• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIBERI CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae

Jumlah cacing betina pada domba tersebut

D. flagrans + S cerevisiae 3136,8 ± 1640,1 a

Pengamatan terhadap fekunditas cacing H. contortus pada minggu ke-5 perlakuan menunjukkan setiap ekor cacing betina memproduksi telur 1506-3418 butir/hari. Tidak ada perbedaan signifikan dalam fekunditas cacing betina antara kelompok kontrol dan perlakuan (Tabel 13). Pengamatan tersebut menunjukkan pemberian kedua cendawan ini tidak mempengaruhi fekunditas cacing betina.

Jumlah cacing H. contortus yang ditemukan di abomasum postmortem

pada kelompok kontrol serta kelompok perlakuan D. flagrans dan D. flagrans +

S. cerevisiae kurang lebih berjumlah 180 ekor (Tabel 14). Jumlah cacing yang ditemukan lebih rendah pada domba yang diberi S. cerevisiae, namun pada analisa statistik belum menunjukkan perbedaan yang signifikan antara keempat kelompok perlakuan.

Tabel 14.Jumlah cacing yang ditemukan di abomasum domba

Kelompok Jumlah cacing

(n=5) Jantan Betina Total

K 47 ± 52 a 133 ± 104 a 180± 140 a

DF 59 ± 64 a 125 ± 26 a 184 ± 83 a

SC 35 ± 20 a 99 ± 54 a 134 ± 60 a

DF+SC 46 ± 22 a 134 ± 51a 181 ± 59 a

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama superskrip pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Hasil pengamatan terhadap perubahan patologis pada organ reproduksi cacing jantan disajikan pada Gambar 14 dan Tabel 15. Ditemukan peningkatan yang sangat signifikan dalam persentase spermatosit yang rusak pada kelompok domba yang diberi perlakuan D. flagrans, S. cerevisiae dan kombinasi keduanya dibandingkan kelompok kontrol (P<0,01). Sel spermatosit yang normal, mengalami perubahan patologi pada testis terutama sel normal berubah menjadi piknotis, tepi-tepi selnya bentuknya tidak beraturan, serta sebagian lain mengalami degenerasi dan lisis (hancur). Tidak ditemukan perubahan ukuran bursa kopulatriks dan spikulum cacing jantan akibat perlakuan (Tabel 16).

Gambar 14. Potongan longitudinal inti spermatosit pada testis cacing jantan

A. (Kontrol) (tanda panah inti normal) B. (D.flagrans).(tanda panah

inti telah lisis). C (S.cerevisiae) (tanda panah inti piknotis).

D (D.flagrans + S.cerevisiae)(tanda panah inti degenerasi).

U; usus. K. Kutikula. Pewarnaan HE. Pembesaran 10x 40.

Kondisi serupa juga tampak pada hasil pengamatan terhadap perubahan patologis organ reproduksi cacing betina (Gambar 15 dan Tabel 17). Persentase kerusakan sel ovum yang diamati dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) menunjukkan ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dibandingkan

dengan kelompok yang diberi perlakuan S. cerevisiae dan kombinasi

S. cerevisiae dan D. flagrans (P< 0,01). Sel-sel ovum cacing betina dari domba yang diberi S. cerevisiae sebagian besar berubah secara patologi menjadi piknotis atau lisis, sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi kombinasi S. cerevisiae dan D. flagrans perubahan patologis mengarah kepada piknotis bila dibandingkan dengan kontrol. Ukuran vulva flap cacing betina pada keempat kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 18).

A B D C U U U K K K

Gambar 15. Potongan longitudinal inti ovum pada ovarium cacing betina

A. (Kontrol) (tanda panah inti normal) B. (D.flagrans).(tanda panah inti normal). C (S.cerevisiae)(tanda panah inti sedang lisis dan degenerasi). D (D.flagrans + S.cerevisiae)(tanda panah inti piknotis). U; usus. K. Kutikula. Pewarnaan HE. Pembesaran 10x 40. Hasil penelitian ini memperlihatkan kemampuan merusak dari D. flagrans

terhadap perkembangan sel spermatosit, serta S. cerevisae terhadap perkembangan sel spermatosit dan ovum cacing H. contortus. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan persentase sel-sel yang rusak pada cacing dari domba yang diberi kedua cendawan.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pitojo (1995) pada kelici. Pemberian S. cerevisiae dengan dosis 60 mg/kg BB setiap hari selama 10 hari perlakuan terbukti menurunkan jumlah sperma yang dihasilkan kelinci akibat kerusakan testis yang mengalami hiperplasia sehingga menyebabkan penurunan aktivitas spermatogenesis, selain itu testis juga mengalami

A B D C a U U K K K K A

hiperplasia hingga akhirnya menyebabkan testis tidak mampu memproduksi secara normal jumlah dan bentuknya. Fenomena yang serupa berupa penurunan produksi telur (kokon) ditemukan pada cacing tanah yang diberikan tape singkong.

Kerusakan organ reproduksi dapat disebabkan pengaruh enzim intra seluler dan ekstra seluler yang dimiliki kedua cendawan tersebut. Hal ini didukung oleh Ford et al. (2005) yang telah mempelajari bahwa enzim elastase, kemotripsin dan katepsin G. (ketiganya tergolong Serine protease) mempengaruhi proses spermatogenesis dan embriogenesis pada cacing nematoda Onchocerca volvulus. Uji aktivitas enzim pada kedua cendawan ditemukan adanya enzim kitinase dan protease dalam jumlah yang cukup pada kedua cendawan tersebut.

Pada percobaan ini tampaknya perubahan patologis pada sel spermatosit dan ovum belum sampai mempengaruhi fekunditas cacing betina dan jumlah telur yang berkembang menjadi L3. Penurunan jumlah telur yang berkembang

menjadi L3 pada kelompok perlakuan D. flagrans serta D. flagrans dan S.cerevisiae pada minggu ke-4 dan 5 mungkin lebih disebabkan peranan jerat yang diproduksi oleh D. flagrans . Kemungkinan lain waktu perlakuan dan tingkat dosis yang diberikan mungkin memegang peranan. Oleh karena itu fenomena yang menarik ini perlu dipelajari lebih mendalam menggunakan parasit pada hewan model.

Tabel 15. Persentase perubahan patologis pada alat reproduksi (spermatosit) cacing jantan

Perlakuan

(n=5)

Sel Normal Sel rusak (%)

Degenerasi Piknotis Lisis Total Kontrol 96,8 ± 4,15 a 1,6 ± 2,19 c 2 ± 2,00 d 0,4 ± 0,89 f 3 ± 4 a

DF 47,60 ± 12,76 b 4 ± 8,94 c 29,20 ± 17,98 e 19,2 ± 16,65 f 52± 13 b

SC 44,00 ± 30,30 b 2 ± 4,47 c 43,80 ± 23,61e 10,2 ± 14,70 f 56± 30 b

DF + SC 53,99 ± 13,12 b 8,4 ± 9,84 c 37,61 ± 16,94 e 0 ± 0 f 46 ± 13 b

Keterangan : Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P< 0,01)

Tabel 16.Ukuran bursa kopulatriks dan spikulum cacing jantan

Kelompok Bursa kopulatriks (mikron) Spikulum (mikron (n =9) Panjang Lebar Panjang Lebar Kontrol 3,35 ± 0,25 a 1,00 ± 0,04 a 2,92± 0,24 a 0,19 ± 0,00a

DF 3,26 ± 0,08 a 0,73 ± 0,05a 2,90 ± 0,16a 0,11 ± 0,00a

SC 3,22 ± 0,24 a 1,00 ± 0,01 a 3,09 ± 0,12a 0,17 ± 0,02 a DF + S.C 3,72 ± 0,19 a 1,07 ± 0,37a 3,20 ± 0,12a 0,18± 0,05 a

Keterangan : Angka-angka dengan huruf superskrip yang tidak berbeda pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P> 0,05)

Tabel 17. Persentase perubahan patologis pada sel ovum cacing betina

Perlakuan

(N=5) Sel Normal

Sel rusak

Degenerasi Piknotis Lisis Total Kontrol 97,2 ± 3,03 a 0,4 ± 0,89 c 0,4 ± 0,89 d 2 ± 3,46 g 3 ± 3 a

DF 94,0± 8,25 a 5,2 ± 6,57 c 0 ± 0 d 0,8 ± 1,79 g 6 ± 8 a

SC 33,20 ± 24,92 b 2,4 ± 2,61 c 41,6 ± 13,22 e 22,8 ± 18,79 h 67 ± 25 b

DF+SC 17,6 ± 10,53 b 0 ± 0 c 80,8 ± 11,54 f 1,6 ± 3,58 g 82 ± 11 b Keterangan: Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (P< 0,01)

Tabel 18. Ukuran vulva flap cacing betina

Kelompok Vulva flap

n=9 Panjang (mikron) Lebar (mikron) Kontrol 4,36 ± 0,34 a 1,64 ± 0,20 a

DF 3,76 ± 0,13 a 1.48 ± 0,57 a

SC 3,87 ± 0,43 a 1,58 ± 0,05 a

DF + S.C 3,50 ± 0,02 a 1,49 ± 0,28a

KESIMPULAN

• Pemberian 1 x 106 konidia dan klamidospora kapang D. flagrans dalam inokulum murni atau dikombinasi dengan 1 x 106 sel spora khamir

S. cerevisiae terhadap domba yang diinfeksi H.contortus belum menurunkan secara signifikan persentase telur yang berkembang menjadi L3, namun tidak berpengaruh terhadap jumlah telur (TTGT),

fekunditas cacing betina dan cacing dalam abomasum domba.

• Pemberian D. flagrans terhadap domba yang diinfeksi H.contortus

menyebabkan perubahan patologis pada sel spematosit, sedangkan pemberian S. cerevisiae dalam inokulum murni atau dikombinasi dengan

D. flagrans menyebabkan perubahan patologis pada ovum dan sel spermatosit.

• Tidak ditemukan perubahan ukuran bursa kopulatriks, spikulum, dan vulva flap cacing H.contortus akibat pemberian kedua cendawan.

Studi ini mengkaji prospek pemanfaatan cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae isolat lokal, yang telah dikarakterisasi oleh Ahmad (2003) dan Istiana et al (2002) sebagai agen pengendali hayati cacing H. contortus pada domba. Pemanfaatan kedua cendawan tersebut secara bersamaan sebagai agen pengendali hayati belum banyak dipelajari. Interaksi ekologis yang terjadi antar mikroorganisma dalam pengendalian hayati seperti ini lebih kompleks dibandingkan pengendalian dengan hanya satu agen pengendali hayati. Meskipun diharapkan kedua agen pengendali hayati bekerja secara sinergis dalam mengurangi larva infektif, namun tidak tertutup kemungkinan keduanya akan bersifat antagonis satu sama lain.

Mikroorganisma yang akan digunakan sebagai agen pengendali hayati mikroba patogen harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: (a) mampu secara efektif membunuh/mereduksi mikroba patogen, (b) aman untuk hewan, manusia dan lingkungannya, (c) mudah diperbanyak, dan mudah berkembang biak, (d) mediator mudah diperbanyak, didapat dan murah, serta (e) mudah diaplikasikan (Gronvold et al. 1996; Waller et al. 1997). Disamping itu beberapa agen pengendali hayati yang ideal sebaiknya diisolasi dari mikroba asal lokal sehingga mudah beradaptasi dan bertahan hidup dalam berbagai kondisi, keadaan dan tekanan di lapangan. Isolat tersebut juga harus dapat disimpan dalam jangka waktu relatif lama tanpa kehilangan viabilitasnya.

Konsistensi kemampuan cendawan untuk membunuh cacing parasit yang menjadi target pengendalian merupakan syarat utama yang harus dipenuhi suatu spesies cendawan sebagai kandidat agen pengendali hayati. Konsistensi ini dapat diuji melalui uji reduksi larva in vitro. Apabila cendawan akan diaplikasikan peroral, maka uji ini harus dilanjutkan dengan uji kemampuan reduksi cendawan setelah cekaman akibat pasase melalui saluran pencernaan hewan. Cendawan yang tergolong nematofagus banyak ditemukan, namun hanya sedikit saja yang dapat digunakan, karena kehilangan patogenitasnya terhadap cacing setelah pasase melalui saluran pencernaan atau pun mati karena perlakuan uji tersebut (Waller et al. 1994).

Studi ini secara konsisten memperlihatkan kemampuan kapang nematofagus D. flagrans dalam mereduksi jumlah larva infektif H. contortus

seperti hasil yang didapat penelitian-penelitian terdahulu (Chandrawathani et al. 2004; Gomez-Rincon et al. 2007; Paraud et al. 2007; Waller et al. 2006). Daya reduksi ini juga masih cukup tinggi (57%), meskipun konidiaspora dan klamidosporanya D.flagrans telah dipasase melalui saluran pencernaan domba.

Kemampuan ini terkait dengan kandungan enzim dan atraktan yang dimiliki D.flagrans. Kedua enzim ini mutlak diperlukan oleh cendawan tersebut di dalam menjalankan fungsinya sebagai nematofagus. Atraktan diperlukan kapang nematofagus untuk menarik larva H. contortus menghampiri isolat yang selanjutnya ditangkap dengan jerat lengket yang merupakan modifikasi dari hifa D. flagrans (Gronvold et al. 1993). Larva yang telah terjerat dibunuh, kemudian diambil sebagai sumber nutrisi. Di dalam pembentukan jerat kapang diinduksi oleh beberapa faktor, diantaranya keberadaan larva infektif, suhu, kelembaban dan pH (Nansen et al. 1988).

Beberapa enzim seperti kitinase dan protease sangat diperlukan di dalam mekanisme melisiskan dinding kutikula larva nematoda. Bahan utama kutikula nematoda disusun oleh kitin dan protein (Croll dan Matthew 1977). Proses yang sama telah dijelaskan oleh Nahar (2004) dalam pengendalian serangga. Cendawan ketika kontak pertama kali dengan inang dalam bentuk konidia, dan konidia tersebut melekat dengan inang. Kemudian cendawan melakukan penetrasi ke dalam kutikula insekta dengan bantuan hifa yang dihasilkan oleh konidia. Enzim cendawan seperti kitinase, protease dan lipase akan meliliskan kutikula sehingga mempercepat proses penetrasi. Penyebab kerusakan pada serangga adalah akibat pertumbuhan cendawan yang ekstensif dengan memproduksi toksin. Kutikula serangga terdiri dari kitin, lipid, protein, dan wax. Sedangkan kutikula nematoda terdiri dari kitin, lipid, dan protein. Enzim ekstra seluler dan enzim hildrolitik seperti serine protease, kitinase dan kolagenase berhubungan erat dengan bahan pengganti utama kimiawi dari kutikula dan dinding telur nematoda sehingga menjadi faktor virulensi di dalam mekanisme proses infeksi (Huang et al. 2004; Yang et al. 2007).

Eksplorasi kemampuan khamir S. cerevisiae sebagai agen pengendali hayati cacing nematoda merupakan suatu terobosan baru dari pemanfaatan khamir tersebut bagi peningkatan produksi ternak. Hasil karakterisasi isolat S. cerevisiae memperlihatkan kemampuannya untuk tumbuh dengan baik pada berbagai macam medium, perubahan suhu, intensitas cahaya, cairan rumen dan lama penyimpanan. S. cerevisiae. dapat mengambil sumber karbon dari berbagai

gula rantai pendek seperti sukrosa, dekstrosa, ataupun mengambil karbón dari kentang dan jagung sebagai karbohidrat. Khamir ini dapat pula mengambil karbon dari medium tanpa gula seperti agar murni, meskipun proses pengambilan karbon tersebut memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan gula-gula rantai pendek. Fenomena ini memperlihatkan kemampuan khamir tersebut mampu bertahan hidup tanpa gula. Selain itu S. cerevisiae dapat hidup pada kondisi agar berisi cairan rumen, tanpa cahaya dan dapat disimpan dalam waktu relatif yang cukup lama, Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Dube (1996); Elliot 1994 dan Onion at al. (1987), mengenai kebutuhan dasar untuk hidup cendawan, meskipun ada beberapa pengecualian. Cendawan hidup mengambil makanan dengan cara mengabsorbsi nutrisi dari inang, tidak memerlukan cahaya, dan beberapa cendawan mampu hidup pada keadaan ekstrim.

Meskipun percobaan in vitro pada media agar memperlihatkan kemampuan atraktan S. cerevisiae lebih kuat dibandingkan atraktan dari D. flagrans dalam menarik larva infektif, namun S. cerevisiae tidak memiliki kemampuan membunuh larva. Ketidakmampuan ini terkait dengan tidak adanya pembentukan struktur jerat pada S. cerevisiae serta aktivitas enzim protease intra seluler cendawan S. cerevisiae yang tujuh kali lipat lebih lemah dibandingkan enzim yang sama pada kapang nematofagus D. flagrans. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah larva-larva infektif yang tertarik untuk mendekati cendawan tidak akan mati terperangkap.

Pengamatan pada medium agar memperlihatkan bahwa S. cerevisiae dapat tumbuh bersama dengan D. flagrans (Gambar 12). S. cerevisiae tumbuh menempel di permukaan agar, sedangkan D. flagrans selain tumbuh pada permukaan agar, juga naik dengan sulurnya (hifa) di atas permukaan agar. Meski keduanya dapat tumbuh bersama-sama namun bila nutrisi pada medium agar telah habis maka keduanya akan saling berkompetisi untuk mengambil karbon dan nitrogen dalam rangka mempertahankan hidupnya. Dalam kondisi ini D. flagrans akan mampu bertahan hidup lebih lama dibandingkan S. cerevisiae karena selain memiliki hifa, D. flagrans juga memiliki struktur reproduktif dalam bentuk klamidospora. Klamidospora tersebut mampu bertahan hidup dalam keadaan ekstrim seperti tahan terhadap kekeringan, suhu yang relatif tinggi (Gronvold et al. 1996). Hal inilah yang membuat D. flagrans lebih baik digunakan sebagai kapang nematofagus bila targetnya adalah larva infektif (L3) di luar tubuh

inang (domba, kambing dan hewan lainnya). Hal ini sejalan dengan penelitian Fontenot et al. (2003) yang menunjukan bahwa efisiensi perlakuan di lapang percobaan lebih baik dalam bentuk klamidospora dibandingkan dengan konidia/spora.

Temuan baru yang terungkap dalam studi ini adalah terjadinya perubahan patologis terhadap organ reproduksi H. contortus jantan dan betina dewasa pada domba yang dicekok dengan cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae. Diduga akibat sebagian spora cendawan yang tertelan oleh cacing dewasa di abomasum. Di dalam tubuh cacing cendawan tersebut menghasilkan enzim protease dan kitinase yang akan bersirkulasi dan merusak organ-organ internal cacing. Hal ini tercermin dari peningkatan secara signifikan jumlah sel sperma dan sel telur yang rusak. Fenomena serupa juga diamati oleh Ford et al. (2005) pada cacing nematoda Onchocerca volvulus dimana pemberian enzim elastase, kemotripsin dan katepsin G mempengaruhi proses spermatogenesis dan embriogenesis.

Dalam penelitian ini kedua jenis cendawan diaplikasikan per oral pada domba dengan dosis 1x106 spora per hari selama 5 minggu, dan mulai 4 minggu pasca infeksi H. contortus terjadi penurunan daya tetas. Pada kondisi ini meskipun terjadi perubahan patologis pada spermatosit dan ovum, namun keadaan ini belum menurunkan fekunditas cacing betina yang akan mempengaruhi tingkat kontaminasi larva infektif di lapangan. Pemberian D.flagrans dan S.cerevisiae juga belum berpengaruh ukuran organ reproduksi lain seperti gubernakulum, spikulum, vulva flap, serta jumlah cacing dewasa yang ada di dalam tubuh domba.

Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mempelajari apakah D.flagrans dan S.cerevisiae mampu menurunkan tingkat kontaminasi lapangan dengan menurunkan fekunditas cacing betina atau bahkan menurunkan tingkat keberhasilan infeksi H. contortus dalam tubuh domba. Kedua hal tersebut mungkin dapat dicapai dengan (a) meningkatkan dosis spora dan memperpanjang waktu pemberian, (b) pemberian spora sejak masa pre-paten infeksi. Mekanisme lain terkait dengan penurunan fekunditas cacing yang perlu dipelajari adalah ekspresi peningkatan kekebalan inang sebagai bagian dari imunostimulasi oleh S. cerevisiae. Berbagai studi memperlihatkan salah satu dampak dari peningkatan kekebalan inang terhadap nematoda adalah penurunan fekunditas cacing betina (Stear dan Bishop 1999: Yacob et al. 2006;

Lacroux et al. 2006). Mengingat S.cerevisiae tidak memiliki kemampuan untuk menjerat larva infektif, bila kedua upaya di atas tidak dapat menurunkan tingkat kontaminasi maka S.cerevisiae tidak dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati H. contortus dan nematoda saluran pencernaan lainnya.

Disamping itu hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan dampak negatif pemberian S.cerevisiae terhadap kemampuan reproduksi ternak inang. Penelitian Pitojo (1995) memperlihatkan penurunan aktivitas

spermatogenesis kelinci, akibat hiperplasia testis setelah pemberian S. cerevisiae dengan dosis 60 mg/kg BB setiap hari selama 10 hari. Faktor

keamanan untuk hewan, manusia dan lingkungannya juga merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan dalam penerapan metode pengendalian hayati di lapangan.

Saccharomyces cerevisiae isolat lokal asal Cianjur mampu tumbuh tanpa cahaya, pada berbagai macam medium padat (BA, CMA, SDA, PDA) serta medium cair (SDB), termasuk pada medium agar yang berisi cairan rumen domba, dengan kisaran suhu pertumbuhan dari 22-390C. Isolat ini dapat disimpan sampai dengan 1 tahun pada suhu 4-100C.

• Cendawan Duddingtonia flagrans dan S. cerevisiae memiliki zat atraktan yang berfungsi menarik nematoda menghampiri cendawan. Kedua cendawan memproduksi enzim kitinase ekstra seluler dan intra seluler, serta enzim protease intra seluler dan dalam jumlah terbatas dihasilkan juga enzim protease ekstra seluler.

D. flagrans memiliki kemampuan untuk menjerat larva infektif H. contortus

di dalam media agar dan pupukan tinja. Inokulasi secara bersama antara

D. flagrans dan S. cerevisiae menyebabkan penurunan kemampuan

D. flagrans dalam mereduksi jumlah larva dalam media agar, namun efek antagonistik ini tidak ditemukan pada uji dalam pupukan tinja. Penurunan kemampuan reduksi larva juga terjadi ketika klamidospora dan spora

D.flagrans dipasase melalui saluran pencernaan domba.

S. cerevisiae tidak memiliki kemampuan membunuh larva H.contortus

secara langsung, namun khamir membunuh larva secara tidak langsung dengan cara menjadi kompetitor bagi bakteri yang menjadi sumber pakan L1 dan L2. Kemampuan cendawan dalam mereduksi larva dipengaruhi

oleh dosis pemberian (≥ 1 x1012 spora per hari).

• Pemberian D. flagrans terhadap domba yang diinfeksi H. contortus

menyebabkan perubahan patologis pada sel sperma, sedangkan pemberian S. cerevisiae menyebabkan perubahan pada sel telur dan sel sperma.

• Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mempelajari apakah D. flagrans

dan S. cerevisiae menurunkan tingkat kontaminasi lapangan melalui penurunan fekunditas cacing betina atau tingkat keberhasilan infeksi

H. contortus dalam tubuh domba. Selain itu ekspresi peningkatan kekebalan inang sebagai bagian dari imunostimulasi oleh S. cerevisiae

Dokumen terkait