• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DAN INSULIN POSTPRANDIAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II TERKENDALI DAN TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KADAR GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DAN INSULIN POSTPRANDIAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II TERKENDALI DAN TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KADAR

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1) DAN

INSULIN

POSTPRANDIAL

PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE II TERKENDALI DAN

TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT

HIPOGLIKEMIK ORAL

PETRUS IRIANTO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

TESIS

KADAR GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DAN

INSULIN POSTPRANDIAL PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE II TERKENDALI DAN

TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT

HIPOGLIKEMIK ORAL

PETRUS IRIANTO NIM 0914048104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

KADAR GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DAN

INSULIN POSTPRANDIAL PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE II TERKENDALI DAN

TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT

HIPOGLIKEMIK ORAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PETRUS IRIANTO NIM 0914048104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(4)

iii

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 4 Pebruari 2016

Pembimbing I,

Prof.Dr.dr AAG. Budhiarta, Sp.PD- KEMD, FINASIM NIP. 19441221 197206 1001

Pembimbing II,

Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 197006272003122001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. Gde. Ngurah Indraguna Pinatih,MSc,Sp.GK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal………..

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana,

No : 725/UN14.4/HK/2016.,Tanggal 2 Pebruari 2016…… …………

Ketua : Prof. Dr. dr. AAG. Budiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM

Anggota :

1. Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD,FINASIM

2. Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK

3. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC.,Sp.And

(6)
(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung wara

nugraha-Nya/ kurnianya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. AAG. Budiarta SpPD KEMD, FINASIM

pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat,

bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam

penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada

Dr.dr. Made Ratna Saraswati SpPD KEMD,FINASIM pembimbing II yang dengan

penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada

penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika SpPD KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A.

Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,

M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan ini,

penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Kepala Program Studi Ilmu

(8)

vii

SpPD KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah

Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji, yaitu

Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada Sp.BIOK, Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila

M.SC.,Sp.And dan Dr.dr. Ida Sri Iswari SpMK.,M.Kes, yang telah memberikan

masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan

penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai

mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan

Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga

memberikan ucapan yang sama kepada Dr.dr. Wayan Sudhana, SpPD-KGH sebagai

pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama mengikuti

pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih

kepada kedua orang tua, Bpk. Samuel Patoding dan Ny. Ludya Roteng serta kedua

mertua penulis, Bpk. Bitti Pagiling dan Ny. Ludwina Patiung yang telah memberikan

motivasi dan nasehat kepada penulis. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih

kepada istri tercinta dr. Irmanty Patiung, serta ananda Matthew Lionel Patoding

tersayang, yang dengan penuh pengorbanan telah sabar menunggu dan memberikan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan

(9)

viii

dr. Hendrata Erry A, dr. Baskoro Trilaksono, dr. Anselmus Ake dan dr. Yosef Samon

Sugi serta teman-teman lainnya, terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang

kalian berikan selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang

baik selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, 4 februari 2016

(10)

ix ABSTRAK

KADAR GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DAN INSULIN

POSTPRANDIAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE

II TERKENDALI DAN TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT

HIPOGLIKEMIK ORAL

Diabetes melitus tipe II merupakan salah satu penyakit metabolik yang angkanya terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan pola hidup. Pengobatan DMT2 khususnya dengan metformin baik sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan terapi lain telah banyak dilaporkan mengalami kegagalan, sehingga saat ini banyak dikembangkan terapi baru; salah satunya agonis GLP-1 yaitu suatu hormon inkertin yang disekresikan oleh sel L usus yang terutama menurunkan glukosa postprandial dan saat ini dipandang sebagai terapi ideal pada DMT2.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kadar GLP-1 postprandial dan insulin postprandial antara DMT2 yang terkendali dan tidak terkendali terapi OHO, melihat korelasi antara kadar GLP-1 postprandial dengan kadar insulin

postprandial pada DMT2 yang terkendali dan tidak terkendali terapi OHO dengan

rancangan observasional potong lintang analitik yang dilaksanakan di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Subjek penelitian melibatkan 25 orang masing-masing kelompok,

matching umur dan jenis kelamin, berumur lebih 30 tahun, rasio laki : perempuan

32:18. Kelompok penderita DMT2 tidak terkendali terapi OHO adalah penderita DMT2 yang menggunakan terapi OHO (metformin dan SU) selama 3 bulan terakhir

dengan HbA1C ≥ 7%. Sedangkan kelompok penderita DMT2 terkendali terapi OHO

adalah penderita DMT2 yang menggunakan terapi OHO (metformin dan SU) selama 3 bulan terakhir dengan HbA1C < 7%.

Dari 50 subjek penelitian didapatkan rerata umur pada kedua kelompok 54,4 ± 8,0 tahun, lama sakit DM 7,3 ± 7,1 tahun, kadar gula darah puasa 152,3 ± 48 mg/dl, kadar gula darah postprandial 243,1 ± 52,8 mg/dl, IMT 27 ± 4,1 kg/m2,

GLP-1 postprandial 2,3 ± 0,8 ng/ml, insulin postprandial 32,8 ± 20,2 µIU/ml. Pada

penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kadar GLP-1

postprandial kelompok terkendali dan tidak terkendali terapi OHO (p= 0,65). Tidak

didapatkan juga perbedaan yang bermakna antara kadar insulin postprandial kelompok terkendali dan tidak terkendali terapi OHO (p= 0,56), sedangkan korelasi antara kadar GLP-1 postprandial dengan insulin postprandial pada kedua kelompok didapatkan tidak bermakna, (p= 0,50) dan (p= 0,24).

Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan kadar GLP-1 dan insulin

postprandial antara kedua kelompok. Korelasi yang tidak bermakna antara GLP-1

(11)

x ABSTRACT

POST PRANDIAL GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) LEVELS AND PLASMA INSULIN IN PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS WITH

CONTROLLED AND UNCONTROLLED ORAL ANTI DIABETIC

Type II Diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disease which numbers continue to grow in line with economic growth and changes in lifestyle. Treatment of T2DM in particular either metformin as monotherapy or combination with other therapy have been widely reported to have failed, so that many new therapies are developed; one to be mentioned is GLP-1 agonist, an incretin hormone secreted by intestinal L cells that primarily lowers postprandial glucose and is now seen as an ideal therapy in for T2DM.

The aim of this study were to determine differences in the levels of GLP-1 postprandial and insulin postprandial between type 2 diabetes who controlled and uncontrolled with therapy, to understand the correlation between the levels of GLP-1 postprandial and the levels of insulin postprandial in type 2 diabetes in patients who controlled and uncontrolled with therapy with OAD with using observational cross-sectional analysis and implemented in Sanglah Hospital Denpasar. Subject of the study is involving 25 people each group, matching age and gender, in which age over 30 years, the ratio of male: women is 32:18. The group of patients with type 2 diabetes uncontrolled with OAD therapies, is the group using OAD therapy (metformin and SU) during the last 3 months with HbA1c ≥ 7%. While the group of patients with type 2 diabetes controlled with OAD therapies is the group using OAD therapy (metformin and SU) during last 3 months with HbA1c < 7%.

Fifty research subjects are devided in both groups the mean age 54.4 ± 8.0 years, disease duration 7.3 ± 7.1 years DM, of whose fasting blood glucose levels 152.3 ± 48 mg / dl, postprandial blood glucose level 243, 1 ± 52.8 mg / dl, BMI 27 ± 4.1 kg / m2, postprandial GLP-1 2.3 ± 0.8 ng / ml, postprandial insulin 32.8 ± 20.2 μIU / ml. In the present study there is no significant difference in the levels of postprandial GLP-1 between controlled and uncontrolled with OAD therapy group (p = 0.65), and there is no significant differences in postprandial insulin levels between controlled and uncontrolled OAD therapy group (p = 0.56). As well as the correlation between postprandial levels of GLP-1 and postprandial insulin in both groups showed that there was no significant difference, (p = 0.50) and (p = 0.24).

In this study found no difference in the levels of GLP-1 and insulin postprandial between the two groups. No significant correlation between GLP-1 and insulin postprandial in both groups. Nevertheless from the distribution pattern of data without any difference, it apparently is affected efficacy of metformin, a good lifestyle, and the possibility of a less number of samples.

(12)

xi

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

2.5.1 Penemuan Hormon Inkretin ... 19

2.5.2 Struktur GLP-1 ... 22

2.5.3 Sekresi dan regulasi GLP-1 ... 22

2.5.4 Metabolisme GLP-1 ... 24

(13)

xii

2.5.6 Mekanisme Kerja GLP-1 pada sel Beta Pankreas ... 25

2.6 Hubungan GLP-1 dan Sekresi Insulin Postprandial ... 27

2.7 Terapi DMT2.. ... 28

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 41 3.1 Kerangka Berpikir ... 41

4.4.2.1.1 Kriteria Inklusi Penelitian ... 45

4.4.2.1.2 Kriteria Eksklusi Penelitian ... 45

4.4.2.2 Besaran Sampel Penelitian ... 45

(14)

xiii

4.5 Variabel Penelitian ... 46

4.5.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 46

4.5.2 Definisi Oprasional variabel ... 46

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian ... 49

4.7 Prosedur Penelitian ... 49

4.8 Analisis Data ... 51

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis DMT2 ... 9

Tabel 5.1 Karakteristik penelitian ... 55

Tabel 5.2 Hasil analisa uji beda kadar GLP-1 postprandial dan Insulin

postprandial pada kedua kelompok ... 56

Tabel 5.3 Korelasi kadar GLP-1 postprandial dan Insulin postprandial pada

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perjalanan Progresifitas DMT2 ... 11

Gambar 2.2 Perjalanan Terapi Pada DMT2 ... 12

Gambar 2.3 Struktur Insulin Manusia ... 13

Gambar 2.4 Struktur GLP-1 ... 22

Gambar 2.5 Fisiologis GLP-1 dalam Menurunkan Kadar Glukosa ... 25

Gambar 2.6 Mekanisme Kerja GLP-1 pada sel B Pankreas ... 26

Gambar 2.7 Efek GLP-1 terhadap Sekresi Insulin postprandial ... 28

Gambar 2.8 Penurunan Respon Sekresi GLP-1 postprandial ... 28

Gambar 2.9 Pemberian metformin meningkatkan kadar GLP-1 ... 32

Gambar 2.10 Rekomendasi Umum Terapi Antihiperglikemia pada DMT2 .... 33

Gambar 3.1 Konsep Penelitian ... 42

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 43

Gambar 4.2 Alur Penelitian... 51

Gambar 5.1 Pola sebaran data kadar GLP-1 postprandial pada kedua kelompok ... 56

(17)

xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH

DM : Diabetes Melitus

UKPDS : United Kingdom Prospective Diabetes Study

DMT2 : Diabetes Melitus Tipe 2

OHO : Obat Hipoglikemik Oral

GLP-1 : Glukagon Like Peptide-1

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

WHO : World Health Organization

HbA1C : Glycosylated Hemoglobin

c-AMP : Cyclic Adenosine Monophosphate

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

PEPCK : Phosphoenolpyruvate Carboxykinase

RNA : Ribonucleic Acid

mRNA : Mesengger Ribonucleic Acid

DNA : Deoxyribonucleic Acid

TNF a : Tumor Necrosis Factor Alpha

GLUT-4 : Glucose Transporter Type- 4

sdLDL : small Dense Low-Density Lipoprotein

IKK-beta : Inhibitor of Nuclear Factor Kappa-B Kinase Subunit Beta

NF Kappa B : Nuclear Factor Kappa-light-chain-enhancer of Activated B cells

NAFLD : Non-Alcoholic Fatty Liver Disease

GIP : Gastric Inhibitory Polypeptide

GRP : Glucose-Regulated Protein

(18)

xvii NH2 : Amidogen

NEP 24.11 : Neutral Endopeptidase 24.11

GPCRs : G Protein-Coupled Receptors

PKA : Protein Kinase A

K-ATP : ATP-Sensitive Potassium Channel

PI3K : Phosphatidylinositol-4,5-bisphosphate 3-kinase

MAPK : Mitogen-Activated Protein Kinases

ERK : Extracellular-signal-Regulated Kinases

PKC : Protein Kinase C

PKB : Protein Kinase B

SNARE : Solubel NSF Attachment Protein Reseptor

SNAP-25 : Synaptosomal-Associated Protein 25

IVGTT : Intravenous Glucose Tolerance Test

GLUT-2 : Glucose Transporter 2

GCK : Glucokinase

PDX-1 : Pancreatic and Duodenal Homeobox 1

DCCT : Diabetes Control and Complication Trial

ADA : American Diabetes Association

TZD : Thiazolidinedione

GLPr : Glukagon Like Peptide Reseptor

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Keterangan Kelaikan Etik ... 72

Lampiran 2 : Surat Ijin Penelitian. ... 73

Lampiran 3 : Informasi Penelitian ... 74

Lampiran 4 : Formulir Persetujuan.. ... 76

Lampiran 5 : Jadwal Penelitian dan Anggaran Biaya Penelitian ... 77

Lampiran 6 : Formulir Pengumpulan Data ... 78

Lampiran 7 : Prosedur Pemeriksaan Kadar GLP-1 postprandial ... 81

Lampiran 8 : Prosedur Pemeriksaan Kadar Insulin postprandial ... 84

Lampiran 9 : Hasil Penelitian ... 86

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat perubahan besar dalam

peradaban manusia. Perubahan dari pola agraris menuju industrial membuat banyak

dampak pada aspek-aspek kehidupan. Seiring perubahan itu, dalam dunia kesehatan

pun terjadi suatu transformasi pola penyakit dengan makin tingginya angka kejadian

penyakit endokrin dan metabolisme. Penyakit diabetes melitus (DM) kini

merupakan salah satu masalah potensial dalam dunia kedokteran dengan angka

kejadian yang makin meningkat.

Data dari United Kingdom prospective diabetes Study (UKPDS) tahun

2011, diabetes melitus tipe 2 (DMT2) meliputi lebih dari 90% dari semua populasi

diabetes. Prevalensi DMT2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang

dewasa. Prevalensi DMT2 dilaporkan lebih dari 40% adalah dewasa dengan umur

lebih dari 40 tahun, rata-rata prevalensi di Amerika Latin antara 15-41% orang

dewasa dengan umur lebih dari 45 tahun dengan gaya hidup barat dan sebesar 3%

yang menderita DMT2 dengan gaya hidup setempat (UKPDS, 2011). Dari data

Diabetes Control and Complications Trial Research Group (DCCT) tahun 2003,

prevalensi umur 30-64 tahun di Kepulauan pasifik Kiribati dan Samoa barat

11-16%, dan Melanesian Papua New Guinea 37%. Sedangkan prevalensi DM di

Indonesia dilaporkan sebesar 6,15% di Manado, Jakarta sebesar 12,8%, Jawa Barat

sebesar 1,1%, dan Makasar sebesar 2,9% (Soegondo, 2004). Sedangkan data tahun

(21)

2

penduduk usia 20-79 tahun penderita DMT2 dan akan meningkat menjadi 5,1 juta

penderita DMT2 pada 2025 (Chan dkk., 2009).

Metformin dipergunakan sebagai dasar terapi pada penderita DMT2 karena

sifat kerjanya yang menurunkan pengeluaran glukosa hati dan kadar glukosa puasa

serta mudah ditolerir oleh kebanyakan penderita, disamping harganya yang murah.

Monoterapi metformin menurunkan HbA1C sebesar 1,5%, sehingga tidak cukup

kuat mencapai dan mempertahankan target yang diharapkan. Untuk itulah

diperlukan penambahan terapi lini kedua; terapi lini kedua yang sering

dipergunakan adalah golongan sulfonilurea (SU); sulfonilurea mempunyai efek

meningkatkan sekresi insulin dari pankreas dan dapat menurunkan HbA1C sebesar

1,5% dengan harga yang cukup murah (Nathan dkk., 2008).

Penggunaan SU sebagai terapi lini kedua awalnya dianggap dapat menjadi

solusi dari keterbatasan monoterapi metformin, sehingga kombinasi keduanya telah

lama menjadi tulang punggung penanganan DMT2 (ADA, 2014). Namun,

kombinasi keduanya ternyata meningkatkan efek samping yang merugikan bagi

penderita. Sebagai contoh, hipoglikemia dapat menjadi efek samping yang tidak

menyenangkan dari terapi obat hipoglikemik oral (OHO) yang bisa mempengaharui

kepatuhan penderita terhadap pengobatan, bahkan kejadian hipoglikemik serius

yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran, kerusakan otak ataupun kematian.

Penambahan berat badan sebagai konsekuensi dari pengobatan SU atau insulin,

dapat mengurangi kualitas hidup dan menghambat kepatuhan terhadap pengobatan.

Obesitas juga merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung (Hubert

(22)

3

Target glisemik yang diharapkan adalah HbA1C < 7 %, karena dapat

menggambarkan kadar glukosa darah dalam 3 bulan terakhir (ADA, 2014). Tidak

terpenuhinya target ini dapat disebabkan karena pada DMT2 kapasitas fungsional

sel beta pankreas sudah sangat menurun, sehingga pemakaian OHO khususnya SU

sudah tidak efektif lagi memacu produksi insulin (Han dkk., 2008; Odegard, 2007).

Hal ini juga telah dibuktikan pada A Diabetes outcome Progression Trial (ADOPT)

yang menyebutkan banyaknya kejadian gagalnya kendali glisemik pada terapi OHO

pada penderita DMT2 (Kahn dkk., 2011). Hal ini menyebabkan pencarian jenis obat

lain yang dapat dipergunakan untuk alternatif terapi non insulin baik sebagai

pengganti SU dalam lini kedua maupun sebagai obat ketiga dalam kombinasi

metformin-SU.

Tantangan terbesar dalam mengobati penderita dengan DMT2 adalah

mengoptimalkan terapi untuk dapat mengatasi kebutuhan yang tak terpenuhi

berupa: tercapainya kendali glikemik tanpa menimbulkan hipoglikemia,

mempertahankan fungsi dan massa sel beta, tidak meningkatkan berat badan,

mengurangi faktor risiko kardiovaskular yang menyertai DMT2, serta menawarkan

obat yang sederhana serta fleksibel (Hubert dkk., 2013; Han dkk., 2008; Odegard,

2007).

Penemuan inkretin merupakan suatu langkah penting dalam perkembangan

terapi DMT2. Inkretin adalah hormon yang dilepaskan dari usus sebagai respon diet

yang mengandung glukosa dan meningkatkan sekresi insulin dari pankreas

(Hansotia dkk., 2004). Penemuan inkretin diketahui dari pengamatan bahwa

pemberian suatu beban glukosa oral menyebabkan rangsangan yang jauh lebih besar

(23)

4

dkk., 2012). Hubungan antara usus dan pulau pankreas ini disebut sebagai axis

enteroinsular dan berperan terhadap 50% dari sekresi insulin postprandial (Parley

dan Kipnis, 2007).

Inkretin pertama yang berhasil diisolasi adalah Glucoce dependent

insulinotropic peptide (GIP). GIP dilepaskan dari enteroendokrin Sel K dalam

duodenum, terutama setelah konsumsi glukosa atau lemak (Yip dan Wolfe, 2000;

Ross dkk., 2008) dan meningkatkan sekresi insulin tergantung glukosa (Pederson

dkk., 2005; Dupre dkk., 2003). Kemudian diikuti penemuan Glukagon Like Peptide

1 (GLP-1); suatu peptide yang banyak dihasilkan oleh usus dan otak, yang

memegang peranan penting dalam metabolisme glukosa sehingga sangat esensial

pada toleransi glukosa normal (Drucker, 2007). GIP dan GLP-1 adalah hormon

inkretin yang paling banyak diketahui, memiliki efek kerja yang hampir sama

kecuali efek penghambatan sekresi glukagon yang hanya dimiliki GLP-1 (Holst

dkk., 2009).

Efek GLP-1 pada reseptor sel beta meningkatkan sekresi insulin dari sel beta

pankreas setelah proses pencernaan makanan (Nauck dkk, 2008; Drucker, 2007).

GLP-1 juga menekan pelepasan glukagon dari pankreas (Zander dkk., 2002;

Marathe dkk., 2011). Penurunan kadar glukagon akan meningkatkan kendali

terhadap glukosa darah (Holst dkk., 2009; Zander dkk., 2002). GLP-1 memiliki

kemampuan untuk melestarikan fungsi sel beta dengan menekan apoptosis sel beta

dengan merangsang neogenesis dan proliferasi sel beta pankreas (Bulotta dkk.,

2002, Farilla, 2003). GLP-1 menekan nafsu makan (Zander dkk., 2002) dan

(24)

5

mempunyai efek perlindungan pada miokardium, terutama pada kondisi iskemik

(Buse dkk., 2011; Thraindottir dkk., 2005; Nikolaidis dkk., 2004). Peningkatan

fungsi endotel juga telah dilaporkan (Nystrom dkk., 2004; Patel dkk., 2007).

Sehingga obat-obat terbaru berdasarkan kerja GLP-1 dianggap terapi ideal non

insulin sebagai pengganti maupun subtitusi kombinasi SU-metformin, walaupun

memiliki kelemahan dari segi biaya yang lebih mahal (ADA, 2014).

Inkretin sebagai hormon yang berperan dalam pengaturan kadar glukosa

postprandial melalui perangsangan sekresi insulin, ternyata didapatkan menurun

pada penderita DMT2. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian: pertama, bahwa

sekresi GLP-1 sebagai respon terhadap makanan pada DMT2 mengalami penurunan

(Nauck dkk., 2006; Visboll dkk., 2001; Muscelli dkk., 2008; Toft Nielsen dkk.,

2001; Rask dkk., 2001), walaupun penemuan ini tidak seragam (Vollmer dkk.,

2008; Meier dan Nauck, 2004). Kedua, sensitivitas sekresi insulin terhadap GLP-1

eksogen menurun pada penderita DMT2 (Kjeems dkk., 2003). Ketiga, terjadi

penurunan stimulasi sekresi insulin selama absorbsi glukosa di usus, yang

menguatkan bukti bahwa GLP-1 tidak normal pada penderita diabetes melitus

(Nauck dkk., 2006; Visboll dkk., 2001; Muscelli dkk., 2008; Toft Nielsen dkk.,

2001; Rask dkk., 2001). Hal ini selaras dengan temuan Lastya dkk (2014) bahwa

pada penderita DMT2 di indonesia juga dijumpai penurunan kadar GLP-1, hanya

saja penelitian-penelitian tersebut tidak spesifik pada populasi DMT2 tidak

terkendali OHO, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mencari bagaimanakah

perbedaan kadar GLP-1 antara penderita DMT2 tidak terkendali dan DMT2

(25)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada perbedaan kadar GLP-1 postprandial antara penderita DMT2

terkendali dan tidak terkendali terapi OHO?

2. Apakah ada perbedaan kadar insulin postprandial antara penderita DMT2

terkendali dan tidak terkendali terapi OHO?

3. Apakah ada hubungan antara kadar GLP-1 postprandial dan kadar Insulin

plasma postprandial pada penderita DMT2 terkendali terapi OHO?

4. Apakah ada hubungan antara kadar GLP-1 postprandial dan kadar Insulin

plasma postprandial pada penderita DMT2 tidak terkendali terapi OHO?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

- Untuk mengetahui perbedaan kadar GLP-1 postprandial antara penderita

DMT2 terkendali dibandingkan tidak terkendali terapi OHO.

- Untuk mengetahui perbedaan kadar Insulin postprandial antara penderita

DMT2 terkendali dibandingkan tidak terkendali terapi OHO.

- Untuk mengetahui hubungan antara kadar GLP-1 postprandial dan insulin

postprandial pada penderita DMT2 terkendali terapi OHO.

- Untuk mengetahui hubungan antara kadar GLP-1 postprandial dan Insulin

(26)

7

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat menambah

pengetahuan kita tentang bagaimana perbedaan antara kadar GLP-1 postprandial

dan Insulin plasma postprandial pada penderita DMT2 terkendali dan tidak

terkendali terapi terapi OHO.

1.4.2 Manfaat Klinis Praktis

Dengan mengetahui adanya perbedaan antara kadar GLP-1 postprandial dan

Insulin plasma postprandial pada penderita DMT2 terkendali dan tidak terkendali

terapi OHO, diharapkan dapat lebih menyokong pemberian terapi berbasis inkretin

(27)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya. Diabetes melitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan

berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan

diabetes melitus tipe 2 mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya

resistensi insulin belum menyebabkan klinis diabetes. Sel beta pankreas masih

dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah

masih normal atau sedikit meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta

pankreas, baru terjadi DMT2 yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa

darah (ADA, 2014). Penderita DMT2 mengalami penurunan sensitivitas insulin

terhadap kadar glukosa, yang berakibat kadar glukosa yang tinggi. Keadaan ini

disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan

ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi

insulin perifer (Perkeni, 2014).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya (Abate dan Chandalia, 2001). Diabetes Melitus merupakan masalah

kesehatan yang komplek karena didalamnya terdapat peran berbagai problematika

fisiologi dan biokimia akibat kondisi dimana terdapat defisiensi insulin dan

gangguan fungsi insulin. Meningkatnya angka kejadian DMT2 banyak dipengaruhi

(28)

2

oleh pola hidup diabetogenik, yang melengkapi defek genetik yang sebelumnya

telah ada pada sel beta pankreas. Beberapa gaya hidup yang dimaksud adalah

asupan kalori yang berlebihan oleh karena cara makan atau pola makan yang salah,

mengkonsumsi banyak makanan tinggi kalori, serta pengeluaran kalori yang tidak

memadai terutama pada mereka yang jarang berolah raga dan aktifitas di luar

ruangan yang minimal (Meier dkk., 2011).

Tabel.2.1.

Kriteria diagnosis DM (Perkeni, 2014)

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

atau

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan penderita tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) TTGO

yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan glukosa yang setara

dengan 75 g glukosa anhidrous yang dilarutkan kedalam air.

Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 oleh ADA 2014 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang terstandarisasi dengan baik.

Pada individu sehat, hormon kunci untuk mengontrol glukosa darah adalah

glukagon dan insulin. Insulin adalah hormon pengatur glukosa darah, yang

menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber

energi, insulin diproduksi oleh sel beta Langerhans kelenjar pankreas (Stumvoll

(29)

3

Setelah makan sekresi insulin akan meningkat sehingga terjadi pengambilan

glukosa postprandial di hati dan jaringan perifer sedangkan sekresi glukagon

berkurang. Pada saat kadar glukosa plasma rendah, sekresi glukagon akan

meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dengan menstimulasi pemecahan

glikogen yang tersimpan dalam hati menjadi glukosa dan meningkatkan hepatic

gluconeogenesis. Glukagon berfungsi sebagai kontra regulasi insulin dalam

menjaga homeostasis glukosa normal (Theodorakis dkk., 2011).

Pada penderita DMT2, terdapat relatif kekurangan insulin sehingga regulasi

gula darah terganggu. Pada kondisi DMT2, walau pun kadar glukosa darah sudah

tinggi, pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa (glukoneogenesis) di hati

tidak dihambat sehingga kadar glukosa darah makin meningkat (Abate dan

Chandalia, 2001). Jika dibiarkan kondisi ini akan berlanjut menjadi disregulasi

metabolik dimana kadar gula darah yang tinggi akan mengalami oksidasi dan

mencederai tubuh pada tingkat seluler. Disregulasi gula darah jika berlanjut akan

menimbulkan komplikasi bahkan kegawatan seperti ketoasidosis diabetik, koma

hiperosmolar non ketosis atau laktat asidosis. Pada tingkat organ akan terjadi mikro

angiopati dan makro angiopati. Kondisi ini bila berlanjut dapat mengakibatkan

kematian (Jain dan Saraf, 2010).

2.2 Perjalanan Alamiah Penderita DMT2

Patofisiologis DMT2 adalah penurunan fungsi sel beta secara progresif,

resistensi insulin yang menetap dan hilangnya efek inkretin (AACE, 2007; UKPDS,

2011). Walaupun demikian kejadian kronik hiperglikemia baru akan akan berlanjut

menjadi DMT2 jika sudah terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas, biasanya

(30)

4

didiagnosis (Pratley dan Weyer, 2001; Weyer dkk., 2001; Brown dkk., 2010).

Penyebabnya ternyata lebih berhubungan dengan disfungsi sel beta pankreas

dibandingkan adanya resistensi insulin. Hilangnya fase cepat pelepasan insulin

merupakan defek utama pada DMT2 (disamping peningkatan level glukosa

postprandial) (Brown dkk., 2010).

Gambar 2.1.

Perjalanan progresifitas DMT2 ( AACE, 2007; UKPDS, 2011)

Umumnya penderita DMT2 pasti memerlukan terapi kombinasi yang bekerja

pada berbagai defek patofisiologi. Usia muda sampai dewasa pertengahan dengan

peningkatan kadar glukosa puasa dan berat badan berlebih saat didiagnosis sebagai

DMT2, akan lebih cepat mengalami perburukkan dan lebih cepat memerlukan

penambahan terapi (Kellow dkk., 2011). Pemberian terapi untuk menurunkan kadar

glukosa pada penderita DMT2 secepat mungkin dapat menurunkan kegagalan

kendali. Data dari ADOPT menunjukkan thiazolidione mempunyai efikasi yang

lebih baik dibandingkan metformin maupun sulfonilurea (Kahn dkk., 2011).

Evaluasi terapi 2-3 bulan dilakukan pada pemberian monoterapi, dan bila tidak

(31)

5

(Nathan dkk., 2009); penambahan obat dengan target kerja berbeda harus diberikan

(Rodbar dan Jellinger, 2010). Perlu diketahui bahwa penyakit diabetes merupakan

multiorgan, multifaktorial bukan hanya disebabkan disfungsi sel beta dan resistensi

insulin pada jaringan perifer dan hati tetapi juga terjadi pada jaringan lemak

(peningkatan lipolisis), penurunan sekresi dan sensitifitas inkretin (gastrointestinal),

peningkatan sekresi glukagon (sel alfa), reabsopsi glukosa (ginjal) dan resistensi

insulin karena gangguan neurotransmiter pada sistem saraf pusat (otak). Pemberian

berbagai obat yang bekerja pada beberapa defek patofisiologi tersebut adalah wajar,

tetapi dengan pemberian berbagai jenis terapi tersebut akan meningkatkan risiko

baik efek samping, penurunan kepatuhan dan tentunya pertimbangan ekonomi

(Nathan dkk., 2009). Inkretin seperti GLP-1 agonis reseptor bekerja pada banyak

tempat patofiologi DMT2 seperti peningkatan sekresi insulin dan menurunkan

sekresi glukagon, efek pada otak, memperlambat pengosongan lambung,

menurunkan nafsu makan, dan efek preservasi sel beta pankreas (khan dkk., 2011).

Sehingga saat ini terapi inkretin dipandang sebagai terapi yang idel pada penderita

DMT2 (Zinman, 2011).

Gambar 2.2.

(32)

6

2.3 Insulin

Insulin adalah polipeptida yang tersusun dari dua rantai asam amino yang

dihubungkan oleh struktur disulfida. Rantai pertama dan kedua masing-masing

mempunyai 21 dan 30 asam amino. Substitusi terjadi pada beberapa posisi dalam

kedua rantai tanpa mempengaruhi bioaktifitas (gambar 2.3). Insulin disintesis

sebagai suatu preprohormon dengan berat molekul sekitar 11.500 Dalton serta

merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari prekursor molekul yang lebih

besar. Preproinsulin bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino yang digunakan

melalui proses metabolisme didalam sisterna retikulum endoplasm. Proses ini

menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9.000 Dalton yang diperlukan bagi

pembentukan jembatan disulfida yang sempurna (Butler dkk., 2010).

Gambar 2.3.

Struktur insulin manusia (Butler dkk., 2010)

Susunan proinsulin dimulai dari bagian terminal yaitu amino rantai B-peptida

C (penghubung) dan rantai A. Molekul proinsulin akan dipecah secara spesifik

sehingga terbentuk insulin matur dan peptida C dengan jumlah ekuimolar.

Proinsulin mempunyai panjang yang bervariasi antara 78 hingga 86 asam amino,

dengan variasi yang terdapat pada regio peptida C. Proinsulin memiliki kelarutan

(33)

7

heksamer dengan kristal Zeng dan bereaksi kuat dengan antiserum insulin (Drucker,

2001). Proinsulin memiliki bioaktifitas 5% kurang dari bioaktifitas insulin.

Sebagian proinsulin dilepas bersama insulin dan pada keadaan tertentu, lebih besar

dari pada biasanya. Karena waktu paruh proinsulin dalam plasma secara bermakna

lebih panjang dari pada waktu paruh insulin, sehingga insulin dan proinsulin bisa

bereaksi silang secara kuat dengan antiserum insulin yang menyebabkan

pemeriksaan radioimmuno assay untuk menentukan kadar insulin kadang-kadang

memperkirakan secara berlebihan bioaktivitas insulin dalam plasma (Dungan dan

Buse, 2005).

C-peptida merupakan molekul yang berbeda bila dilihat dari sudut pandang

sifat antigeniknya. Karena itu pemeriksaan immunoassay terhadap C-peptida dapat

membedakan apakah insulin yang ada disekresikan dari dalam dengan insulin yang

diberikan dari luar. Insulin dibentuk dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian

diangkut ke kompleks golgi dan akan dibungkus dalam granula berselaput.

Granula-granula ini bergerak ke dinding sel, oleh proses yang diperantarai mikrotubulus,

kemudian bersatu dengan membran sel. Proses ini diakhiri pelepasan insulin secara

eksositosis. Insulin kemudian harus menyeberangi lamina-lamina basalis sel B,

melalui celah endotel kapiler untuk mencapai aliran darah (Drucker, 2001).

Pankreas manusia mensekresi 40-50 unit insulin perhari, yang

menggambarkan kira-kira 15-20% hormon yang disimpan dalam kelenjar pankreas.

Sekresi insulin adalah proses yang membutuhkan energi dan melibatkan sistem

mikrotubulus mikrofilamen dalam sel beta pankreas. Peningkatan konsentrasi

glukosa dalam plasma merupakan faktor fisiologik paling penting yang mengatur

(34)

8

puasa plasma (80-100 mg/dl) dan respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa

yang berkisar dari 300 hingga 500 mg/dl (Kjems dkk., 2003).

Sejumlah hormon mempengaruhi pelepasan insulin. Preparat agonis alfa

adrenergik, khususnya epinefrin menghambat pelepasan insulin. Preparat agonis ß

adrenergik merangsang pelepasan insulin, yang mungkin dengan cara meningkatkan

c-AMP intrasel. Pajanan yang terus menerus dari hormon pertumbuhan, kortisol,

laktogen plasenta, estrogen dan progestin dalam jumlah yang berlebihan juga akan

meningkatkan sekresi insulin. Banyak obat yang dapat merangsang sekresi insulin,

senyawa sulfonilurea salah satunya, yang dewasa ini digunakan paling banyak

sebagai pengobatan pada manusia. Insulin disekresikan dalam sel Beta normal

sebagai reaksi terhadap stimulus glukosa dengan mode bifasik dengan lonjakan dini

(fase awal) yang diikuti dengan peningkatan sekresi insulin secara progresif (fase

kedua) sepanjang ada stimulus hiperglikemik. Dengan keberadaan resistensi insulin,

sekresi insulin sel B pankreas meningkat dengan cara kompensasi dan DMT2

berkembang bila peningkatan kompensasi dalam kadar insulin tidak lagi mencukupi

untuk menjaga euglikemia (Kjems dkk., 2003).

2.4 Sekresi dan Resistensi Insulin

Insulin berfungsi mengurangi produksi glukosa dalam tubuh (terutama dari

hepar) dan menyebabkan ambilan glukosa di otot dan jaringan adiposa. Insulin

menghambat digesti protein dari usus dan meningkatkan ambilan asam amino ke

dalam sel untuk dibentuk protein (Eckel dan Grundy, 2005). Selama periode 24

jam, 50% total insulin disekresi oleh pankreas pada keadaan basal, sedang sisanya

(35)

9

unit/24 jam (0,7-1,3 mg). Respon sekresi insulin berlangsung cepat sesudah makan

dan meningkat 5 kali dari keadaan basal dan mencapai puncak dalam 60 menit.

Profil sekresi insulin normal ditandai oleh adanya serial pulsasi dari sekresi insulin.

Sesudah makan pagi terdapat 1,8 ± 0,2 pulsasi sekresi pada sukarelawan normal dan

mencapai puncak 42,8 ± 3,4 sesudah makan. Multipel pulsasi sekresi insulin

mencapai 4 kali juga didapatkan sesudah makan siang dan makan malam. Pada

interval 5 jam sesudah makan siang didapatkan rerata pulsasi sekresi 2,5 ± 0,3 dan

2,6 ± 0,2 sesudah makan malam. Pulsasi sekresi insulin yang tidak berhubungan

dengan makan terjadi pada waktu antara jam 23.00 hingga jam 06.00 hari

berikutnya, dan 3 jam sebelum makan pagi dengan rerata pulsasi sekresi 3,9 ± 0,3

pada subjek normal. Jadi selama periode 24 jam terdapat total 11,1 ± 0,5 pulsasi

pada subjek normal (Polansky dkk., 2008; Buse dkk.,2011).

Sensitifitas insulin menurun dimulai sejak masa pubertas demikian pula kadar

insulin puasa meningkat 2-3 kali sesudah masa prapubertas (Grumbach dan Styne,

2003). Pada pengamatan selama 7 tahun, terjadi peningkatan rerata insulin puasa

10-25%, peningkatan rerata glukosa puasa 7-10% tanpa membedakan ras dan jenis

kelamin. Prediktor terkuat terjadinya peningkatan insulin dan glukosa adalah

peningkatan massa tubuh dalam 7 tahun. Insulin puasa meningkat 5 µU/ml tiap

peningkatan IMT 5 kg/m2 (p < 0,05) dan insulin puasa meningkat 2,5 µU/ml tiap

peningkatan 0,08 unit rasio pinggang/pinggul (p < 0,05) (Folsom dkk., 2004).

Resistensi insulin adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak

memadai untuk menghasilkan respon insulin normal dari lemak, otot dan sel hati.

Resistensi insulin dalam sel lemak mengurangi efek insulin dan mengakibatkan

(36)

10

Peningkatan mobilisasi depot lipid akan meningkatkan asam lemak bebas

dalam plasma darah. Resistensi insulin dalam sel otot mengurangi pengambilan

glukosa dan penyimpanan lokal glukosa sebagai glikogen, sedangkan resistensi

insulin dalam sel hati mempengaruhi sintesis glikogen dan kemampuan untuk

menekan produksi glukosa (Girard, 2008).

Peningkatan konsentrasi asam lemak darah sehubungan dengan resistensi

insulin dapat mengurangi pengambilan glukosa otot, dan meningkatkan produksi

glukosa hati, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi glukosa

darah. Kadar plasma insulin yang tinggi dan glukosa yang tinggi akibat resistensi

insulin diyakini merupakan awal dari sindrom metabolik dan DMT2, termasuk

komplikasinya (Asmar, 2011).

Pada orang dengan metabolisme normal, insulin dilepaskan dari sel beta

Langerhans pankreas setelah makan ( " postprandial " ), dan berikatan pada reseptor

di jaringan sensitif insulin misalnya otot dan adiposa untuk menyerap glukosa. Hal

ini akan menurunkan kadar glukosa darah. Sel beta kemudian menurunkan produksi

insulin setelah kadar glukosa darah turun, dimana glukosa darah dipertahankan

sekitar 5 mmol / L ( mM ) (90 mg / dL ). Pada penderita dengan resistensi insulin,

kadar normal insulin yang ada tidak berefek baik pada otot dan sel-sel adiposa,

sehingga hasilnya kadar glukosa tetap lebih tinggi dari normal. Untuk

mengkompensasi hal ini, pankreas dirangsang untuk melepaskan lebih banyak

insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia (Hui, 2005).

Berbagai kondisi dapat membuat jaringan tubuh lebih resisten terhadap

insulin. Diantaranya adalah infeksi (dimediasi oleh sitokin TNFa) dan asidosis.

(37)

11

sel terpapar insulin, produksi GLUT-4 (reseptor glukosa tipe 4) pada membran sel

menurun. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan meningkat untuk memperoleh

suplai insulin, yang kemudian mengurangi kembali GLUT-4 (Timothy James

Kieffer dan Habener, 2009).

Resistensi insulin sering ditemukan pada orang dengan adipositas visera yaitu

kandungan jaringan lemak yang tinggi di bawah dinding otot perut, yang berbeda

dengan adipositas subkutan atau lemak antara kulit dan dinding otot (khususnya di

tempat lain pada tubuh, seperti pinggul atau paha), hipertensi, hiperglikemia dan

dislipidemia yang disertai trigliserida yang tinggi, partikel small dense low-density

lipoprotein (sdLDL), dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sehubungan dengan

adipositas viseral, banyak bukti menunjukkan adanya hubungan erat dengan

resistensi insulin. Pertama, tidak seperti jaringan adiposa subkutan, sel-sel adiposa

viseral menghasilkan sejumlah besar sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis

factor-alpha (TNF-a), dan interleukin-1 serta interleukin-6 (Perfetti dan Merkel,

2000).

Pada beberapa model eksperimental, sitokin pro-inflamasi ini sangat

mengganggu aksi normal insulin dalam lemak dan sel-sel otot, dan mungkin

menjadi faktor utama dalam menyebabkan resistensi insulin seluruh tubuh yang

diamati pada penderita dengan adipositas viseral. Banyak perhatian pada produksi

sitokin pro-inflamasi yang terfokus kepada jalur IKK-beta/NF-kappa-B, jaringan

protein yang meningkatkan transkripsi gen sitokin. Kedua, adipositas viseral terkait

dengan akumulasi lemak dalam hati, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyakit

hati berlemak non alkohol (NAFLD). Substansi hasil yang berlebihan pada NAFLD

(38)

12

lipolisis), dan peningkatan produksi glukosa hepatik, yang keduanya mempunyai

efek memperburuk resistensi insulin perifer dan meningkatkan kecenderungan

DMT2 (Philippe, 2009).

2.5 Fisiologi dan Patologi GLP-1

2.5.1 Penemuan Hormon Inkretin

Bayliss dan starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang

teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pankreas

melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran pencernaan.

Pada 1906 Moore mencoba menawarkan kemungkinan menyembuhkan diabetes

dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan Labarre menyambut ide ini

dengan melakukan serangkaian percobaan dengan ekstrak usus, yang mampu

membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia. Mereka memperkenalkan

istilah INKRETIN untuk substansi kimia yang terkandung dari ekstrak usus

tersebut.

Perkembangan pesat penelitian mengenai inkretin dimulai setelah

ditemukannya Radioimmunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard,

2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama ‘Entero Insular Axis

untuk mengambarkan hubungan antara saluran pencernaan dan pankreas (Green dan

Flatt, 2007). Creutzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen

diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada

pankreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti: insulin,

glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis

entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna,

(39)

13

akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst

dkk., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfetl, saat itu Gastric inhibitory polipeptide (GIP)

yang dapat disebut sebagai Inkretin. GIP saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh

karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran

lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 2003

mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron

tetapi juga suatu Inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya,

dimana peningkatan aktifitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan

glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang

timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan release insulin

bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek

protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemia tidak akan muncul.

Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory

polipeptide oleh karena menghambat sekresi asam lambung, GIP juga dikenal

sebagai Glucose-dependent Insulinotropik Polipeptide. Sehubungan dengan

fungsinya sebagai Enterogastron dan Inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah

tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejenum (Salvatore dkk.,

2007).

GIP merupakan Inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada 1970,

meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya

sekresi hormon Pankreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat

hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian

(40)

14

(GRP) sebagai glukagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. Secara

genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. GRP diyakini merupakan

inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pankreas dan saluran

pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang

dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pankreas Anglefish.

Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentifikasi adanya

inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa c-DNA preproglukagon pada manusia

ditemukan homologi dengan c-DNA GRP Anglefish, yang sekarang dikenal sebagai

GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP

(Theodorakis dkk., 2011).

GIP merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K

terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari

penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1 disintesis dan dilepaskan oleh

sel enteroendokrine, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L

merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel

L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak

terdapat pada distal jejenum, ileum, kolon dan terbanyak di rektum. Sel L

ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12

minggu pada kolon (Theodorakis dkk., 2011).

GIP merupakan suatu peptide aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984

Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan

berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal.

Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua

inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmaol / L dan meningkatkan dalam 5-15

(41)

15

beredar yaitu GLP-17-37 dan GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1

dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolime serta inaktivasi oleh enzim

dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal. Waktu

paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP

(Girard, 2008).

2.5.2 Struktur GLP-1

Gen proglukagon manusia terletak pada kaki panjang dari kromosom 2 yang

memiliki 6 ekson dan 5 intron (Hansotia dkk., 2004). Melalui proses transkripsi dan

translasi dari gen proglukagon sel L pada usus memproduksi GLP-1 (Gromada

dkk., 2007; Dunning dkk., 2007). GLP-1 tersebut tidak aktif sampai diikat oleh

NH2 dari asam amino 1 - 6. (Sinclair dkk., 2012). Suatau peptide aktif hormon

termasuk GLP-1 (7-36) dan GLP-1 (7-37). Sel L didistribusikan pada usus tetapi

paling banyak pada jejunum, ilium, kolon dan sebagainya. (Schirra dkk., 2009).

Gambar. 2.4.

Struktur GLP-1 (Deacon, 2004)

2.5.3 Sekresi dan Regulasi GLP-1

Sekresi fase awal GLP-1 diinisiasi oleh pencernaan makanan dan biasanya

(42)

16

dengan neural dan hormon mediator (Hansotia dkk., 2004). Siklus proksimal ke

distal telah banyak diduga tetapi belum ditetapkan pada manusia (Theodorakis dkk.,

2011). Fase kedua berlangsung 1-3 jam karena adanya interaksi langsung antara

bahan makanan dengan sel L (Deacon, 2004, Sinclair dkk., 2012). Kadar plasma

dari bioaktif GLP-1 berkisar 5-10 pmol/L pada keadaan puasa ( Deacon, 2004).

Mekanisme regulasi sekresi GLP-1 dipengaruhi oleh nutrient, neuron dan

endokrin (Deacon, 2004). Pelepasan GLP-1 terjadi karena asupan nutrient (Dunning

dkk., 2007). Sebagai bukti kadar GLP-1 dalam sirkulasi akan meningkat 2-3 kali

sebagai respon terhadap asupan glukosa (Deacon, 2004). Lemak dan karbohidrat

dapat menstimulasi sekresi GLP-1 dengan cara kontak langsung dengan mukosa

usus halus. Pada manusia, makanan mengandung protein tidak akan meningkatkan

sekresi GLP-1, tetapi proses pencernaan campuran asam amino nampaknya

berpengaruh pada sekresi GLP-1 (Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007).

Sekresi GLP-1 juga berhubungan dengan pengosongan lambung terutama

laju pencernaan nutrient ke dalam usus kecil; makanan cair menyebabkan pelepasan

GLP-1 lebih tinggi daripada bahan makanan padat. Beberapa studi telah

membuktikan adanya peran nervus vagus dalam mediasi signal nutrient pada

duodenum untuk mengontrol sekresi GLP-1 di distal usus halus (Deacon, 2004;

Hansotia dkk., 2004), dan regulasi vagus yang bersifat kolinergik dan muskarinik

tersebut telah dapat dijelaskan. Sistem nervus simpatik dan persarafan non

kolinergik non adrenergik juga telah dijelaskan terlibat dalam regulasi GLP-1

(Deacon, 2004). Sistem enteroendokrin antara duodenum dan jejunum mungkin

juga terlibat dalam regulasi sekresi GLP-1 (Schirra dkk., 2009). Signal endokrin

dari bagian proksimal usus halus mungkin juga memegang peranan dalam sekresi

(43)

17

2.5.4 Metabolisme GLP-1

Sekresi GLP-1 dari Sel L usus yang dilepaskan ke dalam sirkulasi akan

segera dipecah oleh GPP-4 menjadi GLP-1 (9-36) dan GIP (9-37) (Gromada dkk.,

2007). Waktu paruh GLP-1 pada manusia kurang dari 2 menit (Sinclair dkk., 2012).

GPP-4 adalah plasma membran glikoprotein ektopeptidase dengan berat 110 kilo

Dalton yang diekpresikan pada permukaan sel endotel dan epitel, konsentrasi

terbanyaknya pada manusia dilaporkan pada usus kecil, sumsum tulang dan ginjal.

(Volmer dkk., 2008). Enzim ini dipecah pada penultimat alanin residu untuk

memproduksi NH2 terminal yang dapat menyebabkan stimulus pelepasan insulin

melalui reseptor GLP-1 (Sinclair dkk., 2012). Endopeptidase netral 24.11(NEP

24.11 atau disebut juga neprilisin) adalah membran yang dibalut oleh zink

metalopeptidase (Plamboeck dkk., 2005). Ini akan memecah peptida pada nukleasid

C terminal dari GLP-1, molekul dan dibersihkan sisa-sisa metabolisme (Deacon,

2004; Volmer dkk., 2008). Pengeluaran klirens GLP-1 primernya melalui ginjal

(Deacon, 2004; Hansotia dkk., 2004).

2.5.5 Fisiologi GLP-1

GLP-1 menstimulasi sekresi insulin memegang peranan yang penting untuk

mempertahankan homeostasis glukosa. GLP-1 juga peningkatan biosintesis insulin

GLP-1r dan banyak ditemukan pada sel Beta, sel Alpa dan sel gamma pankreas

(Deacon, 2004). Inhibisi dari pelepasan glukagon oleh GLP-1 dapat terjadi karena

efek langsung maupun tidak langsung melalui pelepasan somatostatin. Fungsi

inhibisi tidak tergantung glukosa (Deacon, 2004; Sinclair dkk., 2012). GLP-1 tidak

akan menyebabkan terjadinya hipoglikemia (Gromada dkk., 2007). Sebaliknya

(44)

18

langsung regulasi glukosa hepatik dan peningkatan sintesis glukogen, oksidasi dan

utilisasi glukosa (Deacon, 2004). GLP-1 meningkatkan massa sel beta pankreas

dengan cara menstimulus proliferasi dan neogenesis sel beta serta menghambat

apoptosis (Holst dkk., 2009) dan meningkatkan viabilitas (Deacon, 2004) serta

mengambil peranan pada regulasi CAS phase 3 dan regulasi antiapoptik protein

BCL-2 (Hansotia dkk., 2004). Sebagai akibatnya GLP-1 juga menurunkan nafsu

makan dan memperlambat pengosongan lambung. Fungsi ini biasanya berhubungan

dengan sistem nervus vagus (Dunning dkk., 2007). Oleh sebab itu dipandang

sebagai terapi ideal diabetes.

Gambar 2.5.

Fisiologis GLP-1 dalam menurunkan kadar glukosa (Dunning dkk., 2007).

2.5.6 Mekanisme Kerja GLP-1 pada Sel Beta Pankreas

GLP-1 bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor G Protein (GPCRs)

(Sinclair dkk., 2012). Ikatan GLP-1 dengan reseptor ini pada sel beta menyebabkan

peningkatan c-AMP intraseluler sehingga terjadi eksositosis insulin melalui dua

(45)

19

(Combettes dkk., 2006). Setelah aktivasi PKA dan c-AMP guanine nukleotida

exchange factor II (cAMP-GEF II) akan memfasilitasi terbentuknya

molekul-molekul yang terlibat dalam sekresi insulin oleh GLP-1 (Dunning dkk., 2007).

GLP-1 mempengaruhi potensial membran sel beta pankreas dengan cara

menghambat K-ATP dan KV channels dan memfasilitasi depolarisasi membran.

Perubahan ini akan menyebabkan peningkatan calcium channel voltage gate dengan

akibatnya masuknya kalsium dan inisiasi eksositosis insulin dependen kalsium

(Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007). Sebagai tambahan GLP-1 menghambat

aktivitas dari KV channels menyebabkan repolarisasi sel beta (Deacon, 2004).

Gambar 2.6.

Mekanisme kerja GLP1 pada Sel B pankreas (Deacon, 2004)

Efek anti apoptotik GLP-1 adalah diakibatkan karena aktivasi c-AMP dan

phospotilidinositol 3 kinase (PI3KA). Kedua jalur ini saling mengisi. Jalur c-AMP

dimediasi oleh aktivasi respon elemen binding protein (kreb) dan interaksi dengan

(46)

20

aktivasi ekspresi gen reseptor insulin substrak 2 dan menuntun pada protein kinase

b (PKB) (Combettes dkk., 2006). GLP-1 merangsang ekspresi gen insulin melalui

aktivasi dari faktor inti pada T sel teraktivasi (N fat) dan aktivasi sinyal

ekstraseluler regulative kinase (ERK) dengan mekanisme dependen pada

mitogen-activated protein kinase-kinase (MAPKK atau MEK) (Combettes dkk., 2006; Holst

dkk., 2009). GLP-1 juga meningkatkan aktivitas duodenal homeobox 1 (PDX-1)

yang menyebabkan regulasi dari ekspresi gen (Combettes dkk., 2006).

Aktivasi reseptor GLP-1 mencetuskan stimulasi dari PI3K melalui 2 jalur.

Aktivasi PI3K melalui down stream target: Mitogen activated protein kinase

(MAPK), ERK, PKC, dan PKB dalam sel beta PKC dan MAPK berhubungan

dengan proliferasi GLP-1. Sementara ERK dan MAPK menyebabkan diferensiasi

sel beta. Mekanisme molekuler pada regulasi pankreas oleh GLP-1 tidak

sepenuhnya dipahami sehingga diperlukan studi yang lebih lanjut (Combettes dkk.,

2006).

2.6 Hubungan GLP-1 dan Sekresi Insulin Postprandial

Pada pemberian beban glukosa oral dan intravenus didapatkan efek inkretin

dapat memacu sekresi insulin sebanyak 2/3 dari kapasitas total pada subjek dengan

non diabetes, sedangkan efek tersebut pada DMT2 kurang dari 20% (Nauck

dkk.,2006). Penurunan respon inkretin memberikan kontribusi pada disregulasi

insulin dan sekresi glukagon khususnya pada periode postprandial sehingga

menyebabkan hiperglikemia (Pratley dan Weyer, 2001). Eviden memperlihatkan

penurunan respon inkretin pada penderita DMT2 diakibatkan karena penurunan

(47)

21

Gambar 2.7.

Efek GLP-1 terhadap Sekresi Insulin postprandial (Nauck dkk.,2006)

Gambar 2.8.

Penurunan respon sekresi GLP-1 postprandial ( Toeft nielsen dkk., 2001)

2.7 Terapi Diabetes Melitus Tipe II

Penelitian UKPDS dan Studi Kumamoto pada penderita DMT2

menunjukkan target glikemik terapi DMT2 yang menghasilkan perbaikan prognosis

jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa

(48)

22

neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan

pemeriksaan harian dan HbA1C sebagai indeks glikemia kronik belum diteliti

secara sistematik. Tetapi hasil penelitian Diabetes Control and Complication Trial

(DCCT) (pada penderita diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada penderita diabetes tipe

2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Dari

kedua studi tersebut bahkan pada grup penderita yang mendapat pengobatan

intensif, kadar HbA1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik.

Studi tersebut mencapai kadar rata-rata HbA1C ~7% yang merupakan 4SD

diatas rata-rata non diabetik (DCCT, 2013). Target glikemik yang paling baru

adalah dari ADA yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan

kejadian komplikasi, yaitu HbA1C < 7%. Konsensus ini menyatakan bahwa kadar

HbA1C ≥ 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi

dengan target HbA1C < 7%.

Para ahli juga menyadari bahwa target ini mungkin tidak tepat atau tidak

praktis untuk penderita tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan

potensi keuntungan dan kerugian dari rejimen yang lebih intensif perlu

diaplikasikan pada setiap penderita. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko

hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap penderita

sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif (ADA, 2014). Dikenal 4

pilar pengobatan pasien-pasien DMT2 yakni edukasi, pengaturan diet, latihan fisik,

dan obat (Perkeni, 2014) sedangkan menurut ADA pengobatan ini dibagi menjadi

(49)

23

2.7.1 Modifikasi Pola Hidup

Modifikasi pola hidup merupakan terapi non farmakologis yang meliputi

edukasi, pengaturan pola diet, latihan fisik (Perkeni, 2014). Modifikasi pola hidup

merupakan dasar terapi setiap pasien DMT2, dikarenakan pola hidup yang buruk

merupakan faktor resiko terjadinya DMT2 (UKPDS, 2011). Beberapa penelitian

telah membuktikan bahwa pengaturan pola hidup yang baik dikaitkan dengan

kendali glisemik yang lebih baik (Nathan dkk., 2008). Hal ini terutama dikarenakan

dengan pengaturan pola hidup yang baik dapat menurunkan kejadian resistensi

insulin (Folsom dkk., 2004).

Edukasi yang baik akan mempengarui prilaku pasien DMT2, dengan tingkat

pengetahuan yang lebih baik ternyata dapat meningkatkan kendali glisemik

pasien-pasien DMT2 (Da Qing study, 2007; Finnish study, 2003). Edukasi yang diberikan

kepada penderita DMT2 meliputi pemahaman tentang: perjalanan penyakit

diabetes, perlunya pengendalian dan pemantauan diabetes, penyulit dan risikonya,

intervensi farmakologis dan non farmakologis, cara pemantauan gula darah mandiri

dan pemahaman tentang hasil pemantauan, mengatasi sementara keadaan darurat

antara lain hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya

perawatan diri, dan keadaan khusus yang dihadapi seperti : hiperglikemia pada

kehamilan (ADA, 2014; Perkeni, 2014).

Pengaturan makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori

dan zat gizi masing-masing individu telah dikaitkan dengan keberhasilan kendali

glisemik pada pesien-pasien DMT2 (Da Qing study, 2007; Finnish study, 2003).

Perlu ditekankan tentang pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

(50)

24

kebutuhan kalori basal 25-30 kalori/kgbb, ditambah dan dikurangi bergantung pada

beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan. Makanan

sejumlah kalori tersebut kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi

(20%), siang (30%) dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%).

Untuk diabetisi yang menderita penyakit lain, makanan diatur dengan

menyesuaikan dengan penyakit penyertanya. Komposisi makanan yang dianjurkan

terdiri dari karbohidrat 45-65% totao asupan kalori, lemak 20-25% kebutuhan

kalori, dan protein 15-20% kebutuhan kalori (ADA, 2014; Perkeni, 2014).

Kegiatan jasmani sehari-hari seperti berjalan kaki, menggunakan tangga,

berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali

seminggu selama 30 menit ternyata berkaitan erat dengan kendali glisemik yang

lebih baik (DPP, 2002). Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat

aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani

ini disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani (ADA, 2014; Perkeni,

2014).

2.7.2 Metformin

Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan

menurunkan kadar glukosa puasa (Kirpichnikov dkk., 2002). Mekanisme kerja

molekular metformin belum sepenuhnya dipahami. Beberapa teori yang ada

meliputi : metformin menghambat kerja respirasi mitokondria, aktivasi

AMP-activated protein kinase (AMPK), inhibisi sekresi glukagon melalui hambatan pada

c-AMP, inhibis pada mitokondrial glycerophosphate dehydrogenase (Rena dkk.,

2013) dan efek pada mikrobakteri pada usus (Burcelin, 2013). Metformin dapat

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3. Struktur insulin manusia (Butler dkk., 2010)
Gambar. 2.4.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, uji aktivitas minyak atsiri bunga kenanga pada konsentrasi 20%, 40%, 60% menunjukan daya lebih aktif menghambat pertumbuhan bakteri gram

– Status solusi ( solution state ): satu atau lebih status yang menyatakan solusi persoalan. •

Jawaban : (Pada saat itu, kelenjar adrenalin yang letaknya di atas ginjal memproduksi hormon ini. Sekresi ini bertujuan untuk memperkuat denyut

pendidikan Jumlah daerah yang difasilitasi dalam pengembangan SRA Jumlah SDM terlatih KHA Klaster 4 22 Ketersediaan Fasilitas untuk Kegiatan Budaya, Kreativitas, dan

31 SD Negeri Seilale Ambon Jl... Gong

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding telah memeriksa, membaca, mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang bersangkutan yang terdiri

C Pondoh Madu Primadona Baru

ditolak berarti dapat dikatakan kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi dan kelompok siswa dengan motivasi berprestasi rendah memiliki prestasi belajar yang