METODE PENELITIAN
FORMASI TAPAK
FORMASI TAPAK
Penelitian Laboratorium
Sampel batuan sedimen setelah diambil dari lapangan kemudian dilakukan
preparasi batuan untuk pembuatan preparat atau slide mikroskopis
menggunakan metode preparasi standar palinologi (Moore et al. 1991) yang
telah dikembangkan di Laboratorium Palinologi, Departemen Teknik Geologi-ITB, serta beberapa bagian telah dimodifikasi oleh Suedy dan Setijadi (2009, tidak dipublikasikan) dalam penelitian ini. Urutan pekerjaan penelitian di laboratorium adalah:
1. Tahap persiapan
a) Pengeringan dan pembersihan: sampel dikeringkan dan dibersihkan dari kotoran. Pengeringan dilakukan secara kering angin pada suhu ruangan, sedang pembersihan dilakukan dengan membuang bagian terluar dari sampel sedimen yang diambil dengan pisau atau skalpel pada saat akan melakukan penimbangan sebelum preparasi.
b) Penimbangan: sampel kering ditimbang dengan timbangan digital sehingga tiap sampel mempunyai berat seragam yaitu 50 g.
c) Penumbukan: penumbukan sampel dimaksudkan untuk mempercepat reaksi kimia. Sampel ditumbuk dengan mortar baja dan dilanjutkan dengan mortar porselen untuk penghalusan. Setiap selesai satu sampel, mortar harus dibersihkan dengan pencucian menggunakan akudes dan dikeringkan untuk menghindari kontaminan polen dan spora dari sampel yang lain.
2. Tahap preparasi dan pembuatan slide mikroskop
Pekerjaan ini harus dilakukan pada ruang asam dengan urutan kerja sebagai berikut:
a) Penghilangan unsur karbonat: 50 g sampel batuan sedimen dimasukkan kedalam tabung gelas plastik 500 mL dan ditambahkan HCl 37% selama 5- 6 jam sampai hancur seperti lumpur, kemudian dinetralkan dengan akuades (3-4 kali penggantian/pencucian). Penggantian atau pembuangan akuades ketika sampel telah betul-betul mengendap didasar gelas plastik, dengan jeda waktu pengendapan sekitar 12-24 jam. Akuades pengganti dituang perlahan sambil digoyangkan perlahan supaya sampel tercampur
dan tercuci dengan baik. Pengecekan pH dilakukan dengan pH stick
b) Penghilangan unsur silikat: sampel yang sudah dinetralkan ditambah HF 40% secara perlahan melalui dinding gelas plastik sambil diaduk, kemudian dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu dinetralkan kembali dengan akuades (3-4 kali pencucian). Penggantian atau pembuangan akuades juga harus dilakukan secara hati-hati sampai sampel telah mengendap didasar gelas plastik, dengan waktu pengendapan sekitar 12-24 jam. Akuades pengganti dituang perlahan sertal digoyangkan perlahan agar sampel tercuci dengan
baik. Pengecekan pH dilakukan dengan pH stick sampai kondisinya netral
(pH 7).
c) Penghilangan kalsium fluorida: sampel ditambah kembali dengan HCl 37% yang dimasukkan secara perlahan dengan bantuan batang pengaduk.
Selanjutnya dilakukan pengadukan dan pemanasan dalam water bath
(80 °C) selama 6 jam untuk hasil yang lebih baik. Setelah itu kemudian dinetralkan dengan akuades 3-4 kali dengan jeda waktu pengendapan 12- 24 jam. Pada tahap ini setelah sampel netral dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop untuk mengetahui kandungan palinomorf yang diperoleh. Apabila hasil yang diperoleh cukup banyak atau melimpah dengan kondisi sampel bersih maka dilakukan tahap preparasi selanjutnya atau disaring. Namun jika palinomorf yang diperoleh cukup melimpah dengan kondisi sampel masih kotor maka kembali dilakukan pengulangan pemberian HCl dan HF. Proses preparasi dihentikan apabila tidak ditemukan palinomorf dan sampel kotor sehingga tidak bisa diamati.
d) Oksidasi: sampel ditambah HNO3 30% sebanyak 5 mL yang dimasukkan
sedikit demi sedikit dengan bantuan batang pengaduk, kemudian
dipanaskan selama 3-5 menit dalam water bath (80 °C). Sampel
dinetralkan kembali dengan akuades 3-4 kali dengan jeda waktu pengendapan 6-12 jam.
e) Pemucatan palinomorf: sampel ditambah KOH 10% sebanyak 3-5 tetes
pipet, diaduk kemudian dipanaskan dalam water bath (60-80 °C) selama 5
menit. Kemudian didinginkan serta dinetralkan dengan akuades 2-3 kali dengan jeda waktu pengendapan 6-12 jam.
f) Penyaringan: sampel yang sudah netral pada proses preparasi disaring kembali dengan saringan nilon bertingkat ukuran 250 sampai 5 µm. Penambahan akuades selama proses penyaringan dilakukan untuk mempercepat penyaringan dan penetralan. Hasil saringan dimasukkan ke
dalam tabung plastik 20 mL dan disentrifus pada 1500-2000 rpm selama 3 menit. Akuades yang berada disebelah atas dalam tabung plastik dituang secara hati-hati supaya sampel tidak ikut tertuang. Larutan diganti dengan alkohol 10% sampai volume larutan dalam tabung mencapai 5 mL.
g) Mounting: sampel yang telah selesai dipreparasi, diambil dengan
mikropipet Soccorex sebanyak 800 µL dan diteteskan pada gelas benda
yang telah diolesi capuran gliserin jeli dan PP yang berfungsi sebagai anti
jamur. Tip atau ujung mikropipet hanya digunakan satu kali untuk satu
sampel guna mencegah kontaminan dari sampel lainnya. Sampel
kemudian diratakan dan dikeringkan diatas hot plate. Entelan diteteskan
kemudian direkatkan dengan gelas penutup, setelah itu diberi label sesuai kode lapisan dan lokasi sedimen. Pengeringan dilakukan secara kering angin pada suhu kamar selama 12-24 jam. Sampel siap diamati dengan mikroskop. Penelitian laboratorium dilaksanakan pada bulan Agustus 2009- September 2010.
Pengamatan dan Analisis Palinologi
Parameter pengamatan palinologi yang digunakan adalah sifat dan ciri fosil polen serta spora yang meliputi ukuran, bentuk, ornamentasi, dan apertura dalam bentuk identifikasi morfologi. Pengamatan, identifikasi dan penghitungan fosil polen dan spora dilakukan pada seluruh sampel yang diambil (800 µL) dan dibuat preparat mikroskopis, sehingga secara kuantitatif fosil yang ditemukan adalah jumlah fosil polen dan spora per 800 µL. Selain fosil polen dan spora,
dynocysts dan FTL (Foraminifera Test Lining) juga diamati sebagai data palinomorf laut atau marin.
Polen, spora, FTL dan dynocysts merupakan anggota kelompok palinomorf,
yaitu bentuk-bentuk alami mikrofosil berdinding organik yang dapat teramati setelah dilakukan preparasi secara palinologi. Palinomorf terdiri dari tiga sub kelompok besar yaitu sporomorf (polen, spora dan spora jamur); zoomorf (FTL,
chitinozoa dan scelodont) serta fitoplankton (dynocyst, Meroplankton, Acritarch,
Rhodofita, Cyanobakteria) (Tyson 1995).
Identifikasi, penentuan taksa fosil polen dan spora serta afinitas botani menggunakan beberapa referensi acuan, antara lain: Erdtman (1952), Muller
Moore dan Webb (1978), Thanikaimoni et al. (1984), Morley (1990), Moore et al.
(1991), Punt et al. (1994), koleksi referensi dari Smithsonian Tropical Research
Intitute (pada www.striweb.si.edu/roubik), koleksi referensi dari PalDat (pada
www.paldat.org) dan koleksi Laboratorium Palinologi Teknik Geologi ITB. Pengamatan morfologi palinomorf fosil polen serta spora pada perbesaran 250X, 400X, 1000X, menggunakan mikroskopfoto Olympus tipe CX-21. Pada pengamatan 1000X digunakan minyak imersi. Pemotretan fosil palinomorf
menggunakan kamera digital Sony dan Moticam Microscope Camera 5.0.
Pengamatan dan analisis palinologi dilaksanakan pada bulan November 2010- September 2011.
Analisis palinologi terhadap fosil palinomorf yang ditemukan pada lapisan sedimen yang diambil adalah sebagai sebagai berikut:
1. Pengamatan morfologi dan identifikasi fosil polen dan spora serta palinomorf lainnya menggunakan mikroskop untuk mengetahui taksa flora penghasilnya. Setelah itu dihitung unit atau individu fosil palinomorf
(polen, spora, dynocysts dan FTL) untuk setiap sampel yang diamati.
Berdasar pengamatan ini dapat diketahui flora atau daftar seluruh taksa tumbuhan yang pernah hadir atau tumbuh di lokasi penelitian pada masa lampau. Persentase palinomorf dalam tiap sampel secara umum dihitung dengan rumus:
2. Setelah diidentifikasi dan diketahui taksa flora penghasil maupun afinitas botani, maka dilakukan pengelompokan taksa flora darat atau terestrial
kedalam kelompok vegetasi atas dasar habitusnya yaitu pohon (arboreal)
dan bukan pohon (non arboreal). Pengelompokan ini dinyatakan dalam
bentuk persentase fosil arboreal pollen (AP) dan fosil non arboreal pollen
(NAP), sementara fosil spora Pteridophyta dihitung tersendiri (Prebble et
al. 2005). Hal ini untuk menggambarkan dinamika vegetasi berdasar
habitusnya, seperti perkembangan hutan berkayu pada periode waktu tertentu.
Contoh taksa yang termasuk kedalam AP, NAP dan spora diantaranya adalah :
Arboreal pollen (AP): Zonocostites ramonae/Rhizophora type, Florschuetzia meridionalis/Sonneratia alba, Florschuetzia levipoli/
Sonneratia caseolaris, Spinizonocolpites echinatus/Nypa fruticans, Pinuspollenites/Pinus.
Non Arboreal Pollen (NAP): Monoporites annulatus/Gramineae, Cyperaceae.
Spora: Laevigatosporites spp., Acrostichum aureum, Crassoretitriletes
vanraadshooveni/Lygodium scandens type.
3. Pengelompokan taksa flora darat atau terestrial atas dasar kesamaan kelompok habitat ekologi (Gambar 5) menurut model pengelompokan Haseldonckx (1974) yang dimodifikasi, meliputi kelompok habitat:
mangrove, mangrove belakang (back mangrove), riparian, air tawar (fresh
water), dataran rendah (lowland), pegunungan (montane) dan Pteridophyta. Hal ini dapat menggambarkan dinamika vegetasi darat atau terestrial berdasar lingkungan atau habitatnya pada periode waktu tertentu.
Gambar 5 Pengelompokan taksa atas dasar kesamaan kelompok habitat ekologi
(Haseldonckx 1974).
4. Interpretasi lingkungan pengendapan masa lampau ditentukan dari asosiasi kumpulan polen dan spora (Gambar 6) yang mencerminkan ekologi habitatnya (Haseldonckx 1974). Selain itu, juga menggunakan
pengelompokan taksa laut (marin) dan non laut (non marin) serta
Palynological Marine Index (PMI) untuk mengetahui pengaruh lingkungan
marinsaat pengendapan sedimen berlangsung.
dimana Rm adalah jumlah dari palinomorf marin berupa dinocysts dan
FTL dan Rt adalah jumlah palinomorf darat berupa polen dan spora. Nilai
PMI yang tinggi diinterpretasikan sebagai lingkungan pengendapan yang
dipengaruhi marin dengan kondisi normal, sedang pada sampel yang
tidak ditemukan palinomorf marinnya mempunyai nilai PMI = 100
(Carvalho 2001).
Gambar 6 Interpretasi lingkungan pengendapan berdasar asosiasi kumpulan polen dan spora (Haseldonckx 1974).
5. Hasil identifikasi taksa dan penghitungan jumlah unit fosil polen dan spora kemudian digunakan untuk memprediksi nilai indeks ekologi berupa indeks diversitas (keanekaragaman) dan indeks similaritas (kesamaan) flora berdasar kehadiran dan jumlah fosil polen serta spora yang ditemukan untuk tiap lapisan sedimen dan lokasi penelitian. Indeks
diversitas dihitung berdasar persamaan Indeks Diversitas Shannon
(Krebs 2002; Cox 2002; Hammer et al. 2003), dengan rumus serta
kriteria sebagai berikut:
dimana:
H’ = Indeks DiversitasShannon
ni = Jumlah individu takson ke-i
n = Jumlah total individu
s = Jumlah takson
ln = Logaritma natural
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan Indeks Diversitas
Shannon menurut Barbour et al. (1987) yaitu:
H’<1 = Diversitas sangat rendah
1≤H’<2 = Diversitas rendah
2≤H’<3 = Diversitas sedang
3≤H’<4 = Diversitas tinggi.
H’>4 = Diversitas sangat tinggi
Indeks Similaritas (IS) untuk menggambarkan kesamaan flora yang hadir pada seluruh sampel stratum lapisan batuan sedimen dihitung berdasar
Indeks Similaritas Sorensen (Ludwig & Reynolds 1988; Krebs 2002), dengan rumus:
dimana:
Ss = Indeks SimilaritasSorensen
a = Jumlah takson yang sama terdapat pada sampel I dan II
b = Jumlah takson hanya terdapat pada sampel I
Indeks Similaritas Sorensen ditentukan berdasar data biner berupa kehadiran dan ketidakhadiran suatu takson pada suatu unit sampling. Nilai indeks ini berkisar antara 0 yang berarti tidak ada kemiripan sampai dengan 1 yang berarti kemiripan tertinggi (Krebs 1999, 2002), dengan kriteria sebagai berikut:
IS<0,25 = sangat rendah
0,25-0,50 = rendah
0,50-0,75 = tinggi
IS>0,75 = sangat tinggi
6. Analisis data fosil dan penyajian diagram palinologi yang diperoleh
menggunakan program PAST-PAlaeontological STatistics, ver.0.99.
(Hammer et al. 2003); MS Excel 2007 dan Sigma Plot ver.11.0.
Pengelompokan zona pada diagram palinologi selain berdasar kehadiran taksa penyusun kelompok juga diprediksi dengan persamaan polinomial orde 6 pada MS Excel 2007.
7. Analisis biostratigrafi dengan tujuan untuk mengetahui umur batuan Formasi Tapak secara relatif menggunakan zona kisaran atau selang dari taksa terpilih. Zona kisaran adalah tubuh lapisan batuan yang mencakup stratigrafi terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada. Zona ini dapat berupa zona kisaran satu unsur takson, kumpulan takson atau ciri paleontologi lain yang menunjukkan kisaran atau zona selang dari 2 takson diagnostik atau penanda. Pada palinostratigrafi Tersier terutama di
Asia Tenggara, keberadaan fosil spora Stenochlaeniidites papuanus dan
polen Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus imbricatus sangat penting
karena keduanya merupakan fosil diagnostik untuk umur Miosen-Pliosen
di Asia Tenggara serta Pulau Jawa khususnya (Morley 1978; Rahardjo et
al. 1994), sehingga penelitian ini juga mengamati kehadiran kedua fosil
diagnostik tersebut dalam sampel sedimen yang diambil dari Formasi Tapak di Cekungan Banyumas. Beberapa zonasi biostratigrafi berdasar fosil polen dan spora atau palinostratigrafi di Indonesia telah disusun oleh
beberapa peneliti, diantaranya Morley (1978) serta Rahardjo et al. (1994)
digunakan sebagai dasar acuan mengetahui umur relatif formasi ini. Zonasi ini dapat disajikan pada Gambar 7 dan 8.
KALA Morley (1978): Rahardjo et al. (1994):
Zona Asia Tenggara Zona Jawa
KUARTER Phyllocladus hypophyllus Monoporites annulatus
PLIOSEN
Akhir Podocarpus imbricatus Dacrycarpidites australiensis/
Podocarpus imbricatus Stenochlaena laurifolia-Amylotheca Awal Stenochlaeniidites papuanus Stenochlaena laurifolia- Stenochlaena areolaris MIOSEN Akhir Florschuetzia Florschuetzia meridionalis Florschuetzia meridionalis meridionalis Florschuetzia Tengah trilobata Florschuetzia levipoli
Awal Florschuetzia levipoli
Florschuetzia trilobata OLIGOSEN
Akhir
Florschuetzia trilobata Meyeripollis nahakortensis Awal
EOSEN Akhir Proxapertites operculatus
Awal