• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Manifestasi Infeksi Kulit Superfisial Akibat Staphylococcus aureus 15

2.3.3 Folikulitis

Gambar 8. Gambaran klinis ektima

2.3.3 Folikulitis

Folikulitis disebabkan oleh S. aureus, ditandai dengan pustul diskret dengan folikel rambut pada pusatnya. 57 Lokalisasi tersering timbulnya folikulitis adalah pada daerah kulit berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas. Gambaran efloresensi lesi berupa makula eritematosa, papula, pustula, dan miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut. Terlihat pustula folikuker kecil dan berbentuk kubah, sering ditembus oleh rambut halus. Krusta tipis dapat menutupi muara folikel yang menyembul. Gambaran jumlah lesi umumnya lesi banyak, meskipun lesi tunggal dapat terjadi. Masing-masing lesi saling terpisah dengan diselingi kulit normal, tanpa ada kecenderungan untuk berkonfluensi. 34

Gambar 9. Gambaran klinis folikulitis

24 2.3.4 Furunkel dan Karbunkel

Furunkel merupakan inflamasi nodul pada area berambut, terutama yang sering mengalami friksi, oklusi daan perspirasi seperti leher, wajah, aksila dan gluteal. Nodul tersebut disertai nyeri dan berfluktuasi setelah beberapa hari, serta dapat menjadi abses. Apabila ruptur maka akan mengeluarkan cairan pus dan debris nekrotik Karbunkel merupakan beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk abses besar, dalam, dan saling terhubung.56,57 Lokalisasi predominan timbulnya karbunkel adalah pada tengkuk, punggung dan paha. Gambaran efloresensi lesi pada awalnya berupa makula eritematosa lentikular-numular terlokalisasi (setempat), kemudian menjadi nodul lentikular-numular berbentuk kerucut. Dalam satu minggu terjadi supurasi dan pus keluar melalui beberapa muara folikel. Proses selanjutnya muara-muara ini bersatu dan terbentuklah nekrosis sebagai jaringan mati berwarna kuning, yang jika dibuang akan terbentuk cekungan seperti kawah. Lesi yang sembuh akan membentuk parut.35,36

Gambar 10. Gambaran klinis furunkel (a) dan karbunkel (b)

2.4 Penatalaksanaan Infeksi Kulit Superfisial pada Anak Akibat S. aureus Terdapat berbagai modalitas atau pilihan pengobatan yang dapat digunakan sebagai terapi infeksi kulit superfisial akibat S. aureus. Hal ini bergantung pada derajat keparahan kondisinya, dimana terapi yang dapat diberikan berupa antibiotik topikal maupun oral. Pemilihan antibiotik untuk infeksi kulit dan jaringan lunak berbeda di tiap kalangan klinisi maupun institusi, di mana mencerminkan bahwa hal ini tergantung populasi pasien, lokasi

25 anatomis, pola resistensi, risiko timbulnya MRSA, dan kebijakan lokal.

Impetigo tanpa ringan cenderung mengalami resolusi secara self-limiting dan akan sembuh dalam beberapa minggu tanpa bekas jaringan parut. Meskipun demikian, karena karakteristik impetigo yang sangat menular, cara terbaik adalah mengobati dengan medikasi berupa antibiotik topikal. Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) untuk antibiotik yang diberikan, disesuaikan dengan prosedur pemberian (oral atau topikal) dan sensitivitas terhadap strain S. aureus (Tabel 3).3,10,35

Untuk perawatan luka, dianjurkan agar lesi terjadi dibersihkan dengan lembut, krusta diangkat dengan melakukan kompres atau penggunaan wet dressing.35

Dalam beberapa panduan pengobatan, mupirosin topikal memiliki menunjukkan efektivitas yang lebih baik dibandingkan eritromisin oral dan telah terbukti menjadi pilihan tepat bagi pasien dengan strain S. aureus yang resisten terhadap eritromisin. Selain itu, efektivitas antara agen topikal dan oral tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut panduan Infectious Diseases Society of America, baik impetigo bulosa dan non-bulosa dapat diobati dengan antibiotik oral atau topikal selama lima sampai tujuh hari (Tabel 2), namun terapi oral dianjurkan pada pasien dengan banyak lesi atau pada kondisi outbreaks yang menyerang beberapa orang orang dengan tujuan untuk membantu mengurangi transmisi infeksi.14,26,27

2.4.1 Antibiotik Topikal

Antibiotik topikal adalah pilihan utama untuk impetigo derajat ringan hingga sedang. Antibiotik topikal cenderung tidak meningkatkan resistensi bakteri dan efek samping minimal. Untuk bayi, anak - anak, dan remaja, mupirosin dan retapamulin adalah dua agen topikal yang paling umum digunakan.

Mupirosin menghambat sintesis protein bakteri secara reversibel dan berikatan spesifik pada transfer-RNA synthetase. Mupirosin memiliki efek samping yang dapat ditoleransi seperti reaksi lokal, pruritus dan perih.

Retapamulin bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada unit

26 ribosom 50S [14]. Karena kecenderungan risiko epistaksis, retapamulin tidak boleh digunakan pada mukosa hidung. Asam fusidat juga merupakan agen topikal yang umum digunakan namun tidak disetujui Food and Drug Administration (FDA).2,10

2.4.2 Antibiotik Oral

Pada lesi yang luas, dianjurkan penggunaan antibiotik oral. Agen pilihan untuk populasi pediatri mencakup berbagai jenis penisilin dan sefalosporin (Tabel 3). Kedua kelas antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dicloxacillin dan cephalexin umumnya digunakan pada bayi (kecuali neonatus), anak-anak, dan remaja. Apabila dicurigai MRSA atau dikonfirmasi melalui uji kultur dan sensitivitas, antibiotik yang direkomendasikan adalah klindamisin, doksisiklin, atau trimethoprim-sulfametoksazol. Pasien neonatal dengan impetigo bulosa dapat diobati dengan nafcillin, oxacillin, atau klindamisin. Eritromisin merupakan golongan macrolide sebagai modalitas obat pilihan untuk neonatus dengan impetigo non-bullosa. Pada kasus MRSA direkomendasikan penggunaan vankomisin secara intravena. Obat antibiotik sistemik ditunjukkan pada kondisi apabila terdapat keterlibatan struktur jaringan yang lebih dalam, demam, limfadenopati, faringitis, infeksi di dekat rongga mulut, dan infeksi pada kulit kepala dan/atau timbulnya banyak lesi.2,10,34,35

Tabel 2. Terapi antibiotik skin and soft tissue infections S. aureus Kategori Antibiotik Dosis Anak

Impetigo Cephalexin 25–50 mg/kg/hari dibagi 3–4 dosis po

Erythromycin 40 mg/kg/hari mg/kg/hari dibagi 3–4 dosis po

Clindamycin 20 mg/kg/hari dibagi 3–4 dosis

27 po

Amoxicillin-clavulanate 25 mg/kg/hari dari komponen amoxicillin dibagi 2 dosis po Salep Retapamulin Aplikasikan pada lesi 2 kali

sehari

Salep Mupirosin Aplikasikan pada lesi 2 kali sehari

MSSA SSTI Nafcillin atau oxacillin 100–150 mg/kg/hari dibagi 4 dosis po

Cefazolin 50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po Clindamycin 25–40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis

IV atau

25–30 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po

Dicloxacillin 25–50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis po

Cephalexin 25–50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis po

Trimethoprim-sulfamethoxazole

8–12 mg/kg (berdasarkan kandungan trimethoprim) dibagi 4 dosis IV atau dibagi 2 dosis po

* IV (intravena); MSSA (methicillin-susceptible Staphylococcus aureus); po (per-oral); SSTI (skin and soft tissue infection).

28 BAB III

RINGKASAN

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk kokus.

Bakteri S. aureus bertanggung jawab atas sebagian besar infeksi kulit yang diakibatkan oleh bakteri pada tubuh manusia, khususnya anak-anak. Susunan dan fungsi barier kulit pada anak berbeda dengan orang dewasa dalam struktur, fungsi, dan komposisinya sehingga lebih rentan terhadap infeksi S. aureus.

Kecenderungan S. aureus untuk menginfeksi kulit melibatkan keseimbangan antara mekanisme pertahanan kekebalan kulit dan faktor virulensi patogen. Manifestasi klinis yang terjadi dapat berupa impetigo, ektima, folikulitis, furunkulosis, karbunkel. Selain itu, S. aureus juga memiliki toksin berupa superantigen (Sag) yang memiliki kemampuan menghindari sistem pengenalan antigen secara konvensional sehingga aktivasi secara simultan dan tidak spesifik dari sebagian besar populasi sel T total menyebabkan badai sitokin yang mengancam jiwa.

Penatalaksanaan infeksi kulit superfisial akibat S. aureus berbasis pada aplikasi antibiotik selain manajemen supportif sesuai kebutuhan tatalaksana.

Antibiotik dalam pemilihannya untuk infeksi kulit dan jaringan lunak (skin and soft tissue infections [SSTI]) berbeda di kalangan klinisi maupun institusi, di mana untuk infeksi local derajat ringan hingga sedang, terapi antibiotik topikal menjadi pilihan utama, sedangkan untuk lesi yang luas disertai gejala sistemik dapat diterapi dengan antibiotik oral.

29 DAFTAR PUSTAKA

1. Stamatas GN, et al. Infant skin physiology and development during the first years of life: a review of recent findings based on in vivo studies. Int J Cosmet Sci. 2011;33(1):17-24.

2. Telofski LS, et al. The infant skin barrier: can we preserve, protect, and enhance the barrier? Dermatol Res Pract. 2012:1987-89.

3. World Health Organization. World Health Organization Report on Infectious Diseases: Removing Obstacles To Healthy Development. 2007.

URL: http://www.who.int/infectious-disease-report/pages/textonly.html [diakses tanggal 12 September 2017].

4. Stamatas GN, et al. Infant skin microstructure assessed in vivo differs from adult skin in organization and at the cellular level. Pediatr Dermatol.

2010;27(2):125-31.

5. King A, et al. Biology and function of fetal and pediatric skin. Facial Plast Surg Clin North Am. 2013;21(1):1-6.

6. Grice EA, Kong HH, Conlan S, Deming CB, Davis J, Young AC, Bouffard GG, Blakesley RW, Murray PR, Green ED, Turner ML, Segre JA. Topographical and temporal diversity of the human skin microbiome.

Science. 2009; 324:1190–1192.

7. Stamatas GN, et al. Infant skin microstructure assessed in vivo differs from adult skin in organization and at the cellular level. Pediatr Dermatol.

2010;27(2):125-31.

8. King A, et al. Biology and function of fetal and pediatric skin. Facial Plast Surg Clin North Am. 2013;21(1):1-6.

9. Grice EA, Kong HH, Conlan S, Deming CB, Davis J, Young AC, Bouffard GG, Blakesley RW, Murray PR, Green ED, Turner ML, Segre JA. Topographical and temporal diversity of the human skin microbiome.

Science. 2009; 324:1190–1192.

30 10. World Health Organization. Health topics: Infectious diseases. 2013.

URL: http:// www. who.int/topics/infectious_diseases/en/ [diakses tanggal 23 Juli 2013]

11. Dzen SM, Roektiningsih, Santoso S, Winarsih S. Bakteriologi Medik.

Malang : Bayumedia; 2003.

12. Talan DA, Krishnadasan A, Gorwitz RJ, Fosheim GE, Limbago B, Albrecht V, Moran GJ; EMERGEncy ID Net Study Group. Comparison of Staphylococcus aureus from skin and soft-tissue infections in US emergency department patients, 2004 and 2008. Clin Infect Dis.

2011;53(2):144-9. doi: 10.1093/cid/cir308.

13. Krishna S and Miller LS. Host–pathogen interactions between the skin and Staphylococcus aureus. Current opinion in microbiology. 2012;15(1): 28-35.

14. Foster TJ, Geoghegan, Ganesh VK, and Höök M. Adhesion, Invasion and evasion: the many functions of the surface proteins of Staphylococcus aureus. Nat Rev Microbiol. 2014; 12(1): 49-62.

15. Tong SY, Davis JS, Eichenberger E, Holland TL, and Fowler VG.

Staphylococcus aureus infections: epidemiology, pathophysiology, clinical manifestations, and management. Clinical microbiology reviews.

2015;28(3):603-661.

16. Seaton RA. Skin and soft tissue infection diagnosis and management.

Clinical Pharmacist. 2009;1:13-22.

17. Kupper TS, Fuhlbrigge RC. Immune surveillance in the skin: mechanisms and clinical consequences. Nat.Rev.Immunol. 2004; 4:211–222.

18. Nestle FO, Di MP, Qin JZ, Nickoloff BJ. Skin immune sentinels in health and disease. Nat.Rev.Immunol. 2009; 9:679–691.

19. Cork MJ, et al. Epidermal barrier dysfunction in atopic dermatitis. J Invest Dermatol. 2009;129(8): 1892-908.

20. Grice EA, Segre JA. The skin microbiome. Nat.Rev.Microbiol. 2011;

9:244–253.

31 21. Miajlovic H, Fallon PG, Irvine AD, Foster TJ. Effect of filaggrin breakdown products on growth of and protein expression by Staphylococcus aureus. J.Allergy Clin.Immunol. 2010; 126:1184–1190.

22. Iwase T, Uehara Y, Shinji H, Tajima A, Seo H, Takada K, Agata T, Mizunoe Y. Staphylococcus epidermidis Esp inhibits Staphylococcus aureus biofilm formation and nasal colonization. Nature. 2010; 465:346–

349.

23. Cogen AL, Yamasaki K, Sanchez KM, Dorschner RA, Lai Y, Macleod DT, Torpey JW, Otto M, Nizet V, Kim JE, Gallo RL. Selective antimicrobial action is provided by phenol-soluble modulins derived from Staphylococcus epidermidis, a normal resident of the skin. J.Invest Dermatol. 2010; 130:192–200.

24. Lai Y, Cogen AL, Radek KA, Park HJ, Macleod DT, Leichtle A, Ryan AF, Di NA, Gallo RL. Activation of TLR2 by a small molecule produced by Staphylococcus epidermidis increases antimicrobial defense against bacterial skin infections. J.Invest Dermatol. 2010; 130:2211–2221.

25. Wanke I, Steffen H, Christ C, Krismer B, Gotz F, Peschel A, Schaller M, Schittek B. Skin commensals amplify the innate immune response to pathogens by activation of distinct signaling pathways. J.Invest Dermatol.

2011; 131:382–390.

26. Takeuchi O, Akira S. Pattern recognition receptors and inflammation. Cell.

2010; 140:805–820.

27. Kim MH, Granick JL, Kwok C, Walker NJ, Borjesson DL, Curry FR, Miller LS, Simon SI. Neutrophil survival and c-kit+-progenitor proliferation in Staphylococcus aureus-infected skin wounds promote resolution. Blood. 2011; 117:3343–3352.

28. Molne L, Verdrengh M, Tarkowski A. Role of neutrophil leukocytes in cutaneous infection caused by Staphylococcus aureus. Infect.Immun.

2000; 68:6162–6167.

29. Cho JS, Zussman J, Donegan NP, Ramos RI, Garcia NC, Uslan DZ, Iwakura Y, Simon SI, Cheung AL, Modlin RL, Kim J, Miller LS.

32 Noninvasive In Vivo Imaging to Evaluate Immune Responses and Antimicrobial Therapy against Staphylococcus aureus and USA300 MRSA Skin Infections. J.Invest Dermatol. 2011; 131:907–915.

30. Olaru F, Jensen LE. Staphylococcus aureus stimulates neutrophil targeting chemokine expression in keratinocytes through an autocrine IL-1α signaling loop. J.Invest Dermatol. 2010; 130:1866–1876.

31. Munoz-Planillo R, Franchi L, Miller LS, Nunez G. A critical role for hemolysins and bacterial lipoproteins in Staphylococcus aureus-induced activation of the Nlrp3 inflammasome. J.Immunol. 2009; 183:3942–3948.

32. Shimada T, Park BG, Wolf AJ, Brikos C, Goodridge HS, Becker CA, Reyes CN, Miao EA, Aderem A, Gotz F, Liu GY, Underhill DM.

Staphylococcus aureus evades lysozyme-based peptidoglycan digestion that links phagocytosis, inflammasome activation, and IL-1beta secretion.

Cell Host.Microbe. 2010; 7:38–49.

33. Cua DJ, Tato CM. Innate IL-17-producing cells: the sentinels of the immune system. Nat.Rev.Immunol. 2010; 10:479–489.

34. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz, and Johnson RA.

Superficial Cutaneus Infections and Pyodermas. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012.

p. 3025-41. Infectious Diseases Society of America. Clinical infectious diseases. 2014;

59(2): e10-e52.

Dokumen terkait