• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konfigurasi Politik Islam Sebelum Era Susilo Bambang Yudhoyono 1. Masa pemerintahan Habibie (1998-1999)

Setelah gagal mengatasi krisis moneter dan derasnya arus yang menuntut mundur, Suharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1998. Sesuai konstitusi RI (UUD 1945) yang menyatakan : Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya,97 maka begitu Suharto mundur, BJ. Habibie yang menjabat sebagai wakil presiden saat itupun dilantik menggantikannya. Ini merupakan titik awal periode transisi menuju demokrasi dimana parlemen tidak lagi dibungkam, diberlakukannya sistem multipartai, terselenggaranya pemilu 7 Juni 1999 sebagai pemilu paling jujur dan adil, dipilihnya Abdurrahman Wahid dalam proses pemilihan demokratis di MPR, adanya kebebasan pers dan akademik, dan kebebasan menyuarakan kepentingan yang memadai bahkan terkesan berlebihan di masa awal (too much democracy).98

Pada awal pemerintahannya Presiden BJ. Habibie menghadapi lima persoalan besar di Indonesia; 1) kelanjutan reformasi; 2) persoalan ABRI; 3) masalah daerah-daerah yang bergolak melepaskan diri dari Indonesia; 4) problem hukum Suharto, keluarganya, dan kekayaannya; 5) dan masa depan perekonomian bangsa.99

96 Busman Edyar, PPP dan Masa Depan Parpol Islam, (Jakarta : Republika, 8 Januari 2002)

97 Pasal 8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara Sebelum Amandemen (Naskah Asli). Walaupun demikian muncul juga perdebatan tentang proses pergantian Suharto ke Habibie sebagai sesuatu yang inkonstitusional. Sebab masa itu dianggap sebagai keadaan darurat, sehingga hukum formal tidak berlaku. Sehingga saat itu ada yang meminta dibentuk suatu formatur, namun tidak diindahkan, Haniah Hanafie dan Suryani, “Politik Indonesia”…, h. 119

98 Sukron Kamil, Islam Politik di Indonesia Terkini ; Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Antikorupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syari’ah, (Jakarta : PSIA, 2013), Cet. I, h. 22

99 MC Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since C. 1200, (Terj. Satrio Wahono, dkk), h. 655-656; Senada dengan ini J.AC Mackie menyebut empat problem terbesar; 1) krisis Timor-Timur (khususnya setelah lepas dari NKRI melalu referendum); 2) krisis

110

Terkait reformasi yang baru tumbuh, Habibie tercatat sukses membangun bingkai reformasi demokrasi. Tak lama setelah menjabat sebagai Presiden, ia langsung membebaskan beberapa tahanan politik sebagai langkah penting untuk rekonsiliasi dan menuju keterbukaan. Diantara mereka yang dibebaskan adalah kaum separatis dan tokoh-tokoh tua PKI yang telah ditahan lebih dari 30 tahun dan membebaskan beberapa aktivis mahasiswa yang menghilang sejak pemilu 1997. Amnesty (pengampunan) juga diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam insiden Tanjung Priok tahun 1984 dan tapol Timtim. Puncaknya adalah ketika sukses menghantarkan pemilu 1999 secara jujur, adil, dan transparan.100

Era keterbukaan ini menumbuhsuburkan kemunculan partai politik di tanah air. Faksi-faksi politik bergabung menjadi partai-partai politik baru. Sebagai kanalisasi dari obsesi-obsesi politik yang tidak kesampaian pada masa orde baru, keberadaan partai-partai baru seolah mewakili apa yang terbenam selama 30 tahun lebih dan tidak mendapat penyaluran yang semestinya. Hal ini sekaligus menjadi ekspresi ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik yang ada saat itu terutama lembaga legislatif. DPR yang seharusnya menjadi perwakilan suara rakyat di parlemen dinilai terlalu lemah sehingga mereka merasa perlu untuk mendirikan partai baru sekaligus sebagai cara yang tepat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat secara maksimal.101

Setali tiga uang dengan kemunculan partai politik dari kalangan muslim. Karena peran para pemimpin Islam dalam kejatuhan rezim Suharto, Islamisasi masyarakat Indonesia yang terus menerus, dan perasaan tercerabut parah yang membuat banyak orang Indonesia berlindung dalam agama, tersebarlah anggapan bahwa organisasi-organisasi Islam akan memainkan peran penting. Terbukti kemudian, Umat Islam menyikapinya dengan mendirikan partai politik untuk ikut pemilu 1999. Ada yang secara tegas menyatakan partai Islam, ada juga yang tidak menegaskan, namun basis konstituennya adalah muslim.102

kesatuan nasional (framentasi territorial) dimana munculnya tuntutan referendum dari masyarakat Aceh; 3) krisis demokratisasi dan penyempurnaan transisi dari rezim otokratis Soeharto ke sistem yang dapat dipercaya rakyat tanpa dibelokkan oleh sisa-sisa orde baru; 4) krisis ekonomi yang muncul sejak tahun 1997-1998 belum juga melihatkan jalan keluar, J.AC Mackie, Kata Sambutan dalam Chris Manning & Peter van Diermen (Ed), Indonesia in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis, (terj. Landung Simatupang, dkk), (Yogyakarta : LKiS, 2000), h. x

100 MC Ricklefs, A Historyof Modern Indonesia Since C. 1200, (Terj. Satrio Wahono, dkk), h. 665

101 Agus Muhammad, Redefinisi Politik Islam, dalam Abdul Mun’im DZ (Ed), IsIam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi, (Jakarta : Kompas, 2000), Cet. I, h. 99

102 Salim, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, h. 39; Kunto Wijoyo menyebutkan sekitar 11 partai dari 48 partai politik yang menjadi peserta pemilu 1999. Yaitu, PUI (Partai Umat Islam), PKU (Partai Kebangkitan Umat), Partai Masyumi Baru, PPP, PSII, Partai Syarikat Islam), PSII 1905 (Partai Syarikat Islam 1905), Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi), PBB, PK, PNU (Partai Nahdlatul Ulama) dan PP (Partai Persatuan), Khamami Zada, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta : Teraju, 2002), Cet. I, 74-75. Sementara Sudirman Teba menambahkan dengan Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (KAMMI), Partai Abul

111 Dari perspektif doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia, Mark Woodward mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru ke dalam lima kelompok; pertama, indigenized Islam yakni sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi dibanding mengikuti ortodoksi Islam, mereka justru lebih patuh pada aturan-aturan ritual lokal. Untuk konteks Jawa, karakteristik ini persis teorinya Clifford Geertz mereka sebagai Islam abangan. Terkait relasi politik dan agama, mereka tidak membawa masalah agama ke ranah negara (sebaliknya) sebagaimana cara berpikir sekuler. Kedua, kelompok tradisionil Nahdatul Ulama (NU) yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri. Sebab, selain dicirikan oleh kuatnya akomodasi mereka terhadap ekspresi Islam lokal selagi tidak bertentangan dengan Islam, mereka juga memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti kuatnya pesantren di pedesaan dan hubungan guru dan murid yang khas. Kemudian dalam pengamalan Islam sehari-hari, kelompok ini tidak memaksakan “Arabisme”. Ketiga, Islam modernis yang berbasis pada organisasi terbesar kedua setelah Nahdatul Ulama (NU) yakni Muhammadiyah. Pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan merupakan basis utama kegiatan kelompok ini. Selain mengenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik, kelompok ini lebih mengukuhkan ekspresi puritarisme yang lebih menonjolkan “ke-Araban” dan sekaligus menolak ekspresi lokal.103 Keempat, Islamisme atau Islamis yang mengusung Arabisme dan konservatisme sekaligus memiliki paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika karakter utama dari kelompok ini adalah penerapan syariah Islam dan jihad. Kemudian untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan, kelompok ini terkadang membentuk barisan Islam paramiliter. Kelima, neo-modernisme Islam yang lebih dikenal sebagai gerakan intelektual yang kritis terhadap doktrin Islam yang sudah mapan. Kelompok ini biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika, kerap gunakan untuk mencari tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam yang ada.104

Adapun kemunculan parpol Islam, sebagian besar diantaranya merupakan reinkarnasi dari parpol peserta pemilu tahun 1955 yang lalu yakni Masyumi, NU, PSII, PERTI, dan PPTI. Lazimnya daur ulang yang selalu menghasilkan format yang berbeda, maka demikian pula halnya parpol Islam di Indonesia dengan distingtif Yatama, Partai Islam Demokrat (PID), Partai Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Cinta Damai, Partai SUNI, Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI), Sudirman Teba, Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 2001), Cet. I, XI; Sukron Kamil,

Islam Politik di Indonesia Terkini ; Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Antikorupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syari’ah, (Jakarta : PSIA, 2013), Cet. I, h. 24

103 Sepertinya praktek ibadah dan pola pendidikan (pengajaran) jadi alasan utama Mark Woodward dalam pengklasifikasian ini. Misalnya NU dengan sikap akseptablenya terhadap budaya lokal, sedangkan Muhammadiyah dengan semangat pemurnian ibadah dari unsur-unsur selain yang dipraktekkan Rasulullah bersama para sahabat.

104 Junjungan Simorangkir, “Islam Pasca Orde Baru”, dalam Jurnal Istinbath, No.16, Th. XIV, Juni, (2015), 205-206

112

yang relatif besar, seperti; pertama, dulu partai Islam (masa Suharto) adalah tunggal (PPP), saat reformasi berubah jadi majemuk; kedua, terlalu mementingkan formalisme dan simbolisme (bernama Partai Islam), kemudian lebih mengutamakan substansi; Ketiga, dulu mengesankan ekslusif, kemudian berubah jadi lebih inklusif dan berwawasan kebangsaan.105

Dari PSII misalnya muncul dua partai yakni PSII Matraman pimpinan Taufik Tjokroaminoto dan PSII Latumenten pimpinan Bustaman yang belakangan membuat tambahan kata menjadi PSII 1905. Demikian halnya PTII ada tiga; Partai Persatuan Tharikat Islam yang diketuai Muchtar Doyah; Partai Politik Tharikat Islam pimpinan Rahman Sabon; dan Partai Pengamal Thareqat Indonesia pimpinan Masykur Loamena.106 Partai yang mengaku sebagai warisan Masyumi adalah Partai Masyarakat Umat Muslimin Indonesia (Masyumi Baru) (PMB), Partai Politik Islam Masyumi (PPIM) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara partai yang mengaku memiliki basis massa PERTI yang berpaham ahlu Sunnah wa Jamaah adalah Partai Aliansi Kebangkitan Muslim Indonesia (AKAMSI), Partai Kebangkitan Kaum Ahlu Sunnah wal Jamaah (PAKKAM), Partai Era Reformasi Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Partai Bhakti Muslim (PBM). Dari kalangan NU juga muncul empat partai; PKB, PNU, PKU, dan Partai SUNNI.107

Kemunculan partai Islam sendiri di awal reformasi bukannya tanpa kekhawatiran. Ada semacam trauma historis pada sebagian intelektual saat itu. Sebab; pertama, kebijakan penguasa yang refresif dalam mengerem laju kecenderungan Islam sebagai kekuatan politik, menyebabkan luka dalam berupa kegagalan traumatik bagi umat Islam terutama kegagalan dalam memperjuangkan dasar negara Islam dalam Sidang Konstiuante tahun 50-an yang membawa efek buruk di kemudian hari. Apalagi penguasa kerap menjadikannya sebagai legitimasi untuk memotong setiap gerakan Islam yang mengarah pada indikasi tersebut.

Kedua, masih adanya anggapan bahwa Islam sebagai kekuatan politik identik dengan perjuangan untuk mendirikan negara Islam. Tak heran bila setiap gelagat yang terindikasi mengarah pada anggapan tersebut langsung dipotong dan dicabut ke akar-akarnya sebagaimana dilakukan rezim orde baru. Secara ideologis partai Islam kerap menanggung beban yang cukup berat terkait itu.

Ketiga, banyaknya konflik internal dalam partai Islam telah menimbulkan citra tidak simpatik di mata publik.108 Hal ini menimbulkan kesan bahwa politik

105 Hajriyanto Y Thohari menyebutnya dengan istilah daur ulang politik (politic recycling) setelah mengalami intermezo selama tiga dasarwasa di bawah kendali Suharto. Hajriyanto, Daur Pulang Politik Islam, dalam Abdul Mun’im DZ (Ed), IsIam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi, (Jakarta : Kompas, 2000), Cet. I, h. 143

106 Ketiga partai ini tidak ada yang lolos verifikasi sehingga gagal ikut pemilu 1999

107 M Arsykal Salim, Fragmentasi Politik Islam, dalam Abdul Mun’im DZ (Ed), IsIam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi, (Jakarta : Kompas, 2000), Cet. I, h. 127-129

108 PPP yang terdiri atas fusi empat parpol Islam (NU, Perti, PSII, dan MI) misalnya terpecah dalam beberapa parpol. NU sendiri mendirikan parpol tersendiri (PKB, PNU, PKU, dan Partai SUNI). PPP setelah ditinggalkan NU pecah lagi dalam Partai Persatuan pimpinan Jaelani Naro dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) sebagai reinkarasi MI. Demikian

113 Islam lebih mementingkan kepentingan elit internal partai ketimbang perjuangan politik untuk mengakomodir aspirasi pendukungnya.109

Terlepas dari kekhawatiran di atas, pemilu 1999 dapat terselenggara dengan menyisakan beberapa parpol yang berhasil mendapat suara hingga memiliki wakil di DPR. Parpol ini kemudian membentuk beberapa fraksi, mulai dari Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PKB, Fraksi Reformasi, Fraksi PBB, dan Fraksi lainnya. Tidak ada pemilik suara mayoritas di DPR. Sekalipun PDIP menjadi pemenang pemilu, namun suaranya hanya 33,7 persen dengan 153 kursi parlemen. Di belakangnya mengikuti Golkar dengan persentase 22,4 persen (120 kursi). Selain itu terdapat suara-suara bebas : TNI (38 kursi); Utusan Daerah (135); dan Utusan Golongan (65).110

Parpol Islam sendiri banyak yang gagal menempatkan wakilnya di DPR. Dari dua puluh parpol yang diidentifikasi sebagai parpol Islam111, hanya separuhnya (sepuluh parpol) yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen. Dari sepuluh parpol itupun praktis hanya PPP, PKB, PAN, dan PBB yang memperoleh suara signifikan. Sementara, PK, PNU, PP, PDR, PSII, dan PKU hanya beroleh 1 sampai 3 kursi saja sehingga harus berkoalisi dengan parpol lain untuk membentuk fraksi (lihat table dibawah)!

Tabel 1

Perolehan kursi parpol Hasil Pemilu 1999112

No Partai Politik Suara Kursi Prosentase

(462+38) 1 Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia 35.689.073 154 33,3

2 Partai Golkar 23.741.749 120 26

3 Partai Persatuan Pembangunan 11.329.905 59 11,6 4 Partai Kebangkitan Bangsa 13.336.982 51 10,2

5 Partai Amanat Nasional 7.528.956 35 6,8

6 Partai Bulan Bintang 2.049.708 13 2,6

7 Partai Keadilan 1.436.565 6 1,3

8 Partai Keadilan dan Persatuan 1.065.686 6 1,3 juga PSII, Masyumi dan partai Islam lainnya. Busman Edyar, PPP dan Masa depan Parpol Islam, Koran Republika/8 Januari 2002

109 Agus Muhammad, Redefinisi Politik Islam, dalam Abdul Mun’im DZ (Ed), IsIam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi, (Jakarta : Kompas, 2000), Cet. I, h. 100-101

110 Mohammad Fajrul Falaakh, Pemilihan Presiden dan Gagalnya Demokratisasi, dalam Abdul Mun’im DZ (Ed), IsIam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi, (Jakarta : Kompas, 2000), Cet. I, 94

111 Dengan mengikuti kriteria parpol Islam yang diajukan Arsykal Salim. M Arsykal Salim, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, (Jakarta : Puslit IAIN Jakarta, 1999), Cet.8; Sementara kalau mengikuti kriteria yang diajukan Bakir Ihsan, maka tentu akan berkurang dengan mengeluarkan PKB dan PAN dari kategorisasi ini, A. Bakir Ihsan, Ideologi Islam dan Partai Politik : Strategi PPP dalam Memasukkan Nilai-nilai Islam ke dalam Rancangan UU di Era Reformasi, Jakarta : Orbit Publishing Jakarta, 2016), Cet. I

114

9 Partai Nahdatul Ummah 679,179 3 0,6

10 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 550,846 3 0,6

11 Partai Bhineka Tunggal Ika 364,291 3 0,6

12 Partai Demokrasi Indonesia 345,72 2 0,4

13 Partai Persatuan 655,052 1 0,2

14 Partai Daulat Rakyat 427,854 1 0,2

15 Partai Syarikat Islam Indonesia 375,920 1 0,2 16 Partai Nasional Indonesia Front

Marhaenis

365,176 1 0,2

17 Partai Nasional Indonesia Massa Marhaen

345,629 1 0,2

18 Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

328,654 1 0,2

19 Partai Kebangkitan Umat 300,064 1 0,2

20 Masyumi 456,718 1 0,2

21` Partai Katolik Demokrat 216,675 1 0,2

Hasil pemilu 1999 ini memang di luar prediksi (unpredictable). Setidaknya terkait dua hal; pertama, suara Golkar yang semula diprediksi akan habis seiring dengan berakhirnya kekuasan rezim Suharto, justru pada pemilu yang diselenggarakan secara jurdil ini menempati peringkat kedua setelah PDIP. Padahal menjelang pemilu acap muncul persekusi terhadap para pendukung parpol berlambang beringin ini. Sepertinya kekuatan Golkar yang demikian kuat sampai ke akar rumput begitu berpengaruh dan tidak mudah untuk dilupakan bagi sebagian rakyat yang memilihnya (konstituen). Tampaknya perjalanan politik selama orde baru telah berhasil menanamkan kesan dalam memeori para pemilihnya. Kemenangan mutlak dalam beberapa pemeilu masa orde barutelah berhasil membangun kesan seolah-olah pemilu idntik dengan Golkar. Hanya dengan mengedepankan identitas “Golkar Baru” sudah cukup menetralisir partai ini dari citra buruk orde baru.113

Kedua, suara parpol Islam yang kalah jauh dibanding parpol nasionalis sekuler. Bahkan kalau digabung jumlah kursi parpol Islam jika dibanding dengan parpol nasionalis sekuler, masih tetap kalah juga. Dari lima besar peraih suara terbanyak, ternyata hanya PPP yang meraih suara signifikan yakni 11,6 persen suara atau 59 kursi DPR. Di bawahnya mengikuti PKB dengan 10,1 persen (51 kursi), PAN dengan 6,8% (35 kursi DPR). Sementara PBB hanya 2,6 persen (13 kursi

113 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik di Indonesia : Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. I, 173; Chris Manning dan Peter van Diermen, justru menilai Golkar mengalami kemerosotan dahsyat dalam dukungan rakyat pada pemilu ini. Sebab, ia tidak lagi dapat mengandalkan suara pegawai negeri, tidak bisa pula mengkooptasi lembaga negara (termasuk militer) untuk menekan partai politik lainnya sebagaimana di masa lampau. Chris Manning & Peter van Diermen (Ed), Indonesia in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis, (terj. Landung Simatupang, dkk), (Yogyakarta : LKiS, 2000), h. 3

115 DPR), PK 1,3% (6 kursi DPR) dan PNU 0,6% (3 kursi DPR) sebagaimana tabel satu di atas.

Merosotnya perolehan kursi atau suara parpol Islam pada era reformasi dibandingkan dengan era sebelumya sangat mungkin disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, jumlah parpol Islam yang semakin banyak sehingga menyebabkan kosentrasi umat Islam pecah ke dalam banyak parpol Islam. Sepertinya elit politik Islam saat itu membayangkan suasana meriah saat itu karena suara yang melimpah ke parpol Islam yang jumlahnya belasan. Sehingga mereka dapat membagi-bagi kursi di DPR. Dengan kata lain, sikap over estimate mereka saat itu terlalu tinggi sehingga mengkalkulasi massa seperti mengkavling tanah; bagian sana milik saya, yang sebelah sini milik kita.114 Banyaknya parpol Islam juga menyebabkan banyaknya suara yang terbuang percuma. Sebab stembus accord parpol Islam saat itu juga gagal diwujudkan.115

Pembahasan tentang stembus accord sendiri berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accord. Menurut PPI, Partai Islam yang semula sepakat stembus accord akan mendapat 40 kursi. Sedangkan menurut PPI 8 parpol Islam yang sepakat stembus accord mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat ini akhirnya dibawa ke KPU dan dlakukan voting dengan dua opsi; pembagian kursi dengan memperhatikan suara stembus accord atau pembagian tanpa memperhatikan stembus accord. 12 orang menyetujui stembus accord, 43 tidak setuju dan 8 abstain. Akhirnya diputuskan tanpa memperhatikan stembus accord. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi.116

114 Rasyid, Reformasi Republik Sakit…, h. 77

115 Busman Edyar, PPP dan Masa depan Parpol Islam, Koran Republika/8 Januari 2002

116 Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder. Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih, Kpu.go.id, diakses tanggal 1 Februari 2019.

116

Konfigurasi perolehan suara partai-partai politik tahun 1999 ini menunjukkan pluralisme moderat. Menurut Andreas Ufen meskipun politik aliran ala 1955 memegang peranan, tetapi mulai terjadi dealiranisasi. Artinya format sistem kepartaian meskipun plural tetapi menunjukkan kecenderungan moderat. Perbedaan ideologi tidak setajam pemilu 1955.117

Kedua, semakin mencairnya orientasi politik umat Islam terhadap parpol Islam. Sekulerisasi politik yang berlangsung selama orde baru telah ikut mengubah orientasi politik umat Islam yang tidak lagi mengidentikkan partai dengan Islam.118 Selain itu juga sekulerisasi politik orba telah mencairkan makna sejumlah konsep kunci seperti “umat Islam”, “pemimpin Islam”, “cendekiawan muslim”, dan sebagainya. Pada masa sebelumnya istilah “pemimpin Islam” terbatas pada mereka yang berasal dari partai Islam atau organisasi Islam lainnya. Sekarang mereka yang bukan berasal dari organisasi Islam tetapi memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan Islam dipandang pula sebagai pemimpin Islam. Demikian juga istilah”cendekiawan muslim”, saat ini mereka tidak lagi terbatas pada cendekiawan yang berasal dari lingkungan santri, tetap juga mereka yang bisa disebut sebagai abangan sebagaimana terlihat pada ICMI (yang sebelumnya muncul). Pencairan konsep-konsep kunci tersebut membuka spekturm lebih luas bagi pencapaian aspirasi politik dan kultural umat Islam.119

Berbarengan dengan kemunculan Islam politik (yang digambarkan oleh kemunculan parpol Islam), di tengah masyarakat juga muncul kelompok-kelompok sosial non partisan (civil society).120 Karena memiliki latar belakang agama, maka kelompok ini pada ranah kultural menjadi kekuatan yang bisa mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh parpol termasuk parpol Islam)121 dan juga bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan.

Walau hanya memerintah selama satu tahun setengah, pemerintahan Habibie relatif banyak melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya kebebasan dengan sistem multipartai, memberikan andil yang relatif besar dalam upaya pencerahan terhadap demokrasi, aspirasi rakyat jadi lebih terakomodasi, serta peran partai politik mampu menjadi struktur mediasi-struktur media bagi rakyat-, sebagai bentuk kepedulian Parpol dalam melaksanakan

117 Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia…, 125

118 A. Bakir Ihsan, Ideologi Islam dan Partai Politik…, h. 5

119 Azumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, h. xxix-xxx; Selain karena sekulerisasi yang disebut Asep Saepul Muhtadi dengan proses pemisahan agama dengan alasan Indonesia bukan Negara teokrasi, ia menyebut ini sebagai bentuk keberhasilan komunuikasi politik “filsafat garam” yang pernah mengemuka ketika mengeras tarik menarik kekuatan ideologi untuk menentukan ideologi negara, Asep Saeful Muhtadi,

Komunikasi Politik di Indonesia : Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. I, h. 173

120 Civil society adalah institusi, organisasi, dan individu yang hadir diantara keluarga, negara, dan pasar dimana orang mengasosiasikan secara sukarela untuk memajukan kepentingan bersama. Atau bisa dikatakan ia sebagai jalan tengah diantara negara dan masyarakat A. Bakir Ihsan, Ideologi Islam dan Partai Politik…, h. 48

117 pendidikan politik bagi rakyat. Sementara itu kebijakan desentralisasi dan otonomi