• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Pertahanan Kutaneus Host Melawan Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Patogenesis Infeksi Kulit Superfisial Staphylococcus aureus

2.2.3 Mekanisme Pertahanan Kutaneus Host Melawan Infeksi

Beberapa respon imun kutaneus yang telah terbukti melindungi infeksi kulit S.

aureus. Keratinosit dan sel residen lain pada kulit mengekspresikan PRRs yang mengenali komponen S. aureus (Gambar 5).6 Secara khusus, keratinosit mengekspresikan TLR2 pada membran sel yang dapat mengalami heterodimerisasi dengan TLR1 atau TLR6 untuk mengenali lipopeptida tri-asil

18 dan di-asil (termasuk lipoteichoic acid S. aureus).41 Keratinosit juga mengekspresikan PRR dan NOD2 sitoplasma terhadap TLRs yang mengenali muramil-dipeptida (produk pemecahan peptidoglikan S. aureus). Hasil dari pemicuan PRRs ini mengaktivasi kaskade pensinyalan yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, kemokin, dan peptida antimikroba.33,35

Gambar 5. Pola pengenalan reseptor pada pertahanan host terhadap infeksi kulit S. aureus14,26 Keratinosit mengekspresikan model reseptor pengenalan seperti Toll-like receptor 2 (TLR2) yang mengenali lipopeptida dan lipoteichoic acid S. aureus, dan nucleotide-binding oligomerization domain containing 2 (NOD2) yang mengenali produk pemecahan peptidoglikan S. aureus berupa muramil peptida. Pensinyalan TLR2 dan NOD2 menyebabkan aktivasi NF-κB dan faktor transkripsi lainnya yang menginduksi transkripsi mediator proinflamasi (sitokin, kemokin, molekul adhesi dan peptida antimikroba) yang terlibat dalam pertahanan inang kulit melawan S. aureus.

Perekrutan neutrofil ke lokasi infeksi S. aureus di kulit merupakan ciri khas infeksi S. aureus yang diperlukan untuk pembersihan bakteri (Gambar 4).

Pada model tikus dengan infeksi kutaneus S. aureus, tikus dengan defisiensi IL-1R telah mengalami gangguan rekrutmen neutrofil menuju tempat infeksi di kulit.44-46 Terdapat aktivasi IL-1R oleh ligand IL-1α dan IL-1β.14,15 Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa IL-1α dan IL-1β berkontribusi terhadap pertahanan host melawan infeksi kulit superfisial S. aureus, sedangkan IL-1β sebagian besar membentuk pertahanan host selama infeksi intradermal S. aureus yang lebih dalam.47 Data tersebut menunjukkan bahwa baik IL-1α dan IL-1β berkontribusi pada pertahanan host melawan infeksi

19 kulit superfisial S. aureus, seperti impetigo atau erosi yang terinfeksi, sedangkan IL-1β berperan sebagai pertahanan host yang dominan terhadap infeksi kulit S. aureus yang lebih dalam seperti selulitis, folikulitis, abses subkutan, dan ulkus atau luka yang terinfeksi. 14

Perbedaan cakupan IL-1α dan IL-1β dalam respon imun kutaneous terhadap S. aureus dapat disebabkan oleh perbedaan ekspresi dari sitokin ini.

Inteleukin-1α dilepaskan dari keratinosit sebagai respon terhadap infeksi dan menginduksi keratinosit untuk menghasilkan kemokin neutrofil, seperti CXCL1, CXCL2 dan IL-8.48 Sebaliknya, IL-1β diinduksi oleh berbagai jenis sel yang berbeda selama infeksi di kulit.14,15

Lebih lanjut, pelepasan IL-1β selama infeksi S. aureus di kulit memerlukan aktivasi inflammasome (kompleks intraselular protein yang memicu pembelahan pro-IL-1β yang dipengaruhi caspase-1 menjadi bentuk aktifnya.49 Pada konteks ini, aktivasi inflammasome telah dilaporkan dimediasi oleh toksin S. aureus seperti hemolysin α, β, dan γ dan digesti lisozim peptidoglikan S. aureus. Telah dilaporkan bahwa pasien dengan defek pada jalur sinyal molekul kelompok IL-1R dan TLR (MyD88 dan IRAK-4) sangat rentan terhadap infeksi kutaneus S. aureus, di mana hal ini menunjukkan peran penting jalur pensinyalan IL-1R dalam pertahanan host melawan infeksi kulit S. aureus pada manusia.21,22

Penelitian terbaru telah menemukan peran penting IL-17 pada perekrutan neutrofil dan pertahanan host melawan infeksi kulit S. aureus, selain IL-1 (Gambar 6). Produksi IL-17 sebagian besar dihasilkan oleh subset sel T (seperti sel Th17, sel NKT dan sel T) dan sel NK, telah diketahui menginduksi perekrutan neutrofil melalui induksi kemokin neutrofil (CXCL1, CXCL2 dan IL-8) dan faktor granulopoesis (G-CSF dan GM-CSF).21,22,25

20 Gambar 6. Respons imun kutaneous yang dimediasi IL-1 IL-17 dalam melawan S. aureus14

Infeksi S. aureus pada kulit menghasilkan produksi 1α, 1β dan IL-17. Berbagai sitokin proinflamasi tersebut menginduksi produksi peptida antimikroba yang dihasilkan keratinosit (misalnya β-defensins 2 dan 3, cathelicidin, RNase 7) dan sitokin, kemokin, molekul adhesi, dan faktor granulopoesis sehingga mendorong perekrutan neutrofil. Neutrofil yang direkrut dari sirkulasi membentuk abses yang membantu mengendalikan dan membatasi penyebaran infeksi sehingga sangat dibutuhkan dalam degradasi bakteri patogen.

2.3 Manifestasi Infeksi Kulit Superfisial Akibat S. aureus

Manifestasi infeksi kulit superfisial akibat S. aureus melibatkan keseimbangan antara mekanisme pertahanan kekebalan kulit dan faktor virulensi patogen.6 Perpindahan S. aureus dari lokasi kolonisasi ke area lain hingga menimbulkan infeksi, secara predominan disebabkan oleh terbawanya bakteri melalui garukan tangan ke area kulit lain yang tidak intak. Manifestasi penyakit kulit superfisial akibat S. aureus meliputi infeksi impetigo, ektima, folikulitis, furunkulosis dan karbunkel34,35,36

2.3.1 Impetigo

Impetigo merupakan infeksi bakteri yang paling umum pada anak-anak, memiliki sifat sangat menular. Impetigo dapat mengenai anak-anak serta

21 dewasa. Impetigo timbul sebagai akibat infeksi bakteri pada kulit dengan predisposisi seperti trauma, dermatitis atau penyakit lainnya, yang memungkinkan bakteri S. aureus untuk masuk ke dalam kulit. Impetigo dibagi menjadi impetigo non bulosa dan impetigo bulosa. Impetigo non bulosa dapat timbul setelah adanya paparan S. aureus pada kulit normal, dan diperlukan waktu + 11 hari untuk menimbulkan gejala klinis. Lesi biasanya timbul pada wajah (dekat dengan hidung) serta ekstremitas (setelah trauma).

Lesi yang ditemukan dapat berupa vesikel atau pustule yang dapat pecah dengan cepat membentuk erosi ditutupi krusta kekuningan seperti madu atau honey colored dengan dikelilingi kulit yang eritema. Diameter lesi dapat mencapai + 2 cm. Lesi satelit yang disebabkan oleh self-inoculation sering terjadi (Gambar 6b). Lesi kulit umumnya tanpa disertai rasa sakit namun dapat ditemukan limfadenopati regional.35 Manifestasi gejala sistemik jarang terjadi, meskipun demam dapat terjadi pada kasus yang parah. Impetigo non-bulosa cenderung sembuh tanpa jaringan parut dan apabila tidak diobati dapat sembuh secara spontan dalam 2-3 minggu.34,35

Impetigo bulosa terjadi pana bayi baru lahir ataupun pada anak-anak, ditandai dengan bula kendor (flaccid) yang mudah pecah dan meninggalkan skuama kolaret tipis. Kondisi ini umumnya tidak terkait limfadenopati.

Impetigo bulosa dimediasi oleh toksin eksfoliatif, yang juga menyebabkan staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS).56,57 Impetigo bulosa awalnya muncul sebagai lesi berupa vesikel kecil, kemudian berkembang menjadi bula dinding kendor berdiameter sekitar 2 cm diatas kulit normal, dengan cairan kuning jernih yang kemudian berubah menjadi keruh. Bula tidak mengalami ruptur semudah vesikel pada impetigo non-bulosa dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Ketika bula pecah dapat diamati dasar jaringan dengan karakteristik basah dan eritematosa, dapat ditutupi krusta tipis berwarna coklat kekuningan (Gambar 6a). Gejala sistemik jarang terjadi, namun apabila muncul dapat bermanifestasi sebagai demam, diare, dan kelemahan. Infeksi cenderung terjadi pada tubuh (trunk), daerah intertriginosa (diaper area, aksila), dan daerah ekstremitas, meskipun dapat

22 pula terjadi pada daerah kutaneous lain. Seperti bentuk impetigo lainnya, infeksi umumnya sembuh dalam waktu 2-3 minggu tanpa jaringan parut.34,36

Gambar 7. Gambaran klinis impetigo bulosa (a) dan non bulosa (b)

2.3.2 Ektima

Ektima adalah infeksi S. aureus yang lebih dalam dari impetigo, di mana ulserasi terbentuk di bawah plak berkrusta. Ektima dapat terjadi sebagai komplikasi dari impetigo yang tidak terobati. Ektima ditandai oleh vesikel yang pecah menghasilkan ulkus yang ditutupi dengan krusta cokelat kehitaman. Ketika krusta diangkat, maka akan didapatkan ulkus dengan gambaran punched out, dengan tepi meninggi dan berindurasi, serta warna keunguan. Pada umumnya terdapat edema dan eritematosa disekitar lesi.

Keluhan dapat disertai rasa gatal dan garukan dapat memperluas penularan infeksi. Ektima terutama terjadi pada ekstremitas bawah pada anak-anak, pada lansia yang tidak terawat serta atau pada diabetes melitus, terutama setelah trauma atau saat gigitan serangga. Lesi ektima menyembuh perlahan dengan terapi antibiotik. Tidak seperti impetigo, ektima meninggalkan bekas jaringan parut pada proses akhir penyembuhannya.34,35

23 Gambar 8. Gambaran klinis ektima

2.3.3 Folikulitis

Folikulitis disebabkan oleh S. aureus, ditandai dengan pustul diskret dengan folikel rambut pada pusatnya. 57 Lokalisasi tersering timbulnya folikulitis adalah pada daerah kulit berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas. Gambaran efloresensi lesi berupa makula eritematosa, papula, pustula, dan miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut. Terlihat pustula folikuker kecil dan berbentuk kubah, sering ditembus oleh rambut halus. Krusta tipis dapat menutupi muara folikel yang menyembul. Gambaran jumlah lesi umumnya lesi banyak, meskipun lesi tunggal dapat terjadi. Masing-masing lesi saling terpisah dengan diselingi kulit normal, tanpa ada kecenderungan untuk berkonfluensi. 34

Gambar 9. Gambaran klinis folikulitis

24 2.3.4 Furunkel dan Karbunkel

Furunkel merupakan inflamasi nodul pada area berambut, terutama yang sering mengalami friksi, oklusi daan perspirasi seperti leher, wajah, aksila dan gluteal. Nodul tersebut disertai nyeri dan berfluktuasi setelah beberapa hari, serta dapat menjadi abses. Apabila ruptur maka akan mengeluarkan cairan pus dan debris nekrotik Karbunkel merupakan beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk abses besar, dalam, dan saling terhubung.56,57 Lokalisasi predominan timbulnya karbunkel adalah pada tengkuk, punggung dan paha. Gambaran efloresensi lesi pada awalnya berupa makula eritematosa lentikular-numular terlokalisasi (setempat), kemudian menjadi nodul lentikular-numular berbentuk kerucut. Dalam satu minggu terjadi supurasi dan pus keluar melalui beberapa muara folikel. Proses selanjutnya muara-muara ini bersatu dan terbentuklah nekrosis sebagai jaringan mati berwarna kuning, yang jika dibuang akan terbentuk cekungan seperti kawah. Lesi yang sembuh akan membentuk parut.35,36

Gambar 10. Gambaran klinis furunkel (a) dan karbunkel (b)

2.4 Penatalaksanaan Infeksi Kulit Superfisial pada Anak Akibat S. aureus Terdapat berbagai modalitas atau pilihan pengobatan yang dapat digunakan sebagai terapi infeksi kulit superfisial akibat S. aureus. Hal ini bergantung pada derajat keparahan kondisinya, dimana terapi yang dapat diberikan berupa antibiotik topikal maupun oral. Pemilihan antibiotik untuk infeksi kulit dan jaringan lunak berbeda di tiap kalangan klinisi maupun institusi, di mana mencerminkan bahwa hal ini tergantung populasi pasien, lokasi

25 anatomis, pola resistensi, risiko timbulnya MRSA, dan kebijakan lokal.

Impetigo tanpa ringan cenderung mengalami resolusi secara self-limiting dan akan sembuh dalam beberapa minggu tanpa bekas jaringan parut. Meskipun demikian, karena karakteristik impetigo yang sangat menular, cara terbaik adalah mengobati dengan medikasi berupa antibiotik topikal. Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) untuk antibiotik yang diberikan, disesuaikan dengan prosedur pemberian (oral atau topikal) dan sensitivitas terhadap strain S. aureus (Tabel 3).3,10,35

Untuk perawatan luka, dianjurkan agar lesi terjadi dibersihkan dengan lembut, krusta diangkat dengan melakukan kompres atau penggunaan wet dressing.35

Dalam beberapa panduan pengobatan, mupirosin topikal memiliki menunjukkan efektivitas yang lebih baik dibandingkan eritromisin oral dan telah terbukti menjadi pilihan tepat bagi pasien dengan strain S. aureus yang resisten terhadap eritromisin. Selain itu, efektivitas antara agen topikal dan oral tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut panduan Infectious Diseases Society of America, baik impetigo bulosa dan non-bulosa dapat diobati dengan antibiotik oral atau topikal selama lima sampai tujuh hari (Tabel 2), namun terapi oral dianjurkan pada pasien dengan banyak lesi atau pada kondisi outbreaks yang menyerang beberapa orang orang dengan tujuan untuk membantu mengurangi transmisi infeksi.14,26,27

2.4.1 Antibiotik Topikal

Antibiotik topikal adalah pilihan utama untuk impetigo derajat ringan hingga sedang. Antibiotik topikal cenderung tidak meningkatkan resistensi bakteri dan efek samping minimal. Untuk bayi, anak - anak, dan remaja, mupirosin dan retapamulin adalah dua agen topikal yang paling umum digunakan.

Mupirosin menghambat sintesis protein bakteri secara reversibel dan berikatan spesifik pada transfer-RNA synthetase. Mupirosin memiliki efek samping yang dapat ditoleransi seperti reaksi lokal, pruritus dan perih.

Retapamulin bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada unit

26 ribosom 50S [14]. Karena kecenderungan risiko epistaksis, retapamulin tidak boleh digunakan pada mukosa hidung. Asam fusidat juga merupakan agen topikal yang umum digunakan namun tidak disetujui Food and Drug Administration (FDA).2,10

2.4.2 Antibiotik Oral

Pada lesi yang luas, dianjurkan penggunaan antibiotik oral. Agen pilihan untuk populasi pediatri mencakup berbagai jenis penisilin dan sefalosporin (Tabel 3). Kedua kelas antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dicloxacillin dan cephalexin umumnya digunakan pada bayi (kecuali neonatus), anak-anak, dan remaja. Apabila dicurigai MRSA atau dikonfirmasi melalui uji kultur dan sensitivitas, antibiotik yang direkomendasikan adalah klindamisin, doksisiklin, atau trimethoprim-sulfametoksazol. Pasien neonatal dengan impetigo bulosa dapat diobati dengan nafcillin, oxacillin, atau klindamisin. Eritromisin merupakan golongan macrolide sebagai modalitas obat pilihan untuk neonatus dengan impetigo non-bullosa. Pada kasus MRSA direkomendasikan penggunaan vankomisin secara intravena. Obat antibiotik sistemik ditunjukkan pada kondisi apabila terdapat keterlibatan struktur jaringan yang lebih dalam, demam, limfadenopati, faringitis, infeksi di dekat rongga mulut, dan infeksi pada kulit kepala dan/atau timbulnya banyak lesi.2,10,34,35

Tabel 2. Terapi antibiotik skin and soft tissue infections S. aureus Kategori Antibiotik Dosis Anak

Impetigo Cephalexin 25–50 mg/kg/hari dibagi 3–4 dosis po

Erythromycin 40 mg/kg/hari mg/kg/hari dibagi 3–4 dosis po

Clindamycin 20 mg/kg/hari dibagi 3–4 dosis

27 po

Amoxicillin-clavulanate 25 mg/kg/hari dari komponen amoxicillin dibagi 2 dosis po Salep Retapamulin Aplikasikan pada lesi 2 kali

sehari

Salep Mupirosin Aplikasikan pada lesi 2 kali sehari

MSSA SSTI Nafcillin atau oxacillin 100–150 mg/kg/hari dibagi 4 dosis po

Cefazolin 50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po Clindamycin 25–40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis

IV atau

25–30 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po

Dicloxacillin 25–50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis po

Cephalexin 25–50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis po

Trimethoprim-sulfamethoxazole

8–12 mg/kg (berdasarkan kandungan trimethoprim) dibagi 4 dosis IV atau dibagi 2 dosis po

* IV (intravena); MSSA (methicillin-susceptible Staphylococcus aureus); po (per-oral); SSTI (skin and soft tissue infection).

28 BAB III

RINGKASAN

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk kokus.

Bakteri S. aureus bertanggung jawab atas sebagian besar infeksi kulit yang diakibatkan oleh bakteri pada tubuh manusia, khususnya anak-anak. Susunan dan fungsi barier kulit pada anak berbeda dengan orang dewasa dalam struktur, fungsi, dan komposisinya sehingga lebih rentan terhadap infeksi S. aureus.

Kecenderungan S. aureus untuk menginfeksi kulit melibatkan keseimbangan antara mekanisme pertahanan kekebalan kulit dan faktor virulensi patogen. Manifestasi klinis yang terjadi dapat berupa impetigo, ektima, folikulitis, furunkulosis, karbunkel. Selain itu, S. aureus juga memiliki toksin berupa superantigen (Sag) yang memiliki kemampuan menghindari sistem pengenalan antigen secara konvensional sehingga aktivasi secara simultan dan tidak spesifik dari sebagian besar populasi sel T total menyebabkan badai sitokin yang mengancam jiwa.

Penatalaksanaan infeksi kulit superfisial akibat S. aureus berbasis pada aplikasi antibiotik selain manajemen supportif sesuai kebutuhan tatalaksana.

Antibiotik dalam pemilihannya untuk infeksi kulit dan jaringan lunak (skin and soft tissue infections [SSTI]) berbeda di kalangan klinisi maupun institusi, di mana untuk infeksi local derajat ringan hingga sedang, terapi antibiotik topikal menjadi pilihan utama, sedangkan untuk lesi yang luas disertai gejala sistemik dapat diterapi dengan antibiotik oral.

29 DAFTAR PUSTAKA

1. Stamatas GN, et al. Infant skin physiology and development during the first years of life: a review of recent findings based on in vivo studies. Int J Cosmet Sci. 2011;33(1):17-24.

2. Telofski LS, et al. The infant skin barrier: can we preserve, protect, and enhance the barrier? Dermatol Res Pract. 2012:1987-89.

3. World Health Organization. World Health Organization Report on Infectious Diseases: Removing Obstacles To Healthy Development. 2007.

URL: http://www.who.int/infectious-disease-report/pages/textonly.html [diakses tanggal 12 September 2017].

4. Stamatas GN, et al. Infant skin microstructure assessed in vivo differs from adult skin in organization and at the cellular level. Pediatr Dermatol.

2010;27(2):125-31.

5. King A, et al. Biology and function of fetal and pediatric skin. Facial Plast Surg Clin North Am. 2013;21(1):1-6.

6. Grice EA, Kong HH, Conlan S, Deming CB, Davis J, Young AC, Bouffard GG, Blakesley RW, Murray PR, Green ED, Turner ML, Segre JA. Topographical and temporal diversity of the human skin microbiome.

Science. 2009; 324:1190–1192.

7. Stamatas GN, et al. Infant skin microstructure assessed in vivo differs from adult skin in organization and at the cellular level. Pediatr Dermatol.

2010;27(2):125-31.

8. King A, et al. Biology and function of fetal and pediatric skin. Facial Plast Surg Clin North Am. 2013;21(1):1-6.

9. Grice EA, Kong HH, Conlan S, Deming CB, Davis J, Young AC, Bouffard GG, Blakesley RW, Murray PR, Green ED, Turner ML, Segre JA. Topographical and temporal diversity of the human skin microbiome.

Science. 2009; 324:1190–1192.

30 10. World Health Organization. Health topics: Infectious diseases. 2013.

URL: http:// www. who.int/topics/infectious_diseases/en/ [diakses tanggal 23 Juli 2013]

11. Dzen SM, Roektiningsih, Santoso S, Winarsih S. Bakteriologi Medik.

Malang : Bayumedia; 2003.

12. Talan DA, Krishnadasan A, Gorwitz RJ, Fosheim GE, Limbago B, Albrecht V, Moran GJ; EMERGEncy ID Net Study Group. Comparison of Staphylococcus aureus from skin and soft-tissue infections in US emergency department patients, 2004 and 2008. Clin Infect Dis.

2011;53(2):144-9. doi: 10.1093/cid/cir308.

13. Krishna S and Miller LS. Host–pathogen interactions between the skin and Staphylococcus aureus. Current opinion in microbiology. 2012;15(1): 28-35.

14. Foster TJ, Geoghegan, Ganesh VK, and Höök M. Adhesion, Invasion and evasion: the many functions of the surface proteins of Staphylococcus aureus. Nat Rev Microbiol. 2014; 12(1): 49-62.

15. Tong SY, Davis JS, Eichenberger E, Holland TL, and Fowler VG.

Staphylococcus aureus infections: epidemiology, pathophysiology, clinical manifestations, and management. Clinical microbiology reviews.

2015;28(3):603-661.

16. Seaton RA. Skin and soft tissue infection diagnosis and management.

Clinical Pharmacist. 2009;1:13-22.

17. Kupper TS, Fuhlbrigge RC. Immune surveillance in the skin: mechanisms and clinical consequences. Nat.Rev.Immunol. 2004; 4:211–222.

18. Nestle FO, Di MP, Qin JZ, Nickoloff BJ. Skin immune sentinels in health and disease. Nat.Rev.Immunol. 2009; 9:679–691.

19. Cork MJ, et al. Epidermal barrier dysfunction in atopic dermatitis. J Invest Dermatol. 2009;129(8): 1892-908.

20. Grice EA, Segre JA. The skin microbiome. Nat.Rev.Microbiol. 2011;

9:244–253.

31 21. Miajlovic H, Fallon PG, Irvine AD, Foster TJ. Effect of filaggrin breakdown products on growth of and protein expression by Staphylococcus aureus. J.Allergy Clin.Immunol. 2010; 126:1184–1190.

22. Iwase T, Uehara Y, Shinji H, Tajima A, Seo H, Takada K, Agata T, Mizunoe Y. Staphylococcus epidermidis Esp inhibits Staphylococcus aureus biofilm formation and nasal colonization. Nature. 2010; 465:346–

349.

23. Cogen AL, Yamasaki K, Sanchez KM, Dorschner RA, Lai Y, Macleod DT, Torpey JW, Otto M, Nizet V, Kim JE, Gallo RL. Selective antimicrobial action is provided by phenol-soluble modulins derived from Staphylococcus epidermidis, a normal resident of the skin. J.Invest Dermatol. 2010; 130:192–200.

24. Lai Y, Cogen AL, Radek KA, Park HJ, Macleod DT, Leichtle A, Ryan AF, Di NA, Gallo RL. Activation of TLR2 by a small molecule produced by Staphylococcus epidermidis increases antimicrobial defense against bacterial skin infections. J.Invest Dermatol. 2010; 130:2211–2221.

25. Wanke I, Steffen H, Christ C, Krismer B, Gotz F, Peschel A, Schaller M, Schittek B. Skin commensals amplify the innate immune response to pathogens by activation of distinct signaling pathways. J.Invest Dermatol.

2011; 131:382–390.

26. Takeuchi O, Akira S. Pattern recognition receptors and inflammation. Cell.

2010; 140:805–820.

27. Kim MH, Granick JL, Kwok C, Walker NJ, Borjesson DL, Curry FR, Miller LS, Simon SI. Neutrophil survival and c-kit+-progenitor proliferation in Staphylococcus aureus-infected skin wounds promote resolution. Blood. 2011; 117:3343–3352.

28. Molne L, Verdrengh M, Tarkowski A. Role of neutrophil leukocytes in cutaneous infection caused by Staphylococcus aureus. Infect.Immun.

2000; 68:6162–6167.

29. Cho JS, Zussman J, Donegan NP, Ramos RI, Garcia NC, Uslan DZ, Iwakura Y, Simon SI, Cheung AL, Modlin RL, Kim J, Miller LS.

32 Noninvasive In Vivo Imaging to Evaluate Immune Responses and Antimicrobial Therapy against Staphylococcus aureus and USA300 MRSA Skin Infections. J.Invest Dermatol. 2011; 131:907–915.

30. Olaru F, Jensen LE. Staphylococcus aureus stimulates neutrophil targeting chemokine expression in keratinocytes through an autocrine IL-1α signaling loop. J.Invest Dermatol. 2010; 130:1866–1876.

31. Munoz-Planillo R, Franchi L, Miller LS, Nunez G. A critical role for hemolysins and bacterial lipoproteins in Staphylococcus aureus-induced activation of the Nlrp3 inflammasome. J.Immunol. 2009; 183:3942–3948.

32. Shimada T, Park BG, Wolf AJ, Brikos C, Goodridge HS, Becker CA, Reyes CN, Miao EA, Aderem A, Gotz F, Liu GY, Underhill DM.

Staphylococcus aureus evades lysozyme-based peptidoglycan digestion that links phagocytosis, inflammasome activation, and IL-1beta secretion.

Cell Host.Microbe. 2010; 7:38–49.

33. Cua DJ, Tato CM. Innate IL-17-producing cells: the sentinels of the immune system. Nat.Rev.Immunol. 2010; 10:479–489.

34. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz, and Johnson RA.

Superficial Cutaneus Infections and Pyodermas. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012.

p. 3025-41. Infectious Diseases Society of America. Clinical infectious diseases. 2014;

59(2): e10-e52.

Dokumen terkait