• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan"

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUK PERIKANAN

(KASUS DI WILAYAH BARAT PANTAI UTARA JAWA)

AEF PERMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PRODUK PERIKANAN

(KASUS DI WILAYAH BARAT PANTAI UTARA JAWA)

AEF PERMADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dosen Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz

(4)

Nama Mahasiswa : Aef Permadi Nomor Pokok : C 561020044

Program Studi : Teknologi Kelautan (TKL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. Ketua

Dr. Sunarya Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Anggota Anggota

Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Dekan Sekolah Pascasarjana Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Perikanan (Kasus Di Wilayah Barat Pantai Utara Jawa) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2008

(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(7)

AEF PERMADI. Analisis Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Perikanan (Kasus Di Wilayah Barat Pantai Utara Jawa). Dibimbing oleh : MITA WAHYUNI, DANIEL R. MONINTJA, SUNARYA DAN AGUS HERI PURNOMO.

Produk perikanan (produk olahan dan ikan segar) domestik sebagian terkontaminasi formalin disebabkan penyalahgunaan formalin dalam penanganan dan pengolahan produk perikanan. Untuk itu diperlukan pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan.

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi formalin dan penggunaannya pada penanganan dan pengolahan produk ikan segar dan olahan tradisional di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, (2) Menganalisis kebijakan pencegahan penggunaan formalin yang ada selama ini. (3) Menganalisis karakteristik pengolah ikan dan faktor yang mempengaruhi penggunaan formalin, (4) menganalisis perilaku konsumen produk perikanan di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Tangerang, (5) Merumuskan pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan.

Pengembangan kebijakan keamanan produk perikanan dihasilkan dengan melakukan identifikasi formalin, analisis pengolah ikan, analisis faktor, analisis konsumen, Analysis Hierarchy Process (AHP) dananalisis SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan 14 % sampel ikan di pantai utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Tangerang mengandung formalin. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengolah menggunakan formalin diantaranya lemahnya penegakan hukum dan kemudahan mendapatkan formalin. Peraturan perundangan keamanan produk perikanan dan sistem keamanan pangan nasional secara umum sudah sesuai dan memadai. Demikian pula pemerintah telah mengeluarkan kebijakan aksi nasional pengendalian penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan.

Prioritas utama strategi pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan adalah regulasi pemberian senyawa kimia pemberi cita rasa pahit

(bitrex) pada formalin. Untuk itu perlu segera dikeluarkan regulasi pemberian

senyawa kimia pemberi cita rasa pahit (bitrex) pada formalin. Penerapan rantai dingin dalam penanganan ikan perlu ditingkatkan dengan menyediakan es yang cukup dan murah serta bersifat wajib atau adanya pemberian insentif dan disinsentif dalam penggunaan es oleh nelayan, pengolah, dan pedagang. Mal-praktek penggunaan formalin perlu dihentikan dengan tindakan tegas terhadap pelaku usaha (nelayan, pengolah, pedagang ikan, agen/distributor ikan, pengecer/toko bahankimia) dengan melakukan penegakan hukum sampai adanya putusan sanksi pidana sesuai peraturan dan perundang-undangan. Pembinaan konsumen yang kritis terhadap mutu dan keamanan hasil perikanan yang dikonsumsinya guna mendapatkan haknya akan makanan yang aman perlu ditingkatkan melalui penyuluhan oleh institusi pemerintah. Sasaran penyuluhan adalah para ibu rumah tangga melalui penggunaan media massa (televisi, radio, surat kabar) maupun kegiatan-kegiatan organisasi masyarakat.

(8)

Fishery Product (Case in West Region of Java’s Northern Coastal). Under Supervision : MITA WAHYUNI, DANIEL R MONINTJA, SUNARYA AND AGUS HERI PURNOMO.

Fish products (processed and iced) in the domestic market have been contaminated by formalin due to the malpractice of formalin in processing or handling practices of fish products. This fact is clearly threatening public health. Therefore, the development of policy on preventive use of formalin is needed

Specifically, this research had the following purposes: (1) Identifying formalin and its usage in the handling and processing of fresh and traditionally processed fish in West Java’s Northern Coastal, Jakarta, and Banten, (2) Analyzing current policy, (3) Analyzing characteristics of fish processors and the factors that have an impact on formalin usage, (4) Analyzing behaviors of consumers of fishery product in West Java’s Northern Coastal, Jakarta, and Tangerang, (5) Formulating development of policy on prevention of formalin usage in fishery product.

Development of policy on fishery product safety is being made by identifying formalin in fishery product in both of qualitative and quantitative ways, fishery processor analysis, factor analysis, consumer analysis, Analysis Hierarchy Process (AHP) and SWOT analysis.

The research result shows that: 14 % of fish samples from research locations contained formalin. Factors which gave an impact on fish processor of formalin malpractice, among other things, are the weakness of law enforcement and an easy access to get formalin. Regulation of fishery product safety and national food safety system were appropriate and sufficient. Government also issued national action on the controling of malpractice of formalin.

Main priority of strategy of prevention of formalin malpractice in fishery product is the adding of chemical subtances with bitter flavour (bitrex). Therefore the regulation on the adding of chemical subtances with bitter flavour (bitrex) must be issued immediately. The application of cold chain system in fish handling must be improved by supplying of ice that is sufficient and cheap, obligatory, or by giving incentive and disincentive to fishermen, fish processor, and trader. Malpractice of formalin must be stopped by law enforcement. Advocacy of critical consumers on fishery product quality and safety must be improved by extention of government institutions. The target of extention is housewives through the use of mass media (television, radio, newspaper) and activities of community organizations.

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya disertasi ini telah selesai disusun. Judul disertasi ini adalah “Analisis Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Perikanan (Kasus Di Wilayah Barat Pantai Utara Jawa)”.

Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan pertimbangan untuk pengambil kebijakan pemerintah maupun non-pemerintah dalam pengembangan keamanan dan mutu produk perikanan khususnya penyalahgunaan formalin.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih yang setulusnya dan penghargaan kepada Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Daniel R. Monintja, Dr. Sunarya, serta Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. selaku Anggota Komisi atas arahan dan masukan dalam penulisan disertasi ini. Demikian pula kepada Dr. Wahyono HP, Dr. Dedi H Sutisna, Dr. Iin Siti Djunaedah, M.Sc., Dr. Maimun, Dr. Chandra Nainggolan, Ir. Sugianto Halim, M.Si, dan Dr. Suharyanto selaku pimpinan Sekolah Tinggi Perikanan yang telah memberikan kesempatan dan bantuannya dalam mengikuti pendidikan dan menyelesaikan pembuatan disertasi.

Ucapan terima kasih kami tujukan pula kepada keluarga penulis (isteri, anak-anak, orang tua, ibu mertua, kakak, dan adik) yang telah memberikan dorongan serta pengorbanan waktu yang diberikan selama penulis melakukan studi dan penelitian. Demikian pula penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. I Nyoman Suyasa, Dr. Maman Hermawan, Ir. Benyamin Syarif, Syarif Syamsudin, M.Si, Moch Nurhudah, M.Sc., Sinung Raharjo, M.Si., Zulfriandi, M.Si dan Syaifurijal, M.Ed serta teman-teman yang belum sempat disebutkan satu persatu dalam membantu penulis menyelesaikan pembuatan disertasi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini masih belum sempurna, untuk itu saran dan masukan-masukan yang membangun sangat penulis harapkan, semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1961 di Kuningan, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara keluarga Bapak H. TS Permana Saputra, BA dan Ibu Hj. Siti Chadidjah.

Tahun 1987 penulis menikah dengan Niken Dharmayanti, M.Si. dan dikaruniai 3 (tiga) orang putra/i yaitu Arif Wicaksono Aryadi (20 tahun), Okky Gigih Widyanto (16 tahun) dan Nitya Khairunnisa (11 tahun).

Penulis menyelesaikan pendidikan program sarjana jalur alih jenjang Institut Pertanian Bogor dan lulus dari Fakultas Perikanan, Jurusan Teknologi Hasil Perikanan tahun 1996. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Pascasarjana (S2) Institut Pertanian Bogor, Program Studi Teknologi Industri Pertanian dan lulus tahun 1999. Tahun 2002 penulis mendapat tugas belajar dari Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mengikuti pendidikan S3 dan mengambil Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selain pendidikan reguler, penulis juga pernah mengikuti short-course Fish Processing

Technology and Science di Kanagawa, Jepang pada tahun 1992.

(11)

ix Halaman

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 4

1.3 Pembatasan Masalah... 10

1.4 Perumusan Masalah... 12

1.5 Tujuan... 13

1.6 Hipotesis... 14

1.7 Manfaat Penelitian... 14

1.8 Kerangka Pemikiran... 15

2 TINJAUAN PUSTAKA... 18

2.1 Analisis Kebijakan... 18

2.2 Sistim Bisnis dan Industri Kelautan dan Perikanan…...………….. 20

2.3 Keamanan Pangan... 23

2.3.1 Pengertian keamanan pangan... 23

2.3.2 Permasalahan keamanan pangan... 24

2.3.3 Kelembagaan... 27

2.3.4 Sistem keamanan pangan... 33

2.4 Bahan Tambahan Pangan... 35

2.4.1 Pengertian bahan tambahan pangan... 35

2.4.2 Kebijakan bahan tambahan pangan... 36

2.5 Formalin……... 41

2.5.1 Sifat kimia dan fisik... 41

2.5.2 Penggunaan……… 42

2.5.3 Efek kesehatan... 43

2.5.4 Penyalahgunaan formalin pada makanan... 45

2.5.5 Distribusi formalin………... 47

2.5.6 Standar Nasional Indonesia (SNI) formalin……….. 48

2.5.7 Teknologi alternatif pengganti formalin... 50

(12)

x

2.8 Analytical Hierrarchy Process (AHP)... 56

2.9 Analisis Faktor... 58

2.10 Analisis SWOT... 60

2.11 Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)... 60

3 METODOLOGI PENELITIAN... 62

3.1 Kerangka Penelitian... 62

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 64

3.3 Bahan dan Alat... 64

3.3.1 Bahan... 64

3.3.2 Alat... 64

3.4 Pengambilan Sampel... 64

3.5 Pengumpulan Data... 67

3.6 Metode Analisis Data... 70

3.6.1 Identifikasi formalin ... 71

3.6.2 Analisis pengolah ikan... 71

3.6.3 Analisis konsumen... 75

3.6.4 Analisis strategi kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin... 75

4 HASIL ... 79

4.1 Identifikasi Formalin... 79

4.1.1 Pantai utara Jawa Barat... 80

4.1.2 DKI Jakarta... 84

4.1.3 Tangerang... 86

4.2 Analisis Pengolah Ikan... 87

4.2.1 Karakteristik responden pengolah... 87

4.2.2 Persepsi pengolah... 88

4.2.3 Penggunaan formalin pada proses pengolahan... 92

4.2.4 Pemasaran produk... 94

4.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengolah menggunakan formalin... 97

4.3 Analisis Konsumen... 99

4.3.1 Karakteristik responden... 99

4.3.2 Proses keputusan konsumen... 100

(13)

xi

AHP... 108

4.4.1 Faktor... 109

4.4.2 Pelaku (Aktor)... 109

4.4.3 Tujuan... 111

4.4.4 Strategi... 112

5 PEMBAHASAN... 114

5.1 Formalin pada Produk Perikanan... 114

5.2 Kondisi Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin... 115

5.2.1 Sistem keamanan pangan nasional... 115

5.2.2 Peraturan dan perundang-undangan larangan penggunaan formalin pada produk perikanan... 123

5.2.3 Pemetaan keterkaitan instansi pemerintah dalam keamanan produk perikanan... 125

5.2.4 Aksi nasional pengendalian penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pangan... 128

5.2.5 Kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin di negara lain... 133

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengolah Ikan Tradisional Menggunakan Formalin... 135

5.3.1 Lemahnya penegakan hukum... 135

5.3.2 Konsumen... 138

5.3.3 Ekonomi... 139

5.3.4 Kemudahan mendapatkan formalin... 141

5.3.5 Harga formalin... 143

5.3.6 Pengaruh teman... 145

5.3.7 Pengawasan... 145

5.3.8 Pembinaan... 146

5.3.9 Agama... 146

5.3.10 Daya awet... 148

5.3.11 Rendemen... 148

5.3.12 Mutu... 149

5.3.13 Teknologi alternatif... 149

5.4 Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Hasil Perikanan... 163

5.4.1 Pengawasan... 164

5.4.2 Pembinaan... 175

5.4.3 Regulasi... 192

5.4.4 Pengembangan riset... 197

(14)

xii 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 210

(15)

xiii

1. Bahan berbahaya yang terdapat pada pangan ... 26

2. Kelembagaan pembinaan dan pengawasan sesuai peraturan perundang- undangan pangan, perikanan, perlindungan konsumen, dan distribusi formalin... 31

3. Jejaring dalam sistem keamanan pangan terpadu dengan kelembagaan yang terkait... 34

4. Golongan bahan tambahan makanan... 36

5. Peraturan dan pasal-pasal yang terkait dengan bahan tambahan pangan... 37

6. Konsentrasi formalin dalam beberapa bahan makanan... 46

7. Jumlah sampel ikan segar dan olahan di lokasi penelitian... 66

8. Jumlah responden konsumen ikan di lokasi penelitian... 67

9. Jumlah responden pengolah ikan di lokasi penelitian ... 68

10. Jumlah responden AHP di lokasi penelitian ..……….. 68

11. Aspek kajian, kriteria, dan alat analisis... 70

12. Daftar variabel-variabel yang diteliti... 74

13. Definisi dari nilai skala yang digunakan untuk nilai komparasi... 77

14. Rekapitulasi hasil uji formalin sampel di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta dan Tangerang Banten... 79

15. Hasil identifikasi formalin di Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon... 81

16. Jenis-jenis produk olahan yang mengandung formalin di Pantai Utara Jawa Barat... . 82

17. Hasil identifikasi formalin di DKI Jakarta... 84

18. Jenis-jenis produk olahan yang mengandung formalin di DKI Jakarta... 85

19. Hasil identifikasi formalin di Sungai Bahari -Tangerang ... 86

20. Karakteristik responden pengolah ... 88

21. Penggunaan formalin pada beberapa proses pengolahan produk ikan 93 22. Besarnya nilai keragaman data, nilai communality dan pengelompokkan variabel asal kedalam masing-masing komponen utama hasil analisis faktor... 98

(16)

xiv 24. Bobot dan prioritas yang mempengaruhi pengendalian penyalah-

gunaan formalin... 109

25. Bobot dan prioritas pelaku/aktor yang mempengaruhi pengendalian penyalahgunaan formalin... 111

26. Bobot dan prioritas tujuan dalam pengendalian penyalahgunaan formalin... 112

27. Bobot dan prioritas strategi dalam pengendalian penyalahgunaan formalin... 112

28. Sistem keamanan pangan Indonesia dibandingkan dengan Panduan untuk Memperkuat Sistem Keamanan Pangan Nasional (dikeluar kan Safe Food International bersama WHO/FAO tahun 2005)... 117

29. Program dan pelaksanaan aksi nasional pengendalian penyalahgu naan bahan berbahaya dalam pangan... 130

30. Aspek finansial usaha pengolahan ikan panggang, kerang rebus, dan teri asin di Cirebon... 140

31. Kapasitas produksi formalin dari 20 perusahaan di Indonesia... 142

32. Prosentase biaya penggunaan formalin terhadap biaya keseluruhan yang dikeluarkan pengolah ikan panggang, kerang rebus, dan teri asin Cirebon... 144

33. Matriks sintesa faktor-faktor dengan melihat pada penyebab, efek keterkaitan dengan faktor lain dan efek ganda... 151

34. Matriks plus minus penanganan faktor-faktor penyebab pengolah menggunakan formalin... 158

35. Matriks SWOT pengawasan formalin... 166

36. Matriks skor SWOT pengawasan formalin... 167

37. Kegiatan, sasaran dan kelembagaan pelaksana pengawasan... 175

38. Matriks SWOT pembinaan formalin... 179

39. Matriks skor SWOT pembinaan formalin... 180

40. Kegiatan penyuluhan... 181

41. Kegiatan pelatihan... 185

42. Kegiatan pemberian insentif dan disinsentif... 187

43. Kegiatan peningkatan sarana dan prasarana penanganan dan peng- olahan ikan... 191

44. Matriks SWOT regulasi formalin... 194

45. Matriks skor SWOT regulasi formalin... 195

(17)

xv 47. Matriks skor SWOT riset formalin... 201 48. Kegiatan pengembangan riset... 202 49. Hasil penetapan prioritas strategi pencegahan penyalahgunaan

formalin pada produk perikanan... 205 50. Program jangka pendek, menengah, dan panjang dari strategi

(18)

xvi Halaman

1. Skema kerangka pemikiran... 17

2. Model analisis kebijakan (Suharto 2005)... 19

3. Siklus kebijakan sebagai suatu akumulasi (Danim 2005)... 19

4. Bagan alir sistim bisnis dan industri perikanan (Dahuri 2002)... 20

5. Ikan segar tanpa formalin (a) dan ikan segar dengan formalin (b) (Budiyanto et al. 2005)... 47

6. Mekanisme distribusi bahan berbahaya (B2)... 49

7. Struktur molekul denatonium benzoate... 52

8. Diagram alir metode AHP (Saaty 1980 yang diacu dalam Ma’arif dan Tanjung 2003)... 59

9. Skema kerangka penelitian... 63

10. Struktur hirarki analisis kebijakan pencegahan penyalahgunaan for- malin pada produk perikanan... 78

11. Pengetahuan responden tentang bahaya formalin... 89

12. Pengetahuan responden tentang larangan penggunaan formalin... 89

13. Penyuluhan tentang larangan penggunaan fornalin kepada responden 90 14. Instansi yang memberikan penyuluhan kepada responden tentang larangan penggunaan formalin... 91

15. Pendapat responden tentang pemberian sanksi hukum kepada peng- guna formalin... 91

16. Formalin dalam kemasan untuk ikan panggang Cirebon... 93

17. Formalin di salah satu unit pengolahan ikan teri asin Gebang, Cirebon 93 18. Ikan panggang berformalin di Purwawinangun, Cirebon... 94

19. Teri asin berformalin di Gebang, Cirebon... 94

20. Diagram saluran distribusi produk olahan ikan tradisional... 96

21. Manfaat yang dicari oleh konsumen... 101

22. Motivasi konsumen dalam membeli produk ikan... 102

23. Tingkat keterlibatan konsumen... 102

24. Orang yang paling berpengaruh dalam memutuskan pembelian... 103

25. Sumber informasi konsumen dalam membeli ikan... 104

(19)

xvii

27. Alasan konsumen dalam membeli ikan... 105

28. Pengetahuan penggunaan formalin pada produk ikan... 106

29. Sumber pengetahuan penggunaan formalin pada produk ikan... 107

30. Pengetahuan tentang ciri-ciri produk berformalin... 108

31. Struktur hirarki analisis kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin dalam produk perikanan... 110

32. Diagram pembinaan dan pengawasan keamanan produk perikanan. 127 33. Spanduk sosialisasi sanksi pidana bagi pengguna formalin (a) di TPI Muara Angke, DKI Jakarta dan (b) TPI KUD Fajar Sidik, Blanakan, Jawa Barat... 132

34. Leaflet petunjuk memilih pangan bebas formalin (BPOM 2006)... 132

35. Keterkaitan setiap faktor penyebab penggunaan formalin... 162

36. Skema kebijakan pemberian insentif dan disinsentif... 187

37. Sarana dan prasarana unit pengolahan ikan panggang di Mertasinga, Cirebon... 189

38. Simulasi implementasi strategi regulasi penambahan bahan kimia perubah rasa pada formalin (bitrex)... 197

39. Strategi pencegahan penyalahgunaan formalin... 204

40. Skema penetapan prioritas strategi pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan…... 206

(20)

xviii Halaman

1. Peta lokasi penelitian... 221

2. Hasil uji formalin pada contoh/sampel produk ikan segar dan olahan di pantai utara Jawa Barat... 222

3. Hasil uji formalin pada contoh/sampel produk ikan segar dan olahan di DKI Jakarta... 230

4. Hasil uji formalin pada contoh/sampel produk ikan segar dan olahan di Suryabahari -Tangerang... 234

5. Hasil analisis faktor... 236

6. Analisis keuangan pengolahan ikan panggang... 238

7. Analisis keuangan pengolahan kerang rebus... 239

8. Analisis keuangan pengolahan teri asin... 240

9. Faktor strategi internal dan eksternal pengawasan... 241

10. Faktor strategi internal dan eksternal pembinaan... 242

11. Faktor strategi internal dan eksternal regulasi... 243

12. Faktor strategi internal dan eksternal riset... 244

(21)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya berupa lautan, kaya akan sumberdaya hayati ikannya dengan potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun. Kekayaan sumberdaya hayati ikan tersebut dan sumberdaya lainnya yang ada di laut menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu prime mover dalam pembangunan ekonomi nasional dengan pendekatan resource-based industries yang dikelola dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen profesional.

Ikan merupakan produk pangan yang mempunyai nilai nutrisi bagi manusia. Pangan itu sendiri merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Menurut Karsin (2004) pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan.

Misi pembangunan kelautan dan perikanan diantaranya adalah meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan (Dahuri 2004). Peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui mengkonsumsi ikan karena ikan kaya akan zat nutrisi seperti protein sekitar 20 % dengan asam amino esensial yang lengkap berfungsi sebagai zat pembangun sel tubuh, lemak mencapai 15 % banyak mengandung omega-3 (DHA dan EPA) baik bagi kecerdasan dan kesehatan, dan berbagai vitamin A, D, E, K dan mineral Fe, Ca, Mn, Zn yang baik bagi metabolisme dan kesehatan tubuh. Tingkat konsumsi ikan rata-rata nasional pada tahun 2001 mencapai 22,47 kg/kap/th, sedangkan target yang ingin dicapai sebesar 30 kg/kap/th (Andayani 2004).

(22)

perikanan yang terpadu berbasis masyarakat (Mangunsong 2001). Peningkatan usaha penangkapan ikan dan pengembangan budidaya perikanan merupakan kebijakan dari sisi kegiatan pra-panen untuk meningkatkan produksi ikan sedangkan peningkatan nilai tambah merupakan kebijakan dari sisi kegiatan pasca-panen terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Salah satu program peningkatan konsumsi ikan nasional adalah Program Gemarikan dengan sasaran utama menumbuhkan minat dan apresiasi terhadap manfaat mengkonsumsi ikan (Andayani 2004).

Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) produksi perikanan laut pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton meningkat menjadi 4.320.241 ton pada tahun 2004 dengan peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 3.3 %. Produksi perikanan laut tersebut pada tahun 2004 masih dibawah dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sebesar 84 %. Dilihat cara perlakuannya dari produksi perikanan laut sebesar 4.320.241 ton pada tahun 2004 meliputi berbagai macam cara yakni dipasarkan segar 2.426.259 ton (56,16 %), pengeringan/penggaraman 781.146 ton (18,08 %), pemindangan 157.730 ton (3,65 %), peragian (terasi, kecap, peda) 52.512 ton (1,22 %), pengasapan 91.443 ton (2,12 %), pembekuan 694.116 ton (16,07 %), pengalengan 63.309 ton (1,47 %), tepung ikan 18.592 ton (0,43 %), dan lainnya 35.134 ton (0,80 %). Berdasarkan data cara perlakuan tersebut produk perikanan nasional didominasi oleh pemasaran dalam bentuk segar (56,16 %) dan produk olahan/awetan tradisional (25,07 %). Penanganan produk segar dan pengolahan tradisional (pengeringan/penggaraman, pemindangan, terasi, peda, kecap ikan, dan pengasapan) umumnya dilakukan pedagang dan pengolah dalam skala kecil/menengah atau skala rumah tangga.

(23)

higienis rendah, sesuai dengan keadaan lingkungan disekitarnya yang umumnya tidak memiliki sarana air bersih, (3) permodalannya sangat lemah, (4) peralatan yang digunakan sangat sederhana, dan (5) pemasaran produk hanya terbatas pada pasaran lokal (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2001).

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa penanganan produk segar dan pengolahan secara tradisional memberikan kontribusi paling besar dalam kegiatan pasca-panen perikanan Indonesia. Kontribusi tersebut tidak hanya dari aspek pemenuhan konsumsi ikan masyarakat, tergambar dari produksi dan cara perlakuan produk namun juga dari aspek lainnya yang cukup penting yakni aspek sosial ekonomi dimana menurut Jatmiko (2004) kegiatan penanganan ikan segar dan pengolahan tradisional mampu menyerap bahan mentah ikan yang berasal dari lebih 1 (satu) juta nelayan yang menghasilkan sekitar 30 % dari hasil produksi ikan nasional, disamping itu juga sebagian besar usaha pengolahan tradisional dilakukan oleh usaha rumah tangga dan bersifat padat karya.

Menurut Hardinsyah dan Pranadji (2004) era globalisasi akan berpengaruh terhadap sistem ketahanan dan keamanan pangan. Pangan yang aman menjadi tuntutan konsumen dan akan bersaing di pasar global. Jika produsen tidak mampu memenuhi persyaratan keamanan pangan maka hal ini menjadi rintangan dalam bersaing untuk memperluas pasar ekspor pangan. Salah satu perjanjian World

Trade Organization (WTO) yang mengatur masalah ini terutama berkaitan dengan

perlindungan kesehatan maupun keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup, yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary). SPS adalah kebijakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman dari berbagai resiko. Resiko tersebut muncul karena masuknya, pembentukan, atau penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit. Risiko tersebut juga ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives), pencemaran, racun, atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman, atau bahan makanan. Risiko tersebut juga berasal dari penyakit yang dibawa oleh hewan, tanaman atau produk yang dibuat dari padanya.

(24)

memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik untuk konsumsi manusia (Joint FAO/WHO Expert Commitiee of Food Safety yang diacu dalam Damayanthi, 2004). Menurut UU Pangan nomor 7 Tahun 1996 keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2003) jaminan akan keamanan pangan adalah merupakanan hak asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali. Zainun (2001) melihat bahwa pemberdayaan tubuh atau fisik manusia Indonesia melalui pemberian pangan yang bergizi dan sehat merupakan bagian dari upaya pemberdayaan sumberdaya manusia (SDM) untuk meningkatkan kesiapan SDM Indonesia menghadapi tantangan abad XXI.

1.2 Identifikasi Masalah

Menurut Anwar (2004) pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne deseases yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen. Masalah keamanan pangan dapat timbul akibat berbagai perlakuan dan penyimpanan seperti penggunaan bahan kimia yang disebut bahan tambahan makanan (food additives) yang dilarang (boraks, rhodamin-B, dan kuning metanil) untuk meningkatkan atau memperbaiki fungsional pangan.

(25)

Berdasarkan Food Watch (2004), masih ada pangan olahan yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti: rhodamin-B, boraks, dan formalin. Pangan yang mengandung rhodamin-B diantaranya kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, minuman ringan, cendol, manisan, dawet, bubur, gipang, ikan asap, dan es cendol. Pangan yang paling banyak mengandung boraks adalah mie basah, bakso, makanan ringan, dan kerupuk. Pangan yang banyak mengandung formalin adalah mie basah dan tahu.

Permasalahan keamanan pangan yang bersumber oleh kesengajaan pengolah dalam penanganan dan proses pengolahan banyak ditemui pada produk-produk ikan segar dan tradisonal seperti dilaporkan Purnomo et al. (2002) banyak pengolah melakukan mal-praktek yakni penggunaan bahan tambahan ilegal seperti: penggunaan zat pewarna buatan pada pengolahan produk pindang, kerupuk, kerang kupas, dan terasi; zat peroksida pada pengolahan ikan asin dan peda; zat boraks pada pengolahan jambal; dan bahan pestisida pada pengolahan sirip hiu, ikan asin, dan tepung ikan.

Berdasarkan hasil monitoring Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (2000) pada beberapa produk perikanan teridentifikasi positif mengandung formalin yaitu produk Tofu Udang (Medan), Egg Tofu Shrimp

(Medan), Kerang Kupas (Medan dan Cirebon), dan Tahu Udang (Surabaya). Penggunaan formalin tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya awet produk dan menjaga konsistensi atau kekenyalan produk.

(26)

mendinginkan ikan mentah. Kadar pemakaian formalin tersebut bervariasi, tetapi paling tinggi ditemukan pada ikan asin (Koran Tempo, 2005).

Ikan berformalin ternyata diperoleh juga dari luar Jakarta seperti Pekalongan, Jatiluhur dan Lampung. Ikan-ikan dari luar Jakarta itu masuk ke Jakarta melalui TPI terutama yang tersebar di Jakarta Utara antara lain Cilincing, Kali Baru dan Muara Angke (Koran Tempo 2005). Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor yang diacu dalam Republika (2005) para pedagang di pasar-pasar di Kab. Bogor menjual ikan asin yang telah mengandung formalin. Adapun ikan asin yang terindikasi mengandung formalin adalah jenis ikan laut basah, ikan asin dan ikan pindang. Diketahui juga 4 dari 7 bandar ikan di Pasar Leuwiliang dan 3 bandar ikan di Pasar Cileungsi menjual ikan asin yang mengandung formalin. Hasil survei Balai Besar POM Lampung di 6 Kabupaten serta Kota yang diacu dalam Kompas (2005), menemukan produk ikan, mie basah dan tahu mengandung formalin di sejumlah pasar tradisional. Dari 93 sampel yakni ikan segar, cumi, kerang rebus, ikan asin,cumi asin dan rebon ternyata 34 sampel (36,55 %) mengandung formalin. Dari 45 sampel tahu sekitar 16 sampel (35,55 %) mengandung formalin. Sebanyak 60,87 % mie basah di Lampung juga mengandung formalin.

Hasil pengujian BPOM Semarang yang diacu dalam Bisnis Indonesia (2005), dari 1.129 jenis makanan diketahui sebanyak 270 makanan tercampur bahan berbahaya seperti borax, formalin, pewarna serta pemanis buatan. Berdasarkan pemantauan BB-POM Surabaya, dari 91 sampel diketahui 24 diantaranya berformalin seperti mie basah, ikan asin dan ikan segar (Kompas, 2005). BPOM Makassar juga menemukan ikan asin kering dari pasar swalayan dan tradisional mengandung formalin (Suara Pembaruan 2005).

(27)

Konsumen (1991), dan Kompas (2002). Produk lainnya yang menggunakan formalin adalah daging ayam potong (Muchtadi dan Puspitasari-Nienaber 1997).

Penggunaan formalin dalam pangan, juga ditemukan di negara lain. Berdasarkan survei Consumer Association of Bangladesh (CAB) yang diacu dalam Shikha (2004) telah ditemukan penggunaan formalin sebagai pengawet pada produk ikan, buah-buahan, dan sayuran di Bangladeh. Produk ikan yang mengandung formalin banyak berasal dari ikan yang di import dari Myanmar dan India (Islam 2006). Di India, beberapa produk susu yang di jual di pasaran mengandung formalin. Sementara itu, di salah satu pasar di Bangkok, Thailand beberapa produk daging sapi dan produk cumi krispi didapati mengandung formalin (Sajirawatthanakul 2006).

Penggunaan formalin maupun borak dan pewarna rhodamin-B dan kuning metanil pada produk perikanan dan pangan lainnya adalah melanggar Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Di dalam peraturan tersebut secara jelas mencantumkan formalin dan boraks dalam lampiran sebagai bahan kimia yang dilarang digunakan dalam makanan, sedangkan pewarna rhodamin-B dan kuning metanil memang tidak termasuk dalam daftar lampiran namun tidak tercantum juga sebagai bahan pewarna makanan dalam peraturan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahan kimia tersebut formalin, kuning metanil, boraks, dan rhodamin-B bukan bahan tambahan untuk makanan. Formalin sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, dan tertelan. Akibatnya yang ditimbulkan dapat berupa : luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan (kemungkinan parah), reaksi alergi dan bahaya kanker pada manusia (BPOM 2003).

Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap orang yang menggunakan formalin dalam penanganan dan pengolahan ikan akan diberikan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,- sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, akan diberikan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,-.

(28)

meningkat, antara lain harganya yang jauh lebih murah dibanding pengawet lainnya, seperti natrium benzoat atau natrium sorbat. Selain itu, jumlah yang digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, mudah digunakan untuk proses pengawetan karena bentuknya larutan, waktu proses pengawetan lebih singkat, mudah didapatkan di toko bahan kimia dalam jumlah besar, dan rendahnya pengetahuan masyarakat produsen tentang bahaya formalin.

Berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (2004) permasalahan ketidakamanan produk perikanan berdasarkan penyebabnya atau sumbernya pada pokoknya ada 2 (dua) yakni faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal lebih disebabkan karena terjadinya permasalahan lebih banyak berada diluar kemampuan kendali pengolah atau terjadi bukan karena kesengajaan dari pengolah untuk melakukannya seperti: produk mengandung logam berat karena berasal dari perairan yang tercemar logam berat, histamin yang tinggi karena pada saat diolah mutunya rendah atau sudah membusuk. Sementara itu, faktor internal lebih disebabkan karena terjadinya permasalahan oleh kesengajaan pengolah. Karakteristik kedua permasalahan tersebut tentunya berbeda, untuk itu pendekatan pemecahan permasalahan tentunya berbeda pula.

Menurut Purnomo et al. (2002) terdapat beberapa faktor yang telah menyebabkan berlangsungnya mal-praktek diantara para pengolah ikan dan produk perikanan menyangkut berbagai aspek permasalahan yaitu sebagai berikut: (1)Teknis

Ada beberapa hal yang menyebabkan berlangsungnya mal-praktek dari sisi teknis yakni 1) bahan yang aman tidak tersedia, 2) bahan alternatif lebih efektif, 3) bahan alternatif lebih praktis, dan 4) teknologi problem solving tidak tersedia.

(2)Ekonomi

(29)

(3)Sosial budaya

Ada beberapa permasalahan sosial budaya yang menyebabkan berlangsungnya mal-praktek yaitu: (1) kurangnya perhatian pejabat berwenang, penyuluhan, dan pembinaan mengenai keamanan pangan, (2) rendahnya tingkat pendidikan baik para pengolah maupun masyarakat konsumen sehingga pengetahuan mengenai keamanan pangan rendah dan kurangnya berpikir jangka panjang, (3) kebiasaan pola makan masyarakat yang belum memperhatikan aspek keamanan dari makanan yang dikonsumsinya bagi kesehatan, dan (4) terbatasnya insentif maupun disinsentif terhadap produsen atau pengolah terutama para pengolah tradisional.

(4)Kelembagaan

Permasalahan kelembagaan menyangkut masih kurangnya peraturan, masih lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan belum optimalnya peranan lembaga terkait seperti YLKI dan BPOM. Permasalahan kelembagaan tersebut menyebabkan berlangsungnya mal-praktek diantara para pengolah dan produk perikanan.

Menurut Susilo (1996) peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi konsumen sudah cukup banyak namun peraturan tersebut belum dirasakan dapat memberikan perlindungan sepenuhnya kepada konsumen karena kesiapan untuk mengawasi penerapannya masih sangat kurang. Berdasarkan Wajdi (2003) selama lembaga pemerintahan masih tidak tegas menegakkan aturan hukum, maka pelaku usaha akan memanfaatkan peluang meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mengindahkan hak-hak konsumen.

(30)

kurang cepat dan biaya yang tidak ringan, dan sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pelaku usaha.

Penyalahgunaan formalin tersebut diatas tentunya merupakan kendala dalam meningkatkan kesehatan masyarakat melalui konsumsi ikan, karena masyarakat mengkonsumsi produk ikan yang tidak aman sehingga akan mempengaruhi kesehatannya. Menurut Suryana (1993) masalah pangan merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan secara keseluruhan. Hal ini penting mengingat bahwa perbaikan mutu dan nilai gizi makanan memiliki nilai strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan.

Disamping itu, minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan dikhawatirkan berkurang sejalan dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat konsumen akan kesehatan dengan hanya mengkonsumsi pangan yang bermutu dan terjamin keamanannya ataupun karena adanya rasa ketakutan sehingga tidak mengkonsumsi pangan yang terkena kasus bahan kimia yang di larang. Hal ini mengancam kelangsungan usaha pedagang dan pengolah itu sendiri.

Adanya permasalahan mutu dan keamanan pangan pada produk perikanan perlu segera diatasi guna tercapainya misi pembangunan kelautan dan perikanan meningkatkan kecerdasan dan kesehatan masyarakat melalui konsumsi ikan dan terpenuhinya hak masyarakat konsumen mendapatkan produk pangan yang bermutu dan aman sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan suatu pengembangan kebijakan keamanan pangan, khususnya dalam upaya pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan.

1.3 Pembatasan Masalah

(31)

dan kompleksitas permasalahan maka didalam penelitian ini akan difokuskan pada aspek keamanan pangan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan.

Pemilihan kasus formalin ini didasarkan pada alasan kasus penyalahgunaan formalin terjadi pada ikan segar maupun produk olahan (ikan asin, pindang, kerang rebus, ikan panggang, dan tofu udang). Sebagaimana telah diuraikan diatas, pemasaran ikan segar dan perlakuan penggaraman menempati urutan pertama dan kedua dalam cara perlakuan produksi perikanan laut nasional. Hal tersebut menunjukkan jenis produk ini banyak dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian adanya penyalahgunaan formalin dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara luas. Sementara itu, kasus penggunaan pewarna rhodhamin dan methanyl yellow terdapat pada produk terasi, kerupuk, dan kerang rebus, sedangkan boraks pada bakso ikan. Alasan lainnya adalah penyalahgunaan formalin terdapat di berbagai wilayah tanah air (Medan, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) dan bahkan negara lain (Bangladesh, India, dan Thailand).

Wilayah studi meliputi wilayah barat pantai utara Jawa yang meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Pemilihan wilayah ini didasarkan pada :

(1)Provinsi DKI Jakarta memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan dan perkembangan sosial politik bangsa karena Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Sehubungan posisinya tersebut, provinsi ini memiliki kedekatan dengan informasi-informasi yang berkaitan dengan kebijakan keamanan pangan termasuk formalin. Disamping sebagai daerah penghasil produk perikanan (sentra perikanan), DKI Jakarta juga memiliki potensi pasar yang besar sehingga menjadi tujuan utama usaha dan pemasaran produk perikanan serta kedekatan dengan respon pasar.

(32)

Permasalahan yang berkaitan dengan faktor penyebab berlangsungnya penyalahgunaan formalin diantara para pengolah ikan dan produk perikanan akan dibatasi pada aspek teknis, sosial budaya, kelembagaan, dan ekonomi. Masing-masing aspek tersebut adalah sebagai berikut:

(1)Aspek teknis

Pada aspek ini, permasalahan akan dibatasi pada kandungan formalin dalam produk, ketersediaan bahan yang aman atau legal, rantai pemasaran produk dan formalin, dan efektivitas bahan tambahan makanan ilegal.

(2)Aspek sosial budaya

Pada aspek ini berkaitan dengan pengolah dan konsumen. Aspek sosial budaya akan dibatasi pada tingkat pendidikan, kebiasaan pola makan, kesejahteraan, pengetahuan dan persepsi mengenai bahan tambahan makanan legal dan ilegal, dan perilaku konsumen.

(3)Aspek kelembagaan

Pada aspek ini, permasalahan akan dibatasi pada peraturan dan perundang-undangan, penegakan hukum (law enforcement), dan peranan lembaga terkait. (4)Aspek ekonomi

Pada aspek ini, permasalahan akan dibatasi pada aspek finansial dari para pengolah/pedagang. Aspek ini akan difokuskan pada dampak praktek penyalahgunaan formalin terhadap tingkat keuntungan usaha.

1.4 Perumusan Masalah

Pembangunan kelautan dan perikanan mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satu peran utamanya adalah penyediaan pangan ikani nasional guna meningkatkan minat mengkonsumsi ikan masyarakat karena baik untuk kesehatan, kekuatan, dan kecerdasan sehingga pada gilirannya akan mempunyai kontribusi terhadap perbaikan kualitas sumberdaya manusia (SDM).

(33)

pedagang, konsumen, dan lembaga non-pemerintah merupakan sub-sistem dari suatu sistem industri perikanan yang saling mempengaruhi guna pencapaian penyediaan pangan ikani yang aman dan bermutu. Kenyataan di masyarakat telah terjadi penyalahgunaan formalin sebagai bahan tambahan pangan termasuk pada produk perikanan. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan formalin tersebut yang memerlukan kajian dan perumusan kebijakan pengendaliannya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian tentang “Analisis Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Perikanan (Kasus Di Wilayah Barat Pantai Utara Jawa)” perlu diarahkan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:

(1) Pada jenis produk perikanan apa saja yang mengandung formalin dan berapa kadarnya ?

(2) Bagaimana kebijakan pencegahan penggunaan formalin yang ada selama ini ? (3) Bagaimana karakteristik pengolah ikan ?

(4) Faktor apa yang mempengaruhi pengolah menggunakan formalin? (5) Bagaimana karakteristik dan perilaku konsumen produk perikanan ?

(6) Bagaimana merumuskan pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan ?

(7) Bagaimana merumuskan pengembangan kebijakan keamanan pangan produk perikanan ?

1.5 Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

(1)Mengidentifikasi formalin pada produk ikan segar dan olahan tradisional di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.

(2)Menganalisis kebijakan pencegahan penggunaan formalin yang ada selama ini.

(34)

(4)Menganalisis perilaku konsumen produk perikanan di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.

(5)Merumuskan pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan.

1.6 Hipotesis

Lemahnya pembinaan, monitoring, sanksi hukum serta pengawasan distribusi formalin menyebabkan masih tingginya malpraktek formalin maka diperlukan kemauan politik pemerintah yang kuat untuk membatasi penggunaan formalin pada produk-produk non-pangan demi keamanan konsumen.

1.7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini menghasilkan informasi tentang formalin pada produk perikanan, faktor yang mempengaruhi penggunaan formalin dan keterkaitan antar faktor tersebut, karakteristik pengolah ikan dan penggunaan formalin oleh mereka, karakteristik konsumen ikan dan persepsi mereka tentang formalin pada produk perikanan, dan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sumbangan pemikiran untuk menghentikan penggunaan formalin oleh pelaku usaha perikanan sehingga produk perikanan terbebas dari cemaran formalin dan produk perikanan menjadi aman untuk di konsumsi konsumen atau masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dimanfaatkan oleh:

(1)Investor atau pengusaha dalam mengembangkan mutu dan keamanan produk pada kegiatan industri perdagangan dan pengolahan hasil perikanan laut. (2)Departemen Kelautan dan Perikanan dan Dinas Perikanan dan Kelautan dalam

membuat kebijakan pengembangan mutu dan keamanan produk perikanan laut.

(3)Lembaga-lembaga non-pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan mutu dan keamanan pangan produk perikanan.

(35)

1.8 Kerangka Pemikiran

Penanganan produk segar dan pengolahan secara tradisional memberikan kontribusi paling besar didalam kegiatan pasca-panen perikanan Indonesia. Terlepas dari peran besar yang dimiliki pengolahan tradisional dalam perikanan nasional, kenyataan menunjukkan usaha ini masih menghadapi berbagai kendala, berimplikasi pada produk bermutu rendah dan kurangnya jaminan keamanan (Mangunsong 2001 dan Purnomo et al. 2002).

Kondisi produk perikanan dengan mutu rendah dan kurang terjamin keamanannya dapat mempengaruhi kesehatan bahkan mengakibatkan kematian. Hal tersebut tentunya mengakibatkan tidak akan tercapainya misi pembangunan kelautan dan perikanan meningkatkan kecerdasan dan kesehatan masyarakat melalui konsumsi ikan. Disamping itu, minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan dikhawatirkan berkurang sejalan dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat konsumen akan kesehatan dengan hanya mengkonsumsi pangan yang bermutu dan terjamin keamanannya. Hal ini dimasa mendatang mengancam kelangsungan usaha pedagang dan pengolah itu sendiri.

Selain itu juga, secara hukum produk bermutu rendah dan terindikasi tidak aman bertentangan dengan perundang-undangan dan peraturan yang ada yaitu: (1) Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 yang menyebutkan badan usaha atau perorangan yang memproduksi pangan olahan bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut, (2)Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan (3) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/PER/XII/76 tentang Bahan Tambahan Makanan.

(36)

Analisis terhadap penyalahgunaan formalin perlu dilakukan. Menurut Purnomo et al. (2002) ada beberapa faktor penyebab berkembang atau terus berlangsung mal-praktek dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan yakni: (1) kelonggaran hukum yang berkaitan dengan keamanan pangan; (2) adanya insentif ekonomi karena produk hasil mal-praktek lebih menarik/harga tinggi/terhindar dari kerugian dan bahan alternatif lebih murah; (3) faktor teknis berupa bahan yang aman tidak tersedia, bahan alternatif lebih efektif, bahan alternatif lebih praktis, dan teknologi problem solving tidak tersedia; dan ketidaktahuan pengolah maupun pejabat berwenang karena pengolah atau pejabat berwenang kurang kepedulian (concern) dan kurangnya pembinaan. Untuk itu analisis terhadap penyalahgunaan formalin perlu dilakukan terhadap aspek kelembagaan (evaluasi kebijakan yang ada sekarang), teknis, eknomis, dan konsumen. Berdasarkan pemikiran tersebut maka analisis penyalahgunaan formalin dalam penelitian ini mencakup analisis kelembagaan, analisis pengolah ikan, dan analisis konsumen. Berdasarkan analisis tersebut diharapkan akan diperoleh informasi karakteristik penyalahgunaan formalin pada penanganan dan pengolahan hasil perikanan.

(37)

PENGGUNAAN FORMALIN

IDENTIFIKASI FORMALIN (Pengolah, TPI, Pedagang)

[image:37.612.130.505.109.580.2]

PERUMUSAN STRATEGI

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran KEBIJAKAN PENCEGAHAN

PENGGUNAAN FORMALIN

ANALISIS KONSUMEN ANALISIS

KELEMBAGAAN

ANALISIS PENGOLAH

KEBIJAKAN KEAMANAN PRODUK PERIKANAN TERKAIT

(38)

2.1 Analisis Kebijakan

Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai

sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks

dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu, kebijakan yang menunjuk pada

kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian

tujuan-tujuan pembangunan kedalam beragam program dan proyek. Pembangunan

memerlukan cara atau pedoman tindakan yang terarah mengenai bagaimana

meningkatkan kualitas hidup manusia yang merupakan tujuan pembangunan.

Suatu perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap pelaksanaan

strategi-strategi pembangunan dapat disebut sebagai kebijakan. Fungsi kebijakan adalah

memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang

diwujudkan dalam program-program yang efektif untuk mencapai tujuan

pembangunan (Suharto 2005).

Menurut Titmuss (1974) yang diacu dalam Suharto (2005) mendefinisikan

kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada

tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah

(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan

demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat

prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara

terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Menurut Dunn (2003) analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan

pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan

pengetahuan proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab,

akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Lebih lanjut Dunn menyatakan

ada 3 (tiga) bentuk atau model analisis kebijakan yaitu model prospektif, model

retrospektif dan model integratif. Model prospektif adalah bentuk analisis

kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan

sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model retrospektif adalah analisis kebijakan

(39)

diimplementasikan. Model integratif adalah model perpaduan antara model

prospektif dan retrospektif. Gambar 2 menyajikan vusualisasi model analisis

kebijakan (Suharto 2005).

Menurut Danim (2005) kebijakan merupakan suatu siklus. Kebijakan itu

secara kontinyu dianjurkan, dilaksanakan, dinilai dan diperbaiki. Gambar 3

menyajikan penyederhanaan siklus kebijakan sebagai suatu akumulasi. Implementasi

Kebijakan

Konsekuensi-konsekuensi kebijakan

Model integratif

Model prospektif Model retrospektif

Sebelum Sesudah

Anjuran kebijakan

Perbaikan kebijakan

Penilaian kebijakan Pelaksanaan

kebijakan

Gambar 3. Siklus kebijakan sebagai suatu akumulasi (Danim 2005)

(40)

2.2 Sistem Bisnis dan Industri Kelautan dan Perikanan

Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau dengan panjang

pantai sekitar 81 juta km2 dan luas lautan sekitar tiga perempat dari luas wilayah

nasional merupakan negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Potensi

perikanan laut Indonesia sangat besar yaitu mencapai 6,4 juta ton per tahun

dengan keanekaragaman spesiesnya yang tinggi. Untuk itu sektor kelautan dan

perikanan dijadikan prime mover bagi pembangunan nasional.

Urat nadi atau jantung dari pembangunan perikanan itu sendiri adalah

pengelolaan sumberdaya perikanan atau dapat dikatakan pengelolaan sumberdaya

perikanan inherent dalam pembangunan perikanan (Nikijuluw 2002). Dalam

pelaksanaannya, pembangunan sektor ini perlu dilakukan dalam suatu sistem

bisnis berbasis perikanan yang terpadu yang disebut Sistem Bisnis dan Industri

Perikanan (Dahuri 2002). Secara skematis, sistem tersebut disajikan pada

Gambar 4.

O TO NO MI DA ERA H G LO BA LISA SI & PERDA G A NG A N

Tujua n : Pe rtum b uha n Eko no m i Pe m e ra ta a n Ke se ja hte ra a n Ke le sta ria n Eko siste m Pe rsa tua n & Ke sa tua n Po te nsi &

Pe lua ng

Ke nd a la & Ma sa la h Pe nc a p a ia n

Ha sil

Eko siste m Pe ra ia ra n &

SDI

Pro d uksi Pa sc a Pa ne n Pe m a sa ra n

Hukum & Ke le m b a g a a n SDM &

IPTEK Fina nsia l

Sa ra na & Pra sa ra na

Gambar 4.Bagan alir sistim bisnis dan industri perikanan

(Dahuri 2002)

Secara spesifik, tujuan pembangunan kelautan dan perikanan dengan

pendekatan Sistem Bisnis dan Industri Perikanan adalah pertumbuhan ekonomi,

pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, dan persatuan dan kesatuan.

Didalam Sistim Bisnis dan Industri Perikanan ini terdapat subsistem-subsistem

(41)

kelautan dan perikanan tersebut. Adapun subsistem-subsistem tersebut adalah

sebagai berikut :

(1)Produksi,

(2)pengolahan pasca panen, dan

(3)pemasaran.

Ketiga subsistem tersebut diatas didukung oleh subsistem lainnya yaitu:

(1)sarana produksi, yang mencakup sarana dan prasarana,

(2)finansial,

(3)sumberdaya manusia dan iptek,

(4)hukum dan kelembagaan.

Pengembangan bisnis perikanan akan terwujud dengan baik apabila

komponen-komponennya berjalan secara terpadu. Pengadaan dan penyediaan

sarana produksi harus mampu mendukung kebutuhan kegiatan produksi atau

sebaliknya. Demikian pula dalam kegiatan produksi, selain memperhatikan

kondisi ekosistem perairan dan sumberdayanya, juga harus mengaitkan dengan

kegiatan pengolahan pasca panen, distribusi dan pemasarannya. Hal yang sama

juga dalam kegiatan pengolahan pasca panen juga harus mengaitkan dengan

kondisi ekosistem perairan dan sumberdaya, kegiatan produksi, dan

pemasarannya.

Industri perikanan sebagai bagian dari Sistim Bisnis dan Industri

Perikanan mempunyai peran yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan

nelayan dan pembudidaya ikan. Untuk mewujudkannya, industri pengolahan

produk perikanan harus memiliki keterkaitan dengan pemasok bahan baku yaitu

para nelayan dan pembudidaya ikan. Adanya keterkaitan tersebut membuat

industri pengolahan memperoleh bahan baku yang dibutuhkan, sehingga dapat

berproduksi sesuai kapasitas produksi terpasangnya dan sebaliknya, para nelayan

maupun pembudidaya dapat menjual hasil tangkapan atau produksinya. Dengan

demikian mobilisasi pembangunan industri perikanan, seperti industri pembekuan

ikan dan industri pengolahan ikan lainnya, dapat memberikan peranan yang lebih

besar dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan.

Lingkungan strategis yang harus diperhatikan dalam pembangunan

(42)

satu elemen penting dalam globalisasi adalah perdagangan bebas di pasar global.

Pasar global tersebut merupakan ajang kompetisi antar berbagai produk dari setiap

bangsa, dimana bangsa yang mampu menghasilkan produk yang bermutu dan

berdaya saing tinggi serta diimbangi dengan kecermatan memahami perilaku

pasar, yang akan bisa bertahan atau maju.

Pada era globalisasi sekarang ini, eksport produk perikanan Indonesia ke

negara pengimport yang umumnya negara maju banyak menghadapi tantangan

ataupun kendala yang cukup berat. Kendala tersebut terutama hambatan tarif dan

non-tarif. Beberapa negara maju menerapkan tarif bea masuk yang sangat tinggi

terutama bagi value added products seperti produk ikan kaleng dan sering

diberlakukan decara diskriminatif. Kendala hambatan non-tarif terutama standar

mutu dan sanitasi yang semakin ketat serta isu-isu lingkungan. Hambatan ini juga

sering diberlakukan secara diskriminatif dan tidak transparan sehingga cenderung

menjadi hambatan terselubung dalam perdagangan (disguised restriction to trade).

Kedua, sejak diberlakukannya UU No 32/2004 tentang Pemerintah

Daerah, otonomi daerah telah menjadi lingkungan strategis baru yang tentu harus

dijadikan variabel dalam formulasi kebijakan sektor kelautan dan perikanan.

Adanya otonomi daerah ini, membawa dua implikasi penting. Pertama, daerah

dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi

sumberdaya kelautan dan perikanannya. Adanya data tentang potensi dan nilai

ekonomi sumberdaya secara akurat akan mempermudah formulasi kebijakan

pendayagunaan potensi sumberdaya tersebut. Kedua, daerah dituntut untuk

mampu mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara tepat dengan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini

karena dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah telah diatur

kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah laut, yakni 12 mil wilayah laut

dari garis pantai akan berada di bawah kewenangan pemerintah propinsi dan

sepertiganya (4 mil) akan menjadi kewenangan pemerintah daerah

kabupaten/kota. Kewenangan tersebut mencakup pengaturan administrasi, tata

ruang, dan penegakkan hukum berkaitan dengan kegiatan eksplorasi, eksploitasi,

(43)

2.3 Keamanan Pangan

2.3.1 Pengertian keamanan pangan

Menurut Karsin (2004) pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling

esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan

sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air)

menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan

sepanjang siklus kehidupan. Dalam konteks pembangunan nasional, pangan

merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan.

Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia

yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan.

Karena begitu penting peranannya, pangan dapat dianggap sebagai kebutuhan dan

modal dasar pembangunan serta dijadikan indikator atas keberhasilan

pembangunan.

Menurut Hardinsyah dan Pranadji (2004) era globalisasi akan berpengaruh

terhadap sistem ketahanan dan keamanan pangan. Perdagangan bebas didasarkan

pada teori keunggulan komparatif masing-masing negara untuk mewujudkan daya

saing produk yang tinggi. Daya saing komoditas pangan berkaitan dengan

kualitas dan harga. Jika pangan lokal tidak bisa bersaing maka ketersediaan dan

konsumsi pangan penduduk suatu negara akan tergantung pada pangan impor.

Demikian juga, pangan yang aman menjadi tuntutan konsumen dan akan bersaing

di pasar global. Jika produsen tidak mampu memenuhi persyaratan keamanan

pangan maka hal ini menjadi rintangan dalam bersaing untuk memperluas pasar

ekspor pangan. Ada tiga perjanjian World Trade Organization (WTO) yang

mengatur masalah ini terutama berkaitan dengan standar dan perlindungan

kesehatan maupun keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup, yaitu:

ƒ TBT (Technical Barriers to Trade)

ƒ SPS (Sanitary and Phytosanitary)

Perjanjian TBT menentukan bahwa standar yang berlaku harus dikenakan secara

non-diskriminatif terhadap semua produk impor. Perjanjian SPS mengijinkan

standar dikenakan secara diskriminatif dengan memperhatikan faktor-faktor

(44)

suatu penyakit atau hama tertentu. SPS adalah kebijakan yang dilakukan untuk

melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman dari berbagai

resiko. Resiko tersebut muncul karena masuknya, pembentukan, atau penyebaran

hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit.

Risiko tersebut juga ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives),

pencemaran, racun, atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam

makanan, minuman, atau bahan makanan. Risiko tersebut juga berasal dari

penyakit yang dibawa oleh hewan, tanaman atau produk yang dibuat dari padanya.

Keamanan pangan adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan

selama produksi, prosesing, penyimpanan, distribusi dan penyiapan makanan

untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan

baik untuk konsumsi manusia (Joint FAO/WHO Expert Commitiee of Food Safety

yang diacu dalam Damayanthi (2004). Menurut UU Pangan nomor 7 Tahun 1996

keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah

pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat

menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Menurut

Damayanthi (2004) sesungguhnya keamanan pangan itu termasuk salah satu

faktor mutu yang menentukan tingkat penerimaan/pemuasan konsumen, tetapi

karena begitu penting peranannya, faktor mutu ini secara khusus disebutkan.

2.3.2.Permasalahan keamanan pangan

Menurut Rahayu (2007) masalah keamanan pangan yang masih saja terjadi

di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar

oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan

tambahan illegal, dan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas

yang diijinkan. Lebih lanjut Rahayu (2007) melaporkan tentang kasus pangan

pada tahun 2005 terdapat 184 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, dari

23.864 orang yang makan, 8.949 orang sakit, dan 49 orang meninggal dunia. Dari

184 kejadian tersebut, 28 kejadian disebabkan dari pangan olahan, 33 kejadian

dari pangan jajanan, 39 kejadian dari pangan jasa boga, 78 kejadian dari masakan

rumah tangga, dan 6 dari kejadian pangan lain-lain. Selain itu hasil monitoring

(45)

sekitar 10,49 % sampel pangan tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan

antara lain karena penyalahgunaan formalin (1,03 %), penyalahgunaan boraks

(1,12 %), penyalahgunaan pewarna (1,63%), cemaran mikrobiologis (0,82%),

menggunakan pengawet dan pemanis melewati batas (3,88%) dan sekitar 2 %

karena sebab-sebab lainnya (Rahayu 2007).

Menurut Anwar (2004) pangan yang tidak aman dapat menyebabkan

penyakit yang disebut dengan foodborne deseases yaitu gejala penyakit yang

timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun

atau organisme patogen. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat

digolongkan ke dalam dua kelompok utama yaitu infeksi dan intoksikasi. Istilah

infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang

mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksikasi adalah

keracunan yang disebabkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung

senyawa beracun.

Lebih lanjut Anwar (2004) menyatakan mata rantai timbulnya masalah

keamanan pangan dimulai saat prapanen, pascapanen, pengolahan (dirumah,

restoran, atau industri rumah tangga), penyimpanan, transportasi, dan distribusi

sampai saat pangan disajikan kepada konsumen. Masalah keamanan pangan yang

terjadi pada saat prapanen lebih disebabkan karena beberapa jenis toksin secara

alami terdapat dalam pangan yang berasal dari tanaman, peternakan, maupun

perikanan sebagai akibat pencemaran maupun akibat dari upaya peningkatan

produksi dan pecegahan hama dan penyakit dalam proses produksi seperti

pestisida, antibiotik, mikroba patogen dan logam berat. Pada saat pasca panen,

masalah keamanan pangan timbul akibat berbagai perlakuan dan penyimpanan

seperti penggunaan bahan kimia yang disebut bahan tambahan makanan (food

additives) yang dilarang (boraks, rhodamin-B, dan kuning metanil) untuk

meningkatkan atau memperbaiki fungsional pangan dan tumbuhnya kapang

Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoksin akibat penyimpanan kurang baik.

Masalah keamanan pangan pada saat pengolahan timbul akibat pemanasan yang

kurang maupun yang berlebih, dan penggorengan yang berlebih atau penggunaan

minyak goreng yang berulang-ulang. Masalah keamanan pangan yang timbul pada

(46)

kembali oleh mikroba patogen, toksin mikroba atau cemaran logam, dan bahan

kimia.

Menurut Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan

dan Perikanan (2004) timbulnya masalah keamanan pangan produk perikanan dan

kelautan terjadi pada bahan baku, selama pengolahan, dan selama penyimpanan

dan distribusi. Pada Tabel 1 disajikan bahan berbahaya yang terdapat pada

[image:46.612.115.533.244.674.2]

pangan.

Tabel 1. Bahan berbahaya yang terdapat pada pangan

No Bahan berbahaya Contoh jenis bahan berbahaya

1). Bakteri Campylobacter jejuni, Clostridium botulinum, Patogenic Escherichia col, Listeria monocythogenes, Salmonella spp.

Shigella spp., Phatogenic, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae

Vibrio parahaemolythicus, Vibrio vulnificus, Yersinia enterocolitica

2). Virus Pathogen Hepatitis A, Norwalk 1. Biologi

3). Protozoa/Parasit Giardia lamblia,Entamoeba histolytica, Ascaris lumbricoides, Diphyllobothrium latum

1) Bahan kimia yang terjadi secara alami

Mycotoxins (ex. Alfatoxin), Scrombrotoxin (histamin), Ciguatoxin,

Mushroom toxins, Shellfish toxin (PSP,DSP,NSP,ASP,Domoic Acid)

2). Bahan kimia yang sengaja

ditambahkan

Nitrit, Asam benzoat, MSG, BHA, Lesitin, Karoten, Siklamat. 2. Kimiawi

3). Bahan kimia yg tidak sengaja ditambahkan

Pestisida, fungisida, herbisida, pupuk, antibiotik, hormon, pelumas, bahan pembersih, sanitizer, air raksa, sianida.

3. Fisik 1). Kaca/Logam/

Kayu/Plastik

(47)

2.3.3 Kelembagaan

Berkaitan dengan kelembagaan dalam sistem keamanan pangan, saat ini

telah ada peraturan perundang-undangan yang menjadi payung dalam

pelaksanaan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan yaitu

Undang-Undang 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004

tentang Perikanan.

Undang-Undang 7 Tahun 1996 tentang Pangan dimaksudkan sebagai

landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan

atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Sebagai landasan

hukum di bidang pangan, undang-undang tentang pangan dimaksudkan menjadi

acuan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pangan, baik yang sudah ada maupun yag akan dibentuk. Secara garis besar isi

undang-undang tentang pangan adalah tentang keamanan pangan, mutu dan gizi

pangan, label dan iklan pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke dalam dan

dari wilayah Indonesia, tanggung jawab industri pangan, ketahanan pangan, peran

serta masyarakat, pengawasan, dan ketentuan pidana. Berkaitan dengan

pelarangan penggunaan formalin dalam undang-undang ini dinyatakan setiap

orang yang memproduksi pangan dilarang menggunakan bahan tambahan

makanan yang dinyatakan terlarang (pasal 10). Sementara itu sanksi yang

dikenakan bagi yang melanggar berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,- (pasal 55).

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Pangan, Gizi,

dan Mutu Pangan merupakan penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut dari

Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Peraturan pemerintah ini

secara garis besar mengatur tentang ketentuan umum, keamanan pangan, mutu

dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke dalam dan dari wilayah

Indonesia, peran serta masyarakat, pengawasan dan pembinaan, ketentuan

peralihan dan ketentuan penutup. Di dalam peraturan pemerintah ini terdapat

beberapa pasal yang berkaitan dengan keamanan pangan dari 54 pasal yang ada

(48)

Dalam pasal 2 dinyatakan, bahwa setiap orang yang bertanggung jawab

dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses

produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi

persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dalam peraturan pemerintah ini juga ada beberapa pasal tentang

ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Disebutkan bahwa

pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan

dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik yang meliputi: cara budidaya

yang baik, cara p

Gambar

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
Tabel 1.   Bahan berbahaya yang terdapat pada pangan
Tabel  3.  Jejaring dalam sistem keamanan pangan terpadu dengan kelembagaan yang terkait
Tabel 5. Peraturan dan pasal-pasal  yang terkait dengan bahan tambahan pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait