• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formalisasi Hukum Islam dalam Legislasi UU Peradilan Agama

Sekalipun memiliki peran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, eksistensi lembaga peradilan agama tidak berbanding lurus dengan keberadaan lembaga peradilan lainnya di tanah air. Kalau lembaga peradilan umum sudah kokoh berbarengan dengan berdirinya negara Indonesia, maka lembaga peradilan agama berjalan tertatih-tatih bagai mengikuti irama air mengalir. Tampaknya sifat khusus yang dimiliki pengadilan agama (khusus menyangkut umat Islam dan perkara-perkara perdata tertentu), dianggap sebagai bagian dari narasi penghidupan kembali Piagam Jakarta yang cenderung jadi momok menakutkan bagi sebagian rakyat Indonesia.

Secara historis, Pengadilan Agama di Indonesia sudah ada seiring dengan ditetapkannya Islam sebagai agama resmi di beberapa kerajaan di nusantara. Kerajaan Pasai pada abad ke tiga belas Masehi misalnya, merupakan kerajaan pertama yang memulai dan diikuti oleh Kerajaan Demak pada abad kelima belas. Setelah itu beberapa kerajaan lain seperti Pagaruyung, Pajang, Banten, Sulawesi, Palembang, Ternate, dan Banjar, memberlakukan Islam sebagai agama resmi sekaligus hukum bagi negaranya. Puncaknya adalah ketika Sultan Agung menjadi raja di Kerajaan Mataram (1750 M) yang memberlakukan hukum Islam secara total

10 Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam

Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1994), h. 196

145 baik pidana maupun perdata. Ia juga merubah sistem peradilan dengan merombak peradilan (Peradilan Pradata) menjadi Peradilan Surambi yang tidak lagi dipimpin oleh raja tetapi seorang penghulu yang didampingi ulama sebagai anggota majelis.11

Pengadilan Surambi pada hakekatnya merupakan sebuah peradilan agama, diketuai oleh seorang Penghulu Hakim (Hoofdpenghoeloe) sebagai hakim tunggal. Pengadilan ini berwenang mengadili perkara nikah, talak dan waris bagi kerabat Sultan serta rapak (permohonan cerai oleh istri) bagi semua kaula. Banding atas putusan ini dapat dimintakan pada Patih dan selanjutnya pada Sultan karena dalam peradilan surambi kedudukan Sultan sebagai pemegang kekuasaan peradilan tertinggi.12

Dinamakan pengadilan Surambi karena proses peradilannya dilakukan di serambi (teras) masjid Agung. Keputusan Pengadilan Surambi juga berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan. Pada realitanya, Sultan juga tidak pernah mengambil kebijakan yang bertentangan dengan keputusan Pengadilan Surambi.13 Dalam menangani perkara yang diajukan ke Pengadilan Surambi, Sulthan Agung memisahkan antara perkara-perkara yang akan diselesaikan menurut hukum Islam dan yang akan diselesaikan menurut hukum adat dan tradisi Jawa. Terhadap perkara-perkara seperti perkawinan, perceraian, warisan dan lainnya tidak diajukan ke Pengadilan Surambi tetapi cukup diajukan ke penghulu yang dibantu tiga orang anggota Majelis Surambi sebagai penasehat. Mereka akan memeriksa dan memutus perkara di tempat pengadilan.14

Pada masa kolonial, pemerintah Belanda mendirikan Pengadilan Agama dengan istilah yang keliru yakni Piesterraad atau Pengadilan Pendeta, melalui Stbl. 1882 No. 152. Piesterraad yang dibentuk berdasar Keputusan Raja Belanda (Raja William III) tanggal 19 Jauari 1882 ini dibentuk di setiap wilayah Landraad atau Pengadilan Negeri. Mulai 1 Agustus 1882, putusan inipun berlaku di Jawa dan Madura. Adapun wewenangnya meliputi perkara-perkara antara orang Islam yang diselesaikan menurut hukum Islam.15

11 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pascaamandemen Ketiga UUD 1945, (Jakarta : PP Tatanusa, 2013), Cet. I, h. 38; Alaidin Koto menambahkan dengan para ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis hakim, Alaiddin Koto, dkk, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. I, h. 201

12 Bahder Johan Nasution, “Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”, dalam Jurnal Inovatif, (Jambi : Universitas Jambi), Volume VII Nomor III September, (2014), h. 19-20

13 Alaiddin Koto, dkk, Sejarah Peradilan Islam…, h. 202

14 Basiq A Djalil, Peradilan Agama di Indonesia : Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Shari’at Islam di Aceh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet. II, h. 33-34

15 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia…, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 14-15; Amrullah Ahmad, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional : Mengenang 65 Tahun Prof H Busthanul Arifin, SH, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), Cet. I, h. 4-6; Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman…, h. 41; Alaiddin Koto, dkk, Sejarah Peradilan Islam…, h. 218; Djalil

146

Demikian juga Pada tahun 1823 dengan Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni 1823 no. 12 diresmikan Pengadilan Agama di kota Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu. Sedangkan banding dapat dimintakan kepada Sultan. Wewenang Pengadilan Agama Palembang meliputi; a) perkawinan; b) perceraian; c) pembagian harta; d) kepada siapa diserahkan anak apabila orang tua bercerai; e) apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tersebut; f) pusaka dan wasiat; g) perwalian, dan; h) perkara-perkara lainnya yang menyangkut agama.

Kemudian pada tahun 1835 melalui resolusi tanggal 7 Desember 1835 yang dimuat dalam Stbl. 1835 No. 20 yang isinya sebagai berikut:" apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis, yang harus diputus menurut hukum Islam, para pemuka agama memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pemuka agama itu harus dimajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.16

Peradilan agama di Indonesia menemukan momentumnya semenjak keluarnya UU Pokok Kehakiman No 14 tahun 1970. Walaupun tidak mudah dan penuh perdebatan karena partai-partai sekuler waktu itu menolak negara mengurus hukum agama dan hukum adat. Mereka berkeyakinan peradilan umum dan militer saja sudah cukup tanpa perlu lagi peradilan agama. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya keberadaan lembaga Peradilan Agama dapat dipertahankan. 17

Momentum kedua muncul saat UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disahkan. Ketika UU ini ditetapkan juga diwarnai oleh perdebatan panjang. Bahkan ada upaya mengeliminir peran Pengadilan Agama dalam masalah perkawinan dan mengalihkannya kepada Pengadilan Umum (seperti dalam kasus izin suami beristri lebih dari satu), akan tetapi kerasnya reaksi umat Islam saat itu sangat membantu para wakil di DPR untuk merumuskan kepastian wewenang absolut peradilan agama bagi yang beragama Islam dalam perkawinan.18

Sedangkan momentum ketiga muncul setelah UU No. 7 Tahun 1989 disahkan. 19 UU yang menurut Busthanul Arifin20 sebagai lompatan 100 tahun dari segi perundangan dan lompatan seratus windu dari segi hukum positif ini merubah beberapa hal; 1) menyatukan dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama yang selama ini beraneka ragam; 2) kesejajaran lembaga peradilan agama dengan menyebut Peradilan Agama ini sebagai suatu badan peradilan pertama yang secara yuridis formal terkait dalam sistem kenegaraan, Basiq A Djalil, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 48

16 Munawwir Sadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjun Surjaman (Ed), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, (Bandung : Rosda Karya, 1991), h. 43-44

17 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman…, h. 49-50; Basiq A Djalil, Peradilan Agama di Indonesia…, h.77-78

18 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman…, h. 85

19 Alaiddin Koto, dkk, Sejarah Peradilan Islam…, h. 261-265; Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman…, h. 55

20 Bhustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia : Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1996), Cet. I, h. 87

147 peradilan umum (sebelumnya ada pranata pengukuhan putusan PA oleh Pengadilan Negeri); 3) hakim memiliki kebebasan dalam membuat putusan tanpa pengaruh dari pemerintah; 4) kepastian wewenang absolut PA yakni perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah berdasar hukum Islam dan wakaf serta sedekah; 5) menggunakan hukum acara yang tertulis yakni Hukum Acara Perdata umum kecuali hal-hal tertentu sepert kasus cerai karena zina, prosedur cerai, cerai gugat dan lainnya; 6) perlindungan terhadap wanita khususnya saat mengajukan gugatan perceraian dengan mengikuti domisili istri.

Setelah itu adalah lahirnya Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kebutuhan akan KHI terkait dengan; 1) sebagai landasan historis terkait pelestarian hukum Islam di Indonesia; 2) landasan yuridis terkait tuntunan normatif dimana untuk mencapai kepastian hukum diperlukan hukum Islam yang tertulis dan memiliki daya ikat; 3) landasan fungsional terkait kebutuhan masyarakat yang terus mengalami perubahan.21

Dalam pembuatan Kompilasi Hukum Islam ini, terdapat empat jalur yang ditempuh; 1) jalur kitab-kitab fiqh yang selama ini jadi pegangan para hakim PA di Indonesia yang kemudian bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi Islam (IAIN) khususnya Fakultas Shari’ah di tanah air; 2) jalur wawancara dengan ulama yang memiliki keahlian di bidang fiqh Islam. 3) jalur yurisprudensi PA dengan mengumpulkan dan menganalisa keputusan PA yang selama ini berfungsi dengan baik dan sesuai dengan shari’at Islam; 4) jalur studi banding di negara-negara Islam lain atau negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim tentang pemahaman mereka terhadap shari’at Islam dan bagaimana menerapkannya dalam sistem hukum dan sistem peradilan mereka. Dari empat jalur inilah kemudian lahir KHI sebagaimana sekarang.22

Sebagai konsekwensi dari berbagai aturan perundang-undangan tersebut, maka dibentuklah Pengadilan Agama di seluruh Kabupaten/Kota dan Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Provinsi di Indonesia; peningkatan kualitas PA dan PTA di seluruh wilayah Indonesia; penambahan jumlah hakim dan panitera pengganti; pengangkatan juru sita; peningkatan kualitas hakim dan panitera; peningkatan kualitas administrasi peradilan; peningkatan sarana dan prasarana yang mendukungnya.23

Seiring dengan perubahan gradual pasca reformasi, eksistensi lembaga peradilan agama juga mengalami perubahan yang signifikan. Setidaknya di era reformasi ini sudah dua kali undang-undang terkait peradilan agama lahir; yakni UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Pada perubahan pertama antara UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006

21Alaiddin Koto, dkk, Sejarah Peradilan Islam…, h. 267

22 Bhustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, h. 59-60

23 Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES,1990), IX dalam Diana Rahmi, Restrukturisasi Peradilan Agama dalam Perpekstif Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, (Banjarmasin : IAIN Antasari Press, 2014), h. 85

148

setidaknya terdapat 13 ketentuan baru. Enam diantaranya merupakan faktor yang sangat penting sekali dalam perkembangan dan eksistensi lembaga peradilan agama di tanah air.

1. Memutus Keterikatan Peradilan Agama dengan Eksekutif

Secara umum, seluruh lembaga peradilan di Indonesia terikat dengan departemennya masing-masing. Pasal 11 UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: (1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan. Tak terkecuali dengan Peradilan Agama. Adanya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama justru semakin memperkuat kaitan lembaga peradilan agama dengan Departemen Agama (Menteri Agama). Sekalipun pembinaan teknis lembaga PA berada dilakukan oleh MA, tapi pembinaan organisasi, administrasi, keuangan, serta pembinaan dan pengawasan hakim dilakukan oleh departemen (dalam hal ini Menteri Agama).24 Bahkan pengangkatan dan pemberhentian dilakukan Presiden atas usulan Menteri Agama.25 Demikian juga pembentukan Majelis Kehormatan Hakim dan penangkapan/penahanan seorang hakim PA atas perintah Jaksa Agung harus mendapat persetujuan Menteri Agama selain Ketua MA.26 Sementara pengangkatan dan pemberhentian perangkat peradilan seperti hakim, panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti dan juru sita juga dilakukan oleh Menteri Agama.27

Kondisi seperti di atas melahirkan sistem dualistik terhadap badan-badan peradilan. Dualistik ini membuat kekuasaan kehakiman terbelah dalam dua posisi yakni setengah kedudukan dan keberadaan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding meliputi organisasi, administrasi, personil dan keuangan, digenggam dan dikendalikan oleh departemen terkait. Sementara setengah lagi (pembinaan dan pengawasan yurisdiksi substantif), dipegang dan dikendalikan oleh Mahkamah Agung.28

Keterikatan yang sangat kuat dengan lembaga eksekutif ini memang disebabkan oleh faktor historis dimana lembaga peradilan agama tidak bisa lepas dari Departemen Agama. Sebab keterkaitannya dengan ulama yang menjaga peradilan agama. Akan tetapi pada sisi lain dapat menyebabkan hakim tidak lagi mandiri dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yudikatif. Ia sangat rentan terkooptasi oleh kekuasaan. Pada gilirannya penegakan hukum yang bebas dan fair akan terkendala dalam pelaksanaannya. Sehingga amanat UUD 1945 pasal 24 ayat (1) yang menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sulit tercapai.

24 Pasal 5 ayat (1 dan 2) junto pasal 12 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

25 Pasal 15 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

26 Pasal 19 ayat (3) junto pasal 25 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

27 Pasal 36 junto pasal 40 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

149 Sejatinya, seorang hakim memang haruslah; a) bebas menjalankan tugas judisialnya berdasarkan fakta-fakta yang ada dan bebas juga dari pengaruh luar, bujukan, tekanan, ataupun ancaman langsung dan tidak langsung; b) bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif ataupun kelompok lain yang dapat mempengaruhi idependensi hakim dan lembaga peradilan; c) bebas dari segala bentuk tekanan dalam pengambilan keputusan; d) memiliki perilaku yang baik untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.29

Secara ideal, sebuah lembaga peradilan yang baik adalah; a) melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan berkeadilan; b) didukung pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara mandiri yang dialokasikan secara proporsional dalam APBN; c). Mempunyai manajemen organisasi yang jelas dan terukur serta memiliki struktur organisasi yang tepat; d) melaksanakan administrasi proses perkara yang sederhana, cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan proporsional; e) menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan kondusif dalam penyelenggaraan peradilan dengan cara mengelola sarana dan prasarana secara baik; f) membina sumber daya manusia yang kompeten dengan kriteria objektif sehingga tercipta personil peradilan yang profesional dan berintegritas; g) pengawasan secara efektif terhadap perilaku, administrasi, dan jalannya persidangan; h) memiliki orientasi kerja pada pelayanan publik yang prima; i) mempunyai manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi; j) memiliki basis teknologi informatika yang terpadu.30

Karena itulah TAP MPR RI No. X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara Khususnya BaB IV C Hukum, menegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk menanggulangi krisis di bidang hukum. Salah satu agendanya adalah melakukan pemisahan antara lembaga yudikatif dengan eksekutif dengan mengalihkan organiasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang awalnya di bawah departemen menjadi di bawah MA. Ketentuan ini juga terdapat dalam Tap MPR RI No. IV/MP/1999 tentang GBHN 1999-2004 yaitu Bab IV, bahwa arah kebijakan di bidang hukum poin 6 adalah mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun juga.31

Atas dasar itu juga, lahir UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman yang berisikan penyatuan pembinaan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung

29 Kode Etik dan Perilaku Hakim sebagaimana termuat dalam Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua Komisi Yudisial RI dalam M Agus Santoso, “Kemandirian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia”, dalam Jurnal Yustisia,

(Solo : Universitas Sebelas Maret), Vol. 1, No. 3 September-Desember (2012), 22; Imron Syafii, “Urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Mewujudkan Peradilan yang Bersih dan Berwibawa”, dalam Jurnal Pandecta, (Semarang : Universitas Negeri Semarang), Volume 9, Nomor 1, Januari, 2014, h. 77

30 Imron Syafii, “Urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi…, h. 79

150

(jadi tidak bersama-sama lagi dengan kementrian setempat). Hal ini untuk memastikan terselenggaranya peradilan yang bebas dan merdeka dari intervensi kekuasan (eksekutif). Namun tentu tidak mudah melakukannya, sebab selama ini peradilan agama memang tidak bisa dipisahkan hubungannya dengan Departemen Agama dan secara umum dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akan tetapi seiring dengan diamandemennya UUD 1945 yang memastikan keberadaan semua lembaga peradilan yang ada sekarang berikut adanya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, maka mau tak mau diperlukan payung hukum khusus juga. Hal pertama yang dirubah terkait ini adalah UU Pokok Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 plus UU No. 35 Tahun 1999 yang diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kehakiman dan diganti lagi dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan terpentingnya adalah menghilangkan dualisme pengawasan dan pembinaan PA dari Departemen Agama (eksekutif) dan Mahkamah Agung (Yudikatif) menjadi satu atap di bawah MA.32

Perubahan terhadap UU No. 7 Tahun 1989 oleh UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009, pada dasarnya adalah untuk menyesuaikan terhadap UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dengan adanya perubahan ini, berarti telah diletakkan dasar kebijakan secara menyeluruh bahwa segala urusan mengenai Peradilan Agama baik menyangkut teknis yustisi maupun non yustisial yaitu organisasi, administrasi dan finansial adalah satu atap berada di bawah kekuasaan MA.33

Pembinaan yustisi atau teknis yustisi secara garis besar adalah segala persoalan yang berhubungan dengan pelaksanaan jalannya peradilan yang meliputi penerimaan perkara, pemeriksaan, putusan, dan pelaksanaan putusan. Atau segala persoalan yang meliputi fungsi dan wewenang badan peradilan mengadili perkara guna menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat. Sedangkan pembinaan non-yustisial meliputi administrasi, organisasi, dan finansial. Bidang administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan negara, arsip, dan dokumen. Bidang organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur organisasi. Kemudian bidang finansial terkait dengan penganggaran.34

2. Legitimasi Terhadap Peradilan Shari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam konteks ini UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama lahir sebagai salah satu konsekwensi logis dari UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang lebih dahulu muncul. Dengan kata lain, secara kelembagaan, perubahan ini merupakan penyesuaian terhadap UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman35 sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 A UU PA Tahun

32 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman…,

33 Diana Rahmi, Restrukturisasi Peradilan Agama…, h. 87

34 Abd. Halim Talli, “Sistem Pembinaan dan Pengawasan Hakim Pengadilan Agama Pascalahirnya UU No. 50 Tahun 2009”, dalam Jurnal Al Hikmah, (Makasar : UIN Alauddin), Vol. XV, No. 1, (2014),h.27

35 Belakangan UU ini dihapus oleh UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara spesifik keberadaan Peradilan Shar’iyah di Aceh ini kemudian ditegaskan

151 2006 bahwa: di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang.36 Dalam penjelasan pasal 3 A ini disebutkan bahwa: pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama adalah Pengadilan Shari’ah Islam yang diatur dengan undang-undang.37

Sebagai daerah otonomi khusus38 pelaksanaan peradilan di Propinsi NAD ini berdasar pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: Peradilan Shari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Ace Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.39

Dalam penjelasan ayat ini disebutkan bahwa Peradilan Shari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam terdiri atas Mahkamah Shar’iyah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Shar’iyah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian diganti oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.40

Mahkamah Shar’iyah dan Mahkamah Shar’iyah Propinsi Aceh sekarang merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dibentuk untuk menjalankan Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. UU ini menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan atas Shari’at Islam dalam sistem hukum nasional yang akan diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU ini juga menegaskan kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.41

Dalam menjalankan Shari’at Islam ini Mahkamah Shar’iyah baik Provinsi maupun Kabupaten atau Kota berdasarkan kepada Qanun-Qanun Shari’at Islam.

dalam pasal 3 A angka (2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama jo pasal 1 angka (15) UU No. 11 Tahun 2006 yang menyebutnya dengan Mahkamah Shar’iyah Provinsi dan Mahkamah Shar’iyah Kabupaten/Kota

36 Pasal 3 A UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 1 angka (8) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo pasal 3A angka (2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

37 Penjelasan Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

38 Yang dibentuk berdasar UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

39 Pasal 15 ayat (2) UU UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo pasal 3A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama

40 Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

152

3. Mengakomodir Penyelesaian Sengketa Ekonomi Umat Islam

Tak dapat dibantah kalau sistem ekonomi shari’ah memperlihatkan perkembangan yang pesat di temgah masyarakat. Prinsip-prinsip shari’ah yang pada dasarnya dikenal dalam kegiatan ekonomi tradisonal, kini sudah mulai masuk dalam kegiatan ekonomi modern seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun dan sebagainya. Prinsip jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penitipan ternyata cocok untuk diaplikasikan kedalam kegiatan-kegiatan ekonomi modern tersebut. Adanya hal ini didukung oleh perkembangan di bidang hukum, yaitu pada