• Tidak ada hasil yang ditemukan

Degradasi Dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove Di Binalatung Kota Tarakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Degradasi Dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove Di Binalatung Kota Tarakan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DEGRADASI DAN ALTERNATIF REMEDIASI EKOSISTEM

MANGROVE DI BINALATUNG KOTA TARAKAN

DORI RACHMAWANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Degradasi dan Alternatif Remediasi ekosistem mangrove di Binalatung Kota Tarakan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DORI RACHMAWANI. Degradasi dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove di Binalatung Kota Tarakan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, MENNOFATRIA BOER dan ETY PARWATI

Ekosistem mangrove di Kota Tarakan mencapai 1,224.80 ha yang tersebar pada beberapa wilayah, termasuk di kawasan Binalatung. Ekosistem mangrove Binalatung saat ini mengalami tekanan akibat pencemaran, baik yang bersumber dari limbah domestik maupun limbah yang bersumber dari kegiatan industri dan pertambangan, seperti batu bara dan minyak bumi. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian ekosistem mangrove di Kota Tarakan dan kawasan Binalatung khususnya, seperti program rehabilitasi ekosistem mangrove MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) berupa penanaman 75,000 bibit mangrove. Namun demikian, belum memberikan hasil yang maksimal dalam upaya pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013, di kawasan mangrove Binalatung, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan. Tujuan penelitian adalah 1) Mengidentifikasi faktor penyebab kematian massal individu mangrove di Binalatung yang bersumber dari bahan pencemar yang terkandung dalam sedimen dan akar berupa hidrokarbon aromatik; 2) Merumuskan alternatif rehabilitasi ekosistem mangrove di Binalatung dengan pendekatan nilai manfaat mangrove sebagai fitoremediasi. Metode penelitian meliputi: 1) analisis indeks nilai penting (INP), 2) analisis parameter lingkungan (tekstur sedimen, pH tanah, pasang surut dan kandungan C-Organik), 3) analisis kandungan senyawa BTEX dan PAH di sedimen dan akar, dan 4) analisis nilai manfaat fitoremediasi mangrove.

Karakteristik ekosistem mangrove didominasi oleh jenis Avicennia sp (INP=157.79%) dan jenis Sonneratia sp (INP=142.21%). Jenis sedimen bertekstur halus didominasi silty loam (SiL) atau lempung berdebu dan silty clay loam (SiCL) atau lempung liat berdebu. Nilai pH berkisar antara 6.4-7.4 yang menunjukkan pH netral. Kandungan C-Organik tergolong rendah (0.58 - 0.79%). Tipe pasang surut yang terjadi adalah tipe harian ganda yakni terjadi dua kali pasang dalam sehari.

Terdapat senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen dan akar mangrove antara lain: stirena 2,4,6-trimetil, xilena, stirena, fenantrena, dan naftalena yang merupakan senyawa yang mempunyai potensi karsinogenik. Konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada akar mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen. Konsentrasi senyawa hidrokarbon aromatik pada sedimen lapisan bawah (tekstur sedimen yang lebih halus) lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen lapisan atas (tekstur sedimen yang lebih kasar).

Alternatif penggunaan teknik remediasi (fitoremediasi) menjadi pilihan utama dalam pengendalian dan pemulihan kandungan senyawa hidrokarbon aromatik tersebut (stirena 2,4,6-trimetil, xilena, stirena,fenantrena, dan naftalena). Nilai ekonomi fitoremediasi mangrove Binalatung adalah sebesar Rp 20,592,856,881 per tahun.

(5)

SUMMARY

DORI RACHMAWANI. Degradation and Remediation Alternative of Mangrove Ecosystem in Binalatung Kota Tarakan. Under Supervised by FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, MENNOFATRIA BOER, and ETY PARWATI.

Mangrove ecosystem in Tarakan reached 1,224.80 ha, distributed in several areas, including in Binalatung. Mangrove ecosystems in Binalatung are currently experiencing pressure (degradation) due to pollution, both from domestic waste and waste of industrial and mining activities, such as; coal and petroleum. Various attempts were made to keep the preservation of mangrove ecosystems in Tarakan and especially Binalatung region, such as; mangrove ecosystem rehabilitation program (MCRMP) has planted 75,000 mangrove seedlings. However, yet provide maximum results in degradation control efforts and improved conservation of mangrove ecosystems.

The research was conducted in March 2013, in Binalatung, East Tarakan District, Tarakan City, North Borneo. The purpose of research is 1) to identify aromatic hydrocarbon as BTEX and PAH in sediment and root mangrove, and 2) formulating alternative rehabilitation of mangrove ecosystem approach to value the benefits of mangroves as phytoremediation. Research methods include; 1) analysis of importance value index (INP), 2) analysis of environmental parameters (texture sediments, soil pH, tides and the content of C-Organic), 3) the analysis of the content of aromatic hydrocarbons in sediment and mangrove roots, and 4) analysis of the value of the benefits of phytoremediation mangrove.

The characteristics of mangrove ecosystem in Binalatung dominated by Avicennia sp (INP=157.79%) and Sonneratia sp (INP=142.21%). Type of sediment is dominated by silty loam (SIL) and silty clay loam Clay (SiCl). The pH values ranged from 6,4 to 7,4 which indicates a neutral pH. Organic C content is low (0.58 to 0.79%). Type tides that occur are semidiurnal tide, which occurs twice pairs a day.

There are aromatic hydrocarbon compounds in sediment and mangrove roots, among others: stirena 2,4,6-trimetil, xylene, styrene,phenantrene, dan naphtalene which are compounds that have the potential carcinogenic. The concentration of aromatic hydrocarbon compounds on mangrove roots higher than the sediment. The concentration of aromatic hydrocarbon compounds in the lower layers of sediment (sediment finer texture) higher than the top layer of sediment (sediment rougher texture).

The remediation technique alternative (phytoremediation) is primary choice in the control and recovery of aromatic hydrocarbon compounds (stirena 2,4,6-trimetil, xilena, stirena,fenantrena, dan naftalena). The economic value of phytoremediation of mangrove in Binalatung is Rp 20,592,856,881 per year. Keywords: Degradation, Remediaton Alternative, Mangrove Ecosystem,

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Agus Indarjo, MPhill Dr Etty Riani, MS

(8)
(9)

Judul Disertasi : Degradasi dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove di Binalatung Kota Tarakan

Nama : Dori Rachmawani

NIM : C262110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Anggota

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Anggota

Dr Dra Ety Parwati, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai sumber segala ilmu pengetahuan atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah kematian masal individu mangrove, dengan judul Degradasi dan Alternatif Remediasi Ekosistem Mangrove di Binalatung Kota Tarakan.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr Fredinan Yulianda sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS, Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA, dan ibu Dr Ety Parwati, MSi sebagai anggota komisi pembimbing atas curahan waktu serta arahan;

2. Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin MS dan ibu Dr Ir Etty Riani MS sebagai penguji pada ujian Pra-Kualifikasi Doktor atas saran yang diberikan;

3. Bapak Dr Ir Agus Indarjo MPhill (Sekretaris Dirjen DIKTI) sebagai penguji tamu pada ujian tertutup dan ibu Dr Ir Etty Riani MS sebagai penguji dari IPB; 4. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) yang telah memberikan

bantuan beasiswa selama penulis menyelesaikan studi di IPB;

5. Bapak Dr Ir Tri Prartono MSc (Departemen ITK-FPIK IPB), dan Bapak H Jaswanto Labfor Mabes Polri Jakarta atas saran dan bantuan;

6. Staf pengajar pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa program doktor;

7. Bapak Ketua dan Sekretaris serta staf administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan;

8. Bapak Dr Bambang Widigdo (Rektor) beserta jajaran pimpinan Universitas Borneo Tarakan;

9. Ayahnda H Saukani Daik, MM ibunda Hj Nur Asyikin Talib, MSi dan kakanda Rahmawati, SSos serta anak-anak tersayang A. Reztu Alam, A. Rezti Maharani, A. Mutia Ramadhani;

10. Ibu Dr Dayang Dyah Fidhiani, ibu Dr Hasni Yuliati Azis, bapak Dr Andi Irwan Nur dan bapak Dr. David Hermawan;

11. Teman-teman SPL angkatan 2011 Pak Muarif, Pak Taryono, Pak Martianus Baroleh, Mas Mujio, dan Yar Johan Hayat;

12. Teman-teman FPIK UBT Ratno Achyani M.Si, Kiki Teguh Gempur Prosutejo S.Pi, Helman S.Pi, dan Farid Wajdi;

13. Teman-teman mega kos yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini berguna bagi pengelolaan ekosistem mangrove dan pengelolaan sumberdaya pesisir pada umumnya.

(11)
(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kebaruan 5

2 KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN LINGKUNGAN EKOSISTEM

MANGROVE DI BINALATUNG 7

Pendahuluan 7

Metodologi 9

Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Teknik Pengumpulan Data 9

Teknik Sampling Kuadrat 10

Parameter Lingkungan 10

Metode Analisis Data 11

Hasil dan Pembahasan 13

Indeks Nilai Penting (INP) 13

Tekstur Sedimen 15

pH Tanah 17

Kandungan C-Organik 18

Pasang Surut (Pasut) 19

Simpulan 21

3 KANDUNGAN AROMATIK HIDROKARBON PADA SEDIMEN DAN

AKAR MANGROVE DI BINALATUNG 22

Pendahuluan 22

Metodologi 24

Lokasi dan Waktu Penelitian 24

Bahan dan Alat 24

Teknik Pengambilan dan Perlakuan Sampel 25

Metode Analisis Hidrokarbon Aromatik 26

Hasil dan Pembahasan 27

Konsentrasi Senyawa dalam Sedimen dan Akar Pohon 29

Simpulan 33

4 NILAI MANFAAT EKONOMI DARI FUNGSI FITOREMEDIASI PADA

MANGROVE DI BINALATUNG 34

(13)

Metodologi 35

Lokasi dan Waktu 35

Teknik Pengambilan Contoh 35

Jenis dan Sumber Data 36

Analisis Data 36

Hasil dan Pembahasan 39

Fitoremediasi Mangrove 39

Biaya Fitoremediasi 41

Manfaat Fitoremediasi 43

Simpulan 45

5 PEMBAHASAN UMUM 46

Degradasi Mangrove Binalatung 46

Alternatif Remediasi 47

6 SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 58

(14)

DAFTAR TABEL

Jumlah individu dan diameter batang pohon 13

Komposisi (fraksi massa) dari BTEX dalam Bensin 22 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff, 1979) 23 Kandungan senyawa dalam sedimen dan akar mangrove 28 Senyawa PAH yang mempunyai potensi karsinogenik 29

Parameter fisika-kimia pada sampel sedimen 33

Rata-rata konsentrasi dari TPH dan standar deviasi 41 Komponen biaya pembibitan dan penanaman (ha) 42

Manfaat fitoremediasi 44

Nila manfaat total fitoremediasi 44

DAFTAR GAMBAR

Perubahan tutupan ekosistem mangrove di Kota Tarakan 3

Vegetasi mangrove di Binalatung 6

Kerangka pikir 6

Lokasi penelitian (stasiun pengambilan contoh) 10 Metode Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove 11

Segitiga tekstur tanah (USDA, 2009) 12

INP pohon mangrove di Binalatung 15

Tipe substrat mangrove di Binalatung 16

Kandungan pH substrat mangrove di Binalatung 17 Kandungan c-organik substrat mangrove di Binalatung 18

Tipe pasut harian ganda (semi diurnaltide) 19

Pola pasut bulanan di Kota Tarakan 20

Sampel akar mangrove 25

Bagan alir ekstraksi hidrokarbon aromatik pada sedimen 26 Hasil anlisis GC-MS dari sampel sedimen mangrove 27 Hasil analisis GC-MS dari sampel akar mangrove 27 Histogram konsentrasi senyawa dalam sedimen dan akar (mg/g) 30 Mekanisme sederhana dari penyerapan kontaminan (pencemar) yang

dilakukan oleh vetegasi / tumbuhan (Sumber gambar : Chen, 2010 and

Simonich, 1996) 31

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil analisis GC-MS pada akar dan sedimen mangrove 58 Ekosistem mangrove di Binalatung tahun 2006 59

(15)
(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota Tarakan merupakan pulau kecil yang terletak di bagian utara pulau Kalimantan dan sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi di Indonesia sejak tahun 1905 hingga sekarang. Potensi cadangan minyak bumi di Kota Tarakan mencapai 451177 juta barel dengan rata-rata produksi 2100 bopd (DESDM 2010). Minyak bumi (crude oil) selain sebagai sumber energi bagi kebutuhan umat manusia juga dapat menimbulkan dampak yang diakibatkan dari aktivitas ekplorasi dan produksi.

Minyak bumi tersusun atas senyawa-senyawa kompleks diantaranya adalah hidrokarbon. Hidrokarbon merupakan senyawa organik yang tersusun atas atom hydrogen (H) dan atom carbon (C). Komposisi senyawa hidrokarbon dalam minyak mencapai 50-98% (Mangkoedihardjo, 2005). Hidrokarbon dibagi menjadi dua kelas yaitu hidrokarbon alifatik yang merupakan hidrokarbon rantai lurus tanpa cincin benzena dan hidrokarbon aromatik, yang berisi cincin benzena. Hidrokarbon aromatik dari kelas monosiklik seperti BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, xilena) dan kelas polisiklik aromatik seperti naftalena, antrasena, fenantrena.

BTEX secara alami terkandung dalam minyak bumi dan kelompok ini termasuk bahan kimia berbahaya serta bersifat karsinogenik (Prantera et al. 2002) terutama dalam bahan bakar dan bensin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Hal senada disampaikan oleh Notodarmojo, (2005) bahwa minyak dan turunannya merupakan salah satu contoh dari hidrokarbon yang banyak digunakan oleh manusia, dan sangat potensial mencemari lingkungan. Indawan et al. (2012) menemukan kandungan BTEX dan logam berat dalam sedimen pada tingkat pencemaran berat dapat mempengaruhi komposisi ekosistem mangrove. PAH adalah senyawa organik yang terdiri dari beberapa cincin aromatik termasuk pada kelompok pencemar yang sangat sulit terurai (Eisler, 1987). Pencemaran minyak dari aktivitas eksplorasi gas atau minyak, produksi petroleum mengakibatkan kerusakan mangrove yang fatal (Mastaller, 1996). Meskipun sumber pencemar dapat dihasilkan dari proses alam dan antropogenik, masukan berupa PAH dari aktivitas manusia seperti tumpahan minyak mentah, produksi lepas pantai, transportasi dan pembakaran yang sangat signifikan telah menjadi ancaman serius bagi habitat pesisir seperti mangrove (Corredor et al. 1990). Oleh karena itu USEPA (US Environmental Protection Agency) telah merekomendasikan clean-up lahan tercemar polutan hidrokarbon aromatik.

(18)

2

(Mastaller 1996). Hal ini menyebabkan sedimen mangrove yang terkontaminasi oleh minyak membutuhkan waktu yang relatif lama untuk ditanami kembali. Di China pemantauan polutan organik sanggat gencar dilakukan sehingga memberi informasi terhadap pengelola pesisir terhadap kemungkinan berdampak bagi detritus yang bergerak dalam rantai makanan sehingga berpotensi dapat menyebabkan bioakumulasi dari kontaminan dalam organisme yang pada akhirnya dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai makanan. Selain itu, polutan organik pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman halophytik yang pada gilirannya mungkin akan membatasi buffer dari peristiwa badai dan stabilisasi sedimen pesisir (Mrozek et al. 1983; Tam et al. 2005.)

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana et al. 2003) Lebih lanjut disebutkan bahwa ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat dan membantu mengurangi tingkat konsentrasi bahan pencemar di perairan, dimana sistem perakaran mangrove turut berperan sebagai bioakumulator logam berat. Ekosistem mangrove secara tidak langsung juga sangat berperan dalam mengurangi konsentrasi logam berat dalam perairan. Tumbuhan mangrove mempunyai kapasitas sebagai pendukung kehidupan mikro organisme pengurai limbah. Keberadaan vegetasi mangrove pada perairan yang tercemar dapat memperluas area tempat mikro organisme pengurai limbah tersebut melekat untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan akar mangrove akan mengeluarkan oksigen sehingga akan terbentuk zona rizosfer yang kaya oksigen. Dengan semakin banyaknya vegetasi mangrove yang hidup pada perairan yang tercemar, akan semakin banyak mikro organisme pengurai yang hidup, berkembang dan melekat pada jaringan vegetasi mangrove tersebut. Banyaknya mikro organisme pengurai limbah yang hidup dalam perairan mangrove akan meningkatkan kinerja pembersihan bahan pencemar secara menyeluruh, dikarenakan organisme mikro tersebut mencerna bahan pencemar dalam rangka memperoleh energi. Mekanisme inilah yang menyebabkan konsentrasi bahan pencemar dalam perairan mangrove akan berkurang (Kusumastuti, 2009).

(19)

3 pendekatan, agar diperoleh berbagai alternatif pengendalian degradasi dan peningkatan pelestarian ekosistem mangrove.

Pengendalian degradasi dan peningkatan pelestarian ekosistem mangrove di Binalatung dilakukan dengan teknologi remediasi. Teknologi remedisi terhadap sedimen yang terkontaminasi bahan pencemar merupakan alternatif bagi pemulihan ekosistem mangrove. Teknologi ini banyak diterapkan pada lahan yang terkontaminasi bahan pencemar diantaranya yakni dengan menggunakan tanaman atau tumbuhan untuk menyerap dan menyimpan bahkan menghancurkan bahan kontaminan dari lingkungan. Pada pelaksanaanya teknik remediasi harus dipandu oleh pertimbangan kesesuain dan ketepatan teknologi, dan target pembersihan lahan berbasis resiko sesuai dengan potensi klaim penilaian kerusakan. Faktanya, persepsi terhadap arti penting pengelolaan sedimen terkontaminasi harus meningkat bukan hanya karena penurunan nilai ekologi, tetapi juga karena kontaminasi sedimen memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan ekonomi yang parah.

Perumusan Masalah

Kematian massal individu mangrove pesisir utara Kota Tarakan tepatnya di kawasan Binalatung (Gambar 2), diindikasikan oleh faktor sedimentasi (Rachmawani et al. 2010) dan polutan organik. Kondisi tersebut ditandai dengan tutupan mangrove hanya sekitar 50% dengan jumlah kerapatan 500 pohon/ha atau tergolong kategori kondisi ekosistem rusak parah (Rachmawani et al. 2010). Faktor sedimentasi merupakan proses pengendapan material sedimen yang terangkut oleh gerakan air ataupun angin ke tempat lain. Proses pendakalan perairan pantai atau lazim dikenal sedimentasi dan tergerusnya garis pantai merupakan proses alami yang dapat terjadi di semua pantai. Jika terjadi proses abrasi di suatu kawasan pantai, maka sesuai dengan hukum keseimbangan akan ada kawasan pantai ditempat lain yang akan bertambah. Selanjutnya pengendapan tersebut akan mengganggu sistem respirasi tumbuhan mangrove, karena akar napas (pneumatofora) pada mangrove menjadi terhalang oleh sedimen. Apabila proses pencucian tidak terjadi, maka suplai oksigen bagi tumbuhan akan terhambat akibat tertutupnya akar nafas

(20)

4

(pneumatofora) pada mangrove dan berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan mangrove tersebut dan akhirnya menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi, karena tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup pada substrat anaerob (tanpa oksigen), sehingga kebutuhan akan oksigen sangat bergantung pada oksigen terlarut dalam air dan oksigen dari udara. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menyatakan secara umum tingkat sedimen yang dapat mematikan ekosistem mangrove. Hasil penelitian Lugo et al. (1975), menyatakan bahwa sedimentasi yang berlebihan di kawasan Puerto Rico yang terbawa oleh banjir dapat menyebabkan gangguan perakaran dan pertukaran udara dalam tanah, sehingga mengakibatkan kematian pada ekosistem mangrove. Kasus lainnya di Guyana Prancis kematian spesies Avicennia germinans akibat pengendapan sedimen massif yang berasal dari muara sungai (Formard, 1998).

Selain pengaruh sedimentasi yang tinggi, masuknya bahan-bahan pencemar yang terangkut bersama sedimen, turut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap degradasi ekosistem mangrove. Studi pencemaran bahan organik dalam sedimen mangrove di China, terutama difokuskan pada lokasi yang berdekatan dengan kawasan urbanisasi/padat penduduk dan sentra-sentra industri seperti Hongkong, Shenzhen, dan Guangzhou dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sinifikan bahan pencemar domestik terhadap degradasi ekosistem mangrove. Pemantauan temporal terhadap hasil pengolahan bahan bakar minyak di mangrove Sheung Pak Nai (Hongkong) mengungkapkan terjadi penurunan konsentrasi TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) dari 80 µg/g menjadi 30-40 µg/g setelah satu tahun, penurunan TPH tersebut dikaitkan dengan pelapukan minyak (Tam et al. 2005). Penelitian yang sama juga ditemukan bahwa konsentrasi TPH setinggi 1000 µg/g di zona perakaran sedimen mangrove, konsentrasi ini juga ditemukan berbeda pada setiap lokasi pengamatan meskipun sumber pencemar berasal dari satu titik. Zheng et al. (2000) meneliti di lokasi rawa Mai Po dan menemukan total konsentrasi PAH dalam sedimen yang diambil dari beberapa lokasi mangrove berkisar antara 666-1042 µg/g berat kering. Total konsentrasi PAH yang tinggi dalam sedimen relatif berada pada level yang tinggi termasuk benzo(a)pyrene dan dibenzol(1,2,5,6) anthracene dimana jenis-jenis ini bersifat karsinogen (Kennish, 1996; Xu et al. 1999). Tattar et al. (1994) menyatakan konsentrasi yang tinggi dari polutan organik dapat menimbulkan penyakit, kematian, dan perubahan dalam komposisi jenis mangrove.

(21)

5 Pentingnya peranan dan fungsi ekosistem mangrove sehingga berbagai upaya, mulai dari kajian hingga program rehabilitasi senantiasa dilakukan untuk terus mengembangkan alternatif pengendalian degradasi dan peningkatan kelestarian ekosistem mengarove. Berdasarkan hal tersebut diatas maka upaya rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove di Binalatung menjadi tujuan utama penelitian ini (Gambar 3). Untuk memulai tahap dalam upaya rehabilitasi diperlukan kecermatan dan ketepatan untuk menemukan faktor-faktor utama atau agen yang menjadi penyebab degradasi (kematian massal) ekosistem mangrove di Binalatung.

1. Bagaimana kondisi degradasi ekosistem mangrove di Binalatung, apakah kematian massal individu mangrove yang terjadi disebabkan oleh adanya polutan organik (aromatik hidrokarbon) dalam sedimen dan akar ?

2. Bagaimana alternatif pengelolaan terhadap degradasi (kematian massal) individu mangrove di Binalatung dengan pendekatan nilai manfaat mangrove sebagai remediasi?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi faktor penyebab kematian massal individu mangrove di Binalatung yang bersumber dari bahan pencemar yang terkandung dalam sedimen dan akar berupa hidrokarbon aromatik;

2. Merumuskan alternatif rehabilitasi ekosistem mangrove di Binalatung dengan pendekatan nilai manfaat rehabilitasi ekosistem mangrove di Binalatung dengan pendekatan nilai manfaat mangrove sebagai fitoremediasi;

Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan bermanfaat:

1. Sebagai salah satu acuan pengeloalaan ekosistem mangrove di Kota Tarakan pada umumnya dan Binalatung khususnya;

2. Sebagai bahan dan informasi terbaru dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang kajian pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan utamanya ekosistem mangrove;

3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengelolaan ekosistem mangrove dimasa yang akan datang;

Kebaruan

Kebaruan dalam penelitian ini, meliputi :

(22)

6

Gambar 2 Vegetasi mangrove di Binalatung

Gambar 3 Kerangka pikir Perubahan

Tutupan Mangrove

Alami

Kondisi Eksisting

Kematian Massal (dieback)

Alternatif Rehabilitasi Aktivitas

Manusia

Bencana Alam

Suksesi

Eksplorasi Migas

Alih Fungsi Lahan

Pemanfaatan Langsung

Karakteristik Biofisik

Hipotesa AH Sedimen & Akar

Telaah Penyebab Utama

Teknik Fito remediasi

(23)

7

2

KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN LINGKUNGAN

EKOSISTEM MANGROVE DI BINALATUNG

Pendahuluan

Mangrove sebagai ekosistem utama pesisir pulau aluvial seperti Kota Tarakan memiliki fungsi yang sedemikian kompleks sebagai penunjang kehidupan dan keberadaan daerah ini. Sebagai suatu ekosistem utama pulau keberadaan ekosistem mangrove sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting baik manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung bagi lingkungan. Manfaat fisik diantaranya dapat menambah luasan pulau, menahan pantai dari gelombang, angin dan badai. Kathiresan, (2003) ekosistem mangrove merupakan sumberdaya yang mampu memainkan peranan sangat penting sebagai perangkap sedimen dengan cara mereduksi aliran pasut dan menstimulasi sedimentasi dari partikel tanah pada saat pasang rendah dengan konsentrasi partikel yang tersuspensi pada kolom air pada saat pasang rendah (low tide) berkisar 0.09 sampai 0.012 g/l sementara pada saat pasang tinggi berkisar 0.13 sampai 0.15 g/l (high tide), efisiensi dari perbedaan jenis mangrove menunjukkan bahwa jenis api-api (Avicennia sp.) lebih efisien dibanding jenis bakau (Rhizophora sp.) Selain itu tempat bagi sebagian besar jenis gastrophoda mencari makan diantaranya seperti dari jenis Telescopium dan kapah (Meretrix sp.). Shanmugam et al. (2010) gastropoda di ekosistem mangrove memainkan peranan penting begitu pula sebaliknya. Hal ini digambarkan bahwa mangrove menyediakan kondisi ideal bagi gastropoda sebagai tempat makan (feeding ground). Gastropoda bersifat predator sehingga menempati peran sentral dalam menjaga fungsi dan produktivitas mangrove melalui “cleaning” pada sistem akar mangrove dari fauna encrusting seperti tritip.

Zonasi sepanjang pantai mangrove tidak hanya penting untuk memperluas pantai dan membentuk pulau, tetapi juga melindungi pantai dari pengikisan secara dahsyat yang ditimbulkan oleh badai tropika yang hebat. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove. Peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan keberadaan pulau tersebut. Sebaliknya pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu oleh ombak dan arus musiman selain itu jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata (Naamin, 1991). Selain itu ekosistem ini juga memiliki nilai ekonomi yang bersifat long term (jangka panjang dengan tingkat diskonto rendah) sedangkan sumberdaya migas memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term (jangka pendek dengan tingkat diskonto tinggi). Walaupun kontribusi ekonomi nyata ekosistem mangrove kurang signifikan namun kontribusi nyata dan tidak langsung (salah satunya seperti pelindung pantai dan pendukung perairan pesisir) tinggi dan kontinyu (Bengen, 2006).

(24)

8

Tanah atau sedimen di kawasan mangrove memiliki ciri-ciri yang selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan organik (Soeroyo, 1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen yang bersal dari sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi sepanjang sungai atau kanal (Aksornkoae, 1993). Sebagian tanah berasal dari hasil akumulasi dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang terakumulasi di daerah mangrove memiliki kekhususan yang berbeda, tergantung pada sifat dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah berlumpur, sedangkan sedimen yang berasal dari pantai berupa pasir. Degradasi dari bahan-bahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu juga merupakan bagian dari tanah mangrove. Kusmana, (1996) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya kaya akan bahan organik dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi, kesuburannya bergantung pada bahan alluvial yang terendap. Menurut Soeroyo, (1993), pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor fisik, berupa transport nutrien oleh arus pasang, aliran laut, gelombang dan aliran sungai; (2) faktor fisik-kimia, berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh penggumpalan dan pengendapan; dan (3) faktor biotik, berupa produksi dan perombakan senyawa-senyawa organik.

Salinitas mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti genangan pasang, topografi, curah hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi. Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksorkoae, 1993). Toleransi setiap jenis tumbuhan mangrove terhadap salinitas berbeda-beda. Batas ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan 36 ppm (MacNae, 1968). Adapun Aksornkoae (1993) mencatat bahwa api-api memiliki toleransi yang tinggi terhadap garam dan gedang (Bruguiera gymnorhiza) ditemukan pada daerah dengan salinitas 10-20 ppm. Di Australia, jenis api-api dapat tumbuh dengan tingkat salinitas maksimum 85 ppm, sedangkan gedang dapat tumbuh dengan salinitas tidak lebih dari 37 ppm (Wells 1982)

Nilai pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa. Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8.0-9.0 (Welch at al. 1980). Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktifitas fotosintesis, aktifitas biologi, temperatur, kandungan oksigen, dan adanya kation serta anion dalam perairan (Aksornkoae, 1993). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai untuk menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di daerah mangrove, sehingga tanah mangrove yang bernilai pH tinggi secara nisbi mempunyai karbon organik yang kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno, 1996). Air laut sebagai media yang memiliki kemampuan sebagai larutan penyangga dapat mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim.

(25)

9 berbeda. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan, seperti penggenangan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada, dan (3) rentang pasang (tinggi pasang), dimana akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya pneumatophora prepat dan api-api menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.

Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar umumnya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai bakau terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh (Ellison, 1994), sedangkan pengaruh tidak langsung dari gelombang dan arus adalah berupa sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai dan daerah pesisir. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Selain itu, gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run-off daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut (Hogart 1999).

Karakteristik biofisik dan lingkungan tempat tumbuhnya mangrove penting untuk diketahui mengingat keberlangsungan hidup suatu ekosistem mangrove akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dengan kata lain semakin baik habitat lingkungan mangrove maka akan semakin baik pertumbuhannya.

Metodologi

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013 di kawasan mangrove Binalatung, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.

Teknik Pengumpulan Data

(26)

10

Teknik Sampling Kuadrat

Teknik sampling kuadrat merupakan suatu teknik survei vegetasi yang umumnya digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Pertimbangan utama dalam teknik ini adalah kehomogenan vegetasi dan keadaan morfologi jenis tumbuhan yang diukur (Kusmana 1997). Selanjutnya untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran parameternya, petak contoh dibagi-bagi kedalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih kecil. Kusmana (1997) menyarankan penggunaan kuadrat berukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon, 4 x 4 m untuk lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (under growth) sampai tinggi 3 m, dan 1 x 1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba. Tetapi umumnya para peneliti khusus dibidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yakni : semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1.5 m), pancang (permudaan dengan >1.5 m hingga pohon muda yang berdiameter <10 cm), tiang (pohon muda berdiameter 10 – 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm). Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak (Gambar 5).

Titik pengamatan vegetasi ditempatkan secara proposional pada lima transek yang memotong tegak lurus kontur, jarak antar transek adalah 10 m. Metode analisis terhadap tumbuhan mangrove dilakukan secara matematis, dan diskriptif.

Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan yang diambil meliputi; tekstur sedimen, pH tanah, pasang surut dan kandungan C-Organik. Dalam melakukan pengambilan sampel

(27)

11 dibedakan pada dua kedalaman yakni; kedalaman 30 cm dan 60 cm. Diperkirakan bahwa kedalaman akar dari pohon spesies api-api dan prepat pada lokasi penelitian kurang dari 50 cm. Selanjutnya analisis dilakukan di Laboratorium Lingkungan FPIK dan Laboratorium Tanah Faperta Universitas Borneo Tarakan.

Metode Analisis Data

Metode analisis data didasarkan pada tujuan, yakni analisis indeks nilai penting (INP), analisis tekstur tanah, analisis pH, analisis kandungan C-Organik dan analisis pasang surut. Lebih rinci sebagai berikut:

Indeks Nilai Penting (INP)

Keadaan struktur vegetasi mangrove dapat digambarkan melalui analisis Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Kusmana (1997), untuk menghitung indeks ini digunakan beberapa formula sebagai berikut:

Pada tingkat pohon:

��� = + � +

Pada tingkat pancang dan semai:

��� = + �

=∑

= %

� � =∑

� � = � %

=

= %

= �

(28)

12

Analisis Tekstur Tanah

Analisis tekstur tanah dilakukan dengan metode hydrometer (Bouyoucus 1962 dalam Wilkinson dan Baker 1994). Metode hydrometer merupakan yang dilakukan dengan menentukan prosentase pasir, debu dan liat. Hasil fraksi partikel tanah/sedimen tersebut, selanjutnya diklasifikasi berdasarkan kelas tekstur tanah/sedimen dengan menggunakan bantuan gambar segitiga tekstur (Gambar 5). Segitiga tekstur tanah berdasarkan USDA (2009) dibagi dalam 12 kelas, yakni: clay, silty clay, silty clay loam, sandy clay, sandy clay loam, clay loam, silt, silt loam, loam, sand, loamy sand, dan sandy loam. Keduabelas kelas tekstur tanah tersebut dibedakan berdasarkan jumlah persentase ketiga fraksi tanah hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa persentase pasir (sand), liat (clay) dan debu (loam).

Analisis pH

Analisis pH dilakukan dengan analisis laboratorium dengan botol kocok dan pH meter. Selanjutnya data pH tersebut dideskripsikan dalam bentuk grafik untuk menunjukkan nilai pH pada masing-masing lokasi sampling. pH tanah menjadi sangat penting, mengingat peranan pH tanah dalam penyerapan unsur-nsur hara oleh tanaman/tumbuhan dan membantu bakteri dalam mengubah unsur-unsur hara tersebut.

Analisis Kandungan C-Organik

Analisis kandungan C-Organik dilakukan dengan analisis laboratorium. Sampel tanah/sedimen yang diperoleh di lokasi penelitian selanjutnya dianalisis kandungan C-Organik (C-Total) yang diukur dalam satuan persentase (%).

(29)

13 Kandungan bahan organik (C-Organik) dihitung dengan rumus (metode Walkey dan Black) :

% = ( − ) . Analisis Pasang Surut

Analisis pasang surut dilakukan dengan analisis deskriptif, yakni data diperoleh dari data sekunder (data Deshidros-AL), yang selanjutnya deskripsikan dalam bentuk grafik pasang surut harian (30 hari) dan grafik pasang surut bulanan (Tahun 2014). Gambaran dari kedua grafik tersebut akan diperoleh tipe pasang surut yang terjadi di lokasi penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Indeks Nilai Penting (INP)

Kawasan Mangrove Binalatung terletak pada posisi 3o21’43.46” Lintang

Utara dan 117o39’17.11” Bujur Timur, sedang secara administratif termasuk dalam

wilayah Kelurahan Pantai Amal, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan. Wilayah tersebut terletak di bagian utara Pantai Amal atau berada di timur laut Kota Tarakan, dan di tengah-tengah terdapat sungai pasang surut yang bermuara di ujung selatan wilayah tersebut. Selain itu juga terdapat ekosistem mangrove yang memanjang mulai dari bagian barat hingga ke bagian utara seluas kurang lebih 20 ha. Umumnya jenis mangrove yang membentang disepanjang pantai adalah jenis api-api dan prepat. Selanjutnya untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove yang ada di Binalatung, dilakukan analisis vegetasi (jumlah individu, pohon, diameter batang pohon dan tipe substrat) (Tabel 1).

Hasil identifikasi seperti pada Tabel 1 diperoleh bahwa jenis mangrove yang dominan di lokasi penelitian adalah api-api dengan total ind/transek adalah 9 pohon, dan jenis prepat dengan total ind/transek adalah 7 pohon sedang ukuran diameter batang dari kedua jenis tersebut berkisar antara 6.37 – 8.51cm, dimana ukuran ini menunjukkan ukuran pohon >4 cm (Kusmana, 1997). Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pohon per hektar sekitar 500 pohon. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mangrove di Binalatung tergolong rusak berdasarkan Kepmen LH No.201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove (KLH, 2004). Meskipun demikian, mangrove yang ada di kawasan ini, masih tergolong mampu melakukan regenarasi secara alami, sebagaimana yang direkomendasikan FAO

(30)

14

(1994) yakni minimal 12 pohon/hektar. Namun kondisi kerapatan mangrove tersebut tergolong rawan untuk meredam tsunami. Hal tersebut didasarkan pada kerapatan minimal mangrove agar dapat meredam 50 % gelombang tsunami dengan ketinggian 3 m adalah 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm (Purbani, 2012). Hal ini menjadi sangat penting mengingat letak ekosistem mangrove Binalatung yang berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi.

Pengukuran kerapatan relatif (RDi), frekuensi relatif (RFi), penutupan relatif (RCi) juga dilakukan untuk mengetahui indeks nilai penting (INP) dari ekosistem mangrove Binalatung. Hasil analisis kerapatan relatif diperoleh bahwa jenis api-api memiliki tingkat kerapatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis prepat. Kerapatan merupakan perbandingan jumlah individu suatu spesies dengan luas plot contoh (Kusmana, 1997). Kerapatan mangrove banyak ditentukan oleh faktor manusia dan lingkungan. Penggunaan batang mangrove sebagai tiang pancang/patok dan sebagainya merupakan bentuk pengaruh manusia terhadap kerapatan mangrove. Pengaruh lingkungan lebih disebabkan karena faktor pertumbuhan dan kematian alamiah yang terjadi. Faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh salinitas, substrat, suhu yang mendukung pertumbuhan, serta bahan pencemar yang dapat menyebabkan kematian mangrove. Besarnya nilai kerapatan relatif jenis dari api-api disebabkan karena jenis ini lebih mampu untuk beradaptasi bila dibanding dengan jenis prepat ataupun yang lainnya. Kondisi ini, memungkinkan disebabkan tipe substrat yakni silty loam, serta topografi pantai yang terbuka (berhadapan langsung dengan laut bebas), dimana pengaruh oseanografi sangat besar, seperti pasang surut, gelombang dan arus pantai.

Frekuensi relatif diperoleh nilai yang sama untuk kedua jenis mangrove yakni 50%. Frekuensi relatif merupakan perbandingan antara frekuensi suatu jenis dengan frekuensi untuk seluruh spesies (Kusmana, 1997). Hasil menunjukkan bahwa penyebaran dan keberadaan tiap jenis mangrove tersebut dapat ditemukan pada setiap transek stasiun pengamatan. Penyebaran dan keberadaan sutau jenis mangrove sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan mangrove tersebut untuk tumbuh optimal. De Haan dalam Russel dan Young (1968) menyebutkan bahwa penyebaran dan keberadaan mangrove dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, salah satunya adalah salinitas.

Penutupan relatif merupakan gambaran dominansi dari suatu spesies mangrove terhadap suatu kawasan/area. Hasil analisis menunjukkan bahwa penutupan relatif jenis api-api lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis prepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis api-api lebih dominan dibandingkan jenis prepat. Dominannya jenis api-api disebabkan oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan.

(31)

15

Tekstur Sedimen

Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah. Ukuran partikel pasir (2-0.05 mm), debu (0.05-0.002 mm) dan liat (<0.002 mm). Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat-sifat tanah yang lain seperti; struktur tanah, permeabilitas, dan porositas. Tekstur tanah di wilayah mangrove umumnya tersusun atas akumulasi sedimen yang berasal dari sungai, pantai atau erosi tanah yang terbawa dari darat melalui sungai atau kanal. Sedimen yang terakumulasi sepanjang pantai dan yang ada di daerah mangrove memiliki karakteristik yang berbeda tergantung pada sifat asalnya, seperti sedimen yang berasal dari sungai dan kanal berupa tanah berlumpur sedangakan sedimen pantai berupa pasir, yang mana sedimen-sedimen tersebut mengadung bahan-bahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu (Aksornkoae, 1993). Tekstur tanah sangat penting bagi pertumbuhan mangrove, terutama pada tumbuhan anakan, dimana pembentukan akar sangat dipengaruhi oleh jenis substrat.

Komposisi tekstur pada transek satu kedalaman 30a cm didominasi oleh debu dengan persentase kandungan 59%, selanjutnya liat dengan persentase kandungan 32%, dan pasir dengan persentase kandungan 20%. Pada kedalaman 60a cm didominasi oleh debu dan pasir dengan persentase kandungan 39%, dan liat dengan persentase kandungan 22%. Komposisi tekstur pada transek 2 kedalaman 30b cm didominasi debu dengan persentase kandungan sebesar 52%, selanjutnya liat dengan persentase kandungan sebesar 27%, dan pasir dengan persentase kandungan sebesar 21%. Pada kedalaman 60b cm didominasi oleh debu dengan persentase kandungan sebesar 42%, pasir dengan persentase kandungan sebesar 39%, dan liat dengan persentase kandungan sebesar 19%. Secara grafis komposisi substrat mangrove disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 7 INP pohon mangrove di Binalatung

(32)

16

Hasil analisis tipe substrat guna mengetahui jenis tekstur sedimen mangrove Binalatung diperoleh bahwa umumnya adalah jenis silty loam (SiL) atau lempung berdebu Jenis tanah dengan tekstur tersebut ditandai dengan tanah agak melekat bila dipegang, dapat dibentuk menjadi bola agak teguh, dan gulungan dengan permukaan mengkilat. Jenis lain yang dijumpai di lokasi penelitian adalah jenis tanah silty clay loam (SiCL) atau lempung liat berdebu. Secara umum kedua jenis tekstur tanah tersebut menggambarkan tanah bertekstur halus, yakni didominasi oleh tanah liat dengan tekstur yang lembut dan licin yang memiliki permukaan yang lebih halus dibandingkan dengan tanah bertekstur kasar yang biasanya berbentuk pasir. Tanah yang bertekstur halus memiliki kapasitas dalam proses penyerapan unsur-unsur hara yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang bertekstur kasar, sehingga menjadi lebih subur. karena banyak mengandung unsur hara dan bahan organik yang dibutuhkan oleh tanaman. Hanafiah, (2007) memberi gambaran tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) atau agak poreus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa makin poreus tanah akan makin mudah akar untuk berpenetrasi, serta makin mudah air dan udara untuk bersikulasi (drainase dan aerasi baik; air dan udara banyak tersedia bagi tumbuhan), tetapi makin mudah pula air untuk hilang dari tanah, dan sebaliknya. Oleh karena itu maka tanah yang baik dicerminkan dari komposisi ideal dari tanah berporeus dan dan tidak berporeus, sehingga tanah yang berstekstur debu dan lempung akan mempunyai ketersediaan yang optimum bagi tumbuhan, namun dari segi nutrisi tanah lempung lebih baik daripada tanah bertekstur debu.

Berdasarkan komposisi tekstur yang teridentifikasi maka dapat diindikasikan bahwa vegetasi mangrove di pantai Binalatung yang umumnya didominasi jenis api-api dan prepat memungkinkan terjadi karena didasarkan pada jenis substrat yakni lempung berdebu. Pada substrat ini sering dijumpai kedua jenis tersebut selain itu lokasi yang langsung berhadapan dengan laut sehingga jenis ini terkenal sebagai vegetasi pioneer. Hasil tersebut senada dengan yang dinyatakan

Gambar 8 Tipe substrat mangrove di Binalatung

(33)

17 Aksornkoae (1993) bahwa karakteristik habitat mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

pH Tanah

pH tanah adalah derajat keasaman tanah atau keseimbangan antara konsentrasi H(+) dan OH- dalam larutan tanah. Apabila konsentrasi H+ dalam larutan tanah lebih banyak dari OH- maka suasana larutan tanah menjadi asam, sebalikya

bila konsentrasi OH- lebih banyak dari pada konsentrasi H+ maka suasana tanah menjadi basa. Asam menurut Boyle dalam Krauskopf, (1979), adalah suatu senyawa masam dan mempunyai kemampuan melarutkan banyak senyawa, mengubah warna lakmus, dan bereaksi dengan basa membentuk garam. Sedangkan basa adalah senyawa dalam larutan air menunjukkan rasa sabun, pahit, mampu menetralkan asam, dan mengubah warna lakmus kebalikan dari asam.

pH tanah sangat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. pH tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman pada umumnya adalah berkisar 5.6-6.0. Pada tanah dengan pH <5.6 umumnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting seperti fosfor dan nitrogen. Bila pH <4.0 pada umumnya terjadi kenaikan Al3+ dalam larutan tanah yang berdampak secara fisik merusak sistem perakaran, terutama akar-akar muda, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Demikian pula bila tanah bersuasana basa yakni pH>7.0 biasanya tanah tersebut kandungan kalsiumnya tinggi, sehingga terjadi fiksasi terhadap Pospat (unsur P) dan tanaman akan mengalami defisiensi Pospat. Berikut adalah grafik pH Tanah hasil pengukuran sampel tanah pada 4 titik pada Gambar 9.

Hasil pada Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai pH tanah berkisar 6.4-7.4 yang menunjukkan pH netral. Henriksen dan Kemp (1988) menjelaskan tentang pentingnya pH tanah yaitu penentu mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman, menunjukan kemungkinan adanya unsur-unsur hara beracun serta

Gambar 9 Kandungan pH substrat mangrove di Binalatung

(34)

18

mempengaruhi perkembagan mikroorganisme. Bakteri dapat berkembang dengan baik pada pH 5.5 atau lebih, sedangkan pada pH kurang dari 5.5 perkembangannya terhambat. pH optimum untuk berjalannya proses nitrifikasi berkisar pada range netral sampai sedikit alkalis (7.0-8.5). Hasil juga menunjukkan bahwa pH tanah pada lapisan atas (30 cm) lebih tinggi bila dibandingkan dengan pH tanah pada lapisan bawah (60 cm). Ewusie (1990) pH pada permukaan tanah lebih tinggi dari pada lapisan dibawahnya akibat dari serasah yang mengalami dekomposisi pada permukaan lebih banyak sehingga tanah mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi yang menyebabkan sedimen menjadi masam.

Kandungan C-Organik

Kandungan C-Organik merupakan indikator bahan organik tanah. Hal tersebut juga sesuai dengan Foth, (1984) bahwa pengukuran kandung bahan organik tanah dengan metode Walkey dan Black ditentukan berdasarkan kandungan C-Organik. Kandungan bahan organik, menunjukkan banyaknya unsur hara yang terkandung dalam tanah. Dengan demikian kandungan C-Organik pada tanah sangat menetukan apakah tanah tersebut subur atau tidak, semakin banyak C-Organik yang terkandung dalam tanah maka akan semakin subur tanah tersebut.

Kandungan C-Organik di dalam substrat berkisar 0.58-0.79 % (Gambar 10) rendah. Kategori tersebut didasarkan pada Pusat Penelitian Tanah (1983) yang mengelompokkan dalam kandungan C-Organik tanah dalam 5 kategori yakni sangat rendah (<1%), rendah (1-2%), sedang (2-3%), tinggi (3-5%) dan sangat tinggi (>5%). Kandungan C-Organik yang tinggi akan meningkatkan bahan organik dalam tanah. Bahan organik yang tinggi akan mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall et al, 1982).

Gambar 10 Kandungan c-organik substrat mangrove di Binalatung

(35)

19 Lebih jauh Buckman et al. (1982) menerangkan bahwa bahan organik dalam tanah adalah relatif kecil (2-6%) dibandingkan bahan-bahan mineral (94-98%). Namun menurut Mahadi (1986) walaupun sedikit bahan organik merupakan gudang penting zat hara tanaman dan bekerja sebagai energi bagi jasad-jasad renik.

Pasang Surut (Pasut)

Pasang surut merupakan peristiwa naik turunnya muka air laut. Pasang surut sangat berpengaruh terhadap genangan (rendaman) akar mangrove. Pasang surut juga sangat menentukan terhadap perkembangan dan zonasi hutan mangrove di suatu wilayah. Selain tipe pasang, lama (durasi) pasang dan tinggi pasang, juga sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan dan zonasi mangrove. Berdasarkan tipe pasut yang terjadi berupa tipe harian ganda (semidiurnal tide), dimana terjadi dua kali pasang dalam sehari memberikan suplai air laut yang tinggi sehingga sangat bepengaruh terhadap jenis mangrove yang tumbuh di daerah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis yang umumnya dijumpai dilokasi adalah jenis api-api dan prepat terutama pada bagian pantai terdepan. Hal ini dikarenakan tipe pasut yang terjadi, sehingga hanya jenis-jenis tertentu yang dapat hidup dan berkembang pada kondisi salinitas tinggi. Nontji, (1993) menyatakan bahwa karena sifat lingkungannya yang keras seperti genangan pasut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan yang berlumpur tebal dan anaerobik sehingga menyebabkan pertumbuhan mangrove jenis api-api dan prepat dominan di daerah ini. Tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang ekstrim, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia.

Salah satu fungsi pasut selain suplai air laut juga sebagai sirkulasi air dan transfor bahan-bahan organik. Sirkulasi air yang baik akan menyebabkan terjadinya pencucian mangrove sehingga kondisi ini akan sangat menentukan proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove. Traspor bahan organik dan sirkulasi air tersebut akan sangat menentukan tipe substrat yang terbentuk.

(36)

20

Dengan sistem perakaran yang dapat memiliki peran sebagai parangkap sedimen yang baik, sehingga laju pasut sangat berperan dalam menjaga keseimbangan mangrove. Massa air yang masuk pada saat pasang tinggi akan membawa kadar garam yang baru yang berfungsi untuk menetralisir keasaman tanah yang terjadi akibat penurunan salinitas tanah dan suplai air tawar, sementara pada saat surut massa air akan bergantian dan akan membawa unsur-unsur hara serta dekomposisi unsur hara yang tinggi ke arah laut dan menyebabkan terjadinya keseimbangan dinamis hutan mangrove.

Pada kondisi ekstrim, dimana terjadi perubahan faktor-faktor pembatas tersebut mangrove memiliki pola adaptasi yang unik yaitu dengan cara mengembangkan sistem perakaran untuk memungkinkan pertukaran gas terjadi di atas tanah yang tergenang air dan miskin oksigen (Mackinnon et al. 2000) terutama yang berkaitan dengan kontrol terhadap pola salinitas substrat akan menyebabkan perubahan komposisi spesies mangrove. Akar-akar nafas ini dikenal dengan “pneumatofora”. Salinitas yang lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan biota dalam jumlah besar serta hanya jenis mangrove tertentu saja yang akan mampu bertahan hidup. Kondisi ini terjadi karena tingginya suplai air laut mendorong tingginya salinitas substrat, perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus-menerus seperti kegiatan pengerukan, bendungan dan penyekatan (Dahuri et al. 1996). Apabila suplai air laut rendah atau dengan kata lain proses pencucian tidak terjadi dengan baik dan disisi lain terjadi suplai air tawar yang tinggi maka akan menyebabkan terjadinya pengendapan (sedimentasi) yang tinggi di daerah mangrove tersebut. Keadaan ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan akhirnya menyebabkan kematian mangrove (Dahuri et al. 2004). Selanjutnya ditegaskan pula bahwa secara umum mangrove dapat tumbuh dan tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan, namun demikian mangrove tersebut juga sangat peka terhadap pengendapan (sedimentasi), tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak.

Gambar 12 Pola pasut bulanan di Kota Tarakan -150

101 126 151 176 201 226 251 276 301 326 351 376 401 426 451 476 501 526 551 576 601 626 651 676 701 726 751

(37)

21

Simpulan

(38)

22

3

KANDUNGAN AROMATIK HIDROKARBON PADA

SEDIMEN DAN AKAR MANGROVE DI BINALATUNG

Pendahuluan

Hidrokarbon dibagi menjadi dua kelas yakni hidrokarbon alifatik yang merupakan hidrokarbon rantai lurus tanpa benzena dan hidrokarbon aromatic yang mengandung cincin benzene. Aromatik hidrokarbon yang mengandung cincin benzena, dimana sebuah cincin benzene berisi enam karbon bergabung dalam struktur cincin dengan ikatan tunggal dan ganda. Hidrokarbon aromatik adalah senyawa organik yang tersebar luas di alam, bentuknya terdiri dari beberapa rantai siklik aromatik dan bersifat hidrofobik (Witt, 1995). Kandungan minyak bumi utamanya tersusun atas hidrokarbon jenuh dan tidak jenuh beserta turunannya senyawa nitrogen dan senyawa sulfur. Bensin merupakan produk hasil minyak bumi yang memiliki campuran lebih dari 100 senyawa organik Tabel 2 (Salsali, 1999). Menurut Qiu, (2009) bahwa senyawa-senyawa seperti benzene, styrene dan phenantrene termasuk dalam kelompok hidrokarbon aromatik. Senyawa hidrokarbon aromatik masuk kedalam senyawa yang mempunyai potensi karsinogenik dan sering dijadikan sebagai kriteria dalam program pembersihan (clean-up) tanah atau air yang tercemar (USEPA 1993).

Senyawa aromatik mengandung berbagai senyawa aromatik lainnya seperti PAH yakni senyawa aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen. Senyawa PAH dapat memiliki beberapa cincin aromatik mulai dari empat, lima, enam, ataupun tujuh cincin, tetapi yang paling banyak dengan lima atau enam cincin. PAH dengan enam cincin aromatik disebut alternant PAH. Alternant PAH tertentu disebut ”benzoid” PAH, nama ini berasal dari benzena yang merupakan hidrokarbon aromatik dengan enam cincin. Senyawa PAH berasal dari tiga proses, yaitu pirolisis, petrogenik, dan diagenetik. PAH dengan tiga cincin dihasilkan oleh proses petrogenik, sedangkan PAH dengan empat, lima, dan enam cincin dihasilkan oleh proses pirolisis (Muri dan Wakeham 2009). Beberapa senyawa PAH diketahui atau diduga bersifat karsinogenik (Tabel 3). PAH dibentuk dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon seperti; kayu, batu bara, diesel, fat, atau tembakau. PAH ada yang bersifat lipofilik, yang berarti mencampur lebih mudah dengan minyak dari air. Menurut Neff (1979) terdapat beberapa senyawa PAH yang perlu diperhatikan, antara lain; naphtalena (C10H8),

acenaphthylene (C12H8), acenaphthene (C12H10), flourene (C13H10), phenanthrene

Tabel 2 Komposisi (fraksi massa) dari BTEX dalam Bensin

(39)

23 (C14H10), anthracene (C14H10), flouranthene (C16H10), pyrene (C16H10), benzo

(C18H12), chrysene (C18H12), dibenzo (C22H14), dan indenol (C22H12).

Konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh tingkat solubilitas dan keberadaan gugus non polar yang bersifat hidrofobik. Solubilitas PAH cenderung rendah, sehingga PAH cenderung berikatan dengan partikel organik dan anorganik dibandingkan berada dalam bentuk terlarut. Ikatan PAH dengan partikel mengakibatkan terjadi proses koagulasi, berat partikel makin bertambah dan kemudian jatuh ke sedimen. Semakin besar ukuran partikel maka makin banyak pula PAH yang berasosiasi dan makin tinggi konsentrasi PAH. Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PAH di sedimen lebih besar dibandingkan PAH di kolam air. PAH bersifat toksik dengan kadar yang relatif tinggi ditemukan oleh beberapa peneliti dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan (Mohammed et al. 2009).

Penelitian kontaminasi dari jenis dan kandungan PAH pada beberapa sampel sedimen dan air laut di Kota Tarakan menunjukkan konsentrasi berada pada level sedang dan pada ikan Nomei (Harpodon nehereus) kandungan konsentrasi berada pada level kontaminasi rendah (Achyani, 2011). Selanjutnya disebutkan juga bahwa jenis PAH pada sedimen laut teridentifikasi lima senyawa yakni; fluorantena, Tabel 3 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff, 1979)

Komponen

Fenantrena −− Benz[j]aceantririlen ++

Benz[a]antrasena + 3-metilkolantren ++++

7,12-dimetilbenz[a]antrasena ++++ Napthasen −−

Dibenz[a]antrasena + Pirena −−

Dibenz[ah]antrasena +++ Benzo[a]pirena +++

Dibenz[ac]antrasena + Benzo[e]pirena −−

Benzo[a]fenantrena +++ Dibenzo[a]pirena ±

Fluorena −− Dibenzo[ah]pirena +++

Benzo[a]fluorena −− Dibenzo[ai]pirena +++

Benzo[b]fluorena −− Dibenzo[cd,jk]pirena −−

Benzo[c]fluorena −− Indeno[1,2,3-cd]pirena +

Dibenzo[ag]fluorena + Krisena ±

Dibenzo[ah]fluorena ± Dibenzo[b,def]krisena ++

Dibenzo[ac]fluorena ± Dibenzo[def,p]krisena +

Fluorantena −− Dibenzo[def,mno]krisena −−

Benzo[b]fluorantena ++ Perilen −−

Benzo[i]fluorantena ++ Benzo[ghi]perilen −−

Benzo[k]fluorantena −− Koronen −−

Benzo[mno]fluorantena −−

(40)

24

fenantrena, naftalena-C2, fenantrena-C1, dan antrasena-C1 dengan kandungan nilai konsentrasi berkisar 50-136µg/g. Sedang jenis PAH yang teridentifikasi pada air laut teridentifikasi dua senyawa yakni; fenantrena dan fluorantena dengan nilai konsentrasi berkisar 6.36-380µg/l. Jenis PAH yang terakumulasi dalam tubuh ikan nomei (daging) teridentifikasi sepuluh senyawa yakni; fluorena, fenantrena, antrasena, fluorantena, pirena, naftalena-C1, naftalena-C2, fenantrena-C1, bifenil, dan asenaftena dengan nilai konsentrasi berkisar 1582-2747µg/g.

Menurut Eisler, (1987) menyatakan PAH termasuk pada kelompok pencemar yang sangat sulit diuraikan. Polutan hidrokarbon aromatik telah direkomendasikan sebagai polutan prioritas oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (USEPA) dan komponen sasaran untuk studi di lokasi yang terkontaminasi minyak karena bersifat karsinogenik, mutagenik, dan beracun. Meskipun kontaminasi keduanya dapat dihasilkan dari proses alam dan antropogenik, masukan berupa PAH dari aktivitas manusia seperti tumpahan minyak mentah, produksi lepas pantai, transportasi dan pembakaran yang sangat signifikan telah menjadi ancaman serius bagi habitat pesisir seperti mangrove (Corredor et al. 1990).

Mengingat kerusakan yang ditimbulkan dari pencemaran organik dapat mempengaruhi rantai makanan khususnya dalam ekosistem mangrove sehingga perlu untuk mengetahui jenis-jenis senyawa organik terdapat dalam sedimen dan akar indivudu mangrove dan diharapkan penanganan yang tepat bagi kerusakan sebuah sistem akibat terkontaminan senyawa tersebut.

Metodologi

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga April 2015. Lokasi pengambilan sampel sedimen dan akar mangrove dilakukan di kawasan mangrove Binalatung, Kecamatan Tarakan Timur Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Utara. Ekstraksi sampel dilakukan di Laboratorium Lingkungan FPIK Universitas Borneo Tarakan, dan injeksi ekstrak sampel dilakukan di Laboratorium PUSLITBANG Hasil Hutan Bogor dan Laboratorium Forensik Mabes POLRI Jakarta.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah sedimen kering mangrove, dan akar mangrove. Sedang bahan berupa pelarut organik yang digunakan terdiri atas; n-hexane (pro analysis), acetone (pro analysis), dichlrometan/DCM (pro analysis), dan methanol/MeOH (pro analysis) serta bahan reagen (silika dan allumina).

- Silika gel 60 (ukuran partikel 0.040-0.063mm); silika gel (0.040-0.063 mm) dideaktivasi dengan 5 % air (akuades). Tahap awal deaktivasi, silika gel (10 g) dimurnikan dengan menggunakan alat soxhlet (6 jam) campuran n-heksana-methanol (1:1) sebanyak 150 ml, selanjutnya dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil lalu dioven pada suhu 300 oC selama 1 jam. Setelah itu,

suhu diturunkan secara bertahap menjadi 200 oC hingga 100 oC, kemudian

(41)

25 - Allumina; Allumina yang digunakan pada kolom kromatografi dideaktivasi dengan 5 % air (akuades). Tahap awal deaktivasi, allumina (10 g) dimurnikan dengan menggunakan alat soxhlet (6 jam) campuran n-heksana-methanol (1:1) sebanyak 150 ml, selanjutnya dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil lalu dioven pada suhu 300 oC selama 1 jam. Setelah itu, suhu diturunkan secara bertahap menjadi 200 oC hingga 100 oC, kemudian dipindahkan kedalam

desikator. Deaktivasi allumina dilakukan dengan menambah air akuades 5 % (0,5 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi allumina 95 % (9,5 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang.

Alat yang digunakan terdiri atas; bor tanah, salinometer, handheld refraktometer, GPS, dan pendeteksi PAH spectrometry massa gas cromatograf (GC-MS) tipe agilent technologies 7890A. Sedang peralatan laboratorium yang digunakan meliputi; soxhlate, glass coulumn, glass beaker, labu, botol sampel, labu erlenmayer, dan penjepit stainless steel dicuci dengan menggunakan alat power sonic 520 pada suhu 50 oC selama 60 menit, kemudian peralatan dibilas dengan menggunakan aquades. Selanjutnya peralatan dibungkus dengan aluminium foil dan dikeringkan dengan oven pada suhu 80 oC selama 24 jam. Ketika hendak digunakan alat-alat tersebut dibilas dengan methanol (Me-OH), dichlorometana (DCM) dan n-hexana secara berurutan (Agung. 2011).

Teknik Pengambilan dan Perlakuan Sampel

Sedimen dari ekosistem mangrove diambil dengan menggunakan bor tanah pada kedalaman 30 cm dan sampel disimpan dalam botol kaca dan diletakkan dalam coolbox selanjutnya di laboratorium sampel disimpan dalam freezer yang bersuhu -20 oC. Sedang akar mangrove (Gambar 13) diperoleh dari pohon mangrove yang telah mati dan disimpan dalam botol kaca. Sebelum dianalisis sampel sedimen terlebih dahulu dikeringkan dengan oven pada suhu 80 oC selama 24 jam dan akar mangrove dikeringkan pada suhu 80 oC selama 48 jam.

(42)

26

Metode Analisis Hidrokarbon Aromatik

Analisis hidrokarbon aromatik di sedimen dan akar pohon mangrove dilakukan dengan metode soxhlet (Yu et al, 2007; Achyani, 2011). Sampel sedimen dan akar sebanyak 40 gr kering diekstraksi dengan soxhlate dengan pelarut hexan/aseton (1:1), kemudian dibilas dengan diclorometan/hexan (3:7), secara rinci prosedur analisis disajikan pada Gambar 14. Tahap akhir dari prosedur ini adalah analisis jenis aromatik hidrokarbon dengan menggunakan GC-MS. Temperatur diatur pada 40 oC selama 1 menit selanjutnya dinaikan 6 oC/menit hingga 300 oC dan pada suhu ini dipertahankan selama 20 menit. Dalam mengidentifikasi jenis dan nama hidrokarbon aromatik digunakan Library National Institute of Standars and Technology (NIST) dan WILEY11 pada internal system GC-MS. Pendugaan konsentrasi dari senyawa yang terdeteksi dalam sampel sedimen dan akar didasarkan pada standar internal konsentrasi (Dsikowitzky et al. 2011).

=

GCMS Information --- ---

GC Agilent 7890A/5975C MDS; Injection source manual; Oven 40 C for 1 min then 6 C/min to 300 C for 20 min; Inlet splitless 300 C 16,086 psi purge flow 50 mL/min at 2 min; Column Agilent 19091S – 433HP – 5 ms 5 % phenyl methyl silox (60 m x 250 µm x 0.25 µm).

(43)

27

Hasil dan Pembahasan

Hidrokarbon merupakan salah satu kontaminan yang penting, dalam arti jumlah dan dampak buruk bagi manusia dan lingkungannya. Minyak dan turunannya merupakan salah satu contoh dari hidrokarbon yang banyak digunakan manusia, dan sangat potensial mencemari lingkungan. Menurut Hoff et al (2002) bahwa polutan minyak dapat berdampak negatif terhadap mangrove melalui dua mekanisme yakni dari efek fisik dan efek toksikologi. Secara tokiskologi berupa hidrokarbon aromatik yang merusak dan bahkan mematikan mangrove melalui sedimen dan akar. Kondisi tersebut dapat menganggu pengedalian garam-garam sehingga menganggu pertukarannya pada akar dan daun. Hidrokarbon aromatik dalam sedimen meningkatkan insiden mutasi mangrove, dimana klorofil menjadi menurun dan bahkan hilang. Untuk mengetahui kandungan hidrokarbon aromatik pada ekosistem mangrove Binalatung maka dilakukan analisis kandungannya pada sedimen dan akar menggunakan GC-MS dan secara grafis beberapa hasil analisis GC-MS ditunjukkan pada Gambar 15 dan 16.

Gambar

Gambar 1 Perubahan tutupan ekosistem mangrove di Kota Tarakan
Gambar 2  Vegetasi mangrove di Binalatung
Gambar 4  Lokasi penelitian (stasiun pengambilan contoh)
Gambar 5  Metode Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian iili bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara komunitas Pelecypoda dengaii ekosistem mangrove di kawasan Batu Ampar pada berbagai kondisi mangrove yaitu saat

Mangrove merupakan ekosistem utama di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Ekosistem mangrove merupakan salah satu pilar utama pengembangan wilayah di kawasan ini, oleh

Upaya rehabilitasi kawasan mangrove telah mendorong warga masyarakat pesisir untuk menanam mangrove sebagai upaya konservasi hutan mangrove, selain untuk penyediaan

Dengan berkurangnya luasan ekosistem mangrove maka akan mengurangi keanekaragaman jenis mangrove dan fungsi ekologis dari ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kampung Nipah

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove, melakukan penilaian ekonomi ekosistem hutan mangrove di kawasan gampong Kuala

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove, melakukan penilaian ekonomi ekosistem hutan mangrove di kawasan gampong Kuala Bubon,

Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa, kandungan bahan organik pada kawasan hutan mangrove khususnya Pantai Payum agak berbeda dengan yang dimiliki oleh ekosistem

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kesesuaian habitat sebagai sarana penyusunan strategi rehabilitasi ekosistem mangrove sebagai suatu upaya pengelolaan yang bersifat konservatif