• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae Dalm Pengendalian Cacing Haemonchus contortus Pada Domba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae Dalm Pengendalian Cacing Haemonchus contortus Pada Domba"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS CENDAWAN

Duddingtonia flagrans

DAN

Saccharomyces cerevisiae

DALAM PENGENDALIAN

CACING

Haemonchus contortus

PADA DOMBA

RIZA ZAINUDDIN AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini

Bogor, Januari 2008

(3)

ABSTRACT

RIZA ZAINUDDIN AHMAD. The Efectivity of Duddingtonia flagrans and

Saccharomyces cerevisiae fungi in controlling Haemonchus contortus

worm in sheep. Under the Supervision of Fadjar Satrija, Nampiah Sukarno, and Fachriyan Hasmi Pasaribu.

Duddingtonia flagrans mold was applied as the biological control to Haemonchus contortus worm. The preliminary study showed that the prospect of using Saccharomyces cerevisiae as agent of biological control could be combined with D. flagrans. This study was carried out in four steps experiment to study effectivity of D. flagrans and S. cerevisiae as biological control agents for H. contortus in sheep.

The first step was to study characteristic of S.cerevisiae growth to various effects of medium, light intensity, temperature, rumen fluid and storing time. The test was carried out by inoculating this yeast in media and then was given by above treatments. This experiment showed that the growth of yeast was not effected by these treatments.

The activity of chitinase, protease enzymes and attractant of both fungi were observed in the second step of experiment. The test was carried out by harvesting fungi in agar media, and then the content of these enzymes were observed. The worms larvae which approached to the fungi was assayed for attractant . The activitiy of intra celluler chitinase of D.flagrans and S.cerevisiae were: 3.1812 units/gr and 4.2563 units/gr, respectively. The content of protease activity were 7.1315 units/gr for D.flagrans and 0.0052 unit/gr for S.cerevisiae. Meanwhile, the activity assayed of extra celluler chitinase in D.flagrans and S.cerevisiae were: 2.1724 units/gr dan 2.1812 units/gr, respectively. Meanwhile, the protease activity of both fungi were relatively small. The attractant of S. cerevisiae was (45%) higher than D. flagrans (40%).

The third step was to study the effect of D. flagrans and S. cerevisiae spores by in vitro assayed to find out its ability to reduce H.contortus L3 in agar medium and coproculture. The assayed was carried out by administration both fungi to L3in agar medium and coproculture. The result of experiment showed that larvae was significantly reduced by D. flagrans in both media. S. cerevisiae did not kill larvae directly, but It acted a bacteria competitor which was needed for developing larvae in coproculture.

The fourth step was to study the effect of drenching D. flagrans and S. cerevisiae spores on microscopical structure of reproduction organ, L3 reduce and worm fecundity in infected sheep by H. contortus. The assayed test were carried out by administration both fungi to infected sheep. The observation of histopathological changes in female reproduction organ (ovum) and male (sperm) showed that the treatment groups were significantly different compared to the control group (P<0.01). D.flagrans only destroyed spermatocid cells significantly (P <0.01). S. cerevisiae destroyed spermatocid cells and ovum cells significantly (P<0.01). The administration of both fungi did not effect the size of reproduction organs i e. copulatriks bursae, spiculum and vulva flap. The administration of D.flagrans in in vivo could significantly reduced H.contortus larvae (P<0.05) in infected sheep. Base on all results above we concluded that D.flagrans and S.cerevisiae seem could be use as biological control againts H.contortus.

(4)

RINGKASAN

RIZA ZAINUDDIN AHMAD. Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba. Dibimbing oleh Fadjar Satrija, Nampiah Sukarno, dan Fachriyan Hasmi Pasaribu.

Kapang Duddingtonia flagrans telah digunakan sebagai pengendalian hayati terhadap cacing parasit saluran pencernaan, termasuk Haemonchus contortus di berbagai negara. Penelitian pendahuluan memperlihatkan prospek pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae sebagai agen pengendali hayati yang dapat dikombinasikan dengan D. flagrans. Studi ini dilakukan dalam empat tahap percobaan untuk mempelajari efektivitas D. flagrans dan S. cerevisiae sebagai agen pengendali hayati cacing H. contortus pada domba.

Percobaan tahap pertama mempelajari karakter pertumbuhan S.cerevisiae isolat lokal yang akan digunakan. Uji pengaruh media, intensitas

cahaya, suhu, cairan rumen dan waktu simpan terhadap pertumbuhan S. cerevisiae dilakukan dengan cara menginokulasi khamir tersebut pada media

(Bacto Agar, Corn Meal Agar, Potato Dextrose Agar, Sabouraud Dextrose Agar, dan Sabouraud Dextrose Broth), media yang terkena cahaya dan tidak, diberi cairan rumen yang telah disaring atau tidak, media bersuhu 22-30oC, 25oC, 37oC, dan 39oC, waktu simpan 1-12 bulan. Percobaan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan khamir tidak dipengaruhi oleh jenis medium, aplikasi cahaya, rumen dan temperatur. Viabilitas dari sel khamir tidak juga dipengaruhi oleh perlakuan penyimpanan sampai dengan 12 bulan pada suhu 4-10oC.

Aktivitas enzim kitinase, protease dan zat atraktan yang terkandung dalam kedua cendawan diamati pada percobaan tahap kedua. Uji enzim dilakukan dengan menginokulasikan kedua cendawan tersebut pada media agar, kemudian memanennya dan diperiksa aktivitas enzim intra seluler dan ekstra seluler yang dikandungnya. Hasil yang diperoleh aktivitas kitinase intra seluler pada D. flagrans dan S. cerevisiae sebesar: 3,1812 unit/gr dan 4,2563 unit/gr, dan kandungan aktivitas protease adalah: 7,1315 unit/gr pada D.flagrans dan 0,0052 unit/gr pada S.cerevisiae. Sedangkan uji aktivitas kandungan enzim ekstra seluler kitinase pada D. flagrans dan S.cerevisiae adalah: 2,1724 gr/unit dan 2,1812 unit/gr, sedangkan kandungan proteasenya adalah 0,0003 unit/gr pada D. flagrans dan 0,00 unit/gr pada S. cerevisiae. Adapun kandungan atraktan yang dimiliki S. cerevisiae sebanyak (45%) adalah lebih besar dibandingkan dengan D. flagrans (40%).

(5)

C. Diberi D.flagrans dosis bertingkat; D dan E Diberi. S.cerevisiae dosis bertingkat. Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 5 ulangan. Hasil percobaan ini memperlihatkan kemampuan D.flagrans secara nyata dapat mereduksi larva H.contortus pada kedua media tersebut. Cendawan D.flagrans dan S. cerevisiae dapat tumbuh/ berinteraksi pada media agar. Khamir S. cerevisiae secara in vitro tidak dapat membunuh larva secara langsung. Namun spora S.cerevisiae yang diberikan dengan dosis tinggi akan tumbuh dalam pupukan tinja dan menjadi kompetitor dalam memperebutkan sumber nutrisi yang diperlukan bagi perkembangan larva.

Pada percobaan in vivo tahap keempat ini dipelajari pengaruh pencekokan spora D. flagrans dan S. cerevisiae terhadap struktur mikroskopik organ reproduksi serta fekunditas cacing pada domba yang diinfeksi H.contortus. Uji dilakukan sebagai berikut; 20 ekor (4 kelompok) domba dengan perlakuan yang telah bebas cacing dan diinfeksi kembali, diberi perlakuan selama 5 minggu sebagai berikut; I. (kontrol), II. Diberi D. flagrans, III. Diberi S. cerevisiae, IV. Diberi D. flagrans dan S. cerevisiae. Pada perlakuan ini kemudian diperiksa jumlah telur pergram tinja, daya tetas telur larva pergram tinja setiap minggu. Sedangkan fekunditas, jumlah cacing dewasa dan perubahan organ reproduksi cacing betina dan jantan dewasa diamati setelah domba dikurbankan pada akhir perlakuan. Pengamatan histopatologi terhadap organ reproduksi betina (ovum) dan jantan (sperma) menunjukkan perubahan signifikan (P<0,01) antara kelompok kontrol dan perlakuan. Kapang D. flagrans secara signifikan hanya merusak sel spermatosit cacing jantan. Dalam perlakuan yang sama pemberian S. cerevisiae secara signifikan menimbulkan kerusakan pada sel spermatosit cacing jantan dan sel ovum cacing betina. Pemberian D. flagrans secara in vivo mampu mereduksi larva H. contortus secara nyata (P<0,05) pada domba yang diinfeksi cacing H. contortus. Pemberian kedua cendawan ini tidak mempengaruhi terhadap ukuran organ reproduksi bursa kopulatriks, spikulum dan vulva flap. Berdasarkan seluruh hasil studi di atas kami menyimpulkan bahwa D.flagrans dan S.cerevisiae tampaknya dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati cacing H.contortus.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup: Drh. Risa Tiuria, MS, PhD Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Ika Mustika

(8)

EFEKTIVITAS CENDAWAN

Duddingtonia flagrans

DAN

Saccharomyces cerevisiae

DALAM PENGENDALIAN

CACING

Haemonchus contortus

PADA DOMBA

RIZA ZAINUDDIN AHMAD

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Disertasi : Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba

Nama : Riza Zainuddin Ahmad NIM : B 063050051

Disetujui, Komisi Pembimbing

Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD Ketua

Dr. Ir. Nampiah Sukarno Prof. Dr. Drh. Fachriyan H Pasaribu Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner

Dekan Sekolah PascaSarjana IPB

Drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdullilah dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2006 ini ialah pengendalian hayati dengan judul Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD, Dr. Ir. Nampiah Sukarno dan Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku pembimbing, serta Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. yang telah banyak memberi saran dan arahan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai, peneliti, teknisi Balai Besar Penelitian Veteriner, Departemen Pertanian, dosen dan teknisi Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan fasilitas, membantu mengumpulkan data dari awal hingga terselesainya penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga, istri, anak dan Dewan Kesejahteraan Mesjid di Bogor atas bantuan moril, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Nopember 1964 di Jakarta, merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara dari pasangan Alm. Zainuddin Ahmad MSc dan H. Suryati. Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Kedokteran Hewan di FKH IPB, dan lulus pada tahun 1987. Setahun kemudian, penulis menyelesaikan pendidikan Dokter Hewan di perguruan tinggi yang sama. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan studi pendidikan S2 di Fakultas PascaSarjana di IPB juga.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Cacing H.contortus ... 4

Klasifikasi dan Morfologi ... 4

Patogenesis ... 6

Epidemiologi dan Pengendalian ... 6

Kapang Nematofagus D. flagrans ... 6

Klasifikasi dan Morfologi ... 7

Mekanisme memangsa nematoda ... 7

Karakter D. flagrans isolat lokal ... 8

Khamir S. cerevisiae ... 9

Klasifikasi dan Morfologi ... 9

Siklus hidup ... 10

Pemanfaatan S.cerevisiae ... 11

Pengaruh terhadap reproduksi cacing ... 12

Enzim ... 12

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA,TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN Abstract ... 14

(13)

Halaman

Pendahuluan ... 15

Bahan dan Metode ... 17

Hasil dan Pembahasan ... 20

Kesimpulan ... 27

AKTIVITAS ENZIM KITINASE, PROTEASE DAN ZAT KEMOATRAKTAN YANG TERKANDUNG PADA Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae Abstract ... 28

Abstrak ... 28

Pendahuluan ... 29

Bahan dan Metode ... 30

Hasil dan Pembahasan ... 34

Kesimpulan ... 37

INTERAKSI ANTARA Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DENGAN LARVA INFEKTIF Haemonchus contortus PADA MEDIUM AGAR DAN PUPUKAN TINJA Abstract ... 38

Abstrak ... 38

Pendahuluan ... 39

Bahan dan Metode ... 41

Hasil dan Pembahasan ... 44

Kesimpulan ... 50

GANGGUAN FUNGSI REPRODUKSI CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA YANG DIBERI CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae Abstract ... 51

Abstrak ... 51

Pendahuluan ... 52

Bahan dan Metode ... 53

(14)

Halaman

Kesimpulan ... 65

PEMBAHASAN UMUM ... 66

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pertumbuhan S. cerevisiae pada berbagai macam medium setelah

diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar (22-310C) ... 21

2 Pengaruh cahaya, pemberian cairan rumen, lama penyimpanandan temperatur terhadap pertumbuhan S. cerevisiae pada umur 3 hari setelah inokulasi sel ... 24

3 Aktivitas enzim intra seluler Kitinase dan Protease yang dimiliki oleh D. flagrans dan S. cerevisiae ... 34

4 Aktivitas ekstra seluler enzim Kitinase dan Protease yang dimiliki oleh D. flagrans dan S. cerevisiae ... 34

5 Kelompok agar percobaan dan perlakuannya ... 42

6 Kelompok hewan dan perlakuan (tahap I) ... 42

7 Kelompok hewan dan perlakuan (tahap II) ... 43

8 Jumlah L3 H.contortus yang bertahan hidup pada uji kemampuan reduksi D.flagrans S. cerevisiae dalam medium agar ... 48

9 Kemampuan reduksi D.flagrans dan S. cerevisiae terhadap larva H. contortus pada pupukan tinja ... 48

10 Kemampuan reduksi D.flagrans dan S. cerevisiae setelah pasase di saluran pencernaan terhadap larva H. contortus pada pupukan tinja ………... 49

11 Pembagian Kelompok hewan dan perlakuan ... 54

12 Persentase jumlah telur yang berkembang menjadi larva3 selama 5 minggu ... 58

13 Fekunditas cacing ... 58

14 Jumlah cacing yang ditemukan di abomasum domba ... 59

15 Persentase perubahan patologis pada alat reproduksi (spermatosit) cacing jantan ... 63

16 Ukuran bursa kopulatriks dan spikulum cacing jantan ... 63

17 Persentase perubahan patologis pada alat reproduksi (ovum) cacing betina ... 64

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus ... 4

2 Siklus hidup H.contortus ... 5

3 Klamisdospora dan konidia D. flagrans, perbesaran 10 x 40, pewarnaan H.E ... 7

4 Mekanisme kapang pemangsa larva cacing ... 9

5 Isolat S. cerevisiae, perbesaran 10 x 40, pewarnaan laktofenol blue ... 10

6 Pertumbuhan S.cerevisiae pada berbagai medium ... 22

7 Pertumbuhan S. cerevisiae dengan perlakuan ... 23

8 Pertumbuhan S. cerevisiae pada berbagai macam suhu ... 23

9 Pertumbuhan S. cerevisiae setelah disimpan ... 25

10 Persentase larva H. contortus yang bergerak mendekati isolat uji ……. 36

11 Larva3H. contortus yang dibunuh oleh kapang D. flagrans pada media agar CMA, inkubasi 4 hari pada suhu kamar ... 44

12 Kapang D.flagrans dan S.cerevisiae yang tumbuh pada media agar CMA inkubasi 4 hari pada suhu kamar ... 45

13 Jumlah telur pergram tinja (EPG/ TPG) selama 5 minggu ... 57

14 Potongan longitudinal inti spermatosit pada testis cacing jantan ... 60

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pembuatan Media Agar ... 79

2 Penghitungan Telur Pergram Tinja ... 80

3 Penghitungan Larva Pergram Tinja ... 81

4 Pembuatan Slide Preparat ... 82

5 Pembuatan Larutan Buffer Neutral Formaline (BNF) ... 83

6 Pewarnaan dengan Hemaktosilin Eosin (HE) ... 84

7 Pewarnaan dengan Minyak Cengkeh (MC) ... 85

(18)

Latar Belakang

Kecacingan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi

peternakan ruminansia kecil di Indonesia. Cacing parasit yang penting pada

domba adalah Haemonchus contortus yang menyebabkan haemonchosis.

Infeksi cacing penghisap darah ini menyebabkan penurunan bobot badan, diare,

kekurusan dan kadang-kadang kematian ternak (Soulsby 1986). Sigi lapang di

beberapa daerah di Propinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa umumnya seekor

hewan dapat terinfeksi oleh 3-4 macam spesies yang didominasi oleh cacing

H. contortus dan Trichostrongylus spp. dengan rata-rata prevalensi sebesar 67%

(Kusumamihardja dan Zalizar 1992). Kerugian akibat infeksi nematoda termasuk

H. contortus pada kambing diperkirakan mencapai Rp 7.000.000.000/tahun

(Rachmat et al. 1998) serta diperkirakan terus meningkat bila tidak dilakukan

upaya pengendalian dengan sungguh-sungguh.

Haemonchosis dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Penggunaan

obat anti cacing (anthelmintika) untuk membunuh/mengusir cacing dalam tubuh

hewan, merupakan cara yang umum digunakan. Keuntungan metode ini dapat

dengan cepat menekan infeksi dan mengurangi efek patofisiologisnya. Meskipun

demikian, penggunaan anthelmintika yang sama dalam jangka panjang beresiko

menyebabkan resistensi cacing terhadap obat dan adanya residu pada organ.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal, penggunaan antelmintika ini harus

dipadukan dengan manajemen beternak yang baik untuk mengurangi

kemungkinan kontak antara ternak dengan larva infektif. Alternatif lain dalam

pengendalian haemonchosis yaitu dengan pengendalian biologis menggunakan

agen hayati, serta pengembangan vaksin dan seleksi ras ternak yang tahan

terhadap parasit (Patra 2007; Waller dan Larsen 1994; Waller et al. 2006).

Upaya pengendalian haemonchosis pada peternakan domba di

Indonesia, sulit dilaksanakan karena hewan dipelihara dengan pola peternakan

tradisional yang kurang memperhatikan manejemen pemeliharaan dan

kesehatan hewan. Saat ini penanggulangan umumnya dilakukan dengan

pemberian anthelmintika, namun berbagai studi menemukan adanya resistensi

akibat pemakaian dalam jangka panjang dengan dosis yang kurang tepat dari

(19)

et al. 2001).Untuk itu perlu dicari suatu cara penanggulangan penyakit cacing H.

contortus yang lebih efektif dan efisien.

Penelitian penggunaan Duddingtonia flagrans sebagai pengendali hayati

parasit cacing nematoda pada ternak sudah banyak dilakukan di beberapa

negara. Cendawan ini bekerja dengan cara menangkap larva infektif (L3) di

lapangan sehingga akan menurunkan tingkat kontaminasi larva di lapangan.

Pemberian konidiaspora D. flagrans pada domba dapat menurunkan tingkat

kontaminasi larva H.contortus di lapangan sebesar 70-90% (Larsen 2000;

Chandrawathani et al. 2004; Waller 1997). Uji coba pengendalian hayati

haemonchosis dengan menggunakan cendawan D. flagrans, juga sudah

dilakukan di Indonesia sejak tahun 2000 dengan tingkat reduksi larva sebesar

70% (Beriajaya et al. 2001; Ahmad et al. 2002).

Dalam bidang peternakan khamir Saccharomyces cerevisiae digunakan

secara komersial sebagai probiotik dan imunostimulan untuk ternak (Agarwal et

al. 2000; Kompiang 2002; Fox 2002; Thanardkit et al. 2002). Penelitian

pendahuluan menunjukkan bahwa pemberian S. cerevisiae dalam tape sebagai

pakan pada cacing tanah (Lumbricus sp.) berdampak pada penurunan

kemampuan produksi kokon (telur) cacing tanah. Hasil ini sejalan dengan

penelitian Pitojo (1995), yang dapat memperlihatkan penurunan kemampuan

reproduksi kelinci jantan pasca pemberian ragi Saccharomyces sp. Fenomena ini

membuka peluang kemungkinan penggunaan Saccharomyces cerevisiae untuk

menurunkan kemampuan reproduksi cacing parasit.

Penggunaan kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae secara

simultan diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengendalian hayati

H. contortus. Peningkatan efektivitas tersebut dapat dicapai melalui reduksi

jumlah larva oleh kapang nematofagus D. flagrans di lapangan, dan pada saat

yang sama terjadi pula penurunan kemampuan reproduksi cacing dewasa di

dalam tubuh domba. Oleh karena itu perlu dipelajari interaksi yang mungkin

terjadi antara kapang dan khamir tersebut.

Studi ini dilakukan melalui rangkaian empat tahap percobaan. Pada tahap

pertama, karakter isolat lokal S. cerevisiae yang akan digunakan sebagai

kandidat pengendali hayati terhadap H. contortus dipelajari dengan menguji

pengaruh berbagai medium, temperatur, kebutuhan terhadap cahaya, cairan

rumen dan waktu simpan bahan terhadap pertumbuhan isolat coba. Tahap

(20)

D. flagrans dan S. cerevisiae yang mungkin berperan dalam mekanisme

pengendalian H. contortus. Pada tahap ketiga diuji kemampuan membunuh

secara in vitro dan interaksi yang terjadi antara kedua cendawan pada medium

agar dan tinja. Percobaan dilakukan untuk menguji daya reduksi terhadap L3.

Untuk lebih meyakinkan isolat tersebut dapat digunakan sebagai pengendali

hayati, maka pada tahap keempat dilakukan uji kemampuan isolat tersebut

sebagai pengendali biologis terhadap H. contortus. Di dalam tahap ini dilakukan

juga pengamatan terhadap perubahan organ reproduksi, fekunditas, produksi

dan daya tetas telur, dan populasi cacing dewasa.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari sifat-sifat isolat lokal S. cerevisiae sebagai cendawan

kandidat pengendali biologis H. contortus.

2. Mengevaluasi kemampuan masing-masing cendawan D. flagrans dan

S. cerevisiae dan interaksinya dalam mereduksi jumlah larva stadium 3

(L3) H. contortus secara in vitro.

3. Mempelajari mekanisme penurunan jumlah larva oleh D. flagrans dengan

S. cerevisiae dan interaksinya pada uji in vitro dan in vivo.

4. Mempelajari perubahan patologis organ reproduksi cacing dewasa

setelah pemberian cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae.

Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil studi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam

penggunaan kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae sebagai agen

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing H. contortus

Klasifikasi dan Morfologi

Haemonchus contortus adalah cacing dari Kelas Nematoda, Ordo

Strongylida dan Super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam

abomasum ruminansia kecil termasuk domba dan kambing. Cacing jantan

panjangnya 10-20 mm, dan betina 18-30 mm. Cacing jantan dan betina dapat

dibedakan melalui pengamatan morfologi organ reproduksinya (Urquhart et al.

1987).

Organ reproduksi cacing betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus dan

diakhiri dengan vagina pendek yang bermuara pada vulva. Uterus dan vagina

dihubungkan dengan ovijector. Cacing betina mempunyai vulva flap yang

berfungsi dalam proses kopulasi dan pengeluaran telur. Setiap ekor cacing

betina dewasa mampu bertelur sampai 10.000 butir perhari.

Gambar 1. Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus. jantan(A) dan betina (B). (V) vulva flap, (BK) Bursa Kopulatriks, (G) Gubernakulum (S)

Spikulum. Pewarnaan minyak cengkeh. Pembesaran 10 x10

S B

V A

BK

G

(22)

Cacing jantan memiliki organ reproduksi yang terdiri dari testis tunggal

yang memanjang dan vas deferens berujung di duktus ejakulatori. Selain itu,

terdapat asesori organ reproduksi yang terdiri dari sepasang spikulum dan

gubernakulum. Pada saat kopulasi, spikulum yang diarahkan oleh gubernakulum

dimasukkan ke dalam untuk menyalurkan sperma. Pada ujung posterior tubuh

cacing jantan, ditemukan pelebaran kutikula yang disebut bursa kopulatriks.

Organ ini berfungsi membantu proses pelekatan cacing jantan dan betina pada

saat proses kopulasi (Gambar1).

Gambar 2. Siklus hidup H. contortus

(23)

H. contortus siklus hidupnya langsung dan terdiri dari fase pre-parasitik

(hidup bebas) di luar tubuh induk semang (inang), serta fase parasitik dalam

tubuh inangnya. Siklus dimulai dengan keluarnya telur yang diproduksi cacing

betina bersama tinja inang. Pada suhu dan kelembaban optimal (18-260C; 80-100% RH) telur akan menetas mengeluarkan larva stadium 1 (L1). Setelah

melalui dua kali molting larva tersebut kemudian berkembang menjadi L2 dan

selanjutnya L3 (larva infektif) dalam waktu 4-6 hari. Selanjutnya L3 berpindah ke

rerumputan atau batang semak. Domba akan terinfeksi bila memakan

rerumputan yang mengandung L3. Di dalam inang L3 akan berkembang dan

tumbuh menjadi (L4) atau disebut tahappradewasa. Selanjutnya L4 berkembang

menjadi larva5 (L5) atau tahapan dewasa yang siap bertelur pada hari ke-15

sampai ke-20 setelah infeksi (Urquhart et al. 1987) (Gambar 2).

Patogenesis

Gangguan Infeksi ditimbulkan ketika L4 dan cacing dewasa menghisap

darah pada mukosa abomasum. Setiap ekor cacing mampu menghisap 0,05 ml

darah setiap hari. Domba yang terinfeksi cacing mengalami kekurusan, kurang

darah dan kematian. Hipoproteinemia juga sering terjadi pada domba yang

terinfeksi serta mengakibatkan udema yang dikenal dengan istilah bottle jaw.

Epidemiologi dan pengendalian

Diperkirakan prevalensi infeksi cacing parasit gastrointestinal termasuk

cacing H. contortus mencapai 80% dari seluruh populasi ruminansia kecil (domba

dan kambing) di Indonesia (Satrija dan Beriajaya 1998). Penelitian di Jawa Barat

menunjukkan bahwa infeksi mulai terjadi pada awal musim hujan dan mencapai

puncaknya menjelang akhir musim hujan (Ridwan et al. 1996).

Penanggulangan penyakit haemonchosis umumnya dilakukan dengan

menggunakan obat nematoda (antelmintika) secara berkala, namun pemakaian

antelmintika secara terus-menerus akan menimbulkan galur nematoda yang

tahan (resisten) terhadap anthelmintika. Resistensi akan lebih cepat terjadi bila

dipakai terus menerus dengan dosis dan cara pemberian yang tidak tepat

(Waller 1997; Haryuningtyas et al. 2001).

Pengendalian hayati merupakan salah satu alternatif dalam upaya

pengendalian haemonchosis. Pada dasarnya pengendalian hayati adalah upaya

(24)

kerugian pada inangnya. Namun harus diingat bahwa agen tidak membunuh

seluruh populasi penyebab penyakit (Larsen 2000). Agen hayati pengendali

biologis harus aman bagi inang dan lingkungannya. Untuk memenuhi hal

tersebut perlu dipenuhi syarat-syaratnya yaitu aman, mudah didapat,

diperbanyak, dan mampu membunuh agen penyebab penyakit. Oleh karena itu,

meski banyak isolat yang tergolong nematofagus namun hanya sedikit yang

dapat digunakan.

Kapang Nematofagus D. flagrans

Klasifikasi dan morfologi

D. flagrans ialah kapang yang tergolong ke dalam kelas Deuteromycetes

dan famili Moniliaceae (Yeates 2000; Jacobs 2002). D. flagrans termasuk dalam

kelompok kapang bermitospora. Kapang ini berkembang biak secara aseksual

(anamorf), dengan bantuan spora (konidia)(Gambar 3). Berdasarkan analisis

sekuen 18S rDNA menunjukkan bahwa D. flagrans berkerabat dekat dengan

Arthrobotrys oligospora (Yeates 2000; Ahren 2002) sehingga kemampuan kedua

kapang tersebut sering dibandingkan.

Gambar 3. Klamisdospora (A) dan konidia (B) D.flagrans. Perbesaran 10 x 40, pewarnaan H.E

Habitat D. flagrans sama seperti kapang nematofagus lainnya yaitu

tumbuh pada suhu 20-30oC, kelembaban 90%, pH sedikit asam bergantung pada spesiesnya, memerlukan oksigen dan sedikit mineral, dapat tumbuh pada tanah

pertanian dan bekas pemeliharaan ternak. Mampu membentuk jerat pada

temperatur antara 10-35oC, dan setelah diinkubasi selama 3 minggu umumnya

A

B

(25)

akan membentuk klamidospora (Gronvold et al. 1996a). Klamidospora adalah

modifikasi dari hifa berupa penebalan dinding sel-sel hifa yang membentuk

struktur reproduksi, namun fungsi sebenarnya untuk mempertahankan diri.

Dalam bentuk klamidospora, D. flagrans tahan terhadap perubahan suhu, iklim

yang ekstrim. Kapang D. flagrans mempunyai beberapa keunggulan, yaitu tidak

menyebabkan terjadinya keracunan pada inang, efektif membunuh larva cacing

nematoda ternak dan mudah diaplikasikan (Larsen 2000).

Mekanisme memangsa nematoda

D. flagrans termasuk golongan kapang nematofagus yang bekerja

mengendalikan parasit nematoda sebagai predator larva, membunuh cacing

dengan cara membuat perangkap terhadap larva infektif. Pada saat larva

bergerak mengenai hifa, kapang ini akan mengeluarkan zat kemoatraktan yang

mengandung sekresi. Larva yang tertarik datang, akan melekat pada hifa dan

selanjutnya dijerat oleh hifa vegetatif. Selanjutnya kapang mensekresikan enzim

pengurai kutikula untuk memudahkan hifa melakukan penetrasi pada kutikula

(Gronvold et al. 1993). Hifa vegetatif yang masuk ke dalam tubuh larva akan

tumbuh dan berkembang hingga larva akhirnya mati (Gambar 4).

Kapang D. flagrans mempunyai kemampuan memproduksi enzim

kitinase dan protease (Ahman 2000; Meyer dan Wiebe 2003) yang akan dipakai

dalam proses pengendalian parasit nematoda. Selain itu juga mempunyai

nematotoksin yaitu lektin yang diduga turut membantu di dalam membunuh larva

(Rosen 1996). Namun pada penelitian lain diketahui bahwa lektin dalam kapang

A. oligospora yang sekelas dengan D. flagrans tidak efektif membunuh larva

(Birck et al. 2004).

D. flagrans adalah kapang nematofagus pilihan untuk mengendalikan

larva parasit cacing nematoda pada ternak di masa kini dan mendatang. Pilihan

tersebut berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Gronvold et

al. 1993; Larsen 2000, Patra 2007). Kapang D. flagrans lebih efektif dan efisien

dalam membunuh larva nematoda dibandingkan dengan Arthrobotrys spp, meski

Arthrobotrys oligopora dapat memproduksi lebih banyak konidia dengan

perlakuan yang sama (Mendoza-Degives et al. 1999). Hal ini disebabkan

kemampuan D. flagrans untuk membentuk klamidospora.

(26)

Karakter D. flagrans isolat lokal

Isolat D. flagrans yang digunakan dalam studi ini merupakan isolat lokal

dari tanah asal Bogor pada tahun 2001. Karakterisasi isolat tersebut telah

dilakukan untuk mempelajari potensinya sebagai kapang nematofagus (Ahmad

2003). Kapang tersebut dapat tumbuh pada berbagai macam medium CMA,

PDA, SDA, tumbuh pada suhu 22 - 300C, dapat membuat jerat untuk larva infektif, mereduksi larva H. contortus, memerlukan cahaya, dan tahan disimpan

selama 4 bulan pada kulkas (suhu 4 - 100C)

Gambar 4. Mekanisme kapang pemangsa larva cacing

A. Konidia kapang nematofagus. B. Larva III H.contortus

(Sumber : Barron 1977)

Khamir S. cerevisiae

Klasifikasi dan morfologi

Saccharomyces cerevisiae ialah salah satu cendawan yang tergolong ke

dalam kelompok khamir. Berasal dari kata Saccharo (sugar) dan Myces (fungi)

yang artinya cendawan gula. Pada saat berkembang biak khamir akan

membelah diri dan menghasilkan tunas yang berkecambah multipolar. Tunas

yang terbentuk terdapat di seluruh permukaan dinding. Diameter spora

berukuran 5-10 µ. Khamir S. cerevisiae tergolong dalam kelas Saccharomycetes

dan famili Saccharomycetaceae (Dube 1996). S. cerevisiae merupakan khamir

bersel tunggal yang berkembang biak secara aseksual dan seksual dengan

cepat. Perkembangbiakan melalui tunas kecambah multipolar dan tunas dapat

terbentuk pada seluruh permukaan dinding sel (Gambar 5). Reproduksi seksual

membentuk askospora di dalam askus. Di dalam satu askus umumnya terdapat

4 buah askospora dengan berbagai bentuk. Khamir ini mempunyai ciri morfologi

(27)

mikroskopis membentuk blastospora (spora) yang berbentuk bulat lonjong,

silindris, oval atau bulat telur pendek dan panjangnya yang dipengaruhi oleh

strain (Elliot 1994; Dube 1996).

Gambar 5. Isolat S. cerevisiae , perbesaran 10 x 40, pewarnaan laktofenol blue. A. Sel spora

Menurut besarnya sel ada 3 kelompok khamir yaitu: Kelompok yang

pertama besar selnya berukuran (3,5-10,0) x (5,0-19)μ; kelompok yang kedua berukuran (3,0-8,0) x (4,0-18) μ dan kelompok ketiga (2,5-7,0) x (4,5-18) μ. Selain ketiga macam bentuk sel di atas, ada juga sel berfilamen yang terdapat

pada spora berukuran lebih besar dari 30 μ dan berpseudomiselium. Sedangkan morfologi makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna putih, krim

abu-abu hingga kecoklatan, permukaan koloni berkilau sampai kusam, licin, dengan

tekstur lunak (Lodder 1970; Barnet et al. 2000).

Siklus hidup

Khamir ini mempunyai perubahan pada fase haploid dengan sebuah

diplofase yang sebenarnya. Strain haploid memiliki salah satu dari 2 tipe kawin

yaitu a dan α, dan sel-sel dengan tipe kawin berbeda dapat bercampur melakukan perkawinan. Peleburan ke dua sel diikuti dengan peleburan inti, dan

tunas pertama yang dihasilkan adalah zigote yang berisi sebuah inti yang

diploid. Diplo fase dibentuk sampai kondisi lingkungan cocok untuk menginduksi

terjadinya sporulasi, Keseluruhan sel dikonversi kedalam sebuah askus; terjadi

A

(28)

miosis dan dihasilkan 4 askospora. Germinasi dari askospora kembali lagi dari

permulaan haplofase (Elliot 1994).

S. cerevisiae dapat memproduksi beberapa macam enzim yang penting,

seperti kitinase dan protease untuk mendukung mekanisme dalam pengendalian

terhadap H.contortus bila diinduksi oleh kondisi tertentu (Carstens et al. 2003;

Poulsen et al. 2006). S. cerevisiae juga memiliki enzim-enzim lainnya seperti

asparaginase dan katalase serta berkemampuan berfermentasi, berasimilasi,

dan memperbanyak diri dengan cepat (Dunlop dan Roon 1975; Petrova et al.

2002; Selvaggini et al. 2004).

Pemanfaatan S. cerevisiae

S. cerevisiae telah banyak digunakan untuk kepentingan manusia mulai

zaman Mesir kuno dipakai sebagai ragi dalam pembuatan roti, sebagai

pengembang adonan. Sejalan dengan kemajuan teknologi, S. cerevisiae mulai

digunakan untuk berbagai keperluan bioteknologi khususnya rekayasa genetik.

Khamir ini diketahui sebagai genomik eukariotik pertama yang telah

disekuensing secara lengkap, dipakai untuk pengembangan pengetahuan dasar

tentang fungsi dan organisasi dari fisiologi dan sel genetika eukariotik. Selain itu

S. cerevisiae dapat digunakan sebagai probiotik, imunostimulan dan dipakai

sebagai vitamin B komplek. Di dalam industri alkohol digunakan pula sebagai

cendawan penghasil alkohol (etanol), pembuat bir. (Dube 1996: Ahmad 2005a).

Di bidang Veteriner dan Peternakan S. cerevisiae digunakan sebagai

probiotik, feed aditif bersama-sama dengan mikroba lainnya khususnya bakteri

yang menguntungkan untuk ternak seperti Bacillus pumilus, Lactobacillus

acidophilus, Streptococcus lactis (Shin et al. 1989). Sebagai probiotik S.

cerevisiae akan meningkatkan asupan nutrisi dengan cara mendapatkan lebih

banyak nutrisi dari sumber pakan ternak sehingga pada akhirnya akan

meningkatkan bobot badan domba dan sapi (Chaucheyras et al. 1996, 2005;

Callaway dan Martin 1997; Sullivan dan Martin 1999; Ratnaningsih 2000).

S. cerevisiae dapat digunakan sebagai imunostimulan pada hewan dengan cara

meningkatkan kesehatan hewan. Adapun bagian yang digunakan untuk bahan

imunostimulan adalah dinding sel S. cerevisiae khususnya bagian Beta glukan

dan Mannan. Imunostimulan digunakan untuk ternak hewan dan ikan di dalam

(29)

(Estrada et al. 1997; Fox 2002; Sitthipun et al. 2000), misalnya pada ayam

mampu menurunkan populasi Salmonella thyphimurium (Istiana et al. 2002).

Pengaruh terhadap reproduksi cacing

S. cerevisiae umumnya digunakan sebagai probiotik dan imunostimulan,

namun belum ada penelitian yang menggunakan cendawan ini sebagai

pengendali biologis. Pada percobaan pendahuluan pemberian S. cerevisiae

pada cacing tanah (Lumbricus sp.) dapat menaikkan bobot badan dan

menurunkan produksi kokon (telur). Pada media koprokultur S. cerevisiae dapat

menurunkan larva H. contortus baik dalam dosis tunggal maupun kombinasi

dengan D. flagrans.

Pemberian S. cerevisiae dalam jumlah tertentu, dapat merusak proses

spermatogenesis pada saluran reproduksi, pada kelinci terjadi karena

terhambatnya proses spermatogenesis pada tahap meiosis dan spermiogenesis.

Hal ini diduga adanya gangguan pembentukan dan pelepasan hormon

gonadotropin sebagai penyebab gangguan spermatogenesis pada testis (Pitojo

1995). Ada dugaan bahwa yang dirusak pada cacing H. contortus juga sistem

reproduksinya. Pengurangan jumlah larva pada telur cacing H. contortus yang

menetas pada percobaan pendahuluan, menunjukkan adanya kemampuan

S. cerevisiae di dalam membunuh, merusak telur cacing, merusak saluran

reproduksi cacing jantan dan betina di dalam domba dengan enzim-enzim yang

dimiliki S. cerevisiae.

Enzim

Enzim merupakan protein untuk katalis (percepatan) reaksi kimia. Enzim

berfungsi merubah bentuk suatu susunan molekul menjadi susunan lain yang

lebih sederhana berupa produk. Enzim bereaksi secara spesifik, dan bekerja

seperti kunci dan gembok, artinya suatu aktivitas enzim hanya bereaksi terhadap

susunan molekul tertentu. Aktivitas kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti inhibitor (memperlambat reaksi), aktivator (mempercepat reaksi), kofaktor,

koenzim, suhu, pH, dan konsentrasi dari substrat (Lexicon 2007; Medicine,

2007).

Enzim kitinase adalah enzim pencerna yang memecah ikatan glikosida

dalam kitin, menghidrolisis kitin menjadi kitosan (Somashekar dan Joseph 1996).

(30)

pertama Endokitinase mereduksi polimer menjadi oligomer. Selanjutnya oligomer

berdegradasi menjadi monomer oleh eksokitinasekitobiase. Enzim-enzim ini

disintesa oleh arthropoda, nematoda, protozoa, dan moluska (Muzzarelli 2002).

Enzim protease adalah enzim yang memecah protein menjadi peptida

atau ikatan asam amino yang lebih sederhana. Protease terdiri dari asam

aspartat, asam glutamik cysteine metallo, serine, dan threonine. Protein sendiri

mempunyai arti kumpulan asam amino yang disusun oleh rantai linier yang

mempunyai gugus karboksil dan amin nitrogen, polimer linier yang dibuat dari 20

L-α asam amino yang berbeda.

Kitin mempunyai arti berbeda yaitu polisakarida yang tidak larut terdiri dari

β (1-4) berikatan dengan N-asetil D-Glukosamin (GLc Nac) unit. Kitin merupakan polisakarida yang banyak ditemukan di alam sebagai komponen struktur

kepiting, serangga, cacing, cendawan dan tumbuhan lain. Polimer kitin umumnya

membentuk diameter 3 nm dan stabil dalam bentuk ikatan hidrogen antara gugus

amin dan karbonil (Gooday 1994). α kitin adalah bentuk yang ada pada nematoda dan umumnya ditemukan sebagai komponen struktur pembentuk

rangka lainnya seperti protein dan glukan, ditemukan sebanyak 20-38% pada

cacing (Skjak-Braek et al. 1989).

Kemampuan kedua cendawan tersebut, yang diduga memiliki enzim

kitinase dan protease akan mampu berpotensi sebagai nematofagus dalam

mereduksi larva. Kedua enzim yang tergolong enzim hidrolitik diperlukan dalam

mekanisme membunuh nematoda. Dukungan kandungan enzim tersebut

digunakan untuk menetrasi dinding kutikula larva, yang umumnya terdiri dari

protein dan kitin sebagai bahan penyusun dinding (Anke 1997).

Pada akhirnya penggunaan kedua macam cendawan ini akan

menurunkan populasi H. contortus baik dalam jumlah telur, maupun larvanya

bila hidup bersama dalam satu media. Kerja sinergis inilah yang diharapkan

dalam membunuh cacing, karena kapang D. flagrans mempunyai target

membunuh larva di luar tubuh domba. Selain itu khamir S. cerevisiae dan

kapang D.flagrans targetnya adalah merusak saluran reproduksi cacing larva dan

(31)

TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN

Abstract

Saccharomyces cerevisiae yeast has been used for various purposes in attempting to enhance human health as well as improving livestock productivity. Our preliminary experiment indicated possible use of S.cerevisiae in biological control of parasitic nematodes. In order to utilize this yeast as a biological control agent for parasitic worm in sheep, it is necessary to study growth characteristics of S. cerevisiae local isolate. The yeast was isolated from fermented cassava from Cianjur, West Java. One of the factors influenced the growth of yeast is environmental factor such as type of medium, light, rumen, and temperature. The viability of yeast cell after storage was also important to be studied for developing a good quality of biological control agent. Hence, the aim of this research was to analyze the effect of environmental factor on the growth of S. cerevisiae and the viability of the yeast cells after storage. The growth analyses were carried out using solid and liquid medium of Bacto Agar, Corn Meal Agar, Sabouraud Dextrose Agar, Potato Dextrose Agar and Sabouraud Dextrose Broth. The effect of light was studied by exposed the culture to light with the intensity of sun for 3 days. The effect of sheep rumen fluid analysed by adding the filtered rumen fluid into the medium and 4 temperature treatments, 22-310C, 250C, 370C, and 390C were used to study the optimal growth temperature. The viability of the cell was studied by storing the yeast culture for 1 and 12 months at 4-100C. The results showed that the growth of yeast was not affected by the type of medium; application of light, rumen fluid and temperature. The viability of yeast cell was also not affected by the storage treatment until 12 months at 4-100C.

Key words: S. cerevisiae, environmental factor, rumen, viability after storage

Abstrak

Khamir Saccharomyces cerevisiae telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan terkait dengan peningkatan kesehatan manusia dan produktivitas ternak. Penelitian pendahuluan mengindikasikan kemungkinan pemanfaatan S.cerevisiae untuk pengendalian hayati nematoda parasit. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang khamir ini sebagai agen pengendali hayati cacing parasit, maka perlu dipelajari karakterisasi S. cerevisiae isolat lokal. Khamir ini diisolasi dari singkong yang difermentasi dari Cianjur Jawa Barat. Satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan khamir adalah faktor lingkungan seperti jenis tipe medium, cahaya, rumen dan suhu. Viabilitas dari sel khamir sesudah disimpan juga penting untuk menjadi pelajaran pengembangan kualitas yang baik bagi agen pengendali hayati. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisa pengaruh faktor lingkungan terhadap pertumbuhan

(32)

dilakukan dengan menggunakan medium padat dan cair dari Bacto agar, Corn Meal agar, Sabouraud Dextrose Agar, Potato Dextrose Agar dan Sabouraud Dextrose Broth. Pengaruh cahaya dipelajari dengan cara kultur diekspose dengan cahaya matahari selama 3 hari. Pengaruh dari rumen domba dianalisa dengan menambahkan cairan rumen yang telah difiltrasi ke dalam medium dan 4 perlakuan suhu yaitu 22-310C, 250C, 370C dan 390C dipelajari untuk mendapatkan suhu yang optimal bagi pertumbuhan. Viabilitas dari sel dipelajari melalui penyimpanan kultur khamir dalam waktu 1 dan 12 bulan pada suhu 4-10oC. Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan khamir tidak dipengaruhi oleh jenis medium, aplikasi cahaya, cairan rumen dan temperatur. Viabilitas dari sel khamir tidak juga dipengaruhi oleh perlakuan penyimpanan sampai dengan 12 bulan pada suhu 4-10oC.

Kata kunci : S. cerevisiae, faktor lingkungan, rumen, viabilitas sesudah disimpan

PENDAHULUAN

Saccharomyces cerevisiae ialah salah satu cendawan yang tergolong ke dalam kelompok khamir (yeast). Dalam bidang veteriner, peternakan dan perikanan

S. cerevisiae sering digunakan sebagai probiotik dan imunostimulan (Estrada et al,

1997; Fox 2002; Sitthipun et al. 2000 Chaucheyras et al. 1996, 2005; Ratnaningsih 2000), Hal ini karena aktivitas S.cerevisiae dapat meningkatkan atau merangsang pertumbuhan bakteri pencerna serat dan mikroba penghasil protein rumen pada ternak ruminansia (Estrada et al. 1997; Chaucheyras et al. 1996). Seperti umumnya cendawan sejati lainnya, dinding sel S. cerevisiae mengandung β glukan yang tinggi. β glukan merupakan salah satu bahan bioaktif yang berfungsi sebagai imunostimulan pada hewan, karena dapat merangsang pertumbuhan sel-sel limfosit T dan B .

Hasil penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa S. cerevisiae isolat lokal yang diisolasi dari tape asal Cianjur dapat menekan pertumbuhan bakteri penyebab salmonelosis pada dan menurunkan produksi telur (kokon) cacing tanah (Lumbricus sp) (Istiana et al. 2002). Hal ini membuka peluang kemungkinan pemanfaatan S.cerevisiae dalam pengendalian hayati cacing parasit pada domba. Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan pada disertasi ini menunjukkan bahwa

(33)
(34)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Departemen Pertanian, Bogor. Penelitian dilakukan selama 13 bulan yang dimulai bulan Maret tahun 2006 sampai dengan bulan April tahun 2007.

Disain Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan S.cerevisiae isolat lokal (Istiana et al. 2002) yang mendapat berbagai perlakuan yaitu cahaya, cairan rumen, jenis medium, suhu, dan lama penyimpanan. Media yang digunakan adalah media cair Sabouroud Dextrosa Broth (SDB) dan berbagai macam media agar yaitu; Bacto Agar (BA), Corn Meal Agar (CMA), Potato Dextose Agar (PDA) dan

Sabouroud Dextrosa Agar (SDA); intensitas cahaya yaitu gelap dan terang; Berbagai suhu inkubasi yaitu 22-310C, 250C, 370C dan 390C; lama penyimpanan yaitu 1 bulan dan satu tahun dan selama periode penyimpanan yaitu 2; 3; 4; 5 dan 6 bulan; kemudian uji pertumbuhan terhadap penambahan cairan rumen yaitu dengan dan tanpa penambahan cairan rumen pada media SDA. Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

Teknik perbanyakan

Sebelum S..cerevisiae digunakan, khamir ini diperbanyak dengan cara menginokulasikan isolat tersebut pada media SDA. Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu kamar (min 220C – maks 310C) selama 3 hari. Setelah kultur berumur 3 hari selanjutnya disimpan di dalam lemari es sampai digunakan untuk uji lanjut.

Teknik Inokulasi

(35)

Teknik Penghitungan

Jumlah sel S.cerevisiae yang ditumbuhkan pada media padat dihitung dengan cara menambahkan 5 ml aquades steril pada media, lalu kultur dikerok dan dihomogenkan. Sebanyak 1 ml larutan kultur diencerkan sampai 100 kali pengenceran. Selanjutnya 0,2 mm2 larutan kultur dimasukan ke dalam hemositometer dan jumlah spora dihitung dengan pembesaran 400 kali. Penghitungan jumlah sel S. cerevisiae pada media cair dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan kultur dan diencerkan 10 kali, kemudian 0,2 mm2 larutan kultur dimasukan ke dalam hemositometer untuk dilakukan penghitungan jumlah sel cendawan.

Uji pengaruh medium terhadap pertumbuhan cendawan

Isolat S. cerevisiae yang telah diperbanyak diuji pertumbuhannya pada medium cair SDB dalam tabung (volume 20 ml) dan cawan-cawan Petri (ø : 5 cm) yang berisi medium SDA, PDA, CMA dan BA (Waller et al. 1994). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan. Kultur kemudian diinkubasikan pada suhu 250C selama 3 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari dan pemanenan dilakukan pada hari ke-3 setelah inokulasi dengan menghitung jumlah sel yang terbentuk menggunakan hemositometer.

Uji pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan cendawan

(36)

Uji pengaruh suhu terhadap pertumbuhan cendawan

Pengujian dilakukan pada media cair SDB Sebanyak 1,65 x 1010 sel

S. cerevisiae diinokulasikan pada tabung reaksi bervolume 10 ml yang berisi 9 ml medium SDB, kemudian diinkubasikan selama 3 hari pada suhu 22-310C; 250C; 370C; dan 390C. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan. Panen dilakukan pada hari ke 3 setelah inokulasi dengan cara menghitung jumlah sel menggunakan hemositometer.

Uji pengaruh lama penyimpanan terhadap pertumbuhan cendawan

Pengujian dilakukan pada media padat SDA. Satu jarum ose S. cerevisiae

ditumbuhkan pada media padat SDA dan diinkubasi pada suhu 25°C selama 3 hari. Kultur selanjutnya disimpan di dalam lemari es bersuhu 4-140C selama 1 hari; 1; 2; 3; 4; 5; dan 6 bulan dan 1 tahun. Pada saat panen sel dihitung dengan hemositometer.

Uji pengaruh cairan rumen terhadap pertumbuhan cendawan

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh medium terhadap pertumbuhan

S. cerevisiae dapat tumbuh pada kedua bentuk media yaitu media padat dan media cair, Pertumbuhan S. cerevisiae pada media padat berkisar antara 1 x 106 dan 3,5 x 108 sel/ cawan , sedangkan pada media cair ialah 3,6 x 107 sel/tabung. Masing-masing cawan Petri dan tabung mengandung media dalam jumlah yang sama yaitu10 ml. Pertumbuhan S.cerevisiae terbaik pada media padat terjadi pada media SDA (Gambar 6). Dalam waktu tiga hari isolat yang ditumbuhkan dalam media tersebut mencapai 3,52 x 108 jumlah sel dalam setiap cawan Petri (Tabel 1). Pertumbuhan paling lambat terdapat pada medium BA dengan jumlah sel cendawan sebanyak 1 x 106 .untuk setiap cawannya. Pertumbuhan S. cerevisiae pada kedua media lainnya yaitu CMA dan PDA menghasilkan jumlah sel cendawan yang hampir sama yaitu antara 2,9 – 4,2 x 107.

(38)

asam-asam amino. Sedangkan kalium, dan magnesium digunakan untuk elemen fungsional aktif dalam metabolisme (Dube 1996; Griffin 1994).

[image:38.612.178.456.380.550.2]

Meski di dalam inokulasi pada media SDA lebih banyak inokulum yang diberikan pada media cair (1,65 x 1010 sel) dibandingkan dengan media padat (1 x 106 sel), namun hasil pengamatan pada 3 hari setelah inokulasi menunjukkan populasi sel pada media padat lebih tinggi dari media cair. Hal ini diduga karena terdapat perbedaan dari faktor yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan pada media padat dan cair. Rendahnya ketersediaan oksigen dan mudahnya limbah metabolisme sel cendawan terlarut pada media cair yang meracuni sel cendawan, diduga dapat menurunkan populasi cendawan pada media cair SDA pada hari ke-3 setelah inokulasi. Populasi cendawan pada media SDA padat, hampir sepuluh kali lebih besar dari populasi pada media cair. Namun perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (Tabel 1).

Tabel 1. Pertumbuhan S. cerevisiae pada berbagai macam medium setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar (22-310C)

No Medium Jumlah sel (1x 107)

Padat

1. B A 0,1 ± 0,1a 2. CMA 2,9 ± 1,9a 3. PDA 4,2 ± 1,1a 4. SDA 35,2 ± 17,7a

Cair

1. SDB (cair) 3,6 ± 2,5 a

(39)
[image:39.612.133.487.81.391.2]

Gambar 6. Pertumbuhan S.cerevisiae (tanda panah) pada berbagai macam medium A. (Bacto Agar) (BA). B (Corn Meal Agar) CMA. C. (Potato Dextrose Agar) (PDA) D. Sabouraud Dextrosa Agar (SDA) E. (

raud Dextrose Broth) (SDB) pada suhu kamar (min 220C– maks 310C ) dan setelah diinkubasi 3 hari.

Pengaruh cairan rumen terhadap pertumbuhan

Gambar 7 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah populasi S. cerevisiae

tidak berbeda (3,3 dan 3,4 x 107 spora) serta dapat bertahan hidup, tumbuh dengan baik pada media yang mengandung cairan rumen steril dari domba maupun tanpa diberi cairan. Meskipun di dalam cairan rumen steril tersebut terdapat berbagai macam enzim seperti pepsin dan renin dengan bersifat asam kurang lebih pH 5.

S. cerevisiae masih dapat beradaptasi serta tumbuh dengan baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara in vitro S. cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada cairan rumen.

Sebagai agen pengendali hayati parasit pada rumen domba, S. cerevisiae

harus mampu tumbuh pada rumen domba tidak saja secara in vitro juga secara in vivo. Uji secara in vivo dilakukan pada percobaan III dan IV pada Disertasi ini.

D

E

C

(40)

[image:40.612.208.398.82.333.2]

Gambar 7. Pertumbuhan S.cerevisiae (tanda panah) dengan perlakuan. A. Cahaya dan B. Tanpa cahaya C. Kontrol. D. Dengan cairan rumen atau E. Tanpa cairan rumen diinkubasi 3 hari pada suhu kamar

Gambar 8. Pertumbuhan S.cerevisiae (tanda panah) pada berbagai macam suhu A. Suhu kamar (min 22 0C–maks 310C ) B, 250C.C. 370C. D.390C.

diinkubasi 3 hari pada media Sabouroud Dextrosa Broth (SDB).

A

B

C

D E

B

[image:40.612.199.403.419.606.2]
(41)

Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan

Tabel 2 dan Gambar 8 juga menunjukkan bahwa S. cerevisiae memiliki kisaran suhu untuk tumbuh yang lebar yaitu 20-390C dengan pertumbuhan optimum pada suhu 370C. Suhu optimum yang diperoleh pada percobaan ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Onions (1986) dan Griffin (1994) yaitu 280C. Perbedaan suhu optimum yang diperoleh diduga disebabkan oleh perbedaan strain S. cerevisiae

yang digunakan.

Walaupun dengan jumlah populasi yang lebih rendah, S. cerevisiae isolat lokal yang digunakan pada penelitian ini mampu tumbuh pada suhu 39oC yaitu suhu rata-rata pada rumen domba dengan jumlah populasi yang terbentuk cukup tinggi yaitu 2,6 x107 spora.

[image:41.612.119.505.414.707.2]

Kisaran suhu pertumbuhan S. cerevisiae yang relatif luas (200C sampai dengan 400C) memungkinkan khamir ini dapat tumbuh dengan baik di luar maupun di dalam rumen domba sebagai inang dari parasit H. contortus.

Tabel 2. Pengaruh cahaya, pemberian cairan rumen, lama penyimpanan dan temperatur terhadap pertumbuhan S. cerevisiae pada umur 3 hari setelah inokulasi sel

No Perlakuan

(I) Cahaya Jumlah sel (1x107)

1 Dengan Cahaya 5,4 ± 0,4 a 2 Tanpa Cahaya 3,7 ± 0,6 a

(II) Cairan rumen Jumlah sel (1x107) 1 Tanpa cairan 3,3 ± 0,5 a

2 Dengan cairan 3,4 ± 0,7 a

(III) Temperatur Jumlah sel (1x107) 1 22-310C (kamar) 3,6 ± 0,5 a

2 250C 2,4 ± 0,5 a 3 370C 5 ± 0,6 a

(42)

(IV) Lama Penyimpanan Jumlah sel (1x107) 1 1 hari 6,3 ± 0,4 a

2 1 tahun 3,5 ± 0,2 a

[image:42.612.136.505.87.147.2]

Keterangan: Angka-angka dengan huruf yang sama superskrip tidak berbeda nyata (P>0,05)

Gambar 9 . Pertumbuhan S.cerevisiae setelah disimpan (tanda panah) (A). Umur 1 hari. (B) umur 1 tahun pada media SDA dan SDB (C). Kontrol. Inkubasi 3 hari pada suhu kamar (22-310C).

Pengaruh lama penyimpanan terhadap pertumbuhan

Tabel 2 dan Gambar 9 menunjukkan pengaruh lamanya waktu simpan di dalam kulkas dengan suhu kurang lebih 4-100C selama satu tahun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah sel hampir 50% pada umur satu tahun walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Selain itu, jumlah sel yang dihasilkan dan viabilitasnya maísih relatif tinggi sebagai sumber inokulum yaitu 3,5 x 107 sel per cawan Petri.

Pada percobaan pendahuluan diketahui bahwa dengan dosis tertentu khamir ini dapat mereduksi larva cacing. Pada percobaan ini didapat hasil S.cerevisiae

isolat lokal dapat tumbuh pada berbagai macam medium, suhu, intensitas cahaya dan tahan disimpan dalam kulkas (4-100C) sampai dengan 1 tahun.

Berdasarkan data dari hasil uji kemampuan tumbuh pada berbagai faktor lingkungan yang berhubungan dengan kondisi rumen domba secara in vitro menunjukkan bahwa S. cerevisiae mampu tumbuh pada baik pada lingkungan

[image:42.612.110.489.197.349.2]
(43)

rumen maupun luar rumen. Selain itu khamir ini dapat tumbuh pada berbagai macam media semisintetis dan mempunyai viabilitas yang cukup baik pada daya simpan satu tahun. Hal ini menjadikan S. cerevisiae merupakan isolat yang potensil sebagai agen pengendali hayati cacing parasit H. contortus. Uji lanjut untuk mengetahui sifat-sifat S. cerevisiae pada kondisi in vivo akan dilakukan pada percobaan tahap ke III dan IV. Berdasarkan tersedianya informasi yang lengkap tentang S. cerevisiae dari hasil uji in vitro dan in vivo diharapkan penggunaan

S.cerevisiae dapat menghasilkan dampak pengendalian cacing parasit yang optimal karena dapat mereduksi cacing di dalam dan di luar tubuh tubuh hewan. Sementara cendawan D. flagrans yang digunakan sebagai agen pengendali hayati cacing parasit tersebut hanya dapat membunuh larva infektif H. contortus di luar tubuh inang dengan cara menjeratnya. Sehingga timbul dugaan sementara bahwa

S. cerevisiae lebih unggul di dalam mereduksi cacing H.contortus dibandingkan dengan D. flagrans. Namun dugaan ini harus dibuktikan dengan pengujian terhadap

kemampuan khamir dalam mengendalikan larva, telur dan cacing dewasa

H. contortus. Pengujian akan dilakukan secara bertahap melalui uji in vitro dan in vivo.. Selain itu, mekanisme S. cerevisiae dalam mengendalikan cacing juga perlu dipelajari untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pengendali hayati cacing parasit. Salah satu mekanisme pengendalian yang dilakukan oleh S. cerevisiae

(44)

KESIMPULAN

• Dari kelima uji terhadap pertumbuhan S. cerevisiae yang meliputi pengaruh berbagai macam medium, intensitas cahaya, temperatur, dan penambahan cairan rumen serta uji lamanya waktu simpan menunjukkan bahwa khamir tersebut memiliki potensi untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati parasit cacing pada domba.

S.cerevisiae dapat tumbuh pada berbagai macam medium (BA, CMA, SDA, PDA (medium padat), dan SDB (medium cair); kisaran suhu pertumbuhan cukup luas yaitu dari 22-310C; 250C; 370C sampai 390C.

(45)

Duddingtonia flagrans

DAN

Saccharomyces cerevisiae

Abstract

Chitinase and protease enzymes are needed by nematophagous fungi in the nematode killing mechanisms. The aim of this experiment is to study the activity of chitinase and protease enzymes as well as attractants that may be possessed by nematophagous fungi Duddingtonia flagrans and Saccharomyces cerevisiae. The measurement of intra cellular enzymes were conducted by sonicating the isolates, adding some chemicals, and then reading in spectrophotometer. The measurement on the activity of extra cellular enzymes was done by adding a trigger (protein or chitin) in isolates, incubating them for 4 days, adding some chemicals, and then reading in spectrophotometer. The result of experiment showed that intra cellular protease activitiy in D.flagrans (7.1315 units/gr) was significantly higher (P<0.05) than that of S. cerevisiae (0.0052 unit/gr). The activitiy of chitinase in D.flagrans and S. cerevisiae were 3.1812 units/gr and 4.2563 units/gr, this value was not significantly different (P<0.05). The activity of extra cellular chitinase of S. cerevisiae (2.1810 units/gr) was significantly higher (P<0.05) than that of D. flagrans (2.172 units/gr). The content of intra cellular proteases of both fungi were very weak (< 0.0003 unit/gr). The S. cerevisiae attractant was stronger than that of D. flagrans (45% vs 40%).

Key words: D. flagrans, S.cerevisiae, chitinase, protease

Abstrak

Enzim kitinase dan protease diperlukan cendawan nematofagus di dalam mekanisme membunuh cacing nematoda. Tujuan dari percobaan ini untuk mempelajari aktivitas enzim kitinase dan protease serta atraktan yang mungkin dimiliki cendawan nematofagus Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae. Pengukuran aktivitas enzim intra seluler dilakukan dengan cara menyonikasi isolat, ditambahkan beberapa reaksi kimia dan dibaca pada spektrofotometer. Pengukuran aktivitas enzim ekstra seluler dilakukan dengan cara menambahkan trigger (protein atau kitin) pada isolat lalu diinkubasikan selama 4 hari, ditambahkan beberapa pereaksi kimia, dan kemudian dibaca aktivitasnya pada spektrofotometer. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa aktivitas protease intra seluler pada D.flagrans (7,1315 unit/gr) lebih kuat dibandingkan dengan S. cerevisiae 0,0052 unit/gr (P<0,05). Aktivitas kitinase intra seluler pada D.flagrans dan S. cerevisiae tidak berbeda nyata secara berurutan yaitu masing-masing sebesar: 3,1812 unit/gr dan 4,2563 unit/gr. S. cerevisiae memiliki enzim kitinase ekstra seluler yang akitivitasnya (2,181unit/gr) lebih kuat (P<0,05) dibandingkan dengan D.flagrans (2,172 gr/unit). Kandungan protease ektra seluler kedua cendawan sangat lemah (< 0,0003 unit/gr).Atraktan

S. cerevisiae (45%) lebih kuat dari atraktan D.flagrans (40%).

(46)

PENDAHULUAN

Cendawan nematofagus secara alamiah menjadikan nematoda hidup

bebas maupun parasit hewan dan tumbuhan sebagai salah satu sumber nutrisi

utamanya. Untuk merubah tubuh dan telur cacing menjadi sumber nutrisi,

cendawan menggunakan enzim kitinase dan protease pada saat menembus

kutikula, selanjutnya hifa vegetatif akan tumbuh di dalam tubuh cacing. Protease

juga berfungsi merubah protein menjadi asam amino yang diperlukan untuk

nutrisi dari cendawan tersebut. Kedua enzim yang tergolong enzim hidrolitik

saling bekerja sama pada saat penetrasi pelindung telur dan cacing mengandung

lapisan kitin dan protein (Croll dan Matthew 1977). Lapisan struktur pelindung

larva cacing dan telur tersebut, akan dilisiskan kemudian cendawan akan masuk

dan mengambil nutrisi.

Di dalam pengendalian hayati cacing parasit termasuk H. contortus

kemampuan cendawan untuk membunuh cacing dipengaruhi oleh konsentrasi

enzim yang dikandungnya. Studi yang telah dilakukan Huang et al. (2004) dan

Yang et al. (2007) menunjukkan bahwa beberapa enzim hidrolitik ekstra seluler

seperti serine protease, kitinase dan kolagenase sangat membantu dalam proses

penetrasi ke dalam tubuh nematoda sehingga menjadi salah satu faktor

patogenitas cendawan. Selanjutnya Park et al. (2002) melaporkan bahwa kapang

Arthrobotrys spp, Dactylellina spp, Dactylella spp, Gamsylella spp dan

Harposporium leptospira diketahui memiliki aktivitas protease dan ligninase

setelah diuji metabolit yang dihasilkannya melalui proses induksi oleh media.

Sejalan dengan studi tersebut Ahman et al. (1996), Ahman (2000), Meyer dan

Wiebe (2003) telah melakukan uji aktivitas enzim protease dan kitinase yang

dikandung oleh kapang D.flagrans.

Oleh karena itu penting kiranya diketahui aktivitas serta kandungan enzim

kitinase dan protease pada kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae isolat

lokal yang akan digunakan sebagai pengendali hayati terhadap cacing

H.contortus. Penelitian ini dirancang untuk mempelajari aktivitas enzim intra

seluler dan ekstra seluler yang terkandung oleh cendawan D. flagrans dan S.

(47)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan

Bioteknologi IPB, dan Balai Besar Penelitian Veteriner. Penelitian ini dilakukan

selama 7 bulan dimulai bulan Mei sampai dengan bulan Desember tahun 2006.

Isolat Cendawan

D. flagrans yang digunakan diisolasi dari tanah Kebun Raya Bogor. Isolat

ini telah dikarakterisasi dapat membunuh larva H.contortus dan dapat tumbuh

pada suhu 200C sampai dengan 370C dalam berbagai media seperti CMA, PDA (Ahmad 2003). Isolat S. cerevisiae yang digunakan diisolasi dari Cianjur pada

tahun 2002 (Istiana et al. 2002). Kedua isolat lokal diperbanyak dari biakan yang

disimpan dalam media Sabouraud Dextrosa Agar (SDA) dan diremajakan setiap

4 bulan.

Teknik Perbanyakan

Isolat lokal S. cerevisiae yang akan diuji, diperbanyak dengan cara

menginokulasikan pada media agar Corn Meal Agar (CMA) dan menginkubasi

isolat pada suhu kamar (min 22oC- maks 30oC) selama 4 hari. Sedangkan isolat

D.flagrans diperbanyak pada media agar Potato Dekstrosa Agar (PDA) pada

suhu kamar (min 22 oC –maks 300C) selama 10 hari.

Teknik Pemanenan

Pada cawan Petri berisi isolat yang dipanen ditambahkan air steril

secukupnya, lalu dikerok dengan gelas penutup. Selanjutnya isolat dipindahkan

ke dalam tabung dan disimpan dalam refrigerator (4-10o C) sebelum digunakan.

Desain Penelitian

Uji yang dilakukan terhadap isolat adalah uji kandungan enzim dan

atraktan. Setiap uji dilakukan dalam 3 ulangan seperti sebagai berikut di bawah

(48)

Persiapan Isolat untuk Pemeriksaan Enzim

Isolat-isolat lokal yang telah diperbanyak kemudian dipanen, selanjutnya

dilakukan pengujian aktivitas kandungan enzim kitinase dan protease khamir

S. cerevisiae dan kapang D. flagrans. Kapang dan khamir tersebut disonikasi,

lalu diperiksa aktivitas kandungan intra seluler enzim kitinase dan protease yang

dimilikinya. Sedangkan untuk uji kandungan enzim ekstra seluler ditambahkan

trigger (kitin atau protein sebanyak 2% B/V dari berat cendawan yang diuji), lalu

diinkubasikan 2 hari pada suhu kamar kemudian diperiksa aktivitas enzimnya.

Pengukuran Aktivitas Kitinase.

Pemeriksaan aktivitas kitin dilakukan menurut Imoto dan Yagashita

(1971) yang telah dimodifikasi dalam beberapa tahap seperti sebagai berikut;

a. Penyiapan koloidal kitin.

Ke dalam Erlenmeyer dimasukkan 20 gr kitin dan 400 ml HCl pekat, lalu

ditutup rapat dan dibiarkan semalam pada temperatur 4oC. Keesokan harinya larutan tersebut disaring dengan menggunakan glasswool. Filtrat yang didapat

ditambah 200 ml air dingin dan pH larutan diatur menjadi 7,0 dengan

menambahkan secara perlahan-lahan NaOH 10 N. Setelah disentrifugasi pada

7000 rpm, suhu 4oC selama 10 menit, filtrat dibuang dan pelet ditambahkan dengan air dingin sebelum disentrifugasi sekali lagi. Pelet (koloidal kitin) yang

didapat disimpan pada 4oC.

b. Pengukuran aktivitas kitinase.

Aktivitas enzim kitinase ditentukan berdasarkan jumlah N-asetil-D

glukosamin yang dibebaskan hidrolisa substrat koloidal kitin. Senyawa

N-asetil-D- glukosamin diukur dengan metode Schales (Imoto dan Yagashita 1971) yang

telah dimodifikasi. Satu unit aktivitas dinyatakan sebagai jumlah

N-asetil_D-glukosamin (M mol) yang terbentuk permenit pada kondisi assainya.

Untuk mengukur aktivitas enzim kitinase setiap contoh diikuti dengan

kontrol. Contoh terdiri dari 200 μl substrat kol

Gambar

Gambar 1.  Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus. jantan (A) dan betina (B). (V) vulva flap, (BK) Bursa Kopulatriks, (G) Gubernakulum (S) Spikulum
Gambar 2. Siklus hidup H. contortus
Gambar 3. Klamisdospora (A) dan konidia (B)  D.flagrans.  Perbesaran 10 x 40,                   pewarnaan H.E
Gambar 5.  Isolat S. cerevisiae , perbesaran 10 x 40, pewarnaan laktofenol blue.  A. Sel spora
+7

Referensi

Dokumen terkait

Osteomyelitis akut adalah infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal akut atau trauma tulang, biasanya disebabkan oleh escherichia coli, staphylococcus aureus,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY R P1A0 POST SECTIO CAESAREA DENGAN INDIKASI PREEKLAMPSIA BERATi. (PEB) DI RUANG MAWAR

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage Terhadap Pengungkapan Corporate Social

Penelitian ini berhasil memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sikap pelanggan terhadap media sosial yang digunakan pemasar

Kapasitas produksi diukur dalam bentuk unit- unit fisik berdasarkan output maksimum yang dihasilkan oleh proses produksi atau berdasarkan jumlah masukan yang

Berdasarkan kinerja yang diperoleh dalam penelitian ini, pengembangan sistem machine vision pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV) memiliki ketepatan tinggi untuk deteksi objek

Prinsip ekonomi Islam yang dipakai dalam penjualan pribadi yaitu keikhlasan. Islam menetapkan keikhlasan sangat penting dalam setiap langkah kehidupan manusia. Berdasarkan hal

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa kegiatan pemantauan keimigrasian dan operasi lapangan yang berkaitan dengan penindakan keimigrasian yang terencana dengan baik dan sesuai