• Tidak ada hasil yang ditemukan

Palinologi

Palinologi adalah ilmu yang mempelajari tentang polen, spora dan

palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalynology) ataupun sudah

memfosil (paleopalynology) (Morley 1990). Palinomorf merupakan kelompok

bentuk alami berdinding organik yang teramati setelah dilakukan preparasi

secara palinologi, diantaranya berupa polen, spora, foraminifera test lining serta

dynocyst. Palinomorf secara umum mencakup tiga sub kelompok besar yaitu

sporomorf (polen, spora dan spora jamur); zoomorf (foraminifera test lining,

chitinozoa dan scelodont) serta fitoplankton (dynocysts, meroplankton, Acritarch,

Rhodofita, Cyanobakteria) (Tyson 1995).

Polen atau serbuk sari merupakan bagian bunga berupa kantung yang berisi gametofit jantan pada tumbuhan berbunga Anthophyta baik Gymnospermae maupun Angiospermae, sedang spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler seperti alga, jamur, lumut serta tumbuhan vaskuler tingkat rendah lain yaitu tumbuhan lumut (Bryophyta) dan paku (Pteridophyta). Sel induk mikrospora membelah melalui pembelahan meiosis menjadi empat sel haploid yang disebut mikrospora atau sering disebut sebagai butir polen (serbuk sari) dan spora (Fahn 1982; Buvat 1989).

Polen dan spora berasal dari tumbuhan atau flora yang tumbuh dan membentuk vegetasi pada suatu habitat atau lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan untuk merekonstruksi flora dan vegetasi yang berada disekelilingnya. Bukti palinologi ini merupakan representasi dari tumbuhan yang dapat menggambarkan bagaimana pola vegetasi beserta kondisi lingkungan habitatnya. Flenley (1979) dan Morley (1990) menyatakan bahwa dengan diketahui tipe polen dan spora selanjutnya dapat dirunut dan diketahui takson tumbuhan penghasil. Pada rekonstruksi flora terutama tumbuhan yang telah punah dan untuk mengetahui sejarah perkembangan suatu flora, maka penggunaan bukti palinologi berupa fosil polen dan spora yang didapatkan dalam batuan sedimen merupakan cara yang tepat, sehingga analisis fosil polen dan spora yang terendapkan pada suatu sedimen dapat mengungkap latar belakang perubahan vegetasi dan lingkungan suatu daerah pada satu periode waktu tertentu pada masa lampau.

Foraminifera test lining adalah lapisan tektin berupa kitin dari biota laut foraminifera yang merupakan suatu elemen penting dalam komponen palinologi

laut. Lapisan planispiral foraminifera secara umum ditemukan dalam preparasi

palinologi dari suatu lapisan sedimen terutama sedimen laut dengan bentuk

beragam (uniserial atau biserial), berwarna coklat tua, berdinding tipis dengan

ketebalan lapisan 1-10 µm dan ukuran diameter bervariasi 50-200 µm. Lapisan

tektin bersifat mirip sporopollenin dari polen dan spora sehingga tahan terhadap

faktor fisik, kimia dan biologis dari luar (Hedley 1964; Scull et al. 1966 dan

Traverse 1988). de Vernal et al. (1992) memberi catatan bahwa keberadaan

foraminifera test lining dari foraminifera muda atau dewasa dalam sampel sulit

dibedakan, sedang Powell et al. (1992) menyatakan bahwa foraminifera dewasa

lebih mungkin membentuk foraminifera test lining daripada yang muda. Dalam

palinologi foraminifera test lining sering disebut juga mikroforaminifera.

Dynocysts merupakan cangkang atau kista dari dinoflagelata laut (marine dinoflagellate cysts) yang termasuk dalam kelompok Fitoplankton. Kelompok ini terdiri dari Holoplankton dan Meroplankton, dimana Meroplankton merupakan bentuk plankton yang menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya di dasar lautan namun juga mempunyai fase planktonik secara temporer diantaranya pada beberapa Dinoflagelata, Chroococale dan Rhodofita (Tyson 1995). Rekam fosil dinoflagelata sebagian besar menunjukkan bahwa mereka merupakan bagian dari bentuk siklus hidup meroplanktonik, dimana sebagian hidup dalam fase flagelata yang motil dan sebagian lagi adalah fase bentik, namun hanya

10% jenis dinoflagelata diketahui mampu membentuk kista (cysts) dan hampir

70% dari kista tersebut tersimpan dan menjadi fosil (Evitt 1985). Kemelimpahan

dynocysts secara umum akan meningkat kearah lautan (Tyson 1995).

Palinologi banyak digunakan dalam aplikasi yang berhubungan dengan disiplin ilmu lain, contohnya geokronologi, biostratigrafi, perubahan iklim, migrasi, evolusi flora, stratigrafi, paleoekologi, paleoklimatologi dan arkeologi. Fosil polen dan spora merupakan sumber data palinologi yang sangat penting dan dapat diterapkan secara luas, karena:

1. Dapat ditemukan melimpah dan terawetkan dalam sedimen serta jumlah dapat dihitung sehingga menghasilkan suatu spektrum,

2. Berukuran kecil dan melimpah sehingga hanya diperlukan sedikit sedimen sebagai sampel yang memadai,

3. Resisten terhadap kerusakan baik oleh asam, kadar garam, suhu dan tekanan lain sehingga dapat tersimpan pada berbagai keadaan,

4. Dapat diidentifikasi dengan bantuan mikroskop sehingga secara

taksonomi dapat diketahui taksa penghasilnya,

5. Berasal dari tumbuhan yang membentuk vegetasi suatu area sehingga fosil polen dan spora dapat digunakan untuk merekontruksi vegetasi baik lokal maupun regional yang berada disekeliling lingkungan pengendapan (Moore & Webb 1978; Morley 1990; Birks & Birks 2005: Traverse 2007). Butir polen maupun spora mempunyai bentuk, ukuran, dan ornamentasi eksin tertentu sehingga dengan mengetahui, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan suatu butir polen dan spora maka dapat diketahui tingkat takson tumbuhan penghasilnya, misalnya tumbuhan Angiospermae yang

memiliki polen polyad diketahui ada lima suku, yaitu: Annonaceae, Leguminosae,

Hippocrateaceae, Asclepiadaceae dan Orchidaceae. Secara umum ada dua golongan tumbuhan berbunga berdasar sifat polen, yaitu:

1. Stenopalynous family: kelompok tumbuhan yang polennya seragam atau

variasi sangat kecil. Contoh: suku Poaceae (Gramineae). Sifat polen suku

Poaceae adalah: monoporate dengan ornamentasi psilate

2. Eurypalynous family: kelompok tumbuhan yang polennya sangat

bervariasi. Contoh: suku Arecaceae (Palmae). Sifat polen suku

Arecaceae adalah: monocolpate, sebagian tanpa apertura, ornamentasi

bervariasi dari psilate sampai echinate (Kapp 1969; Moore & Webb 1978)

Unit polen maupun spora dapat dilepaskan tumbuhan dalam bentuk: monad

(tunggal), diad (ganda dua), tetrad (ganda empat), dan polyad (banyak atau

gerombol), sedangkan bentuk polen tetrad dibedakan lagi menjadi: tetrahedral,

tetragonal, rhomboid, tetrad silang, dan decussata (Kapp 1969; Moore & Webb 1978). Gambar tipe polen dan spora tetrad dapat dilihat pada Lampiran 1.

Polen mempunyai struktur dinding kompleks yang merefleksikan adaptasi fungsional dari suatu spesies terhadap habitat, substansi pembentuk dinding serbuk sari ini disebut sporopolenin. Sporopolenin sangat stabil dan resisten terhadap berbagai pengaruh lingkungan. Secara dasar struktur dinding polen dan

spora mempunyai dua lapisan dasar yaitu intine (intin) dan exine (eksin). Intin

atau lapisan tengah langsung berhubungan dengan sitoplasma, yaitu bagian dalam polen atau spora dan akan hilang setelah polen atau spora tersebut mati.

Intin tersusun dari selulosa dan mempunyai struktur mirip dengan dinding sel tumbuhan pada umumnya. Eksin merupakan bagian luar butiran dengan permukaan berupa struktur yang beraneka ragam. Lapisan ini tahan terhadap daya destruktif, tekanan, suhu, kondisi asam dan oksidasi alami dalam lapisan batuan, maupun tahan terhadap keadaan anaerob dan oksidasi selama proses fosilisasi (Faegri & Iversen 1989). Lapisan eksin terdiri dari lapisan endeksin (eksin dalam) dan lapisan ekteksin (eksin luar). Ekteksin yang tersusun tiga lapisan, yaitu tektum sebagai lapisan terluar, kolumela atau bakula berbentuk tiang kecil yang mendukung tektum dan lapisan kaki sebagai lapisan paling dasar. Butiran dengan tektum yang menutupi seluruh permukaan butiran disebut tektat, jika tidak mempunyai tektum disebut intektat dan butir yang mempunyai tektum hanya menutupi sebagian kecil permukaan disebut semitektat (Morley 1990). Skema susunan dinding polen dan morfologi eksin dinding polen dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

Polen maupun spora secara umum dapat diklasifikasikan berdasar kenampakan fisik atau morfologinya. Beberapa sifat yang dapat digunakan dalam determinasi dan identifikasi polen dan spora diantaranya adalah ukuran dan bentuk, jumlah dan bentuk apertura, serta bentuk dan ornamentasi pada eksin. Berdasar ukuran polen dan spora dibedakan dalam enam kelas menurut aksis terpanjang. Pada umumnya ukuran fosil polen dan spora bervariasi dari sangat

kecil (< 10 μm) sampai dengan ukuran raksasa (>200 μm), namun yang umum

ditemukan berukuran antara 20-50 μm (Erdtman 1952). Bentuk polen dapat

dilihat dari dua pandangan yaitu polar dan ekuatorial. Tingkatan bentuk polen dan spora ditentukan berdasar indeks perbandingan diameter polar dan ekuatorial (P/E). Untuk pencandraan bentuk polen dan spora menggunakan kenampakan pada pandangan polar dan pandangan ekuatorial berdasar perbandingan antara panjang aksis polar (P) dan diameter ekuatorial (E), atau lndeks P/E (Kapp 1969; Moore & Webb 1978). Nilai indeks P/E disajikan pada Lampiran 4. Erdtman (1952) mengklasifikasikan pandangan ekuatorial polen dan

spora menjadi 12 bentuk yaitu: peroblate, oblate, suboblate, oblate-spderodial,

spherodial, prolate-spherodial, subprolate, prolate, perprolate, rhomboidal, rectangular, apple-shape. Pada pandangan polar dapat dibedakan menjadi 14

bentuk: circular, circular-lobate, semi-angular, inter semi-angular, angular, inter

angular, semi-lobate, inter semi-lobate, lobate, inter lobate, hexagonal, inter hexagonal, sub-angular, inter sub-angular, rectangular dan tabular.

Apertura merupakan salah satu karakter polen yang penting. Apertura adalah suatu area tipis pada eksin yang berhubungan dengan perkecambahan polen. Apertura polen dibedakan menjadi dua tipe, yaitu celah memanjang

disebut colpus/colpi dan berbentuk bulat disebut porus/pori, serta dengan

beberapa variasi apertura antara bentuk colpus dan porus. Pada tumbuhan

Pteridophyta maupun Bryophyta, spora tidak memiliki apertura, namun mempunyai suatu area tipis yang menyerupai apertura pada spora adalah bekas

luka tetrad disebut laesura yang tampak seperti garis pada sisi luar dan memiliki

dua bentuk yaitu trilete atau monolete (Kapp 1969; Moore & Webb 1978).

Beberapa tipe apertura polen dan cirinya dapat disajikan pada Lampiran 5.

Tipe ornamentasi eksin polen disusun berdasar ukuran, bentuk, dan susunan unsur ornamentasi. Ornamentasi merupakan bentuk eksternal eksin tanpa menunjukkan susunan eksin bagian dalam. Menurut Faegri dan Iversen (1989), ornamentasi termasuk dalam komponen eksin yang timbul karena adanya keanekaragaman bentuk morfologi dari tektum. Beberapa bentuk

ornamentasi antara lain psilate, verrucate, scabrate, perforate, foveolate,

gemmate, clavate, echinate, regulate, reticulate, baculate, dan striate. Tipe ornamentasi eksin polen dan cirinya disajikan pada Lampiran 6.

Traverse (1988), dengan teknik lux-obscuritas analysis untuk mengamati

ornamentasi, yaitu menggunakan perbesaran mikroskop 90-100 kali, fokus digerakkan turun naik untuk mengetahui ornamentasi serta morfologi butiran polen dan spora. Struktur dinding polen khususnya bagian eksin merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Pencandraan tipe ornamentasi eksin dibuat berdasar ukuran, bentuk, dan susunan unsur ornamentasi. Ciri utama butir polen yang sering dipakai dan mempunyai nilai taksonomi adalah ukuran, bentuk, ornamentasi dan apertura (Morley 1990; Birks & Birks 2005). Gambaran ornamentasi dan morfologi butiran polen dan spora disajikan dalam Lampiran 7 dan 8.

Penggunaan Bukti Palinologi untuk Rekontruksi Flora-Vegetasi

Sejak diperkenalkan analisis polen pada tahun 1916 oleh Lennard Von Post, maka eksplorasi flora melalui pendekatan palinologi mulai berkembang. Hal ini berdasar bahwa dengan diketahuinya suatu tipe polen maka akan diketahui jenis tumbuhan penghasilnya (Morley 1990; Birks & Birks 2005). Penerapan bukti

palinologi dijadikan salah satu standar nilai dalam menginterpretasikan masalah yang berkaitan dengan stratigrafi, migrasi, paleoekologi maupun arkeologi (Morley, 1990). Sejarah flora dan vegetasi di suatu daerah dapat diungkap melalui pendekatan palinologi. Analisis fosil polen dan atau spora yang terendapkan pada suatu sedimen dapat mengungkapkan latar belakang perubahan flora dan vegetasi pada periode tertentu. Analisis fosil polen dan spora secara vertikal terhadap urutan lapisan sedimen merupakan cara untuk menelusuri sejarah flora dan vegetasi serta perubahan yang terjadi selama proses sedimentasi berlangsung (Moore & Webb 1978; Faegri & Iversen 1989; Birks & Birks 2005).

Bukti palinologi penting untuk mengungkap sejarah flora dan lingkungan

sehingga menyebabkan pengkajian yang intensif dalam bidang ini. Rahardjo et

al. (1998) merekonstruksi Formasi Nampol dan Punung, Pacitan Jawa Timur

berdasar fosil polen yang diendapkan pada masa Miosen Tengah pada lingkungan transisi yang dipengaruhi perubahan permukaan air laut. Sukapti dkk (1998) dengan bukti kemelimpahan fosil polen mangrove merefleksikan pergeseran garis pantai di daerah Pondok Butun, Kalimantan Selatan. Maloney (2002) berhasil merekonstruksi lingkungan dan vegetasi di bekas kerajaan Ayutthaya, Thailand, kemudian Graham (2002) merekonstruksi vegetasi di Teluk Karibia pada zaman Cenozoic (sekitar 50 juta tahun yang lalu) yang menunjukkan fluktuasi sehingga mencapai kestabilan pada masa Kuarter (sekitar

1,6 juta tahun yang lalu). Setijadi et al. (2005) menggunakan fosil polen untuk

mengetahui sejarah flora dan vegetasi pada formasi Kalibiuk dan Kaliglagah daerah Bumiayu pada kala Pliosen-Plistosen yang diendapkan pada lingkungan transisi. Fosil polen juga untuk merekonstruksi keanekaragaman flora penyusun

hutan mangrove di pantai Randusanga Brebes (Suedy et al. 2006a); flora

penyusun hutan mangrove pantai Kaliuntu Rembang (Suedy et al. 2006b) dan

pantai Gandhong Demak (Suedy & Setijadi 2007). Data palinologi mangrove juga banyak digunakan dalam prediksi dinamika vegetasi, perubahan muka air laut serta perubahan iklim pada derah pesisir (Ellison 2008).

Peneliti lain yaitu Yulianto et al. (2005) menggunakan fosil polen dan spora

yang ditemukan pada Rawa Danau di Jawa Barat untuk mengetahui perubahan

lingkungan pada masa Holocene daerah tersebut. Finsinger et al. (2007)

menggunakan fosil polen untuk memprediksi perubahan iklim di bagian selatan Eropa. Behling dan Pillar (2007) menggunakan bukti palinologi dalam

merekonstruksi dinamika vegetasi dan biodiversitas dibagian selatan Brazilia

pada Kala Kuarter Akhir. Dupont et al. (2008) menggunakan bukti palinologi dari

sedimen laut dalam (Ocean Drilling Program Site 1078/ODP 1078) untuk

merekonstruksi sejarah vegetasi dan iklim di Angola selama masa glasial-

interglasial Kala Holosen (30.000 tahun yang lalu). Iklim dingin dan kering ditandai dengan melimpahnya fosil polen Gramineae dan tumbuhan gurun, sementara iklim lebih hangat dan basah ditandai dengan melimpahnya fosil polen

tumbuhan hutan seperti Podocarpus sp. dan Mallotus-type. Studi Kuarter oleh

Morley (1995) menunjukan bahwa suhu global yang relatif hangat (warmer

periods) mengakibatkan naiknya muka air laut sehingga iklim menjadi basah (wet climate). Hal ini karena selama periode tersebut, terjadi pencairan es beku yang mengakibatkan naiknya muka air laut sehingga menggenangi sejumlah daratan

yang semula kering menjadi basah, sebaliknya periode dingin (cooler periods)

menyebabkan terbentuknya es beku dari sejumlah volume air yang mengakibatkan penurunan muka air laut sehingga suatu daerah yang semula tertutup air menjadi daratan terbuka. Hal tersebut menyebabkan iklim yang

semula basah menjadi relatif kering atau dry climate.

Bukti Palinologi untuk Penentuan Umur Relatif Batuan

Umur formasi batuan sedimen selain dapat ditentukan secara absolut dengan penanggalan radiometri, juga dapat ditentukan secara relatif berdasar fosil flora dan fauna yang terdapat dalam batuan tersebut. Umur relatif ditentukan

berdasar pengamatan terhadap kemunculan awal (first appearance datum/FAD)

dan kemunculan akhir (last appearance datum/LAD) suatu takson yang

merupakan takson indeks, penunjuk maupun penciri atau diagnostik umur tertentu yang kemudian menjadi ciri utama untuk zona umur tersebut. Penentuan umur relatif batuan tidak terlepas dari biostratigrafi, yang dimaksudkan untuk menyusun lapisan batuan secara bersistem menjadi satuan

atau unit biostratigrafi berdasar kandungan dan penyebaran fosil (Lenz et al.

2000).

Biostratigrafi adalah studi penentuan umur batuan menggunakan atau berdasar fosil flora maupun fauna yang terkandung didalamnya, dengan tujuan untuk korelasi yaitu menunjukkan bahwa lapisan batuan tertentu dalam suatu bagian tubuh batuan mewakili periode waktu geologi yang sama dengan lapisan

batuan bagian lain. Fosil berguna karena dua batuan sedimen yang berumur sama dapat terlihat berbeda karena variasi lokal lingkungan sedimentasi. Mikrofosil seperti dinoflagelata, polen dan foraminifera sering digunakan sebagai

fosil indeks atau diagnostik yang digunakan dalam biostratigrafi (Lenz et al.

2000).

Biostratigrafi berdasar pada hukum tertentu sebagai dasar asumsi, yang juga berlaku dalam stratigrafi yaitu: hukum superposisi yang menyatakan bahwa dalam urutan lapisan batuan belum terganggu maka lapisan termuda adalah lapisan paling atas; hukum horisontalitas yaitu lapisan sedimen diendapkan hampir secara horisontal dan sejajar dengan permukaan tempat sedimen tersebut diendapkan, dan juga hukum urutan fauna yang menyatakan bahwa jenis fosil berbeda sesuai dengan umur. Satuan dasar dalam biostratigrafi adalah

zona atau biozona (Lenz et al. 2000), yang meliputi:

1. Zona Kumpulan (Assemblage biozone)

Merupakan sejumlah lapisan batuan yang dicirikan oleh kumpulan fosil khas atau kumpulan suatu jenis fosil. Batas serta kelanjutan zona ditentukan oleh batas kebersamaan dari taksa penyusun yang terdapat dalam zona ini. Nama zona ini berdasar satu unsur fosil atau lebih yang menjadi ciri utama kumpulan fosilnya. Zona ini berguna sebagai petunjuk lingkungan pengendapan masa lampau.

2. Zona Kisaran (Range biozone)

Merupakan tubuh lapisan batuan mencakup kisaran stratigrafi unsur terpilih dari seluruh kumpulan fosil yang ada. Zona ini berupa kisaran satu takson maupun kumpulan takson atau ciri paleontologi lain yang menunjukkan kisaran. Batas dan kelanjutan zona ditentukan oleh penyebaran tegak/vertikal serta mendatar/horisontal dari takson penciri. Nama zona diambil dari satu jenis fosil penciri utama. Zona ini berguna untuk menunjukkan umur suatu lapisan batuan.

3. Zona Puncak (Abundance biozone)

Merupakan tubuh batuan yang memperlihatkan perkembangan maksimal suatu takson tertentu. Batas penyebaran vertikal maupun horisontal zona puncak umumnya bersifat subyektif, terbatas dan bersifat lokal karena kemelimpahan taksa dalam rekam geologi sangat dipengaruhi oleh paleoekologi, taponomi maupun diagenesis. Penamaan zona berdasar

nama takson yang berkembang secara maksimal dalam zona tersebut. Zona ini menunjukkan kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan.

4. Zona Selang (Interval biozone)

Merupakan selang stratigrafi antara dua horison biostratigrafi yang ditandai dengan awal atau akhir kemunculan takson penciri. Batas atas atau bawah zona selang ditentukan oleh horison pemunculan awal atau akhir takson penciri. Penamaan diambil dari takson penciri batas atas atau batas bawah tersebut. Keberadaan zona ini penting terutama dalam korelasi stratigrafi.

5. Zona Turunan (Lineage biozone)

Merupakan tubuh batuan mengandung fosil taksa yang secara spesifik menunjukkan suatu evolusi garis keturunan dari taksa tersebut.

Gambaran zonasi dalam biostratigrafi disajikan pada Lampiran 9.

Beberapa biostratigrafi berdasar fosil polen dan spora atau palinostratigrafi di

Indonesia telah disusun oleh beberapa peneliti, diantaranya Germeraad et al

(1968), Morley (1978) serta Rahardjo et al. (1994). Germeraad et al. (1968)

menyusun biostratigrafi di Borneo berdasar evolusi perkembangan fosil polen

mangrove genus Florschuetzia, dimana pada Oligosen Akhir Florschuetzia

trilobata mendominasi dan kemudian berkembang Florschuetzia semilobata dan

Florschuetzia levipoli/Sonneratia caseolaris pada Miosen Awal serta

Florschuetzia meridionalis/Sonneratia alba yang kemudian lebih mendominasi pada Miosen Tengah sampai Kuarter. Menurut Morley (1978), kemunculan awal

Florschuetzia levipoli/Sonneratia caseolaris dekat dengan batas Oligo-Miosen,

sementara kemunculan awal Florschuetzia meridionalis/ Sonneratia alba pada

batas Miosen Tengah-Miosen Awal. Miosen Awal dicirikan oleh kemunculan

Florschuetzia levipoli dan kemunculan awal Florschuetzia meridionalis. Pada

Miosen Tengah dicirikan oleh kemunculan awal Florschuetzia meridionalis

sebagai batas bawah sedangkan batas atas ditandai oleh kepunahan

Florschuetzia trilobata. Kala Miosen Akhir-Pliosen ditandai oleh kemunculan

Stenochlaeniidites papuanus, sedangkan batas Pliosen Awal-Pliosen Akhir

ditandai oleh kemunculan awal Podocarpus imbricatus dan kepunahan

Stenochlaeniidites papuanus menandai batas Pliosen Akhir-Kuarter. Rahardjo et

al. (1994) membagi Zaman Tersier di Pulau Jawa menjadi delapan zona

1. Zona Monoporites annulatus

Zona ini ditandai oleh polen Monoporites annulatus (Gramineae) yang

melimpah berasosiasi dengan Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus

imbricatus tanpa kehadiran Stenochlaeniidites papuanus dan berumur N21-N23 (Plistosen-Holosen) menurut Zonasi Blow.

2. Zona Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus imbricatus

Zona ini berumur N20-N21 (Pliosen Akhir) dibatasi oleh kepunahan

Stenochlaeniidites papuanus serta kemunculan awal Dacrycarpidites australiensis/Podocarpus imbricatus.

3. Zona Stenochlaeniidites papuanus

Zona ini dibatasi oleh kepunahan Florschuetzia trilobata dan kemunculan

awal Stenochlaeniidites papuanus dan berumur N16-N20 (Miosen Akhir- Pliosen Akhir).

4. Zona Florschuetzia meridionalis

Berumur N9-N16 (Miosen Tengah-Miosen Akhir). Zona ini ditandai oleh

pemunculan awal Florschuetzia meridionalis dan kepunahan

Florschuetzia trilobata.

5. Zona Florschuetzia levipoli

Dalam zonasi Blow berumur N6-N8 (Miosen Awal-Miosen Tengah),

dibatasi oleh kemunculan awal Florschuetzia levipoli dan kemunculan

awal Florschuetzia meridionalis.

6. Zona Florschuetzia trilobata

Zona ini berumur N3-N5 (Oligosen-Miosen Awal) dan ditandai oleh

kepunahan Meyeripollis naharkotensis dan kemunculan awal

Florschuetzia levipoli.

7. Zona Meyeripollis naharkotensis

Zona ini berumur P18-N2 (Oligosen), dicirikan oleh kisaran Meyeripollis

naharkotensis dan dalam zona ini dijumpai pula fosil penunjuk Oligosen

lainnya yaitu Cicatricosisporites dorogensis.

8. Zona Proxapertites operculatus

Zona ini berumur Eosen atau P14-P17 menurut Zonasi Blow. Pada zona

cursus dan Cicatricosisporites eocenicus dan ditandai oleh kisaran

Proxaperpites operculatus.

Geografi Lokasi Penelitian

Secara geografis lokasi penelitian yaitu Formasi Tapak Cekungan Banyumas meliputi daerah Gunung Tugel dan Kedung Randu, Patikraja Banyumas dan Bunkanel, Bobotsari Purbalingga. Kedung Randu berada di wilayah Patikraja,

Banyumas terletak pada koordinat 7o 28’ 08.52” LS; 109o 13’ 08.78” BT dengan

ketinggian 58 m dpl. Lokasi penelitian kedua yaitu Gunung Tugel juga terletak di

Patikraja Banyumas dengan koordinat 7o 28’ 34.19” LS; 109o 14’ 03.16” BT pada

ketinggian 70 m dpl. Lokasi penelitian ketiga terletak di sepanjang lintasan sungai

Bunkanel, Bobotsari Purbalingga Banyumas pada koordinat bagian utara 7o 17’

20.2” LS; 109o 23’ 56.4” BT dan koordinat bagian selatan 7o 17’ 28.7”; 109o 23’

53.0” pada ketinggian 115 m dpl. Ketiga lokasi ini termasuk dalam wilayah eks Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah bagian selatan.

Secara geografis propinsi Jawa Tengah terletak diantara 108 30’ - 111 30’

BT dan 5 40’ - 8 30’ LS. Luas wilayah 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari

luas pulau Jawa. Kawasan pantai utara Jawa Tengah memiliki dataran rendah yang sempit. Di kawasan Brebes selebar 40 km dari pantai, sementara di Semarang hanya 4 km. Dataran ini bersambung dengan depresi Semarang- Rembang di timur. Di selatan kawasan tersebut terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng, yakni pegunungan kapur yang membentang dari sebelah timur Semarang hingga Lamongan di Jawa Timur (Anonim 2011).

Rangkaian utama pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan. Rangkaian Pegunungan Serayu Utara membentuk rantai pegunungan menghubungkan rangkaian Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di sebelah timur. Lebar rangkaian pegunungan ini sekitar 30-50 km; di ujung barat terdapat Gunung Slamet dan bagian timur merupakan Dataran Tinggi Dieng dengan puncak-puncaknya Gunung Prahu dan Gunung Ungaran. Rangkaian Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan dipisahkan oleh Depresi Serayu yang membentang dari Majenang (Kabupaten Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo. Sebelah timur dari depresi

Dokumen terkait