• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5.1 Sifat kimia dan fisik

Menurut BPOM (2003), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin terkandung sekitar 37 % formaldehida dalam air dan biasanya ditambahkan metanol. Menurut Sigma Aldriech Co. (1999) formalin mengandung 10 – 15 % metanol. Penambahan metanol tersebut untuk mencegah terjadinya polimerisasi (Sittig 1991).

Menurut Anonim (2006) secara industri, formaldehida diproduksi dengan mengoksidasi metanol menggunakan katalis logam perak (silver) atau campuran

dari besi oksida dengan molybdenum dan vanadium. Proses yang paling banyak digunakan adalah sistem oksidasi besi (proses formox), metanol dan oksigen bereaksi pada suhu 400°C menghasilkan formaldehida dengan persamaan kimia sebagai berikut:

CH3OH + ½ O2→ H2CO + H2O

Rumus molekul formaldehida HCHO yang merupakan aldehid paling sederhana. Berat molekul senyawa ini adalah 30,03 g/mol, dengan titik leleh −116.9°C, dan titik didih −19.0°C (US Enviromental Protection Agency 1988).

2.5.2 Penggunaan

Menurut Anonim (2006) formaldehida dapat membunuh sebagian besar bakteri. Oleh karenanya formalin umumnya digunakan sebagai larutan desinfektan dan untuk mengawetkan spesimen biologi. Formalin juga digunakan sebagai pengawet dalam vaksinasi. Dalam pengobatan, formalin digunakan untuk mengeringkan kulit seperti dalam penanganan warts.

Umumnya formaldehida digunakan dalam produksi berbagai produk polimer atau produk kimia lainnya. Formaldehid apabila dikombinasikan dengan phenol, urea, atau melamin akan menghasilkan resin. Resin ini umumnya digunakan sebagai lem permanen seperti plywood atau karpet. Resin ini juga dapat dibuat busa untuk insulasi atau cast (tuangan) menjadi produk cetakan (Anonim 2006).

Formaldehida juga digunakan untuk membuat berbagai produk kimia lainnya. Sebagian besar produk tersebut adalah alkohol multifungsi seperti pentaerythritol yang digunakan untuk membuat cat dan peledak. Turunan lain dari formaldehid termasuk methylene diphenyl diisocyanate suatu komponen penting

dalam polyurethane cat dan busa, dan hexamethylene tetramine yang digunakan

dalam resin phenol-folmaldehid dan untuk membuat peledak RDX (Anonim

2.5.3 Efek kesehatan

Formaldehida merupakan salah satu dari banyaknya polutan udara di dalam ruangan, oleh karena resin formaldehid digunakan dalam berbagai bahan kontruksi, termasuk plywood, karpet, dan busa untuk insulasi. Menghirup formaldehid pada konsentrasi diatas 0,1 mg/kg udara, dapat mengiritasi mata dan selaput lendir mengakibatkan mata berair, sakit kepala, tenggorakan terasa terbakar dan sulit bernafas. Apabila formaldehida masuk tubuh dalam jumlah banyak seperti meminum larutan formaldehid dapat mengakibatkan kematian. Formaldehid akan diubah menjadi asam format (formic acid) didalam tubuh mengakibatkan meningkatkan keasaman darah, menggigil, dan koma atau meninggal. Didalam tubuh, formaldehida dapat menyebabkan protein mengikat DNA yang bersifat tidak dapat lepas kembali. Pada hewan percobaan yang terpapar formalid dalam dosis yang besar memperlihatkan terkena kanker hidung dan tenggorokan. Formaldehida diklasifikasikan karsinogenik bagi manusia (Anonim 2006)

Menurut Sittig (1991) apabila manusia menghirup formalin 0,25 – 0,45 ppm menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorakan; formalin 0,4 – 0,8 ppm menimbulkan batuk dan tersengal, sesak di dada dan nafas pendek; formalin 4 ppm menyebabkan iritasi pada paru-paru dan tenggorokan bahkan bronchitis dan laryngitis; formalin diatas 10 ppm menimbulkan kesulitan bernafas; dan formalin 50 ppm mengakibatkan kerusakan yang serius pada paru-paru. Selain itu dikatakan, apabila manusia menelan sedikitnya sekitar 28 gram cairan formalin dapat menyebabkan kematian, apabila kurang dari jumlah tersebut dapat merusak tenggorokan, perut dan saluran pencernaan yang membuat mabuk, muntah, dan diare.

Menurut BPOM (2003) formalin sangat berbahaya jika terhirup, mengenai

kulit, dan tertelan. Akibatnya yang ditimbulkan dapat berupa : luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan (kemungkinan parah), reaksi alergi dan bahaya kanker pada manusia.

Bahaya jangka pendek (akut) terhadap kesehatan dari penggunaan formalin diantaranya :

ƒ Iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk.

ƒ Kerusakan jaringan dan luka pada saluran pernafasan seperti radang paru,

pembengkakan paru.

ƒ Tanda lain meliputi bersin, radang tetak, radang tenggorokan, sakit dada

yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual dan muntah

ƒ Pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian.

(2)Bila terkena kulit

Apabila terkena kulit maka akan menimbulkan perubahan warna, yakni kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa terbakar.

(3)Bila terkena mata

ƒ Apabila terkena mata dapat menimbulkan iritasi mata sehingga mata

memerah, rasanya sakit, gatal-gatal, penglihatan kabur dan mengeluarkan air mata.

ƒ Bila merupakan bahan berkosentrasi tinggi maka formalin dapat

menyebabkan pengeluaran air mata yang hebat terjadi kerusakan pada lensa mata

(4) Bila tertelan

ƒ Apabila tertelan pada mulut, tenggorokan, dan perut terasa terbakar, sakit

menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma.

ƒ Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas,

sistem susunan syaraf pusat dan ginjal.

Bahaya jangka panjang (kronis) terhadap kesehatan dari penggunaan formalin diantaranya :

(1)Bila terhirup

ƒ Apabila terhirup dalam jangka lama maka akan menimbulkan sakit kepala,

gangguan pernafasan, batuk-batuk, radang selaput lendir hidung, mual, mengantuk, luka pada ginjal dan sensitasi pada paru.

ƒ Efek neuropsikologis meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan

2.5.4 Penyalahgunaan formalin pada makanan

Formalin yang terkandung dalam makanan selain berasal dari bahan tambahan pangan juga dapat berasal dari kemasan pembungkus makanan yang mengandung formalin atau kemasan yang dibuat dari resin formalin (Pearson, 1981 yang diacu dalam Tresniani 2003). Di Indonesia formalin ditemukan dalam beberapa bahan makanan diantaranya mie, tahu, ayam potong, dan ikan. Menurut hasil penelitian Riyanto et al (2006) secara alami sebenarnya formaldehid terbentuk dalam tubuh ikan segar selama masa penyimpanan dan pembusukan. Lebih lanjut disampaikan formaldehid yang terbentuk adalah 2,4 – 3,0 ppm pada lama penyimpanan 20 jam pada saat itu kadar air mencapai 77 %, TVB 515,7 mgN % dan nilai organoleptik 1,2.

Berdasarkan hasil monitoring Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (2000) pada beberapa produk perikanan teridentifikasi positif mengandung formalin yaitu produk Tofu Udang (Medan), Egg Tofu Shrimp (Medan), Kerang Kupas (Medan dan Cirebon), dan Tahu Udang (Surabaya). Penggunaan formalin tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya awet produk dan menjaga konsistensi atau kekenyalan produk.

Menurut Sang Saka (2002) dan Media Indonesia (2002) produk ikan segar di Medan dilaporkan mengandung formalin. Berdasarkan Kompas (2005), ditemukan penggunaan formalin pada pengolahan ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke. Alasan pengolah menggunakan formalin karena rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu sebesar 75 %, sedangkan apabila tidak menggunakan formalin rendemen yang dihasilkan sebesar 40 %.

Penggunaan formalin pada produk pangan lainnya selain produk ikan telah dilaporkan Muchtadi dan Puspitasari-Nienaber (1997) dan Trust (2003), formalin digunakan dalam pengolahan produk tahu untuk meningkatkan daya awet produk tersebut. Demikian pula Tresniani (2003) telah mengidentifikasi penggunaan formalin pada pengolahan produk tahu di Kota Tangerang. Selain itu, formalin juga digunakan dalam pengolahan Mie Basah seperti yang dilaporkan Warta Konsumen (1991), dan Kompas (2002). Produk lainnya yang menggunakan formalin adalah daging ayam potong (Muchtadi dan Puspitasari-Nienaber 1997).

Di negara lain formalin sering digunakan untuk mengawetkan susu. Dalam satu mililiter formalin cukup untuk 25 liter susu. Tetapi susu segar dilarang diawetkan dengan formalin. Karena itu pemeriksaan susu segar di negara-negara maju perlu dilakukan guna mengetahui ada tidaknya formalin. Lebih lanjut International Programme on Chemical Safety (IPCS) tahun 1989 yang diacu dalam Tresniani (2003), juga melaporkan adanya formalin dalam beberapa bahan makanan sebagaimana tercantum dalam Tabel 6.

Tabel 6. Konsentrasi formalin dalam beberapa bahan makanan

No Bahan Makanan Konsentrasi Formalin

(mg/kg) 1 Buah pear 60 2 Apel 17,3 3 Kubis 4,7 4 Wortel 6,7 5 Bawang daun 13,3 6 Tomat 5,7 7 Bayam 3,3 8 Daging babi 20 9 Daging domba 8 10 Daging ayam 5,7 11 Susu kambing 1 12 Susu sapi > 3,3 13 Keju > 3,3

14 Ikan air tawar 8,8

15 Ikan laut 20

Sumber : International Programme on Chemical Safety (IPCS) 1989 yang diacu dalam Tresniani (2003)

Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formalin bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut (Widawati et al. 1998). Menurut Karrer (1950) daya desinfektan dari formaldehida adalah kemampuannya bereaksi dengan senyawa amina dari protein yang membentuk

senyawa kompleks yang sulit larut seperti : hexamethylenetetramine dan urotropine. Reaksi pembentukan senyawa hexamethylenetetramine dari reaksi formaldehida dengan ammonia adalah sebagai berikut:

6 CH2O + 4 NH3→ 6 H2O + C6 H12N4 (Hexamethylenetetramine)

Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006) tanda-tanda ikan segar yang mengandung formalin adalah warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk, sedangkan pada ikan asin menunjukkan daging kenyal, lebih putih dan bersih, dan lebih tahan lama. Gambar 5 memperlihatkan ikan segar tanpa formalin dan dengan formalin (Budiyanto et al. 2005). Ikan segar tanpa formalin memperlihatkan warna cemerlang spesifik jenis, tektur elastis bila ditekan dengan jari, bau segar spesifik jenis, sedangkan ikan segar dengan formalin memperlihatkan warna pucat kusam, tektur keras dan padat bila ditekan dengan jari, dan bau asam.

(a) (b)

Gambar 5. Ikan segar tanpa formalin (a) dan ikan segar dengan formalin (b) (Budiyanto et al. 2005)

2.5.5 Distribusi formalin

Pemerintah telah mengatur tataniaga formalin melalui Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 04/M-DAG/PER/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Adapun ruang lingkup dari peraturan ini adalah:

ƒ Hanya mengatur mengenai distribusi dan pengawasan bahan berbahaya, tidak termasuk produksi.

ƒ Jenis bahan berbahaya yang diatur meliputi 54 jenis, termasuk diantaranya :

formalin, boraks, methanil yellow dan rhodamin B.

Secara ringkas, mekanisme distribusi bahan berbahaya sesuai peraturan diatas adalah sebagai berikut:

ƒ Distribusi bahan berbahaya dilakukan oleh :

- Produsen hanya secara langsung kepada Pengguna Akhir atau melalui

Distributor Terdaftar.

- Importir Terdaftar selaku Distributor hanya secara langsung kepada

Pengguna Akhir.

- Importir Produsen hanya untuk proses produksinya sendiri

- Distributor terdaftar hanya secara langsung kepada Pengguna Akhir atau

melalui Pengecer Terdaftar.

- Pengecer Terdaftar hanya kepada Pengguna Akhir.

ƒ Pengguna Akhir dilarang: mendistribusikan/memindah tangankan bahan

berbahaya kepada siapapun.

Secara diagram, mekanisme distribusi bahan berbahaya (B2) disajikan pada Gambar 6.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 04/M-DAG/PER/2/2006 tersebut juga diatur tentang lembar data keamanan, pengemasan, pelabelan, perizinan, tim pemeriksa, dan larangan. Larangan berisi tentang larangan pendistribusian dan perdagangan serta pengemasan kembali bahan berbahaya berlaku bagi setiap orang/badan usaha yang tidak memiliki jenis izin pendistribusian 54 jenis usaha Bahan Berbahaya. Larangan perdagangan juga berlaku bagi DT-B2, PT-B2 dan PA-B2 yang memperdagangkan Bahan Berbahaya diluar peruntukannya termasuk untuk pangan dan kosmetik

2.5.6 Standar Nasional Indonesia (SNI) formalin

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2569-1992, definisi formalin teknis adalah larutan formaldehida dalam air, tidak berwarna, berbau

menyengat khas formalin dan mengandung zat pemantap. Adapun syarat mutu dari formalin adalah sebagai berikut:

-Kenampakan……… : Cairan jernih tidak berwarna

-Formaldehida………... : min. 37,0 %

-Asam (dihitung sebagai asam format).. : maks. 0,03 %

Pasar dalam negeri (Wilayah Pengaturan)

Sumber: Agustina (2006)

Gambar 6. Mekanisme distribusi bahan berbahaya (B2)

Formalin dikemaskan dalam wadah yang terbuat dari bahan yang tidak akan bereaksi dengan isinya yang tertutup rapat dan melindungi isinya selama penyimpanan dan pengangkutan. Pada label dituliskan nama produk, rumus molekul, kadar, jumlah/bobot isi dan sifat bahayanya.

IP-B2 Hanya untuk bahan baku produksi Produsen Dalam Negeri (P-B2) IT-B2=DT-B2 DT-B2 PT-B2 PA-B2

Ket: IP=Importir Produsen, IT=Importir Terdaftar, DT=Distributor Terdaftar PT=Pengecer Terdaftar, PA=Pengguna Akhir

2.5.7 Teknologi alternatif pengganti formalin

Ada banyak bahan alternatif pengganti formalin yang diajukan oleh institusi-instusi atau lembaga pemerintah yang merupakan hasil penelitian. Bahan- bahan tersebutnya bersifat aman bagi kesehatan dan sebagian besar bersifat bahan alami bukan bahan kimia sintetis dan umumnya sudah dikenal dan dipraktekkan masyarakat. Bahan-bahan tersebut adalah biji picung, kitosan, dan asap cair (Agrina 2006; Flona 2006; dan Samudra 2006), sodium tripolyphosphat, gliserin, carboxy methyl cellulose, garam, cuka, bawang putih, kunyit, dan ketumbar (Widyaningsih dan Murtini 2006).

Departemen Kelautan dan Perikanan yang diacu dalam Flona (2006)

berpendapat cold chain system yakni metode pendinginan dari mulai produksi,

distribusi sampai pemasaran masih merupakan metode yang paling tepat untuk menjaga mutu ikan. Cold chain system merupakan upaya memperlambat proses penurunan mutu yang menjurus ke arah proses pembusukan ikan sejak ikan ditangkap sampai dengan diterima konsumen dengan menggunakan pendinginan maupun pembekuan. Teknik pendinginan dan pembekuan dapat menghambat penurunan nilai ikan. Prinsip penanganan ikan segar dengan pendinginan adalah mempertahankan kesegaran ikan sepanjang mungkin dengan cara memperlakukan

ikan dengan cepat, hati-hati, suhu ikan sekitar 00C, bersih, dan hygienik. Bahan

yang banyak digunakan menurunkan suhu ikan adalah es karena campuran ikan dengan es menghasilkan pendinginan cepat karena kontak yang erat (intim) antara ikan dengan es disamping itu juga es yang meleleh mempunyai efek pencucian yang terus menerus, yang menghanyutkan bakteri, darah dan lendir dari ikan

Hasil penelitian Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan menunjukkan ekstrak Picung mampu mengawetkan produk ikan segar sampai 7 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa Picung dapat meningkatkan daya awet namun penggunaannya masih terbatas pada produk ikan segar.

Hasil penelitian Suseno et al. (2005) menunjukkan kitosan dapat meningkatkan daya awet ikan cucut asin sampai dengan 3 (tiga) bulan dan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena pelapisan kitosan dapat membentuk barrier protective pada permukaan sehingga dapat menghambat

penguapan air, oksidasi, dan aktivitas kapang. Hasil penelitian Chen et al. (1996) menunjukkan pencampuran kitosan dengan methylcellulose dapat mencegah pertumbuhan jamur. Menurut Jeon et al. (1999) carboxymetylcellulose (CMC) dan methycellulose (MC) dapat memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena memiliki daya pengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas. Hasil penelitian Murtini dan Kusmarwati (2006) memperlihatkan penggunaan 0,75 % kitosan dapat memperpanjang daya awet cumi-cumi segar selama 16 jam. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Napitupulu et al. (2006) penggunaan campuran kitosan dengan benzoat tidak dapat meningkatkan daya awet ikan pari panggang namun secara organoleptik menghasilkan produk yang lebih diterima oleh panelis. Hasil penelitian Santoso (1989) menunjukkan Na-benzoat sangat efektif menghambat pertumbuhan bakteri Halobacterium salinarium. Namun demikian, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.6581 Tahun 2007 tentang Penggunaan Chitosan dalam Produk Pangan, chitosan tidak digolongkan sebagai bahan tambahan pangan pengawet dalam produk pangan.

Menurut Dwiyitno dan Riyanto (2006) larutan asap cair mempunyai potensi sebagai pengawet karena kemampuannya sebagai antibakteri dan antijamur tetapi cukup sulit untuk dijadikan sebagai pengawet ikan segar karena terjadinya perubahan aroma (aroma asap cair) pada ikan sehingga ikan tidak dapat dikategorikan sebagai ikan segar. Selain itu kemungkinan adanya kandungan senyawa berbahaya seperti: benzopirin dalam asap cair perlu mendapat perhatian sebelum digunakan dalam makanan. Berdasarkan ketentuan BPOM, asap cair termasuk kedalam kategori bahan pemberi cita rasa bukan sebagai bahan pengawet pangan.

Alternatif lain yang ada adalah penggunaan larutan minatrit (larutan klorin

dioksida/ClO2). Penggunaan larutan ini telah disosialisasikan oleh Dinas

Perikanan Jawa Barat maupun DKI Jakarta pada tahun 2005. Hasil penelitian Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu (2005) menunjukkan daya awet ikan meningkat apabila ikan tidak hanya diberikan es tetapi juga ditambahkan dengan “minatrit” Penggunaan larutan minatrit dianjurkan untuk pencucian ikan dengan dosis sebesar 10 ppm (5 ml Minatrit dalam 10 liter air), penyimpanan ikan dengan

es dengan dosis minatrit sebesar 5 ppm (2,5 ml Minatrit dalam 10 kg ikan), dan penyimpanan ikan dengan air laut dingin es dengan dosis sebesar 1 ppm (0,5 liter

dalam 10 ton/10.000 liter air laut dingin -20C). Secara umum, penggunaan larutan

minatrit untuk penanganan ikan dan tidak digunakan secara tunggal tetapi harus disertai dengan pengesan atau pendinginan.

2.6 Bitrex

Penambahan bahan pemberi cita rasa pahit (denatonium benzoate) dengan nama dagang Bitrex banyak digunakan pada produk-produk rumah tangga, kendaraan, dan kebun seperti: pembersih kaca dan kamar mandi, sabun, pewarna rambut, lilin, pembersih kendaraan, pengkilap kendaraan, pestisida, herbisida, dan penolak hewan. Tujuan utama dari penggunaan denatonium benzoate adalah

mencegah anak kecil meminum produk-produk tersebut karena mengandung

bahan kimia berbahaya. Pada konsentrasi yang rendah, denatonium benzoate sudah dapat menimbulkan rasa pahit yakni 1–10 ppm (Anonim 2007b). Struktul molekul denatonium disajikan pada Gambar 7 (Anonim 2007c).

___ ___ | CH3 | | ___/ CH2CH3 ___ | | / \ | / \ | | / _ \ |+ / _ \ | | / / \ \---NH--CO--CH2--N--CH2---/ / \ \ | | \ \_/ / | \ \_/ / | | \ / | \ / | | \___/ CH2CH3 \___/ | | \ | |__ CH3 ___| ___ / \ / _ \ / / \ \---CO2- \ \_/ / \ / \___/

Sifat kimia dan fisik denatonium benzoate : rumus molekul C28H34N2O3,

berat molekul 446.581, dan titik leleh 163 - 1700C. Denatonium merupakan kation

ammonium kuartener. Senyawa ini merupakan garam dengan anion inert seperti benzoate atau sakarida. Struktur denatonium menyerupai senyawa bius lokal lidocaine, perbedaannya hanya pada adanya benzyl pada nitrogen amino (Anonim 2006). Molekul denatonium sangat tepat bagi reseptor pada lidah yang bertanggung jawab pada rasa pahit. Adanya perubahan pada struktur molekulnya akan mempengaruhi efektivitas rasa pahit dari denatonium.

2.7 Perilaku Konsumen

Menurut Sumarwan (2002) istilah konsumen sering diartikan sebagai dua jenis konsumen yaitu: konsumen individu dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri. Konsumen organisasi, yang meliputi organisasi bisnis, yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintah, dan lembaga lainnya. Semua jenis organisasi ini harus membeli produk, peralatan dan jasa-jasa lainnya untuk menjalankan seluruh kegiatan organisasinya.

Konsumen memberikan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, tanpa konsumen produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan tidak mungkin bisa laku terjual. Konsumen individulah yang langsung mempengaruhi kemajuan dan kemunduran perusahaan. Produk sebaik apapun tidak akan ada artinya bagi perusahaan jika ia tidak dibeli oleh konsumen individu.

Menurut Prawironegoro (2006) manusia mempunyai karakteristik dan sifat yang berbeda-beda. Hal ini akan mempengaruhi pola pembelian terhadap suatu produk. Menurut Loudon dan Della Bitta (1988) yang diacu dalam Prawironegoro (2006), perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan dan mengajak aktivitas individu dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau mengatur barang dan jasa.

Mengetahui perilaku konsumen meliputi perilaku yang dapat diamati seperti jumlah yang dibelanjakan, kapan, dengan siapa, oleh siapa dan bagaimana barang yang sudah dibeli dikonsumsi. Juga termasuk variabel-variabel yang tidak dapat diamati seperti nilai-nilai yang dimiliki konsumen, kebutuhan pribadi, persepsi,

bagaimana mereka mengevaluasi alternatif dan apa yang mereka rasakan tentang kepemilikan dan penggunaan produk yang bermacam-macam.

Menurut Sumarwan (2002) selain para pemasar atau produsen, lembaga pendidikan atau lembaga sosial dan pemerintah juga berkepentingan untuk mengetahui dan mempengaruhi perilaku konsumen. Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk mendidik dan melindungi konsumen.

Keputusan pembelian dari konsumen sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologis (Kotler dan Amstrong 1992 yang diacu dalam Prawironegoro 2006). Faktor-faktor ini tidak dapat dikendalikan oleh pemasar, tetapi harus benar-benar diperhitungkan karena akan berpengaruh kepada pelaku pembelian.

Ada lima tahap yang dilalui konsumen dalam proses pembelian, yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi altematif, keputusan pembclian dan perilaku pembelian (Kotler dan Amstrong 1992 yang diacu dalam Prawironegoro 2006). Model ini menekankan bahwa proses pembelian bermula pada sebelum pembelian dan berakibatjauh setelah pembelian. Setiap konsumen melalui kelima tahap ini untuk setiap pembelian yang mereka buat. Dalam pembelian yang lebih rutin, mereka membalik tahap-tahap tersebut.

Model tahap-tahap dalam proses keputusan membeli adalah sebagai berikut:

(1) Pengenalan kebutuhan

Proses dimulai saat pembeli menyadari adanya masalah atau kebutuhan. Pembeli merasakan adanya perbedaan antara, yang nyata dengan yang diinginkan. Kebutuhan ini disebabkan karena adanya rangsangan intemal maupun eksternal. Dari pengalaman sebelumnya orang telah belajar bagaimana mengatasi dorongan ini dan dimotivasi ke arah produk yang diketahuinya akan memuaskan dorongan ini.

(2) Pencarian informasi

Seorang konsumen yang terdorong kebutuhannya mungkin atau mungkin juga tidak mencari informasi lebih lanjut. Jika dorongan konsumen kuat dan produk itu berada di dekatnya, mungkin konsumen akan langsung membelinya. Jika tidak, kebutuhan konsumen ini hanya akan menjadi ingatan saja.

Untuk mencari informasi ada dua tingkat yang membedakan pencarian informasi, yaitu perhatian yang meningkat, yang ditandai dengan pencarian informasi yang sedang-sedang saja, sedangkan mencari informasi secara aktif dilakukan dengan mencari informasi dari segala sumber.

(3) Evaluasi altematif

Konsumen memproses informasi tentang pilihan merek untuk membuat keputusan terakhir. Pertama, kita melihat bahwa konsumen mempunyai kebutuhan. Konsumen akan mencari manfaat tertentu dan selanjutnya melihat kepada atribut produk. Konsumen akan memberikan bobot yang berbeda untuk setiap atribut produk sesuai dengan kepentingannya. Kemudian konsumen mungkin akan mengembangkan himpunan kepercayaan merek. Konsumen juga dianggap memiliki fungsi utilitas, yaitu bagaimana konsumen mengharapkan kepuasan produk bervariasi menurut tingkat altematif tiap ciri. Dan akhirnya konsumen akan tiba pada sikap ke arah alternatif merek melalui prosedur tertentu.

(4) Keputusan pembelian

Pada tahap evaluasi, konsumen menyusun merek-merek dalam himpunan pilihan serta membentuk niat pembelian. Biasanya ia akan memilih merek yang disukai. Tetapi ada pula faktor yang mempengaruhi seperti sikap orang lain dan faktor-faktor keadaan yang tidak terduga.

(5) Perilaku sesudah pembelian

Sesudah pembelian terhadap suatu produk, konsumen akan mengalami beberapa tingkat kepuasan atau ketidakpuasan yaitu:

1) Kepuasan sesudah pembelian

Konsumen mendasarkan harapannya kepada informasi yang mereka terima tentang produk. Jika kenyataan yang mereka dapat temyata berbeda dari yang diharapkan, mereka merasa tidak puas. Bila produk tersebut memenuhi harapan

Dokumen terkait