• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi model pengelolaan perikanan tangkap di Selat Alas

1 PENDAHULUAN

4.6 Formulasi model pengelolaan perikanan tangkap di Selat Alas

Dalam penelitian ini, identifikasi sumber daya ikan unggulan didapatkan melalui penilaian berdasarkan kontinuitas produksi, total produksi, nilai produksi, harga komoditas, wilayah pemasaran, dan nilai tambah produk. Dengan diketahuinya sumber daya unggulan perikanan tangkap di suatu perairan, maka pengelolaan menjadi lebih mudah karena lebih terfokus pada sumber daya yang terbatas.

Berdasarkan rangkaian kegiatan dan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini dapat diformulasi suatu model pengelolaan terhadap sumber daya unggulan terpilih di Selat Alas. Secara skematis, model pengelolaan perikanan tangkap di wilayah ini disajikan pada Gambar 8. Untuk dapat meformulasikan suatu model pengelolaan dengan baik terhadap suatu sumber daya perikanan tangkap, maka informasi mengenai kondisi stok, terutama potensi lestari maksimum (MSY), sangat diperlukan. Berdasarkan analisis, potensi lestari maksimum dan tingkat (status) pemanfaatan kelima sumber daya ikan unggulan di Selat Alas telah diketahui. Dari MSY yang didapatkan, selanjutnuya dapat pula ditentukan besarnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang ditentukan berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) yang telah ditetapkan FAO.

Jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasikan di suatu perairan sangat berpengaruh terhadap laju elsploitasi sumber daya ikan di perairan tersebut. Untuk keberlanjutan pengusahaan terhadap suatu sumber daya ikan, jenis alat tangkap yang digunakan harus mempertimbangkan aspek teknis, finansial, lingkungan, dan sosial. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, maka pukat cincin, bagan perahu, jaring insang hanyu, dan pancing ulur merupakan empat jenis alat tangkap yang tepat untuk dioperasikan di daerah penelitian.

Faktor pembatas unit penangkapan meliputi produktivitas tahunan alat terhadap sumber daya ikan unggulan, kebutuhan bahan bakar (premium dan minyak tanah), spritus, oli 2T, oli mesin, penggunaan es batu, jumlah anak buah kapal (ABK) dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian masing-masing jenis unit penangkapan. Jumlah unit penangkapan yang optimal

ini diharapkan dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu pengelolaan perikanan berkelanjutan, baik secara ecologis (ecological), economi (economics), dan kemasyarakatan (community) dapat terwujud.

Di beberapa lokasi, kajian yang serupa juga dilakukan oleh beberapa peneliti. Sutisna (2007) menawarkan model pengembangan perikanan tangkap di perairan selatan Jawa Barat. Sementara itu, kajian pengelolaan perikanan tangkap juga dilakukan di perairan Kupang Nusa Tenggara Timur (Kaleka 2006), perairan Ternate Maluku Utara (Yulistyo 2006), Selat Bali (Fauzi 2011), dan Pelabuhan Ratu Jawa Barat (Sutomo 2012). Dari kelima peneliti ini tidak satu pun yang memunculkan dengan tegas peran kelembagaan, khususnya Perguruan Tinggi dan dan masyarakat secara kelembagaan dalam model yang diformulasikan.

Dalam diagram ini tergambar bahwa model merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa sub-sistem. Dengan model yang disajikan, beban tugas tersebar ke pelaku-pelaku yang terlibat tersebut. Di sini terlihat bahwa sub-sistem yang terlibat dalam pengelolaan perikanan tangkap di Selat Alas meliputi: Perguruan Tinggi, Dinas Kelautan dan Perikanan, Polisi Perairan (Polair), TNI Angkatan Laut, dan masyarakat (KKPK &KPPL).

Dari gambar ini juga dapat dilihat peran dan fungsi masing-masing komponen. Dalam menjalankan perannya, setiap komponen tidak berdiri sendiri, melainkan berkoordinasi dengan komponen lain. Dalam menyusun sebuah rencana dan melakukan evaluasi yang memerlukan analisis, Perguruan Tinggi memerlukan informasi yang memadai baik dari masyarakat sebagai pengguna (pemanfaat) sumber daya maupun Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai regulator. Implementasi rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi juga harus dikomunikasikan dengan pihak Dinas dan masyarakat.

Pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi dilakukan secara terkoordinasi antara POLAIRUD, TNI Angkatan Laut, Dinas Kelautan dan Perikanan (baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten), dan masyarakat sendiri. Terkait dengan pelibatan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan perikanan di Selat Alas, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui Perda nomor 9 tahun 2006 telah

SUMBER DAYA IKAN UNGGULAN Cumi-cumi Lemuru Kakap merah Teri Tembang KRITERIA Kontinuitas produksi Total produksi Nilai Produksi Harga Wilayah pemasaran Nilai tambah POTENSI LESTARI MAKSIMUM (MSY) Cumi-cumi : 638,40 ton/tahun Lemuru : 1.282,21 ton/tahun Kakap merah : 2.005,01 ton/tahun Teri : 7.915,76 ton/tahun  Tembang : 867,49 ton/tahun KRITERIA Teknis Finansial Lingkungan Sosial TINGKAT PEMANFAATAN SDI UNGGULAN Cumi-cumi : 106,80 MSY Lemuru : 81,62% MSY

Kakap merah : 12,06% MSY

Teri : 11,02% MSY Tembang : 94,85 MSY UNIT PENANGKAPAN PILIHAN Puikat cincin Bagan perahu

Jaring insang hanyut

Pancing ulur UNIT PENANGKAPAN PILIHAN Produktivitas tahunan Kebutuhan premium Kebutuhan oli 2T

Kebutuhan oli mesin

Kebutuhan spritus

Kebutuhan es batu

Jumlah ABK

Besarnya keuntungan ALOKASI OPTIMAL UNIT

PENANGKAPAN SUMBER DAYA IKAN UNGGULAN :

Pukat cincin : 42 unit

Bagan perahu : 38 unit

Jaring insang hanyut : 395 unit

Pancing ulur : 1.627 unit JTB= 80% X MSY

Cumi-cumi : 681,80 ton /tahun

Lemuru : 1.025,77 ton/tahun

Kakap merah : 1.604,,01 ton/tahun

Teri : 6.332,61 ton/tahun

Tembang : 693,99 ton/tahun

PEMANFAATAN SDI UNGGULAN BERKELANJUTAN

PENGAWASAN

DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN (PROV. NTB, KAB LOTIM & KSB

EVALUASI POLAIR/TNI AL PERGURUAN TINGGI/LEMBAGA PENELITIAN MASYARAKAT (KKPK, KPPL) : Hubungan fungsional/tugas : Hubungan koordinasi/konsultasi

secara tegas menyatakan bahwa komponen masyarakat juga berhak dan berkewajiban untuk berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan di Selat Alas. Menurut Perda ini, unsur masyarakat terdiri dari Komite Kelautan dan Perikanan Kabupaten (KKPK) dan Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL).

KKPK merupakan lembaga pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan pantai mempunyai tugas memebrikan penilaian dan pertimbangan terhadap suatu usul kegiatan usaha di wilayah pesisir. Keanggotaan KKPK paling sedikit 15 (lima belas) orang dan paling banyak 23 (dua puluh tiga) orang, yang berasal dari\wakil-wakil kelompok masyarakat pemangku kepentingandan instansi/dinas daerah yang terkait. Sementara KPPL dibentuk disetiap kawasan pengelolaan yang berupa suatu teluk atau suatu kawasan perairan pantai yang terbuka dan memanjang dengan batas-batas administrasi kecamatan.

Keanggotaan KPPL paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 36 orang yang berasal dari semua kelompok masyarakat pemangku kepentingan di setiap desa di suatu kawasan pengelolaan. Keanggotaan KPPL terdiri atas wakil- wakil desa yang berasal dari kelompok-kelompok nelayan budidaya laut, wanita nelayan, tokoh agama, tokoh pemuda, dan pemerintah desa.

Dalam memanfaatkan sumber daya ikan yang ada, masyarakat (nelayan) diawasi oleh berbagai pihak yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan (Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Lombok Timur dan Sumbawa Barat) Polisi Perairan (Polair), TNI Angkatan Laut, dan oleh masyarakat sendiri yang secara kelembagaan diwakili oleh KKPK dan KPPL. Hasil pengawasan yang diperoleh terhadap proses pemanfaatan sumber daya ikan ini menjadi salah satu bahan masukan bagi pihak Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsinya sebagai pihak yang mengevaluasi jalannya pengelolaan. Dalam melakukan fungsi evaluasi, pihak Perguruan Tinggi juga mendapatkan informasi secara terpisah dari semua komponen sistem yang ada. Hasil evaluasi ini menjadi bahan masukan bagi Perguruan Tinggi untuk melakukan analisis terhadap kondisi pengelolaan guna menyempurnakan sistem yang berlangsung.

Keseluruhan aktivitas di atas membentuk suatu rangkaian yang utuh dan menjadikannya sebagai suatu model pengelolaan yang dapat diaplikasikan tidak hanya di daerah dimana penelitian ini dilakukan, tetapi juga di wilayah lain yang

memiliki kondisi serupa dengan Selat Alas. Model pengelolaan perikanan yang mempetimbangkan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dikategorikan sebagai model pengelolaan partisipatif. Murdiyanto (2004) mengaatkan bahwa dalam model pengelolaan partisipatif diharapkan pengaturan untuk mengelola sumber daya alam dapat mempertemukan secara sinergis antara

pengaturan yang bersifat “top-down” yang berasal dari Pemerintah dan proses

bottom-up” yang merupakan aspirasi masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan.

Salah satu aspek penting dalam kajian pengelolaan sumber daya perikanan adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam proses pengelolaan tersebut, yaitu pemerintah (Government Based Management), masyarakat (Community Based Management) atau kerjasama diantara keduanya (Co-Management) (Satria, 2002). Menurut Nikijuluw (2002) Co-Management adalah pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Tujuan utama Co-Management adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil dan merata. Sementara tujuan sekundernya adalah (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3) mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi pertisipatif.

Dengan mempertimbangkan kondisi dan dukungan perintah yang ada maka model pengelolaan partisipatif seperti yang dirumuskan di atas merupakan model pengelolaan yang sesuai untuk diaplikasikan di perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. Model (pola) yang diformulasikan ini dapat pula diaplikasikan di wilayah lain yang memiliki karakter yang sama dengan karakter yang ada di wilayah penelitian ini.

Dokumen terkait