). Pelepasan GLP-1 terjadi karena asupan nutrient (Dunning dkk., 2007). Sebagai bukti kadar GLP-1 dalam sirkulasi akan meningkat 2-3 kali sebagai respon terhadap asupan glukosa (Deacon, 2004). Lemak dan karbohidrat dapat menstimulasi sekresi GLP-1 dengan cara kontak langsung dengan mukosa usus halus. Pada manusia, makanan mengandung protein tidak akan meningkatkan sekresi GLP-1, tetapi proses pencernaan campuran asam amino nampaknya berpengaruh pada sekresi GLP-1 (Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007).

Sekresi GLP-1 juga berhubungan dengan pengosongan lambung terutama laju pencernaan nutrient ke dalam usus kecil; makanan cair menyebabkan pelepasan GLP-1 lebih tinggi daripada bahan makanan padat. Beberapa studi telah membuktikan adanya peran nervus vagus dalam mediasi signal nutrient pada duodenum untuk mengontrol sekresi GLP-1 di distal usus halus (Deacon, 2004; Hansotia dkk., 2004), dan regulasi vagus yang bersifat kolinergik dan muskarinik tersebut telah dapat dijelaskan. Sistem nervus simpatik dan persarafan non kolinergik non adrenergik juga telah dijelaskan terlibat dalam regulasi GLP-1 (Deacon, 2004). Sistem enteroendokrin antara duodenum dan jejunum mungkin juga terlibat dalam regulasi sekresi GLP-1 (Schirra dkk., 2009). Signal endokrin dari bagian proksimal usus halus mungkin juga memegang peranan dalam sekresi GLP-1 seperti pada GIP (Deacon, 2004).

17

2.5.4 Metabolisme GLP-1

Sekresi GLP-1 dari Sel L usus yang dilepaskan ke dalam sirkulasi akan segera dipecah oleh GPP-4 menjadi GLP-1 (9-36) dan GIP (9-37) (Gromada dkk., 2007). Waktu paruh GLP-1 pada manusia kurang dari 2 menit (Sinclair dkk., 2012). GPP-4 adalah plasma membran glikoprotein ektopeptidase dengan berat 110 kilo Dalton yang diekpresikan pada permukaan sel endotel dan epitel, konsentrasi terbanyaknya pada manusia dilaporkan pada usus kecil, sumsum tulang dan ginjal. (Volmer dkk., 2008). Enzim ini dipecah pada penultimat alanin residu untuk memproduksi NH2 terminal yang dapat menyebabkan stimulus pelepasan insulin melalui reseptor GLP-1 (Sinclair dkk., 2012). Endopeptidase netral 24.11(NEP 24.11 atau disebut juga neprilisin) adalah membran yang dibalut oleh zink metalopeptidase (Plamboeck dkk., 2005). Ini akan memecah peptida pada nukleasid C terminal dari GLP-1, molekul dan dibersihkan sisa-sisa metabolisme (Deacon, 2004; Volmer dkk., 2008). Pengeluaran klirens GLP-1 primernya melalui ginjal (Deacon, 2004; Hansotia dkk., 2004).

2.5.5 Fisiologi GLP-1

GLP-1 menstimulasi sekresi insulin memegang peranan yang penting untuk mempertahankan homeostasis glukosa. GLP-1 juga peningkatan biosintesis insulin GLP-1r dan banyak ditemukan pada sel Beta, sel Alpa dan sel gamma pankreas (Deacon, 2004). Inhibisi dari pelepasan glukagon oleh GLP-1 dapat terjadi karena efek langsung maupun tidak langsung melalui pelepasan somatostatin. Fungsi inhibisi tidak tergantung glukosa (Deacon, 2004; Sinclair dkk., 2012). GLP-1 tidak akan menyebabkan terjadinya hipoglikemia (Gromada dkk., 2007). Sebaliknya GLP-1 memegang peranan pada homeostasis glukosa dengan cara mengatur secara

18

langsung regulasi glukosa hepatik dan peningkatan sintesis glukogen, oksidasi dan utilisasi glukosa (Deacon, 2004). GLP-1 meningkatkan massa sel beta pankreas dengan cara menstimulus proliferasi dan neogenesis sel beta serta menghambat apoptosis (Holst dkk., 2009) dan meningkatkan viabilitas (Deacon, 2004) serta mengambil peranan pada regulasi CAS phase 3 dan regulasi antiapoptik protein BCL-2 (Hansotia dkk., 2004). Sebagai akibatnya GLP-1 juga menurunkan nafsu makan dan memperlambat pengosongan lambung. Fungsi ini biasanya berhubungan dengan sistem nervus vagus (Dunning dkk., 2007). Oleh sebab itu dipandang sebagai terapi ideal diabetes.

Gambar 2.5.

Fisiologis GLP-1 dalam menurunkan kadar glukosa (Dunning dkk., 2007).

2.5.6 Mekanisme Kerja GLP-1 pada Sel Beta Pankreas

GLP-1 bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor G Protein (GPCRs) (Sinclair dkk., 2012). Ikatan GLP-1 dengan reseptor ini pada sel beta menyebabkan peningkatan c-AMP intraseluler sehingga terjadi eksositosis insulin melalui dua mekanisme berbeda : PKA dependen dan PKA independen (Epac pathways)

19

(Combettes dkk., 2006). Setelah aktivasi PKA dan c-AMP guanine nukleotida

exchange factor II (cAMP-GEF II) akan memfasilitasi terbentuknya

molekul-molekul yang terlibat dalam sekresi insulin oleh GLP-1 (Dunning dkk., 2007). GLP-1 mempengaruhi potensial membran sel beta pankreas dengan cara menghambat K-ATP dan KV channels dan memfasilitasi depolarisasi membran. Perubahan ini akan menyebabkan peningkatan calcium channel voltage gate dengan akibatnya masuknya kalsium dan inisiasi eksositosis insulin dependen kalsium (Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007). Sebagai tambahan GLP-1 menghambat aktivitas dari KV channels menyebabkan repolarisasi sel beta (Deacon, 2004).

Gambar 2.6.

Mekanisme kerja GLP1 pada Sel B pankreas (Deacon, 2004)

Efek anti apoptotik GLP-1 adalah diakibatkan karena aktivasi c-AMP dan phospotilidinositol 3 kinase (PI3KA). Kedua jalur ini saling mengisi. Jalur c-AMP dimediasi oleh aktivasi respon elemen binding protein (kreb) dan interaksi dengan koaktivator tolc 2 (Tranduser dari aktivitas krebs), keduanya akan menyebabkan

Dokumen terkait