• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Hidrokarbon dibagi menjadi dua kelas yakni hidrokarbon alifatik yang merupakan hidrokarbon rantai lurus tanpa benzena dan hidrokarbon aromatic yang mengandung cincin benzene. Aromatik hidrokarbon yang mengandung cincin benzena, dimana sebuah cincin benzene berisi enam karbon bergabung dalam struktur cincin dengan ikatan tunggal dan ganda. Hidrokarbon aromatik adalah senyawa organik yang tersebar luas di alam, bentuknya terdiri dari beberapa rantai siklik aromatik dan bersifat hidrofobik (Witt, 1995). Kandungan minyak bumi utamanya tersusun atas hidrokarbon jenuh dan tidak jenuh beserta turunannya senyawa nitrogen dan senyawa sulfur. Bensin merupakan produk hasil minyak bumi yang memiliki campuran lebih dari 100 senyawa organik Tabel 2 (Salsali, 1999). Menurut Qiu, (2009) bahwa senyawa-senyawa seperti benzene, styrene dan phenantrene termasuk dalam kelompok hidrokarbon aromatik. Senyawa hidrokarbon aromatik masuk kedalam senyawa yang mempunyai potensi karsinogenik dan sering dijadikan sebagai kriteria dalam program pembersihan (clean-up) tanah atau air yang tercemar (USEPA 1993).

Senyawa aromatik mengandung berbagai senyawa aromatik lainnya seperti PAH yakni senyawa aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen. Senyawa PAH dapat memiliki beberapa cincin aromatik mulai dari empat, lima, enam, ataupun tujuh cincin, tetapi yang paling banyak dengan lima atau enam cincin. PAH dengan enam cincin aromatik disebut alternant PAH. Alternant PAH tertentu disebut ”benzoid” PAH, nama ini berasal dari benzena yang merupakan hidrokarbon aromatik dengan enam cincin. Senyawa PAH berasal dari tiga proses, yaitu pirolisis, petrogenik, dan diagenetik. PAH dengan tiga cincin dihasilkan oleh proses petrogenik, sedangkan PAH dengan empat, lima, dan enam cincin dihasilkan oleh proses pirolisis (Muri dan Wakeham 2009). Beberapa senyawa PAH diketahui atau diduga bersifat karsinogenik (Tabel 3). PAH dibentuk dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon seperti; kayu, batu bara, diesel, fat, atau tembakau. PAH ada yang bersifat lipofilik, yang berarti mencampur lebih mudah dengan minyak dari air. Menurut Neff (1979) terdapat beberapa senyawa PAH yang perlu diperhatikan, antara lain; naphtalena (C10H8),

acenaphthylene (C12H8), acenaphthene (C12H10), flourene (C13H10), phenanthrene

Tabel 2 Komposisi (fraksi massa) dari BTEX dalam Bensin

Aromatic hydrocarbon Mollecular weight (gr) Fresh gasoline (%) Weathered gasoline (%) B 78.1 0.0076 0.0021 T 92.1 0.0550 0.0359 E 106.2 0.0000 0.0156 X 106.2 0.0957 0.0151

23 (C14H10), anthracene (C14H10), flouranthene (C16H10), pyrene (C16H10), benzo

(C18H12), chrysene (C18H12), dibenzo (C22H14), dan indenol (C22H12).

Konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh tingkat solubilitas dan keberadaan gugus non polar yang bersifat hidrofobik. Solubilitas PAH cenderung rendah, sehingga PAH cenderung berikatan dengan partikel organik dan anorganik dibandingkan berada dalam bentuk terlarut. Ikatan PAH dengan partikel mengakibatkan terjadi proses koagulasi, berat partikel makin bertambah dan kemudian jatuh ke sedimen. Semakin besar ukuran partikel maka makin banyak pula PAH yang berasosiasi dan makin tinggi konsentrasi PAH. Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PAH di sedimen lebih besar dibandingkan PAH di kolam air. PAH bersifat toksik dengan kadar yang relatif tinggi ditemukan oleh beberapa peneliti dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan (Mohammed et al. 2009).

Penelitian kontaminasi dari jenis dan kandungan PAH pada beberapa sampel sedimen dan air laut di Kota Tarakan menunjukkan konsentrasi berada pada level sedang dan pada ikan Nomei (Harpodon nehereus) kandungan konsentrasi berada pada level kontaminasi rendah (Achyani, 2011). Selanjutnya disebutkan juga bahwa jenis PAH pada sedimen laut teridentifikasi lima senyawa yakni; fluorantena, Tabel 3 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff, 1979)

Komponen Sifat Karsinogenik Komponen Sifat Karsinogenik Antrasena −− Aceantirilen −− Fenantrena −− Benz[j]aceantririlen ++ Benz[a]antrasena + 3-metilkolantren ++++ 7,12- dimetilbenz[a]antrasena ++++ Napthasen −− Dibenz[a]antrasena + Pirena −− Dibenz[ah]antrasena +++ Benzo[a]pirena +++ Dibenz[ac]antrasena + Benzo[e]pirena −− Benzo[a]fenantrena +++ Dibenzo[a]pirena ± Fluorena −− Dibenzo[ah]pirena +++ Benzo[a]fluorena −− Dibenzo[ai]pirena +++ Benzo[b]fluorena −− Dibenzo[cd,jk]pirena −− Benzo[c]fluorena −− Indeno[1,2,3-cd]pirena + Dibenzo[ag]fluorena + Krisena ± Dibenzo[ah]fluorena ± Dibenzo[b,def]krisena ++ Dibenzo[ac]fluorena ± Dibenzo[def,p]krisena + Fluorantena −− Dibenzo[def,mno]krisena −− Benzo[b]fluorantena ++ Perilen −− Benzo[i]fluorantena ++ Benzo[ghi]perilen −− Benzo[k]fluorantena −− Koronen −− Benzo[mno]fluorantena −−

Keterangan : (--) tidak bersifat karsinogenik; (±) sifat karsinogeniknya lemah; (+) bersifat karsinogenik;(++,+++,++++) sifat karsinogenik tinggi

24

fenantrena, naftalena-C2, fenantrena-C1, dan antrasena-C1 dengan kandungan nilai konsentrasi berkisar 50-136µg/g. Sedang jenis PAH yang teridentifikasi pada air laut teridentifikasi dua senyawa yakni; fenantrena dan fluorantena dengan nilai konsentrasi berkisar 6.36-380µg/l. Jenis PAH yang terakumulasi dalam tubuh ikan nomei (daging) teridentifikasi sepuluh senyawa yakni; fluorena, fenantrena, antrasena, fluorantena, pirena, naftalena-C1, naftalena-C2, fenantrena-C1, bifenil, dan asenaftena dengan nilai konsentrasi berkisar 1582-2747µg/g.

Menurut Eisler, (1987) menyatakan PAH termasuk pada kelompok pencemar yang sangat sulit diuraikan. Polutan hidrokarbon aromatik telah direkomendasikan sebagai polutan prioritas oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (USEPA) dan komponen sasaran untuk studi di lokasi yang terkontaminasi minyak karena bersifat karsinogenik, mutagenik, dan beracun. Meskipun kontaminasi keduanya dapat dihasilkan dari proses alam dan antropogenik, masukan berupa PAH dari aktivitas manusia seperti tumpahan minyak mentah, produksi lepas pantai, transportasi dan pembakaran yang sangat signifikan telah menjadi ancaman serius bagi habitat pesisir seperti mangrove (Corredor et al. 1990).

Mengingat kerusakan yang ditimbulkan dari pencemaran organik dapat mempengaruhi rantai makanan khususnya dalam ekosistem mangrove sehingga perlu untuk mengetahui jenis-jenis senyawa organik terdapat dalam sedimen dan akar indivudu mangrove dan diharapkan penanganan yang tepat bagi kerusakan sebuah sistem akibat terkontaminan senyawa tersebut.

Metodologi Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga April 2015. Lokasi pengambilan sampel sedimen dan akar mangrove dilakukan di kawasan mangrove Binalatung, Kecamatan Tarakan Timur Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Utara. Ekstraksi sampel dilakukan di Laboratorium Lingkungan FPIK Universitas Borneo Tarakan, dan injeksi ekstrak sampel dilakukan di Laboratorium PUSLITBANG Hasil Hutan Bogor dan Laboratorium Forensik Mabes POLRI Jakarta.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah sedimen kering mangrove, dan akar mangrove. Sedang bahan berupa pelarut organik yang digunakan terdiri atas; n-hexane (pro analysis), acetone (pro analysis), dichlrometan/DCM (pro analysis), dan methanol/MeOH (pro analysis) serta bahan reagen (silika dan allumina).

- Silika gel 60 (ukuran partikel 0.040-0.063mm); silika gel (0.040-0.063 mm) dideaktivasi dengan 5 % air (akuades). Tahap awal deaktivasi, silika gel (10 g) dimurnikan dengan menggunakan alat soxhlet (6 jam) campuran n-heksana- methanol (1:1) sebanyak 150 ml, selanjutnya dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil lalu dioven pada suhu 300 oC selama 1 jam. Setelah itu,

suhu diturunkan secara bertahap menjadi 200 oC hingga 100 oC, kemudian

dipindahkan kedalam desikator. Deaktivasi silika gel dilakukan dengan menambah air akuades 5 % (0.5 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi silika 95 % (9.5 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang.

25 - Allumina; Allumina yang digunakan pada kolom kromatografi dideaktivasi dengan 5 % air (akuades). Tahap awal deaktivasi, allumina (10 g) dimurnikan dengan menggunakan alat soxhlet (6 jam) campuran n-heksana-methanol (1:1) sebanyak 150 ml, selanjutnya dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil lalu dioven pada suhu 300 oC selama 1 jam. Setelah itu, suhu diturunkan secara bertahap menjadi 200 oC hingga 100 oC, kemudian dipindahkan kedalam

desikator. Deaktivasi allumina dilakukan dengan menambah air akuades 5 % (0,5 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi allumina 95 % (9,5 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang.

Alat yang digunakan terdiri atas; bor tanah, salinometer, handheld refraktometer, GPS, dan pendeteksi PAH spectrometry massa gas cromatograf (GC-MS) tipe agilent technologies 7890A. Sedang peralatan laboratorium yang digunakan meliputi; soxhlate, glass coulumn, glass beaker, labu, botol sampel, labu erlenmayer, dan penjepit stainless steel dicuci dengan menggunakan alat power sonic 520 pada suhu 50 oC selama 60 menit, kemudian peralatan dibilas dengan menggunakan aquades. Selanjutnya peralatan dibungkus dengan aluminium foil dan dikeringkan dengan oven pada suhu 80 oC selama 24 jam. Ketika hendak digunakan alat-alat tersebut dibilas dengan methanol (Me-OH), dichlorometana (DCM) dan n-hexana secara berurutan (Agung. 2011).

Teknik Pengambilan dan Perlakuan Sampel

Sedimen dari ekosistem mangrove diambil dengan menggunakan bor tanah pada kedalaman 30 cm dan sampel disimpan dalam botol kaca dan diletakkan dalam coolbox selanjutnya di laboratorium sampel disimpan dalam freezer yang bersuhu -20 oC. Sedang akar mangrove (Gambar 13) diperoleh dari pohon mangrove yang telah mati dan disimpan dalam botol kaca. Sebelum dianalisis sampel sedimen terlebih dahulu dikeringkan dengan oven pada suhu 80 oC selama 24 jam dan akar mangrove dikeringkan pada suhu 80 oC selama 48 jam.

26

Metode Analisis Hidrokarbon Aromatik

Analisis hidrokarbon aromatik di sedimen dan akar pohon mangrove dilakukan dengan metode soxhlet (Yu et al, 2007; Achyani, 2011). Sampel sedimen dan akar sebanyak 40 gr kering diekstraksi dengan soxhlate dengan pelarut hexan/aseton (1:1), kemudian dibilas dengan diclorometan/hexan (3:7), secara rinci prosedur analisis disajikan pada Gambar 14. Tahap akhir dari prosedur ini adalah analisis jenis aromatik hidrokarbon dengan menggunakan GC-MS. Temperatur diatur pada 40 oC selama 1 menit selanjutnya dinaikan 6 oC/menit hingga 300 oC dan pada suhu ini dipertahankan selama 20 menit. Dalam mengidentifikasi jenis dan nama hidrokarbon aromatik digunakan Library National Institute of Standars and Technology (NIST) dan WILEY11 pada internal system GC-MS. Pendugaan konsentrasi dari senyawa yang terdeteksi dalam sampel sedimen dan akar didasarkan pada standar internal konsentrasi (Dsikowitzky et al. 2011).

=

GCMS Information --- ---

GC Agilent 7890A/5975C MDS; Injection source manual; Oven 40 C for 1 min then 6 C/min to 300 C for 20 min; Inlet splitless 300 C 16,086 psi purge flow 50 mL/min at 2 min; Column Agilent 19091S – 433HP – 5 ms 5 % phenyl methyl silox (60 m x 250 µm x 0.25 µm).

Gambar 14 Bagan alir ekstraksi hidrokarbon aromatik pada sedimen dan akar mangrove

27

Hasil dan Pembahasan

Hidrokarbon merupakan salah satu kontaminan yang penting, dalam arti jumlah dan dampak buruk bagi manusia dan lingkungannya. Minyak dan turunannya merupakan salah satu contoh dari hidrokarbon yang banyak digunakan manusia, dan sangat potensial mencemari lingkungan. Menurut Hoff et al (2002) bahwa polutan minyak dapat berdampak negatif terhadap mangrove melalui dua mekanisme yakni dari efek fisik dan efek toksikologi. Secara tokiskologi berupa hidrokarbon aromatik yang merusak dan bahkan mematikan mangrove melalui sedimen dan akar. Kondisi tersebut dapat menganggu pengedalian garam-garam sehingga menganggu pertukarannya pada akar dan daun. Hidrokarbon aromatik dalam sedimen meningkatkan insiden mutasi mangrove, dimana klorofil menjadi menurun dan bahkan hilang. Untuk mengetahui kandungan hidrokarbon aromatik pada ekosistem mangrove Binalatung maka dilakukan analisis kandungannya pada sedimen dan akar menggunakan GC-MS dan secara grafis beberapa hasil analisis GC-MS ditunjukkan pada Gambar 15 dan 16.

Gambar 16 Hasil analisis GC-MS dari sampel akar mangrove Gambar 15 Hasil anlisis GC-MS dari sampel sedimen mangrove

28

Hasil identifikasi senyawa dalam sedimen dan akar mangrove seperti pada Tabel 4, menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik seperti styrene 2,4,6 trimetil, 1,2-dimethyl (m-xylene), 1,3-dimethyl (o-xylene), 1,4-dimethyl (p-xylene), styrene, phenantrene dan 2-benzylnaphthalen. Senyawa- senyawa tersebut termasuk dalam kelompok aromatik hidrokarbon (Kostecki 1992). Senyawa aromatik hidrokarbon masuk kedalam senyawa yang mempunyai potensi karsinogenik dan sering dijadikan sebagai kriteria dalam program pembersihan (clean-up) tanah atau air yang tercemar (USEPA, 1993).

Hasil analisis kandungan senyawa pada sampel sedimen dengan kedalaman berbeda dan akar menunjukkan kandungan jenis senyawa yang berbeda pula, namun masih dalam kelompok hidrokarbon aromatik. Senyawa ini merupakan senyawa yang mempunyai struktur berbentuk ring yang terbentuk dari enam atom karbon dan dikenal sebagai cincin benzena (Notodarmojo, 2005). Jenis senyawa yang umumnya dijumpai dalam sedimen dan akar mangrove adalah senyawa xylena dan, stirena. Xilena adalah kelompok derivate persenyawaan benzena yakni dimetilbenzena. Senyawa ini merupakan cairan tidak berwarna yang diproduksi dari minyak bumi atau aspal cair dan sering digunakan sebagai pelarut dalam industri (Jacobson et al. 2003) dan terbentuk secara alami bersamaan dengan pembentukan minyak bumi. Stirena dikenal juga dengan etenilbenzena, vinilbenzena atau feniletena. Senyawa turunan benzena ini berbentuk cairan seperti minyak dan tak berwarna yang mudah menguap dengan bau manis, meskipun menjadi sedikit busuk pada konsentrasi tinggi. Stirena adalah bahan dasar polistirena dan beberapa kopolimer. Sumber utama stirene di alam adalah berasal dari kandungan hidrokarbon yang terdapat dalam lapisan bumi, seperti batu bara dan minyak bumi. Selain itu, senyawa stirene dapat pula bersumber dari aktivitas domestik dan pabrik (industri).

Tanah atau sedimen yang terkontaminasi oleh xylena dan stirena akibat tumpahan minyak atau bahan kimia yang mengandung aromatik hidrokarbon, mengandung limbah atau debit air yang terkontaminasi stirena. Senyawa benzena, toluena, etenilbenzena, dan xylena yang dikenal sebagai BTEX merupakan bagian Tabel 4 Kandungan senyawa dalam sedimen dan akar mangrove

No Sampel Senyawa Waktu

Rekam

Berat Molekul

Struktur Molekul

Sta.1 Sedimen 30 cm stirena 2,4,6-trimetil 18.54 146.11 C11H14

Sedimen 60 cm m-xilena 11.34 106.08 C8H10

Akar m-xilena 11.34 106.08 C8H10

o-xilena 11.34 106.08 C8H10

p-xilena 11.34 106.08 C8H10

Sta.2 Sedimen 30 cm stirena 2,4,6-trimetil 18.54 146.11 C14H14

Sedimen 60 cm stirena 12.03 104.06 C8H8 Akar stirena 12.03 104.06 C8H8 stirena 2,4,6-trimetil 18.54 146.11 C11H14 fenantrena 29.69 178.08 C11H14 naftalena 2-benzyl 45.49 218.19 C17H14 Sumber : olahan GCMS, 2015

29 dari komponen minyak mineral terutama dalam bahan bakar bensin yang berbahaya bagi kesehatan. Hidrokarbon yang bersenyawa dengan halogen (halogened hydrocarbon) yang banyak digunakan sebagai pelarut (solvent) dalam industri juga merupakan contoh dari senyawa hidrokarbon yang sangat potensial sebagai pencemar berbahaya (Notodarmojo, 2005). Christensen dan Elton (1996) menginformasikan komposisi kimia organik dari pencemaran kelompok BTEX membuat adanya perbedaanya persentase dari minyak dan merupakan masalah yang serius dan bersifat racun pada lingkungan. Hal ini dipertegas Connell dan Miller, (1995) bahwa di dalam senyawa minyak terkandung berbagai spesies karbon organik dan sulit teridentifikasi, biasanya dinyatakan sebagai Total Petroleum Hydrocarbon (TPH).

USEPA, (1993) telah membuat daftar senyawa PAH yang mempunyai potensi karsinogenik dan sering dijadikan sebagai kriteria dalam program pembersih (clean-up) tanah atau air tanah yang telah tercemar. Beberapa diantaraya disajikan dalam Tabel 5 dimana senyawa benzo(α)pyrene dijadikan ukuran potensi resiko penyebab karsinogenik. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa senyawa yang terkandung dalam sedimen dan akar mangrove Binalatung memiliki potensi karsinogenik, seperti; stirena 2,4,6-trimetil, xylena, stirena, fenantrena, dan naftalena. Potensi karsinogenik tersebut diindikasikan dapat menyebabkan tekanan terhadap mangrove dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan dapat mempercepat proses mortalitas alami pada individu mangrove. Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan apabila senyawa-senyawa ini masuk pada konsentrasi yang besar dan jangka waktu yang lama kedalam tubuh tanaman mangrove akan menurunkan daya tahan (metabolisme) individu mangrove.

Konsentrasi Senyawa dalam Sedimen dan Akar Pohon

Konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh tingkat solubilitas dan keberadaan gugus non-polar yang bersifat hidrofobik. Solubilitas PAH cenderung rendah, sehingga PAH cenderung berikatan dengan partikel organik dan anorganik dibandingkan berada dalam bentuk terlarut. Ikatan PAH dengan partikel mengakibatkan terjadi proses koagulasi, berat partikel makin bertambah dan kemudian jatuh ke sedimen. Semakin besar ukuran partikel maka makin banyak pula PAH yang berasosiasi dan makin tinggi konsentrasi PAH. Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PAH di sedimen lebih besar dibandingkan PAH di kolam air. PAH bersifat toksik dengan kadar yang relatif tinggi ditemukan oleh beberapa peneliti dalam sedimen yang lokasinya

Tabel 5 Senyawa PAH yang mempunyai potensi karsinogenik

Nama Senyawa Jumlah ring benzene

yang bergabung Ekivalensi dengan benzo(α)pyrene Benzo(α)anthracene Chrysene Benzo(α)pyrene Benzo(b)fluoranthene Benzo(k)fluoranthene Dibenzo(α,b)anthracene Indeno(1,2,3-c,d)pyrene 4 4 5 5 5 5 6 0.1 0.001 1 0.1 0.01 1 0.1

30

berdekatan dengan perkotaan (Mohammed et al. 2009). Berikut adalah konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sampel sedimen dan akar mangrove.

Hasil analisis seperti pada Gambar 17, menunjukkan konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik berdasarkan lokasi sampling menunjukkan perbedaan yang cukup siginifikan. Hal tersebut disebabkan lokasi stasiun 1 berada jauh dari permukiman penduduk, sedang lokasi stasiun 2 dekat dengan area permukiman penduduk. Salah satu sumber senyawa hidrokarbon aromatik yang terdapat pada sedimen dan akar mangrove adalah berasal dari buangan limbah domestik berupa minyak dan lemak maupun bahan kimia lainnya yang mengandung senyawa styrene seperti; plastik, fiberglass, stereform dan lainnya. Hasil tersebut juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen dan akar. Konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada akar mangrove jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen. Tingginya konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik tersebut dikarenakan akar pohon menyerap dan menyimpan sebagian besar senyawa aromatik hidrokarbon. Akar bagi individu mangrove memiliki banyak manfaat dan yang paling penting sebagai alat pengangkut zat hara/nutrisi diantaranya air dan garam-garam mineral dari dari dalam tanah.

Bakhtiari, (2009) menyatakan bahwa tumbuhan dapat menyerap PAH dari sedimen yang terkontaminasi melalui akar kemudian ditransfer ke tunas dan daun. Jumlah penyerapan bervariasi tergantung dari berbagai faktor seperti jenis tanaman (species), fisik kimia lingkungan, fungi, dan populasi mikroba (Bouloubassi et al. 2001; Okuda et al. 2002). Staci et al. (1995) menyebutkan bahwa mekanisme penyerapan polutan organik oleh tumbuhan dapat melalui dua cara yakni 1) dari tanah yang terkontaminasi ke tanaman melalui akar; dan 2) dari udara yang terpapar polutan organik masuk ke tumbuhan melalui daun. Disebutkan pula bahwa polutan dapat masuk ke tanaman dari tanah yang terkontaminasi ke akar dan berpindah ke tanaman oleh xilem (xilem mengangkut air dari akar ke daun melalui transpirasi).

Gambar 17 Histogram konsentrasi senyawa dalam sedimen dan akar (mg/g)

52.8579.68 52.24 128.67 223.35 451.91 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Stasiun 1 Stasiun 2 H idro k a rbo n Aro m a tik ( m g /g ) Lokasi Sampling Sedimen 30 cm Sedimen 60 cm Akar

31 Sedang polutan organik mungkin juga masuk ke vegetasi dari atmosfer pada fase gas dan fase partikel ke kutikula dari daun atau dengan penyerapan melalui stomata dan ditranslokasi oleh floem (floem mengangkut hasil fotosintesis ke akar untuk menuju jaringan tanaman lainnya). selanjunya dijelaskan mekanisme masuknya polutan organik dari tanah ke tanaman sangat bergantung pada kelarutan senyawa air, konstanta hukum Henry, dan koefisien oktanol-air (Kow) serta faktor-faktor lain termasuk kandungan organik tanah dan jenis tanaman. Demikian pula mekanisme masuknya polutan organik dari udara ke tanaman bergantung pada partikel uap di atmosfer, koefisien oktanol-air (Kow) dan jenis tanaman. Penggunaan vegetasi sebagai kualitatif indikator dari pencemaran atmosfer oleh polutan organik dapat digunakan. Penyerapan akan dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konsentrasi udara, jenis tanaman, kandungan lipid, waktu paparan, serta apakah polutan adalah lipofilik atau hidrofilik, dan apakah polutan dalam atmosfer dalam fase gas atau fase partikel. Hal ini telah diteliti oleh Moreira terhadap pada jenis Avicennia scaueriana dengan menggunakan anakan yang rata- rata berumur tiga bulan menunjukkan bahwa selama 90 hari (tiga bulan) jenis ini mampu menyerap sebesar 33.2 mg/gr atau 89% Total Petroleum Hydrocarbon dari sedimen. Mekanisme penyerapan secara sederhana dapat digambarkan pada Gambar 18.

Staci et al. (1995) merekomendasikan bahwa konsentrasi polutan tanaman harus dinormalisasi dengan konsentrasi lipid tanaman atau permukaan daun, terutama ketika langsung membandingkan antara jenis yang berbeda. Selain sebagai indikator kualitatif, vegetasi juga dapat menjadi pollutan sink. Fungsi sebagai pollutan sink diestimasi oleh Morosini et al. (1993) memperkirakan bahwa 7 x 108 km2 dari permukaan vegetasi mengalami kontak langsung dengan udara. Lebih jauh diestimasi bahwa untuk jenis hutan pantai rasio konsentrasi polutan organik semivolatile dalam 10m3 daun mencapai 80 HCB dan HCH serta sekitar

1600 DDT dan PCB. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan Gambar 18 Mekanisme sederhana dari penyerapan kontaminan (pencemar)

yang dilakukan oleh vetegasi / tumbuhan (Sumber gambar : Chen, 2010 and Simonich, 1996)

32

merupakan filter polutan organik di udara yang efektif. Smith et al. (1993) mengukur konsentrasi PCB dan DDT di hutan tanah dan hutan pegunungan di New England, diperoleh total PCB sekitar 2.6 kg/ha dan DDTs sekitar 0.9 kg/ha. Hasil penelitian Matzner, (1984) diperkirakan antara 40-70 % dari total PAH deposisi ke dasar hutan berasal dari limbah daun. Di bawah hutan cemara, limbah daun jatuh menyumbang 40-70 % dari Total deposisi PAH, sedangkan 30-50 % tercatat di hutan pantai. Dengan demikian, vegetasi dapat menghilangkan substansial konsentrasi polutan organik lipofilik di atmosfir.

Indawan et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan BTEX yakni konsentrasi senyawa benzene berkisar dari 16.30 – 81.30 ppm dan toluen berkisar 481 – 896 ppm sementara kandungan logam berat (Pb, Cd, Cr, Zn, Ag, Cu) sangat bervariasi dalam sedimen yang tercemar berat sehingga dapat berdampak buruk terhadap ekosistem mangrove. Moreira et al. (2013) bahwa PAH yang larut pada konsentrasi 0.1-0.5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup. PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju pertumbuhan, perkembangan makhluk yang hidup di perairan seperti ikan, hewan berkulit keras dan moluska. Selain itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan bau yang menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang (Marsaoli, 2004).

Perbedaan kedalaman sedimen juga menunjukkan perbedaan konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik. Sampel sedimen kedalaman 60 cm mengandung konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik lebih tinggi bila dibandingkan pada sampel sedimen kedalaman 30 cm. Dengan kata lain, bahwa sedimen pada lapisan bawah memiliki kandungan senyawa hidrokarbon aromatik lebih tinggi bila dibandingkan dengan sedimen pada lapisan atas. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan partikel sedimen (ukuran partikel) pada kedua kedalaman sampel dan kondisi ini sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Menurut Boehm, (1987) bahwa terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang, sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Partikel sedimen tersebut dapat diketahui melalui analisis tekstur sedimen/tanah. Menurut Hardjowigeno, (1992) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir pasir, debu dan liat. Tekstur tanah dikelompokkan dalam dua belas kelas tekstur. Pada Tabel 6 tersaji hasil analisis tekstur sedimen.

33

Hasil analisis tekstur sedimen pada Tabel 6 diperoleh bahwa sedimen pada kedalaman 30 cm bertekstur lempung liat berdebu (sandy silt loam) dan lempung berliat (clay loam), sedangkan sedimen pada kedalaman 60 cm bertekstur lempung

Dokumen terkait