• Tidak ada hasil yang ditemukan

FITOREMEDIASI PADA MANGROVE DI BINALATUNG

Pendahuluan

Awal mula teknologi remediasi telah berkembang pesat sejak dekade 80-an, namun pada pelaksanaanya mengalami kendala utamanya yakni mahalnya biaya penggunaanya (Notodarmojo, 2005). Fitoremediasi merupakan sebuah metode yang menggunakan tumbuhan atau tanaman untuk stabilisasi, ektraksi, akumulasi, mendegradasi atau merubah kontaminan dalam sedimen, tanah, atau lingkungan perairan (Moreira et al. 2013). Cunningham et al. (1996) menjelaskan fitoremediasi adalah penggunaan tanaman dan mikroorganisme terkait untuk mendegradasi, menyerap atau membuat kontaminan pada tanah dan/atau air tanah menjadi tidak berbahaya. Istilah fitoremediasi (phyto berarti tanaman, dan remediasi berarti penyembuhan atau pengobatan) relatif baru digunakan, yakni sejak tahun 1991. Informasi dasar mengenai fitoremediasi berasal dari berbagai bidang penelitian dengan dimulainya dari penanganan lahan basah, tumpahan minyak hingga penelitian tentang tanaman-tanaman pertanian yang dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat sehingga istilah ini meluas sampai saat ini dengan berbagai macam interpretasi (Ulfah et al. 2010).

Tanaman atau tumbuhan menggunakan proses fitodegradasi, fitostabilisasi, atau fitoekstraksi dari kontaminan (Gunther et al. 1996). Metoda ini pertama kali dipicu oleh kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl – Rusia pada tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah melakukan penelitian terhadap kemampuan tanaman jenis Indian mustard untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan stronsium dalam tanah yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa-USA, para peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa pestisida jenis atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah. Seiring berjalannya waktu metode ini terbukti secara efektif memperbaiki dan mengembalikan kondisi tanah dan air tanah yang terkontaminasi dengan bahan organik maupun nonorganik. Tanaman-tanaman tersebut diantaranya canola (Brassica napus L.) oat (Avena sativa) dan barley (Hordeum vulgare) yang dapat menyerap logam berat seperti selenium, tembaga, cadmium, dan seng. Poplar dapat mengurangi konsentrasi nitrat pada aliran permukaan air tanah dan mendegradasi herbisida atrazine. Selain itu sejenis rumput makanan ternak yang diinokulasi dengan bakteri dapat mendegradasi asam bensoat yang terklorinasi yang merupakan residu dari degradasi PCB (Ulfa et al. 2010).

Selain itu tanaman pantai seperti mangrove jenis Rhizophora mangle L dengan menggunakan anakan yang rata-rata berumur tiga bulan dapat mengurangi konsentrasi kontaminan TPH pada sedimen mangrove selama sembilan puluh hari (tiga bulan) dan hasilnya menunjukkan bahwa jenis ini mampu mengurangi individu dari TPH sebesar 87 % atau 33.2 mg/gr menjadi 4.5 mg/gr (Moreira et al, 2011). Upaya terus dilakukan untuk mengurangi konsentrasi kontaminan pada sedimen mangrove namun hingga saat ini penelitian manfaat ekonomi fitoremediasi mangrove yang terkait dengan pencemaran di sedimen mangrove masih sangat terbatas.

35 Faktor pendorong bagi penerapan metoda ini adalah efisiensi biaya yang dikeluarkan disamping manfaat yang akan diperoleh. Selain itu metode ini dapat meremediasi dan memungut ulang polutan dari sistem tercemar karena mempunyai kelebihan diantaranya, ramah lingkungan, biaya operasional yang rendah dan dapat memelihara kualitas lingkungan menjadi lebih baik, sampai kini telah ada lebih dari 400 jenis tanaman yang dipelajari kemampuan mengakumulasi polutan logam dan senyawa organik (Marmioli dkk, 2000, Ball Ram Sing, 2000, Reinfelder,2000; EPA, 1998; Volesky, 1998, Claus Reuihet, 2000). Pasar Eropa dan USA telah menyediakan biaya pengolahan dengan sistem fitoremediasi sebesar US$36-54 billion dengan peruntukan US$1.2-1.4 milyar khususnya bagi pengolahan tanah yang terkontaminasi logam berat dengan menggunakan metode fitoremdasi (Glass 1999). Scott Cunningham et al mengestimasi biaya remediasi secara in-situ terhadap lahan yang terkontaminasi bahan pencemar sebesar US$10-100 per m3

hingga US$30-300 per m3 sedangkan biaya fitoremediasi secara ex-situ pada lokasi yang sama hanya membutuhkan sebesar US$0.05 per m3 (Watanabe. 1997). Hasil penelitian Gatliff (1994) memperkirakan kebutuhan biaya untuk remediasi suatu kontaminan pada daerah sedalam 6 m di lahan 4,000 m2 adalah US$ 660,000 untuk sistem pompa konvensional dan US$250,000 untuk fitoremediasi menggunakan pohon. Metode fitoremediasi bahan aktif carbofuran menggunakan enceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) biayanya lebih murah yakni sebesar Rp 10.097 per m3 limbah dibanding dengan menggunakan arang aktif yakni sebesar Rp 20.255 per m3 limbah (Karyadi et al. 2008). Fitoremediasi dianggap metode yang ekonomi dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan tanaman untuk mengekstrak bahan pencemar dari dalam tanah (Padmavathi dan Li, 2007;Prasad, 2003).

Mengingat teknologi remediasi dengan teknik fitoremediasi merupakan teknik yang ramah lingkungan untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan penilaian ekonomi manfaat atau dengan kata lain menilai jasa khususnya dari mangrove sebagai agen fitoremediasi dari sedimen yang mengandung senyawa hidrokarbon aromatik (BTEX, Fenantrena, dan Naftalena)

Metodologi Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Binalatung yang secara administrasi terletak di Kelurahan Pantai Amal Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan. Penelitian diselesaikan dalam waktu tiga bulan, mulai bulan November 2014 hingga bulan Januari 2015.

Teknik Pengambilan Contoh

Populasi yang diteliti adalah orang-orang atau masyarakat yang bermukim di Binalatung. Umumnya warga yang bermukim di wilayah ini adalah pendatang dari berbagai daerah diantaranya seperti Sulawesi, Flores, Sasak, Tidung dan Melayu, beragam alasan mereka melakukan migrasi seperti mencari penghidupan yang lebih baik dan mengikuti kerabat atau keluarga yang sebelumnya telah lebih dahulu merantau di Kota Tarakan namun jika kondisi tidak memungkinkan mereka mendapatkan penghidupan yang baik maka mereka akan berpindah ke tempat lain di luar pulau. Hal inilah yang menjadikan mobilitas (keluar dan masuk) masyarakat

36

yang tinggi sehingga sampai saat ini sedikit dari masyarakat yang menetap untuk waktu yang lama di Binalatung. Berdasarkan karakteristik populasi tersebut maka teknik pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Teknik ini difokuskan pada warga yang telah lama bermukim, mereka yang dituakan dan para ketua RT sehingga diharapkan bahwa informasi keberadaan ekosistem mangrove serta pemanfaatannya dapat diperoleh dengan lebih baik.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan responden terpilih dengan bantuan daftar pertanyaan. Sementara data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Pantai Amal, laporan pendataan warga di ketua rukun tetangga (RT), dan hasil penelitian terdahulu.

Analisis Data

Penilaian ekonomi dari manfaat fitoremediasi dari ekosistem mangrove dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni :

1. Tahap identifikasi

Tahap ini bertujuan untuk memperoleh data tentang berbagai macam manfaat dari vegetasi mangrove dalam proses fitoremediasi. Adrianto, (2006) menegaskan bahwa dalam melakukan suatu penilaian ekonomi khususnya ekosistem mangrove harus mengetahui fungsi ekosistem secara ekologis dan fungsi ini menjadi variable input maupun variable attribute, salah satunya fungsi ekologi mangrove sebagai kontrol sedimen dan nutrient (zat hara). Manfaat dari mekanisme penyerapan senyawa kontaminan (fitoremediasi) dalam valuasi ekonomi termasuk dalam nilai manfaat tidak langsung atau dengan kata lain fungsi mangrove sebagai penyerap kontaminan (Adrianto, 2006). Fahrudin, (1996), manfaat tidak langsung merupakan manfaat yang tidak langsung diperoleh dari suatu komponen sumberdaya (mangrove). Fauzi, (2006), mangrove menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang manfaatnya dirasakan dalam jangka panjang seperti daerah pencegah banjir, dan tempat memijah namun hal tersebut baru dirasakan manfaatnya setelah terjadinya banjir atau dalam kondisi di mana ikan/udang habis akibat hutan mangrove tersebut ditebang.

Lewandowski et al. (2006) dalam penelitiannya menilai fungsi fitoremediasi dari willow (Salix sp.) terhadap lahan pertanian yang terkontaminasi cadmium dengan menggunakan metode willingness to pay (WTP), substitution cost, dan hedonic price. Dari hasil penelitian tersebut dikemukakan bahwa penggunaan metode yang tepat yakni berdasarkan pada spesifik kasus, keandalan data dan ketersediaan data. Dalam hal ini fungsi fitoremediasi dari mangrove diestimasi dari kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove berupa pembibitan dan penanaman mangrove. Dimana rehabilitasi ekosistem merupakan upaya memperbaiki sumberdaya, ekosistem dan lingkungan yang telah mengalami kerusakan atau degradasi sehingga dapat meningkatkan populasi, fungsi ekologi, dan daya dukung lingkungan serta menfungsikan kembali sistem ekologi kawasan ekosistem mangrove (Yulianda et al. 2011).

37 2. Tahap kuantifikasi

Kuantifikasi dari fitoremediasi dari fisik dan biologi mangrove adalah jumlah/kandungan/konsentrasi dari jenis pencemar khususnya aromatik hidrocarbon yang dapat dikurangi dan dikonversi dalam satuan luas (hektar) dan waktu (bulan/tahun). Teknik kuantifikasi dari manfaat fitoremediasi mangrove, adalah :

a. Biaya Fitoremediasi

Nilai nyata yang didasarkan pada nilai pasar atau produktivitas

Pendekatan nilai ini digunakan untuk menduga nilai jasa dari fungsi fitoremediasi mengenai berapakah harga jual layanan tersebut di pasar. Beberapa hasil dari fungsi penyerapan kontaminan organik dalam tanah atau jasa pembersih limbah tidak terdapat dipasaran. Untuk jasa fitoremediasi tidak ada harga pasar (Lewandowski et al. 2006).

Nilai tidak langsung

Pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan nilai manfaat tidak langsung suatu komponen sumberdaya (market failure) karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen sumberdaya tersebut (market distorsion) atau komponen sumberdaya tersebut tidak memiliki nilai pasar (non- existance of market) (Fahrudin, 2006). Dalam pelaksanaannya menggunakan nilai barang subtitusi (pengganti) atau pelengkap. Faaij, (1997); Randal, (2002) menggunakan pendugaan tidak langsung dari fungsi fitoremedaisi adalah metode biaya substitusi atau yang dikenal dengan replacement cost method dari biaya rehabilitasi mangrove. Untuk nilai jasa dari ekosistem mangrove yang tidak ada nilai pasarnya atau langsung serta dirasakan manfaatnya maka nilai tersebut dapat diduga dari harga pasar produk-produk sejenis atau nilai terbaik dari barang subtitusi atau barang alternatif (Nurfatriani 2010).

Estimasi fungsi mangrove sebagai fitoremediasi dalam kasus ini merujuk dari hasil percobaan skala laboratorium untuk mengurangi konsentrasi konsentrasi TPH dengan menggunakan anakan spesies Avicennia scauerianan yang berumur tiga bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa selama Sembilan puluh hari (tiga bulan) jenis ini mampu mengurangi konsentrasi lahan yang tercemar sebesar 89 % atau 33.2 mg/gr menjadi 4.2 mg/gr (Moreira et al. 2013). Untuk itulah kegiatan pembibitan dialokasikan selama tiga bulan dan penanaman dimulai pada bulan ke empat sampai dengan duabelas. Tujuan penanaman mangrove diantaranya ialah rehabilitasi lahan untuk mengembalikan fungsi ekologi dari lahan mangrove yang rusak. Dalam upaya melakukan upaya rehabilitasi sebaiknya dilakukan dengan mengandalkan bibit-bibit lokal dan teknik penanaman yang baik (Kusmana, 2005). Sesuai dengan kondisi substrat ekosistem mangrove di Binalatung dominan ditemukan pasir berlumpur dengan butiran-butiran halus, untuk jenis vegetasi di areal kawasan ini ialah berupa jenis vegetasi pionir seperti api-api dan jenis prepat. Secara sederhana biaya fitoremediasi dapat diformulasikan sebagai :

�ℎ = − + −

Dimana �ℎ adalah biaya yang dikeluarkan untuk fungsi fitoremediasi yang diperoleh dari penjumlahan adalah biaya pembibitan mangrove selama

38

bulan tiga bulan dan adalah biaya penanaman mangrove selama duapuluh satu bulan.

b. Manfaat setelah Fitoremediasi

Hasil penelitian Lewandowski et al. (2006) menunjukkan selama duabelas tahun proses fitoremediasi (spesies willow sp dan Thalaspi sp) lahan terkontaminasi cadmium (Cd) tidak dapat digunakan untuk tanaman produktif yang bernilai ekonomis tinggi sehingga berdampak pada kehilangan pendapatan para petani. Kemudian petani baru bisa memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman produktif di tahun ke tujuh sampai ke duabelas. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanaman bernilai ekonomis tinggi tidak direkomendasikan untuk ditanam pada lahan yang terkontaminasi logam Cd karena buah yang dihasikan akan mengadung logam Cd. Hal ini dilakukan berdasarkan syarat yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat melalui badan penjaminan mutu pangan bahwa bahan makanan yang beredar dipasaran tidak boleh melebihi ambang batas baku mutu logam berat yang dipersyaratkan. Namun hal ini berbeda ketika diterapkan pada kawasan mangrove di Binalatung yang ditetapkan sebagai kawasan green belt (Perda Kota Tarakan No.04 tahun 2002). Dalam kasus ini pendekatan yang dilakukan diantaranya dengan meihat kemampuan mangrove sebagai penyedia karbon, Hutan mangrove yang hanya ada sekitar 100,000 km2 (1 % dari total hutan dunia) mempunyai potensi untuk menangkap CO2 dari udara yang dinyatakan sebagai sequestration (Hilmi, 2003). Selanjutnya nilai pendugaan karbon di substitusi dari pendugaan karbon total jenis mangrove Avicennia marina (Yanuartanti et al. 2015) dikali dengan harga pasaran karbon di dunia internasional mencapai € 20,00/ton CO2 per ton (P.36/Menhut-II/2009) dan manfaat keanekaragaman hayati, potensi perikanan, penahan gelombang, dan daerah mencari makan (Rachmawani, 2007).

Estimasi nilai manfaat dimulai saat mangrove berusia 2 tahun, karena pada usia ini individu mangrove telah mampu berbuah (NOAA 2014) sampai mangrove berusia 25 tahun dengan asumsi riap diameter optimal pada individu mangrove (Dishutamben Kota Tarakan, 2009). Dalam mendugaa manfaat digunakan formula CBA (Cost Benefit Analysis)

��� = ∑ �+− �

�=

Dimana, Bt adalah manfaat yang diperoleh dari penyedia karbon. Ctadalah biaya rehabilitasi ekosistem mangrove. t adalah kurun waktu penilaian (tahun), dan r adalah faktor diskonto (discount rate).

Asumsi yang digunakan dalam proses analisis data antara lain :

- Harga output dan input yang digunakan dalam analisis didasarkan pada harga yang berlaku selama tahun penelitian

- Faktor diskonto (r) yang digunakan adalah 10 % berdasarkan biaya oportunitas dari investasi yang bebas resiko (Ruitenbeek, 1991)

39 - Harga jual karbon yang digunakan adalah (Euro) € 20,00/ton CO2 dengan

nilai kurs Rp 15,219 /€

Hasil dan Pembahasan

Fitoremediasi Mangrove

Teknologi fitoremediasi merupakan upaya baru untuk perbaikan lingkungan seperti substrat, tanah, air, dan udara yang terkontaminasi senyawa pencemar dengan menggunakan penanaman pohon yang ada di seluruh dunia (Licht et al. 2001; Aronson et al. 1994; Whestphal et al. 2001). Fitoremediasi bergantung pada tumbuhan hijau sebagai saran untuk mengurangi bahkan menghilangkan polutan yang terkandung dalam substrat serta memanfaatkan pertumbuhan dan transformasinya dalam mengolah kontaminan menjadi tidak berbahaya (Mohanty et al. 2010). Mangrove sebagai tumbuhan yang ada di pesisir merupakan ekosistem penting dan memiliki fungsi ekologis yang besar bagi negara-negara tropis. Lingkungan tersebut mengembalikan biomassa dan nutrisi ke laut dan berfungsi sebagai nursery ground bagi sebagian organisme laut. Ekosistem ini juga penting bagi studi geokimia karena, selain kepentingan ekonomi mangrove dan perlindungan pantai terhadap erosi, serta sebagian besar nutrisi menumpuk di daerah-daerah (Alongi. 2002; Lee et al. 2005; Duke et al. 2007; Santos et al. 2011). Namun, menurut Indeks Sensitivitas Lingkungan untuk daerah pesisir yang diterbitkan oleh NOAA, (2010), bahwa habitat mangrove diklasifikasikan sebagai habitat tropis sensitif terhadap tumpahan minyak akibat kesulitan melaksanakan rencana kontingensi.

Kemajuan di bidang bioteknologi telah mendorong beberapa peneliti untuk menerapkan fitoremediasi, yang dapat menjadi alternatif yang berpotensi lebih efektif untuk tanah dan sedimen terkontaminasi dengan TPH dan lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan metode remediasi tradisional (Salt et al. 1998; Gunther et al. 1996; Susarla et al. 2002). Fitoremediasi didefinisikan dengan baik dalam beberapa literatur sebagai metode yang menggunakan tanaman untuk menstabilkan, mengekstraksi, menumpuk, menurunkan atau mengubah kontaminan dalam sedimen, tanah atau lingkungan perairan. Tanaman dimanfaatkan proses fitodegradasi, fitostabilisasi atau fitoektraksi dari kontaminan (Gunther et al. 1996). Dalam kasus sedimen terkontaminasi dengan minyak, efek fitoremediasi didasarkan terutama pada rizosfir mikroorganisme yang merangsang degradasi, atau dengan yang lebih dikenal sebagai proses rhizodegradasi (Alkorta dan Garbisu. 2001; Santos et al. 2011.). Untuk keberhasilan maksimal dalam pelaksanaan fitoremediasi, adalah penting untuk menggunakan tanaman endemik lokal bagi sedimen tercemar yang membutuhkan pengolahan. Tanaman ini menawarkan keuntungan yang signifikan karena tanaman tersebut telah menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan lokal dan mempunyai pola interaksi terbaik dengan mikroorganisme di lingkungan tersebut (Anderson et al. 1993). Fitoremediasi dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme yang terjadi, yakni penyerapan kontaminan dari tanah atau sedimen dan air tanah atau sedimen, pengumpulan

40

kontaminan pada jaringa tanaman, degradasi kontaminan melalui berbagai proses biotik maupun abiotik, penguapan (volatilisasi atau transfirasi) kontaminan yang dapat menguap dari tanaman ke udara, pengikatan kontaminan pada daerah akar, kontrol daya hantar air tanah yang terkontaminasi (kontrol pergerakan) dan kontrol pada run-off, erosi, dan infiltrasi. Atau dengan yang lebih dikenal dengan fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi.

1. Fitoekstraksi yaitu proses ekstraksi dan akumulasi polutan dari lapisan tipis tanaman yang dapat dipanen untuk mendapatkan kembali (pungut ulang) polutan yang bernilai ekonomis.

2. Fitotransformasi atau Fitodegradasi yaitu proses remediasi polutan yang disebabkan terjadinya perubahan molekul organik yang kompleks menjadi molekul sederhana. Proses ini melibatkan metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase.

3. Fitostimulasi atau simbiosis tanaman dengan mikrobial (plant-assisted bioremediation) yaitu proses remediasi polutan yang disebabkan oleh adanya aktifitas mikroba pada daerah akar yang bekerja secara bersama sinergis. 4. Fitostabilisasi yaitu proses remediasi dikarenakan adanya penurunan mobilitas

polutan melalui pembentukan senyawa yang lebih kompleks namun mudah untuk diadsorpsi oleh tumbuhan di daerah rizosfer.

5. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun.

Peranan ekosistem mangrove sebagai agen fitoremediasi sekaligus bioremediasi memiliki potensi besar dalam penerapannya terutama pada sedimen yang tercemar. Hal ini ditunjukkan pada percobaan terhadap mangrove anakan yang berusia tiga bulan dari spesies Avicennia schaueriana mampu mengurangi kontaminan selama Sembilan puluh hari (tiga bulan) dari sedimen yang mengandung TPH (Tabel 7). Dimana jenis mangrove ini mampu menghilangkan semua fraksi dari TPH termasuk fraksi 3A (rantai C16-23), 3B (rantai C23-34) dan 4 (rantai C34-40) yang merupakan kontaminan TPH sifat karsinogenik tinggi dalam sedimen. Selain itu juga bahwa mangrove mengakumulasi bahan pencemar tersebut sehingga berdampak pada pertumbuhan tanaman 18 cm dan akar menjadi 3 cm lebih besar. Kondisi ini diindikasikan bahwa mangrove memiliki kemampuan sebagai fitostimulasi (simbiosis) dengan mikroorganisme dalam rhizosfer sehingga menunjukkan rizodegradasi. Selain itu penting untuk dipertimbangkan degradasi dan transformasi senyawa pencemar yang terakumulasi dalam tubuh mangrove yang diperoleh dari sedimen yang terkontaminasi TPH. Hal penting lainnya adalah bahwa selama proses ini berlangsung jumlah bakteri yang hidup lebih tinggi dalam rhizosfer yang ditemukan pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Dengan kata lain bahwa akar dari spesies tanaman yang digunakan dalam percobaan memiliki kemampuan tinggi untuk merangsang degradasi senyawa organik oleh bakteri- bakteri (Moreira et al. 2013).

41

Selain itu fitoremediasi anakan mangrove dari jenis Rhizophora mangle L. berusia tiga bulan mampu mengurangi kontaminan dari 33.2 menjadi 4.5 mg/g selama 90 hari dan bioremediasi (intrinsic organism) dari 33.2 menjadi 9.2 mg/g dari sedimen yang tercemar TPH. Jenis ini mampu membersihkan fraksi 3A (rantai C16-23), 3B (rantai C23-34) dan 4 (rantai C34-40) dari TPH. Fraksi-fraksi tersebut dikenal memiliki sifat karsinogenik tinggi karena bersifat hidropobik dan berat molekul yang tinggi. Sedimen yang memiliki konsentrasi pencemar TPH yang tinggi tidak hanya toxic melainkan berdampak negatif bagi tanaman. Namun hal ini tidak menunjukkan pengaruh terhadap Rhizophora mangle.L karena pada percobaan yang dilakukan ditemukan bahwa terjadi peningkatan sebesar 22 % pada pertumbuhan tanaman dan akar 4 % lebih besar. Hasil percobaan selama sembilan puluh hari mengindikasikan bahwa proses fitoremediasi dari spesies Rhiozophora mangle.L dalam membersihkan kontaminan dari sedimen bertindak sebagai fitostabilisasi, mencegah penyerapan, dan sekaligus bertindak sebagai fitostimulasi (simbiosis) mikroorganisme dalam lingkungan rhizosfirnya atau biasa dikenal dengan rhizodegradasi. Selain itu penting untuk dipertimbangkan kemungkinan tanaman telah menyerap senyawa pencemar dan selanjutnya terjadi proses fitodegradasi.

Biaya Fitoremediasi

Pendekatan biaya untuk mengurangi konsentrasi hidrokarbon organik dari dalam sedimen ekosisitem mangrove di Binalatung menggunakan biaya rehabilitasi mangrove. Biaya rehabilitasi merupakan salah satu pendekatan dalam menilai jasa fitoremediasi. Dalam pelaksanaanya upaya rehabilitasi ekosistem mangrove di Binalatung dilakukan dengan melakukan pelibatan masyarakat dari mulai tahap persiapan sarana budidaya sampai dengan penanaman mangrove. Upaya ini bertujuan agar masyarakat dapat belajar dengan alam bagaimana mendapatkan bibit yang baik, dan secara langsung dapat memahami pentingnya keberadaan ekosistem ini sehingga memiliki dan menjaga lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Tabel 7 Rata-rata konsentrasi dari TPH dan standar deviasi

Perlakuan Hari Rata-rata TPH (mg/kg) Standar Deviasi

Bioremediasi 1 33215.2 ±2594.1 Fitoremediasi 1 33215.2 ±2594.1 Bioremediasi 7 24351.3 ±4363.1 Fitoremediasi 7 29494.3 ±4035.9 Bioremediasi 15 20098.7 ±7261.2 Fitoremediasi 15 25253.3 ±2747.4 Bioremediasi 30 19437.7 ±2110.4 Fitoremediasi 30 18396.8 ±4072.0 Bioremediasi 60 18698.5 ±3888.0 Fitoremediasi 60 16041.2 ±2031.3 Bioremediasi 90 9225.10 ±1616.7 Fitoremediasi 90 4223.00 ±826.05 Sumber : Moreira, 2013.

42

Selanjutnya dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi bangunan ini diupayakan untuk meminimalisasi setiap kebutuhan (biaya) sehingga dengan begitu warga diharapkan akan sangat terbiasa dengan melakukan kegiatan yang dianggap bermanfaat tanpa harus menunggu bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan secara tidak langsung warga diajak untuk bekerja mandiri (Kusmana, 2005). Kegiatan pembibitan dan penanaman mangrove dilakukan mengingat bahwa kemampuan individu mangrove di alam dalam menyediakan semai sangat sedikit dari jenis api-api sebanyak 6 ind/m2 dan prepat sebanyak 6-8 ind/m2 (Rachmawani et al. 2016) sehingga dibutuhkan stok sebanyak 3000 - 4000 bibit per hektar. Secara rinci komponen biaya tersaji pada Tabel 9.

Komponen biaya pembibitan pada Tabel 9 meliputi biaya pembuatan bedengan, tanah sebagai media bibit mangrove, pembersihan lahan, dan biaya tenaga kerja sebesar Rp 117,175,000. Biaya BBM, pupuk, tanah, peralatan pembenihan sebesar Rp 59,461,200 sehingga total biaya pembibitan yang dibutuhkan sebesar Rp 176,636,200 dan Rp 88,318,100 per tahun. Dalam proses pembibitan hal yang perlu mendapat perhatian diantaranya berupa tanah dalam polybag sebagai media hidup anakan mangrove, konstruksi bedengan dan lokasi bedengan dan tenaga kerja. Media tumbuh dapat dibuat dari lumpur yang berada disekitar rencana lokasi namun menurut Kusmana et al. (2014) bahwa media yang baik buat pertumbuhan mangrove berupa campuran tanah mineral sebanyak 30 % dan lumpur sebanyak 70 %. Bedengan dibutuhkan sebagai tempat pemeliharaan bibit mangrove dan lokasi bedengan ini tidak berjauhan dengan lokasi penanaman sehingga mempermudah distribusi bibit pada saat penanaman. Konstruksi bedengan dibuat bertingkat dengan tujuan untuk menghindari pemangsaan bibit mangrove oleh binatang pemangsa. Bedengan dibuat dari bambu atau kayu-kayu mati yang tersedia disekitar lokasi dan bahan penutup bedengan digunakan daun kelapa yang dimiliki warga. Kelebihan dari bedengan ini adalah konstruksinya yang kuat, bagus dan mampu bertahan selama kurang lebih 4 tahun selain itu dengan pemeliharaan bibit yang baik dan benar terbukti anakan mangrove 90 % bisa tumbuh dengan sempurna dalam bedengan (Priyono, 2010) atau dengan kata lain penguasaan harus sangat baik terhadap teknik budidaya spesies yang akan ditaman

Dokumen terkait