• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya berupa lautan, kaya akan sumberdaya hayati ikannya dengan potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun. Kekayaan sumberdaya hayati ikan tersebut dan sumberdaya lainnya yang ada di laut menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu prime mover dalam pembangunan ekonomi nasional dengan pendekatan resource-based industries yang dikelola dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen profesional.

Ikan merupakan produk pangan yang mempunyai nilai nutrisi bagi manusia. Pangan itu sendiri merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Menurut Karsin (2004) pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan.

Misi pembangunan kelautan dan perikanan diantaranya adalah meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan (Dahuri 2004). Peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui mengkonsumsi ikan karena ikan kaya akan zat nutrisi seperti protein sekitar 20 % dengan asam amino esensial yang lengkap berfungsi sebagai zat pembangun sel tubuh, lemak mencapai 15 % banyak mengandung omega-3 (DHA dan EPA) baik bagi kecerdasan dan kesehatan, dan berbagai vitamin A, D, E, K dan mineral Fe, Ca, Mn, Zn yang baik bagi metabolisme dan kesehatan tubuh. Tingkat konsumsi ikan rata-rata nasional pada tahun 2001 mencapai 22,47 kg/kap/th, sedangkan target yang ingin dicapai sebesar 30 kg/kap/th (Andayani 2004).

Peningkatan konsumsi ikan dapat dicapai melalui berbagai kebijakan peningkatan usaha penangkapan ikan terkendali, pengembangan budidaya perikanan, dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk yang mengarah pada pengembangan industri kelautan dan

(2)

perikanan yang terpadu berbasis masyarakat (Mangunsong 2001). Peningkatan usaha penangkapan ikan dan pengembangan budidaya perikanan merupakan kebijakan dari sisi kegiatan pra-panen untuk meningkatkan produksi ikan sedangkan peningkatan nilai tambah merupakan kebijakan dari sisi kegiatan pasca-panen terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Salah satu program peningkatan konsumsi ikan nasional adalah Program Gemarikan dengan sasaran utama menumbuhkan minat dan apresiasi terhadap manfaat mengkonsumsi ikan (Andayani 2004).

Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan (2005) produksi perikanan laut pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton meningkat menjadi 4.320.241 ton pada tahun 2004 dengan peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 3.3 %. Produksi perikanan laut tersebut pada tahun 2004 masih dibawah dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sebesar 84 %. Dilihat cara perlakuannya dari produksi perikanan laut sebesar 4.320.241 ton pada tahun 2004 meliputi berbagai macam cara yakni dipasarkan segar 2.426.259 ton (56,16 %), pengeringan/penggaraman 781.146 ton (18,08 %), pemindangan 157.730 ton (3,65 %), peragian (terasi, kecap, peda) 52.512 ton (1,22 %), pengasapan 91.443 ton (2,12 %), pembekuan 694.116 ton (16,07 %), pengalengan 63.309 ton (1,47 %), tepung ikan 18.592 ton (0,43 %), dan lainnya 35.134 ton (0,80 %). Berdasarkan data cara perlakuan tersebut produk perikanan nasional didominasi oleh pemasaran dalam bentuk segar (56,16 %) dan produk olahan/awetan tradisional (25,07 %). Penanganan produk segar dan pengolahan tradisional (pengeringan/penggaraman, pemindangan, terasi, peda, kecap ikan, dan pengasapan) umumnya dilakukan pedagang dan pengolah dalam skala kecil/menengah atau skala rumah tangga.

Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2001) jumlah unit pengolahan skala kecil pada tahun 2000 sebanyak 12.967 unit yang didominasi oleh pengeringan/penggaraman 7.365 unit (57 %), pengasapan 2.976 unit (23 %), dan pemindangan 1.082 unit (8 %). Karakteristik dari pengolahan tradisional adalah (1) kemampuan pengetahuan pengolah rendah dengan ketrampilan yang diperoleh secara turun temurun, (2) tingkat sanitasi dan

(3)

higienis rendah, sesuai dengan keadaan lingkungan disekitarnya yang umumnya tidak memiliki sarana air bersih, (3) permodalannya sangat lemah, (4) peralatan yang digunakan sangat sederhana, dan (5) pemasaran produk hanya terbatas pada pasaran lokal (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2001).

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa penanganan produk segar dan pengolahan secara tradisional memberikan kontribusi paling besar dalam kegiatan pasca-panen perikanan Indonesia. Kontribusi tersebut tidak hanya dari aspek pemenuhan konsumsi ikan masyarakat, tergambar dari produksi dan cara perlakuan produk namun juga dari aspek lainnya yang cukup penting yakni aspek sosial ekonomi dimana menurut Jatmiko (2004) kegiatan penanganan ikan segar dan pengolahan tradisional mampu menyerap bahan mentah ikan yang berasal dari lebih 1 (satu) juta nelayan yang menghasilkan sekitar 30 % dari hasil produksi ikan nasional, disamping itu juga sebagian besar usaha pengolahan tradisional dilakukan oleh usaha rumah tangga dan bersifat padat karya.

Menurut Hardinsyah dan Pranadji (2004) era globalisasi akan berpengaruh terhadap sistem ketahanan dan keamanan pangan. Pangan yang aman menjadi tuntutan konsumen dan akan bersaing di pasar global. Jika produsen tidak mampu memenuhi persyaratan keamanan pangan maka hal ini menjadi rintangan dalam bersaing untuk memperluas pasar ekspor pangan. Salah satu perjanjian World Trade Organization (WTO) yang mengatur masalah ini terutama berkaitan dengan perlindungan kesehatan maupun keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup, yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary). SPS adalah kebijakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman dari berbagai resiko. Resiko tersebut muncul karena masuknya, pembentukan, atau penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit. Risiko tersebut juga ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives), pencemaran, racun, atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman, atau bahan makanan. Risiko tersebut juga berasal dari penyakit yang dibawa oleh hewan, tanaman atau produk yang dibuat dari padanya.

Keamanan pangan adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, prosesing, penyimpanan, distribusi dan penyiapan makanan untuk

(4)

memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik untuk konsumsi manusia (Joint FAO/WHO Expert Commitiee of Food Safety yang diacu dalam Damayanthi, 2004). Menurut UU Pangan nomor 7 Tahun 1996 keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2003) jaminan akan keamanan pangan adalah merupakanan hak asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali. Zainun (2001) melihat bahwa pemberdayaan tubuh atau fisik manusia Indonesia melalui pemberian pangan yang bergizi dan sehat merupakan bagian dari upaya pemberdayaan sumberdaya manusia (SDM) untuk meningkatkan kesiapan SDM Indonesia menghadapi tantangan abad XXI.

1.2 Identifikasi Masalah

Menurut Anwar (2004) pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne deseases yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen. Masalah keamanan pangan dapat timbul akibat berbagai perlakuan dan penyimpanan seperti penggunaan bahan kimia yang disebut bahan tambahan makanan (food additives) yang dilarang (boraks, rhodamin-B, dan kuning metanil) untuk meningkatkan atau memperbaiki fungsional pangan.

Zumrotin (1994) menyatakan bahwa permasalahan makanan yang ada di pasaran meliputi : (1) adanya residu pestisida pada sayuran seperti kobis, wortel, dan tomat di berbagai kota penghasil sayur seperti Medan, Lembang, Semarang, dan Malang; dan pada ikan asin yang berasal dari Medan, Cirebon, Muara Karang, dan Surabaya; (2) penggunaan pewarna ilegal pada produk sirup, saos cabe, saos tomat, tahu, manisan, dan pisang molen; (3) penggunaan pengawet yang dilarang (boraks) pada produk tahu, bakso, empek-empek, mie ayam, dan pangsit; (4) penggunaan pemanis (sakarin) pada sirup, sari buah, manisan, dan limun.

(5)

Berdasarkan Food Watch (2004), masih ada pangan olahan yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti: rhodamin-B, boraks, dan formalin. Pangan yang mengandung rhodamin-B diantaranya kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, minuman ringan, cendol, manisan, dawet, bubur, gipang, ikan asap, dan es cendol. Pangan yang paling banyak mengandung boraks adalah mie basah, bakso, makanan ringan, dan kerupuk. Pangan yang banyak mengandung formalin adalah mie basah dan tahu.

Permasalahan keamanan pangan yang bersumber oleh kesengajaan pengolah dalam penanganan dan proses pengolahan banyak ditemui pada produk-produk ikan segar dan tradisonal seperti dilaporkan Purnomo et al. (2002) banyak pengolah melakukan mal-praktek yakni penggunaan bahan tambahan ilegal seperti: penggunaan zat pewarna buatan pada pengolahan produk pindang, kerupuk, kerang kupas, dan terasi; zat peroksida pada pengolahan ikan asin dan peda; zat boraks pada pengolahan jambal; dan bahan pestisida pada pengolahan sirip hiu, ikan asin, dan tepung ikan.

Berdasarkan hasil monitoring Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (2000) pada beberapa produk perikanan teridentifikasi positif mengandung formalin yaitu produk Tofu Udang (Medan), Egg Tofu Shrimp (Medan), Kerang Kupas (Medan dan Cirebon), dan Tahu Udang (Surabaya). Penggunaan formalin tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya awet produk dan menjaga konsistensi atau kekenyalan produk.

Menurut Sang Saka (2002) dan Media Indonesia (2002) produk ikan segar di Medan dilaporkan mengandung formalin. Berdasarkan Kompas (2005), ditemukan penggunaan formalin pada pengolahan ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke. Alasan pengolah menggunakan formalin karena rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu sebesar 75 %, sedangkan apabila tidak menggunakan formalin rendemen yang dihasilkan sebesar 40 %. Di wilayah Jakarta, selain Muara Angke produk yang menggunakan formalin juga terdapat di wilayah Cilincing, dan Kali Baru terutama pada produk ikan teri basah, ikan mentah, ikan asin, ikan kembung, ikan tongkol, bakso, dan cumi. Penggunaan formalin tersebut biasanya dicampur dengan es yang dipakai untuk

(6)

mendinginkan ikan mentah. Kadar pemakaian formalin tersebut bervariasi, tetapi paling tinggi ditemukan pada ikan asin (Koran Tempo, 2005).

Ikan berformalin ternyata diperoleh juga dari luar Jakarta seperti Pekalongan, Jatiluhur dan Lampung. Ikan-ikan dari luar Jakarta itu masuk ke Jakarta melalui TPI terutama yang tersebar di Jakarta Utara antara lain Cilincing, Kali Baru dan Muara Angke (Koran Tempo 2005). Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor yang diacu dalam Republika (2005) para pedagang di pasar-pasar di Kab. Bogor menjual ikan asin yang telah mengandung formalin. Adapun ikan asin yang terindikasi mengandung formalin adalah jenis ikan laut basah, ikan asin dan ikan pindang. Diketahui juga 4 dari 7 bandar ikan di Pasar Leuwiliang dan 3 bandar ikan di Pasar Cileungsi menjual ikan asin yang mengandung formalin. Hasil survei Balai Besar POM Lampung di 6 Kabupaten serta Kota yang diacu dalam Kompas (2005), menemukan produk ikan, mie basah dan tahu mengandung formalin di sejumlah pasar tradisional. Dari 93 sampel yakni ikan segar, cumi, kerang rebus, ikan asin,cumi asin dan rebon ternyata 34 sampel (36,55 %) mengandung formalin. Dari 45 sampel tahu sekitar 16 sampel (35,55 %) mengandung formalin. Sebanyak 60,87 % mie basah di Lampung juga mengandung formalin.

Hasil pengujian BPOM Semarang yang diacu dalam Bisnis Indonesia (2005), dari 1.129 jenis makanan diketahui sebanyak 270 makanan tercampur bahan berbahaya seperti borax, formalin, pewarna serta pemanis buatan. Berdasarkan pemantauan BB-POM Surabaya, dari 91 sampel diketahui 24 diantaranya berformalin seperti mie basah, ikan asin dan ikan segar (Kompas, 2005). BPOM Makassar juga menemukan ikan asin kering dari pasar swalayan dan tradisional mengandung formalin (Suara Pembaruan 2005).

Penggunaan formalin pada produk pangan lainnya selain produk ikan telah dilaporkan Muchtadi dan Puspitasari-Nienaber (1997) dan Trust (2003), formalin digunakan dalam pengolahan produk tahu untuk meningkatkan daya awet produk tersebut. Demikian pula Tresniani (2003) telah mengidentifikasi penggunaan formalin pada pengolahan produk tahu di Kota Tangerang. Selain itu, formalin juga digunakan dalam pengolahan mie basah seperti yang dilaporkan Warta

(7)

Konsumen (1991), dan Kompas (2002). Produk lainnya yang menggunakan formalin adalah daging ayam potong (Muchtadi dan Puspitasari-Nienaber 1997).

Penggunaan formalin dalam pangan, juga ditemukan di negara lain. Berdasarkan survei Consumer Association of Bangladesh (CAB) yang diacu dalam Shikha (2004) telah ditemukan penggunaan formalin sebagai pengawet pada produk ikan, buah-buahan, dan sayuran di Bangladeh. Produk ikan yang mengandung formalin banyak berasal dari ikan yang di import dari Myanmar dan India (Islam 2006). Di India, beberapa produk susu yang di jual di pasaran mengandung formalin. Sementara itu, di salah satu pasar di Bangkok, Thailand beberapa produk daging sapi dan produk cumi krispi didapati mengandung formalin (Sajirawatthanakul 2006).

Penggunaan formalin maupun borak dan pewarna rhodamin-B dan kuning metanil pada produk perikanan dan pangan lainnya adalah melanggar Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Di dalam peraturan tersebut secara jelas mencantumkan formalin dan boraks dalam lampiran sebagai bahan kimia yang dilarang digunakan dalam makanan, sedangkan pewarna rhodamin-B dan kuning metanil memang tidak termasuk dalam daftar lampiran namun tidak tercantum juga sebagai bahan pewarna makanan dalam peraturan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahan kimia tersebut formalin, kuning metanil, boraks, dan rhodamin-B bukan bahan tambahan untuk makanan. Formalin sangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, dan tertelan. Akibatnya yang ditimbulkan dapat berupa : luka bakar pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan (kemungkinan parah), reaksi alergi dan bahaya kanker pada manusia (BPOM 2003).

Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap orang yang menggunakan formalin dalam penanganan dan pengolahan ikan akan diberikan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,- sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, akan diberikan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,-.

Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006) ada beberapa hal yang menyebabkan pemakaian formalin untuk bahan tambahan makanan (pengawet)

(8)

meningkat, antara lain harganya yang jauh lebih murah dibanding pengawet lainnya, seperti natrium benzoat atau natrium sorbat. Selain itu, jumlah yang digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, mudah digunakan untuk proses pengawetan karena bentuknya larutan, waktu proses pengawetan lebih singkat, mudah didapatkan di toko bahan kimia dalam jumlah besar, dan rendahnya pengetahuan masyarakat produsen tentang bahaya formalin.

Berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (2004) permasalahan ketidakamanan produk perikanan berdasarkan penyebabnya atau sumbernya pada pokoknya ada 2 (dua) yakni faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal lebih disebabkan karena terjadinya permasalahan lebih banyak berada diluar kemampuan kendali pengolah atau terjadi bukan karena kesengajaan dari pengolah untuk melakukannya seperti: produk mengandung logam berat karena berasal dari perairan yang tercemar logam berat, histamin yang tinggi karena pada saat diolah mutunya rendah atau sudah membusuk. Sementara itu, faktor internal lebih disebabkan karena terjadinya permasalahan oleh kesengajaan pengolah. Karakteristik kedua permasalahan tersebut tentunya berbeda, untuk itu pendekatan pemecahan permasalahan tentunya berbeda pula.

Menurut Purnomo et al. (2002) terdapat beberapa faktor yang telah menyebabkan berlangsungnya mal-praktek diantara para pengolah ikan dan produk perikanan menyangkut berbagai aspek permasalahan yaitu sebagai berikut: (1) Teknis

Ada beberapa hal yang menyebabkan berlangsungnya mal-praktek dari sisi teknis yakni 1) bahan yang aman tidak tersedia, 2) bahan alternatif lebih efektif, 3) bahan alternatif lebih praktis, dan 4) teknologi problem solving tidak tersedia.

(2) Ekonomi

Alasan ekonomi yang menyebabkan para pengolah melakukan mal-praktek karena produk yang dihasilkan dengan mal-praktek lebih menarik sehingga mempunyai harga jual produk yang tinggi dengan demikian pendapatan menjadi tinggi pula, dan harga bahan alternatif lebih murah sehingga dapat menekan biaya produksi yang akhirnya meningkatkan keuntungan.

(9)

(3) Sosial budaya

Ada beberapa permasalahan sosial budaya yang menyebabkan berlangsungnya mal-praktek yaitu: (1) kurangnya perhatian pejabat berwenang, penyuluhan, dan pembinaan mengenai keamanan pangan, (2) rendahnya tingkat pendidikan baik para pengolah maupun masyarakat konsumen sehingga pengetahuan mengenai keamanan pangan rendah dan kurangnya berpikir jangka panjang, (3) kebiasaan pola makan masyarakat yang belum memperhatikan aspek keamanan dari makanan yang dikonsumsinya bagi kesehatan, dan (4) terbatasnya insentif maupun disinsentif terhadap produsen atau pengolah terutama para pengolah tradisional.

(4) Kelembagaan

Permasalahan kelembagaan menyangkut masih kurangnya peraturan, masih lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan belum optimalnya peranan lembaga terkait seperti YLKI dan BPOM. Permasalahan kelembagaan tersebut menyebabkan berlangsungnya mal-praktek diantara para pengolah dan produk perikanan.

Menurut Susilo (1996) peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi konsumen sudah cukup banyak namun peraturan tersebut belum dirasakan dapat memberikan perlindungan sepenuhnya kepada konsumen karena kesiapan untuk mengawasi penerapannya masih sangat kurang. Berdasarkan Wajdi (2003) selama lembaga pemerintahan masih tidak tegas menegakkan aturan hukum, maka pelaku usaha akan memanfaatkan peluang meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mengindahkan hak-hak konsumen.

Adanya penyalahgunaan formalin tidak terlepas dari masih kurangnya peran konsumen itu sendiri. Menurut Susilo (1996) konsumen Indonesia umumnya masih kurang memiliki analisis kritis dan masih kurangnya kemampuan untuk menggunakan hak dan kewajiban untuk menjadi konsumen yang baik. Berdasarkan Pieris dan Widiarty (2007) sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan padahal telah sangat dirugikan pelaku usaha yang disebabkan karena ketidakkritisan mereka, relatif belum memahami peraturan perundang-undangan yang ada, praktek peradilan yang tidak sederhana,

(10)

kurang cepat dan biaya yang tidak ringan, dan sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pelaku usaha.

Penyalahgunaan formalin tersebut diatas tentunya merupakan kendala dalam meningkatkan kesehatan masyarakat melalui konsumsi ikan, karena masyarakat mengkonsumsi produk ikan yang tidak aman sehingga akan mempengaruhi kesehatannya. Menurut Suryana (1993) masalah pangan merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan secara keseluruhan. Hal ini penting mengingat bahwa perbaikan mutu dan nilai gizi makanan memiliki nilai strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan.

Disamping itu, minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan dikhawatirkan berkurang sejalan dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat konsumen akan kesehatan dengan hanya mengkonsumsi pangan yang bermutu dan terjamin keamanannya ataupun karena adanya rasa ketakutan sehingga tidak mengkonsumsi pangan yang terkena kasus bahan kimia yang di larang. Hal ini mengancam kelangsungan usaha pedagang dan pengolah itu sendiri.

Adanya permasalahan mutu dan keamanan pangan pada produk perikanan perlu segera diatasi guna tercapainya misi pembangunan kelautan dan perikanan meningkatkan kecerdasan dan kesehatan masyarakat melalui konsumsi ikan dan terpenuhinya hak masyarakat konsumen mendapatkan produk pangan yang bermutu dan aman sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan suatu pengembangan kebijakan keamanan pangan, khususnya dalam upaya pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan.

1.3 Pembatasan Masalah

Permasalahan mutu dan keamanan pangan produk perikanan terjadi pada berbagai jenis produk, tahapan kegiatan maupun wilayah dengan berbagai jenis bahan beracun berbahaya dan sumbernya dengan karakteristik berbeda. Timbulnya permasalahan ini disebabkan oleh berbagai aspek meliputi teknis, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan (Purnomo et al. 2002). Mengingat luas

(11)

dan kompleksitas permasalahan maka didalam penelitian ini akan difokuskan pada aspek keamanan pangan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan.

Pemilihan kasus formalin ini didasarkan pada alasan kasus penyalahgunaan formalin terjadi pada ikan segar maupun produk olahan (ikan asin, pindang, kerang rebus, ikan panggang, dan tofu udang). Sebagaimana telah diuraikan diatas, pemasaran ikan segar dan perlakuan penggaraman menempati urutan pertama dan kedua dalam cara perlakuan produksi perikanan laut nasional. Hal tersebut menunjukkan jenis produk ini banyak dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian adanya penyalahgunaan formalin dapat membahayakan kesehatan masyarakat secara luas. Sementara itu, kasus penggunaan pewarna rhodhamin dan methanyl yellow terdapat pada produk terasi, kerupuk, dan kerang rebus, sedangkan boraks pada bakso ikan. Alasan lainnya adalah penyalahgunaan formalin terdapat di berbagai wilayah tanah air (Medan, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) dan bahkan negara lain (Bangladesh, India, dan Thailand).

Wilayah studi meliputi wilayah barat pantai utara Jawa yang meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Pemilihan wilayah ini didasarkan pada :

(1) Provinsi DKI Jakarta memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan dan perkembangan sosial politik bangsa karena Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Sehubungan posisinya tersebut, provinsi ini memiliki kedekatan dengan informasi-informasi yang berkaitan dengan kebijakan keamanan pangan termasuk formalin. Disamping sebagai daerah penghasil produk perikanan (sentra perikanan), DKI Jakarta juga memiliki potensi pasar yang besar sehingga menjadi tujuan utama usaha dan pemasaran produk perikanan serta kedekatan dengan respon pasar.

(2) Propinsi Jawa Barat dan Banten juga memiliki posisi yang strategis dalam pembangunan dan perkembangan sosial politik bangsa karena provinsi ini sebagai provinsi penyangga atau mitra terdepan Ibu Kota Negara sehingga merupakan daerah yang memiliki potensi produksi atau pemasok sekaligus pasar yang cukup besar produk perikanan.

(12)

Permasalahan yang berkaitan dengan faktor penyebab berlangsungnya penyalahgunaan formalin diantara para pengolah ikan dan produk perikanan akan dibatasi pada aspek teknis, sosial budaya, kelembagaan, dan ekonomi. Masing-masing aspek tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Aspek teknis

Pada aspek ini, permasalahan akan dibatasi pada kandungan formalin dalam produk, ketersediaan bahan yang aman atau legal, rantai pemasaran produk dan formalin, dan efektivitas bahan tambahan makanan ilegal.

(2) Aspek sosial budaya

Pada aspek ini berkaitan dengan pengolah dan konsumen. Aspek sosial budaya akan dibatasi pada tingkat pendidikan, kebiasaan pola makan, kesejahteraan, pengetahuan dan persepsi mengenai bahan tambahan makanan legal dan ilegal, dan perilaku konsumen.

(3) Aspek kelembagaan

Pada aspek ini, permasalahan akan dibatasi pada peraturan dan perundang-undangan, penegakan hukum (law enforcement), dan peranan lembaga terkait. (4) Aspek ekonomi

Pada aspek ini, permasalahan akan dibatasi pada aspek finansial dari para pengolah/pedagang. Aspek ini akan difokuskan pada dampak praktek penyalahgunaan formalin terhadap tingkat keuntungan usaha.

1.4 Perumusan Masalah

Pembangunan kelautan dan perikanan mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satu peran utamanya adalah penyediaan pangan ikani nasional guna meningkatkan minat mengkonsumsi ikan masyarakat karena baik untuk kesehatan, kekuatan, dan kecerdasan sehingga pada gilirannya akan mempunyai kontribusi terhadap perbaikan kualitas sumberdaya manusia (SDM).

Seiring dengan tuntutan globalisasi dan peningkatan permintaan konsumen maka produk ikan yang aman dan bermutu merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh semua pelaku industri perikanan. Pemerintah, nelayan, pengolah,

(13)

pedagang, konsumen, dan lembaga non-pemerintah merupakan sub-sistem dari suatu sistem industri perikanan yang saling mempengaruhi guna pencapaian penyediaan pangan ikani yang aman dan bermutu. Kenyataan di masyarakat telah terjadi penyalahgunaan formalin sebagai bahan tambahan pangan termasuk pada produk perikanan. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan formalin tersebut yang memerlukan kajian dan perumusan kebijakan pengendaliannya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian tentang “Analisis Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Perikanan (Kasus Di Wilayah Barat Pantai Utara Jawa)” perlu diarahkan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:

(1) Pada jenis produk perikanan apa saja yang mengandung formalin dan berapa kadarnya ?

(2) Bagaimana kebijakan pencegahan penggunaan formalin yang ada selama ini ? (3) Bagaimana karakteristik pengolah ikan ?

(4) Faktor apa yang mempengaruhi pengolah menggunakan formalin? (5) Bagaimana karakteristik dan perilaku konsumen produk perikanan ?

(6) Bagaimana merumuskan pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan ?

(7) Bagaimana merumuskan pengembangan kebijakan keamanan pangan produk perikanan ?

1.5 Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

(1) Mengidentifikasi formalin pada produk ikan segar dan olahan tradisional di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.

(2) Menganalisis kebijakan pencegahan penggunaan formalin yang ada selama ini.

(3) Menganalisis karakteristik pengolah ikan dan faktor yang mempengaruhi penggunaan formalin.

(14)

(4) Menganalisis perilaku konsumen produk perikanan di Pantai Utara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.

(5) Merumuskan pengembangan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan.

1.6 Hipotesis

Lemahnya pembinaan, monitoring, sanksi hukum serta pengawasan distribusi formalin menyebabkan masih tingginya malpraktek formalin maka diperlukan kemauan politik pemerintah yang kuat untuk membatasi penggunaan formalin pada produk-produk non-pangan demi keamanan konsumen.

1.7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini menghasilkan informasi tentang formalin pada produk perikanan, faktor yang mempengaruhi penggunaan formalin dan keterkaitan antar faktor tersebut, karakteristik pengolah ikan dan penggunaan formalin oleh mereka, karakteristik konsumen ikan dan persepsi mereka tentang formalin pada produk perikanan, dan kebijakan pencegahan penggunaan formalin pada produk perikanan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sumbangan pemikiran untuk menghentikan penggunaan formalin oleh pelaku usaha perikanan sehingga produk perikanan terbebas dari cemaran formalin dan produk perikanan menjadi aman untuk di konsumsi konsumen atau masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dimanfaatkan oleh:

(1) Investor atau pengusaha dalam mengembangkan mutu dan keamanan produk pada kegiatan industri perdagangan dan pengolahan hasil perikanan laut. (2) Departemen Kelautan dan Perikanan dan Dinas Perikanan dan Kelautan dalam

membuat kebijakan pengembangan mutu dan keamanan produk perikanan laut.

(3) Lembaga-lembaga non-pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan mutu dan keamanan pangan produk perikanan.

(15)

1.8 Kerangka Pemikiran

Penanganan produk segar dan pengolahan secara tradisional memberikan kontribusi paling besar didalam kegiatan pasca-panen perikanan Indonesia. Terlepas dari peran besar yang dimiliki pengolahan tradisional dalam perikanan nasional, kenyataan menunjukkan usaha ini masih menghadapi berbagai kendala, berimplikasi pada produk bermutu rendah dan kurangnya jaminan keamanan (Mangunsong 2001 dan Purnomo et al. 2002).

Kondisi produk perikanan dengan mutu rendah dan kurang terjamin keamanannya dapat mempengaruhi kesehatan bahkan mengakibatkan kematian. Hal tersebut tentunya mengakibatkan tidak akan tercapainya misi pembangunan kelautan dan perikanan meningkatkan kecerdasan dan kesehatan masyarakat melalui konsumsi ikan. Disamping itu, minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan dikhawatirkan berkurang sejalan dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat konsumen akan kesehatan dengan hanya mengkonsumsi pangan yang bermutu dan terjamin keamanannya. Hal ini dimasa mendatang mengancam kelangsungan usaha pedagang dan pengolah itu sendiri.

Selain itu juga, secara hukum produk bermutu rendah dan terindikasi tidak aman bertentangan dengan perundang-undangan dan peraturan yang ada yaitu: (1) Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 yang menyebutkan badan usaha atau perorangan yang memproduksi pangan olahan bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut, (2)Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan (3) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/PER/XII/76 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Permasalahan tidak ada jaminan keamanan dan mutu produk yang dihasilkan, salah satunya disebabkan karena adanya penggunaan formalin pada penanganan dan pengolahan produk perikanan. Penggunaan formalin tersebut dapat terjadi pada kegiatan penangkapan ikan, pengolahan, maupun selama pemasaran ikan. Untuk itu identifikasi formalin perlu dilakukan pada 3 (tiga) kegiatan perikanan tersebut.

(16)

Analisis terhadap penyalahgunaan formalin perlu dilakukan. Menurut Purnomo et al. (2002) ada beberapa faktor penyebab berkembang atau terus berlangsung mal-praktek dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan yakni: (1) kelonggaran hukum yang berkaitan dengan keamanan pangan; (2) adanya insentif ekonomi karena produk hasil mal-praktek lebih menarik/harga tinggi/terhindar dari kerugian dan bahan alternatif lebih murah; (3) faktor teknis berupa bahan yang aman tidak tersedia, bahan alternatif lebih efektif, bahan alternatif lebih praktis, dan teknologi problem solving tidak tersedia; dan ketidaktahuan pengolah maupun pejabat berwenang karena pengolah atau pejabat berwenang kurang kepedulian (concern) dan kurangnya pembinaan. Untuk itu analisis terhadap penyalahgunaan formalin perlu dilakukan terhadap aspek kelembagaan (evaluasi kebijakan yang ada sekarang), teknis, eknomis, dan konsumen. Berdasarkan pemikiran tersebut maka analisis penyalahgunaan formalin dalam penelitian ini mencakup analisis kelembagaan, analisis pengolah ikan, dan analisis konsumen. Berdasarkan analisis tersebut diharapkan akan diperoleh informasi karakteristik penyalahgunaan formalin pada penanganan dan pengolahan hasil perikanan.

Perumusan strategi kebijakan pencegahan penggunaan formalin dilakukan dengan analisis pakar. Permasalahan keamanan produk perikanan yang terkait dengan adanya bahan berbahaya yang disalahgunakan pada produk perikanan tidak hanya formalin namun juga bahan berbahaya lainnya seperti: boraks, kuning metanil, dan rodamin-B. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan pencegahan penyalahgunaan bahan berbahaya yang bersifat menyuluruh tidak hanya formalin. Kebijakan tersebut sebagai kebijakan keamanan produk perikanan terkait dengan penyalahgunaan bahan berbahaya sebagai bahan tambahan pangan. Skema kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

(17)

PENGGUNAAN FORMALIN

IDENTIFIKASI FORMALIN (Pengolah, TPI, Pedagang)

PERUMUSAN STRATEGI

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran KEBIJAKAN PENCEGAHAN PENGGUNAAN FORMALIN ANALISIS KONSUMEN ANALISIS KELEMBAGAAN ANALISIS PENGOLAH KEBIJAKAN KEAMANAN PRODUK PERIKANAN TERKAIT

Gambar

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran KEBIJAKAN PENCEGAHAN PENGGUNAAN FORMALIN   ANALISIS  KONSUMEN ANALISIS KELEMBAGAAN ANALISIS PENGOLAH KEBIJAKAN KEAMANAN PRODUK PERIKANAN TERKAIT

Referensi

Dokumen terkait

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun