• Tidak ada hasil yang ditemukan

Forum Kerukunan Umat Beragama Sumatera Utara (FKUB SUMUT)

KEPEMIMPINAN KOLEKTIF KOLEGIAL DALAM FORUM KOMUNIKASI UMAT BERAGAMA (FKUB)

C. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Masalah yang Dihadapinya

2. Forum Kerukunan Umat Beragama Sumatera Utara (FKUB SUMUT)

Menurut Dr. Irwansyah. M.Ag (Sekretaris LPKUB Sumatera Utara Medan), tentang status FKUB, struktur organisasi, program kerja FKUB

dan kerja sama antara LPKUB dengan pemerintah dan masyarakat), sebagaimana didapatkan datanya dari Focus Group Discussion (FGD), Sabtu, 4 September 2021, didapatkan data sebagai berikut:

LPKUB (Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama) dideklarasikan pada Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia pada 11-12 Oktober 1993 di Yogyakarta. Pada 12 Oktober 1996, Dr. H. Tarmizi Taher (Menteri Agama saat itu) melantik perwakilan LPKUB di Ambon dan 18 November 1996 di Medan. LKUB Indonesia perwakilan Medan pertama kali dipimpin H. M. Ridwan Lubis melalui SK Nomor 2 pada 1 Agustus 1997. Dasar Hukum LPKUB adalah SK Menteri Agama RI Nomor 62 Tahun 1997 tentang Pengukuhan Keberadaan Lembaga Pengkajian Umat Beragama; SK Pengurus Pusat, 1 Agustus 1997 (Periode Kepengurusan 1997-2002); SK Pengurus Pusat (Periode 2002-2007); SK Pengurus Lokal 28 Januari 2005; SK Pengurus Pusat 18 Maret 2008 (Periode 2007-2012); SK Pengurus Pusat (Periode 2012-2017); SK KEMENKUMHAM RI 8 April 2019. Di sisi lain, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) lahir sebagai pemenuhan Amanah atas Peraturan Bersama (PBM) No.9 dan 8 Tahun 2006. Selanjutnya pembentukan FKUB dituliskan pada Surat Sekretaris Departemen Agama 2 Mei 2006, serta Peraturan Gubernur (Pergub) No.24 tanggal 19 Desember 2006 Tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Relasi LPKUB dengan FKUB memiliki hubungan mesra karena beberapa faktor. Pertama, memiliki genealogi yang “beririsan” personal

antara pengurus. Kedua, berkantor di Gedung yang sama. Ketiga, saling mendukung kegiatan yang dilakukan. Keempat, pengurus LPKUB selalu diundang dalam acara FKUB.

FKUB adalah lembaga “semi pemerintah”, sedangkan LPKUB diperlakukan seperti LSM biasa, meskipun awalnya didukung oleh Keputusan Menteri Agama. Perbedaan LPKUB dan FKUB terletak pada keterpisahan dalam program. Program FKUB diprioritaskan sesuai dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, sedangkan LPKUB pada penelitian dan penulisan buku. Sayangnya, ketika ada masalah antar umat beragama, LKUB tidak dilibatkan oleh FKUB dalam penyelesaiannya. Misalnya, kasus Gereja HKBP yang tidak bisa dibangun di Binjai Selatan.

Hasil riset LPKUB sebagian besar tidak “digubris”. Misalnya, penelitian kasus Tanjung Balai tahun 2010 (Irwansyah, 2013). Hasilnya adalah demonstrasi umat Islam terjadi karena ketidakpahaman dan minimnya literasi. Terdapat beberapa rekomendasi pada tulisan tersebut tapi tidak digubris.

Di dalam pernyataannya, Dr. Irwansyah menyatakan sebagai berikut:

“LPKUB hadir pada 1 Agustus 1997 melalui Menteri Tarmizi Tahir. Pada masa awal dipimpin oleh Prof. Ridlwan Lubis. Lalu dibikin organisasi FKPA. LKPUB yang aktif di Medan, yang lain tidak bahkan di Yogya juga tidak jalan. Sepeninggal Pak Burhanuddin Daya maka organisasi ini nyaris berhenti. Akhirnya dibuatlah penguatan LPKUB dengan mengubah pengkajian menjadi penelitian. Di dalam relasi antara FKUB dan LPKUB terjadi kemesraan yaitu dengan indikator kesamaan visi, selalu terjadi kesamaan dalam kerja, semua pengurus berada di dalam satu kantor, dan bekerja sama. Telah dihasilkan buku oleh LPKUB, Kerukunan Umat Beragama dan Ensiklopedia Kerukunan Umat Beragama, lalu Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Ada

keterpisahan di antara keduanya, FKUB merupakan lembaga semi pemerintah, sedangkan LPKUB meskipun didirikan oleh Kepmen tetapi dianggap sebagai LSM biasa. Kehadiran FKUB dianggap sebagai pemadam kebakaran, lebih banyak ke pemerintah dibanding dengan ke masyarakat. LPKUB melakukan penelitian, pengkajian dan penerbitan buku dan rekomendasi untuk pengembangan kerukunan umat beragama”.

Berdasarkan penuturan Ir. Djohan Adjuan tentang “Pola Kepemimpinan Kolektif Kolegial Dalam Menyelesaikan Masalah Umat Beragama” di FKUB Sumatera Utara, dinyatakan bahwa:

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) terkait dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 &

No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil dalam tiga hal. Pertama, memelihara Kerukunan Umat Beragama. Kedua, pemberdayaan FKUB. Ketiga, pendirian rumah ibadah.

Anggota FKUB Provinsi terdiri dari 21 orang dengan perwakilan enam agama. Mereka bertugas untuk melakukan dialog, menampung, dan menyalurkan aspirasi dari tokoh agama dan masyarakat sekaligus sosialisasi peraturan terkait dengan FKUB. Keanggotaan FKUB Kota/Kabupaten terdiri dari 17 orang sebagai representasi enam agama pula. Mereka juga memiliki tugas yang sama dengan FKUB Provinsi, tetapi dapat juga rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.

Cara Kerja FKUB di dalam menangani persoalan selalu dengan musyawarah mufakat sesuai dalam PERMEN No.9 dan No.8 Tahun 2008.

Di antara yang rawan dalam membangun kerukunan umat beragama adalah pendirian rumah ibadat yang sering kali menimbulkan disharmoni.

Isu Kerukunan Umat Beragama adalah hal yang mudah digoreng dan menjadi menarik. Misalnya pembakaran Masjid Ahmadiyah.

Keberadaan FKUB justru menimbulkan stereotip buruk bahwa organisasi sosial keagamaan ini justru memperpanjang rantai izin pembangunan rumah ibadah. Pada dasarnya proses pendirian rumah ibadah memang terkadang rumit, sebab meskipun persyaratan umumnya sudah dipenuhi, namun terdapat satu atau dua orang yang tidak setuju, maka akan menghambat keluarnya rekomendasi dari FKUB. Padahal sesungguhnya yang dilakukan FKUB itu sudah sesuai dengan regulasi.

Artinya, diperlukan peninjauan ulang regulasi terkait pendirian rumah ibadah, agar hal-hal semacam itu tidak terus berulang. Pemerintah dalam membentuk aturan lebih baik banyak dipertimbangkan dan melibatkan banyak tokoh agama baik dari dalam maupun luar lembaga, sebab aturan yang dibentuk selalu dilanggar, maka semakin banyak aturan semakin banyak pelanggaran.

Secara komprehensif, Ir. Djohan Adjuan (Konghucu), menyatakan:

“Di Indonesia masih terjadi masalah kerukunan beragama, terakhir di Sulawesi ada rumah ibadah Ahmadiyah yang dibakar. Di Indonesia ternyata masih ada hal-hal yang bisa digoreng untuk menjadi pemicu masalah keberagamaan. FKUB didirikan karena keinginan untuk membangun kerukunan, keharmonisan dan untuk membangun kehidupan yang selaras di dalam umat beragama.

Pada regulasi dinyatakan bahwa tugas FKUB adalah memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian umat beribadah. Cara kerja di dalam menangani masalah umat dengan musyawarah mufakat sesuai dengan regulasi. Hanya sayangnya bahwa pendirian tempat ibadah masih menjadi problem yang rumit. Misalnya ada beberapa orang yang memanfaatkan regulasi ini untuk mengganjal pendirian rumah ibadah. Misalnya ada orang yang keberatan padahal 60 orang lain sudah menyetujui,

maka rekomendasi itu bisa tidak dikeluarkan. Terutama yang berada di kiri, kanan, depan belakang. Kritik terhadap permen ini adalah membawa ketidaktegasan tentang masalah dukungan atas pendirian rumah ibadah. Ini menjadi titik rawan di dalam kasus-kasus yang terjadi di seputar pendirian umat beragama. Mestinya diperlukan revisi permen No. 9 dan 8 karena banyak dijadikan sebagai alibi dalam menolak pendirian rumah ibadah. Kita perlu berpikir lebih arif dalam menghadapi masalah pendirian rumah ibadah. Jangan sampai regulasi justru dijadikan sebagai alasan untuk melakukan penolakan. Makanya, jangan sampai ada pendapat yang menyatakan semakin banyak regulasi semakin banyak masalah. Mestinya diperlukan upaya untuk mendengarkan dan melanjutkan usulan untuk revisi regulasi tersebut”.

Pendeta Erick Johnson Barus, yang membahas mengenai

“Kehidupan Umat Beragama Di Sumatera Utara: Masalah dan Solusi Alternatif Pemecahannya” menggambarkan bahwa memang ada perbedaan antara Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dengan Lembaga Penelitian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB). FKUB adalah lembaga praksis, sedangkan LPKUB adalah lembaga kajian teoritis

Terdapat beberapa tantangan pada FKUB. Pertama, secara kelembagaan. FKUB di bawah SK Gubernur sehingga dalam mengeksekusi sesuatu harus melalui Gubernur. Artinya, FKUB sangat bergantung pada Gubernur. Selain itu semakin cepatnya perubahan sosial dengan segala dampak positif dan negatifnya bagi kerukunan umat beragama, maka FKUB harus lebih sering melakukan dialog preventif, bukan menunggu konflik. Kedua, terkait dengan anggaran. Anggaran FKUB tidak independen. Selama ini anggaran FKUB tergantung kepada pemerintah daerah tepatnya Bakesbang. Terkadang ada anggarannya, dan terkadang juga tidak ada. Ketiga, tantangan terkait kerja sama. Perluasan kerjasama FKUB dengan lembaga lain sangat diperlukan, terutama untuk

pendekatan dengan grassroot, sehingga dialog di daerah-daerah bisa ditingkatkan. Jadi, sifatnya tidak bottom up.

Kerukunan adalah ciri khas Sumatera, tapi sering kali muncul ketegangan karena politik. Oleh sebab itu, FKUB hadir untuk mendukung dan mengembangkan kerukunan umat beragama. Salah satu yang dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan tersebut adalah sering kali mengadakan kegiatan camp untuk para pemuka agama dan interfaith antar pemuda, sehingga yang dikembangkan sudah jelas yakni kepemimpinan yang bercorak kolektif. Pluralitas dan multikulturalitas masyarakat beragama yang direpresentasikan pada FKUB mengharuskan organisasi sosial keagamaan ini memilih corak kepemimpinan kolektif kolegial.

Kepemimpinan masa depan harus membangun mutual understanding, apapun latar belakang agama dan akademis adalah peluang membangun bangsa. Prinsipnya adalah: “Akidah Terjamin, Kerukunan Terjalin”.

Secara komprehensif, Pak Djohan Adjuan menyatakan sebagai berikut:

“Setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Mesir dalam Studi Islam, maka saya mengabdi sebagai sekretaris Kerukunan Umat beragama sehingga dapat berhubungan dengan tokoh-tokoh FKUB di Jakarta. FKUB bisa menjadi tempat untuk mendeteksi terhadap keinginan masyarakat tentang kehidupan umat beragama.

Pendekatan-pendekatan perlu dilakukan pasca terjadinya masalah relasi antar umat beragama. Perlu ada kesepahaman atas masalah-masalah kehidupan beragama. Sementara itu anggaran FKUB sangat tergantung kepada Bakesbangpol, sehingga ketika ada masalah tidak bisa secara cepat untuk menyelesaikannya.

Terkadang juga tidak cukup anggaran terkait dengan hal ini.

Sebaiknya Kemenag harus terlibat di dalam urusan pendanaan.

Selain itu, pendekatan dialog dianggap cukup memadai. FKUB harus banyak melakukan dialog antar umat beragama untuk mendeteksi potensi masalah keagamaan di masyarakat. Selain itu juga mendialogkan masalah dan alternatif pemecahannya. Terkait

dengan kepemimpinan kolektif kolegial itu sangat penting sebab FKUB memang didirikan dalam kerangka untuk menyelesaikan masalah. Ada ketegangan yang difasilitasi oleh faktor politik.

Maka yang terjadi adanya sekat-sekat antara penganut agama.

Secara organisasi kami sudah melakukan upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat beragama, akan tetapi di dalam persoalan politik selalu terjadi masalah. Masing-masing bisa menyatakan politiknya yang baik. Kepemimpinan kolegial sangat diperlukan untuk menjamin kerukunan umat beragama di masa depan. Saya belajar spiritualitas dari Prof. Simuh yang terkenal kesederhanaan dan spiritualitasnya. Kemana-kemana berpenampilan sangat sederhana, meskipun ada mobil tetapi lebih nyaman bersandal jepit dan naik sepeda ontel.”

Prof. Dr. Hasan Bhakti Nasution, MA dalam paparannya tentang

“Pola Kepemimpinan Kolektif Kolegial Dalam Menyelesaikan Masalah Umat Beragama” menggambarkan bahwa Kepemimpinan kolektif kolegial adalah kepemimpinan yang dilakukan secara bersama, sehingga semua keputusan didasari pada kesepakatan Bersama. Ciri kepemimpinan kolektif kolegial adalah demokratis (keputusan ditetapkan melalui musyawarah); egalitarian (persamaan status dalam mengambil keputusan); relatif lambat (karena musyawarah terlebih dahulu); relatif memuaskan semua pihak. Corak kepemimpinan semacam ini relevan dengan tugas Pokok dan Fungsi FKUB sebagai wadah koordinasi antar intern pemuka agama dan antar pemuka agama dengan pemerintah bertugas: Menyampaikan aspirasi pemerintah kepada umat, Menyampaikan aspirasi umat kepada pemerintah dan Sosialisasi peraturan pemerintah terkait hubungan antar umat beragama

Terkait dengan Kepengurusan FKUB Sumatera Utara pada periode FKUB Provinsi tahun 2017-2022 sesuai dengan SK GUBSU Nomor Tahun 188.44/598/KPTS/2017. Jumlah anggota sebanyak 21 dengan 11

Islam, 5 Kristen, 2 Katolik, 1 Hindu, 1 Budha, 1 Kong Hu Cu. Penetapan anggotanya dilakukan melalui usulan dari majelis-majelis agama.

Penetapan Ketua dengan kesepakatan anggota yang diusulkan oleh majelis agama terbanyak. Sekretaris umum ditetapkan dari agama terbanyak kedua.

Beberapa masalah yang sering kali dihadapi FKUB Sumatera Utara. Pertama, pendirian rumah ibadah agama tertentu di sekitar penganut agama lain. Kedua, persoalan politik yang dikaitkan dengan politisasi agama. Ketiga, lokasi kuburan umat tertentu berada di sekitar penganut agama lain.

Berdasarkan masalah yang terjadi di atas, terdapat beberapa solusi yang coba dilakukan sebagai upaya penyelesaian oleh FKUB. Pertama, mengundang para pihak yang berkeberatan untuk menyampaikan keluhan di depan pengurus FKUB. Kedua, membawa ke rapat pengurus. Ketiga, menentukan solusi melalui musyawarah mufakat, dan jika berkaitan dengan suatu agama, tokoh agama terkait bertugas menyelesaikan secara internal.

Hal lain yang menjadi tantangan FKUB adalah secara internal berupa kesibukan pengurus dan anggaran yang belum layak. Tuntutan secara eksternal berupa dukungan pemerintah yang belum maksimal, heterogenitas aliran, serta keberagaman kepentingan. Terdapat beberapa solusi yang bisa dilakukan dari kedua tantangan tersebut. Pertama, memperkuat dan memberdayakan empat pedoman kehidupan dalam bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan. Kedua,

memperkuat dan mengaplikasikan ajaran agama masing-masing mengenai kerukunan dan harmoni sesama manusia. Ketiga, mengembangkan teologi altruisme, saling menghargai dan tepo seliro. Keempat, menguatkan prinsip bahwa kerukunan bukan sinkretisme.

Secara komprehensif, Prof. Hasan Bhakti Nasution menyatakan:

“Di dalam FKUB, maka salam sesuai dengan agamanya dan salam kerukunan. Sumut itu sangat heterogen. Sisi negatif bisa menjadi penyulut problem atau konflik. Munculnya bibit konflik terjadi karena heterogenitas. Pertanyaan dasarnya adalah apakah di dalam penyelesaian masalah kehidupan umat beragama seperti kasus patung Rupang Buddha di Tanjung Balai atau lainnya? Apakah FKUB dilibatkan secara optimal di dalam penyelesaiannya? Lalu, bagaimanakah dalam penilaian pengurus FKUB tentang keberhasilan penyelesaian masalah melalui FKUB? Cara yang dilakukan adalah dengan mengundang para pihak tentang masalah yang dihadapi, diperoleh informasi lalu dibawa ke ranah pengurus, lalu dibahas di dalamnya. Kemudian dipilih alternatifnya. Tokoh agama agar menyelesaikan secara internal, misalnya kalau ada gereja yang di hari Jumat ada pesta, maka agar diselesaikan supaya tidak ribut pada jam-jam sholat. Sebagai konsekuensi kepemimpinan kolektif kolegial, maka tidak dilakukan voting untuk pengambilan keputusan sebab dilakukan dengan musyawarah mufakat, selama belum ada kesepakatan maka akan ditunda dulu keputusannya. Sampai semua bersepakat baru diambil keputusan. Namun, terdapat masalah anggaran, misalnya tentang SPPD. Selama ini FKUB tidak memiliki anggaran sendiri.

Anggaran dititipkan di Bakesbang Provinsi, sehingga penganggaran sangat tergantung kepada kebijakan Bakesbang.

Sedangkan Problem eksternal adalah dukungan pemerintah yang belum secara optimal. Kasus menghadiri undangan. Dukungan pemerintah bervariasi. Di Sumatera Utara ini terdapat heterogenitas aliran, maka ada anggapan bahwa FKUB belum memenuhi representativitas, dan ragam kepentingan sehingga rumit penyelesaiannya. Jika masjid ditolak di Binjai, maka Gereja di tempat lain ditolak juga. Ada semacam sikap saling mengalahkan atau saling membalas. Makanya, langkah yang harus dilakukan adalah dengan memperkuat pilar kebangsaan yakni mengaplikasikan ajaran kerukunan dan mengembangkan teologi altruisme, agree in disagreement. Sesuatu tindakan harus dimulai dengan pertanyaan apakah hal ini tidak melukai agama lain.

Contoh tentang salam yang dibicarakan untuk disepakati. Ada beban masa lalu. Jika berdiri gereja ada kristenisasi, ada masjid ada islamisasi, yang penting kerukunan bukan sebagai sinkretisme

agama. Dengan kerukunan tidak menghilangkan esensi agama masing tetapi justru memperkuat keyakinan kita masing-masing”.

Dr. Azhari Akmal Tarigan yang membahas tentang “Kerukunan Umat Beragama, Problem Dan Solusi Yang Dapat Dilakukan”, diperoleh gambaran sebagai berikut:

Wajah agama adalah paradoks. Di satu sisi membawa pesan rahmat, cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan sejati, namun di sisi lain sumber konflik, permusuhan, saling menegasikan dan menghancurkan.

Agama yang berdialog dengan isi, berinteraksi dengan budaya lokal relatif tampil lebih damai dan toleran. Agama yang sangat kaku dan menarik garis terang dengan budaya dan tradisi cenderung rigid, ekstrem dan intoleran.

Menurut Charles Kimball, bahwa terdapat 5 tanda agama menjadi korup dan jahat. Pertama, mengklaim kebenaran agama sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta terhadap pemimpin agama.

Ketiga, Agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya ‘tujuan’ yang membenarkan cara. Kelima, agama memekikkan perang suci.

Saat ini, muslim Indonesia sedang memasuki fase Tinkering yakni sikap keberagaman yang cenderung cair, mengambil berbagai ajaran dan ritual dipraktikkan dalam kehidupan beragama. Selama ini problem yang paling banyak terdapat di daerah adalah pendirian rumah ibadah. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan rumah ibadah diperlukan regulasi

yang jelas, termasuk penyiaran agama dan penodaan agama diperlukan redefinisi dan regulasi.

Terdapat empat hal yang harus dilakukan guna membangun kerukunan umat beragama. Pertama, melakukan pendidikan dan Latihan dalam upaya memahami agama dan keyakinan pihak lain. Kedua, membangun literasi wasathiyah di kalangan pemuka agama, moderasi beragama yang lebih eksploratif. Moderasi beragama tidak bisa dibangun lewat acara ceremonial. Ketiga, membuka dialog keberagamaan yang lebih terbuka dan humanis. Keempat, mengembangkan sikap yang lebih apresiatif tentang agama lain.

Akmal secara mendasar menyatakan:

“Sebagaimana diketahui bahwa Agama memang mengandung paradoksal: agama mengandung pesan perdamaian tetapi juga sumber konflik. Wajah agama sedang bersolek. Keberagamaan agama kita semakin dinamis. Terdapat Faktor endogen, Faktor eksogen dan Faktor relasional. Faktor endogen (teologi inklusif):

membatasi ritual diekspos di ruang publik, penghargaan dan penghormatan. Faktor eksogen: kasus Afghanistan yang menyulut bantuan kepadanya, maka juga menimbulkan ketegangan di dalam antara yang pro dan kontra. Untuk mengembangkan pembangunan kerukunan beragama maka Harus ada keberanian: menjalankan regulasi secara transparan dan keadilan. Ada perdebatan kepastian hukum dan keadilan hukum. Upaya pembangunan umat beragama bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, dalam pendirian rumah ibadah diperlukan regulasi yang jelas. Kedua, perlu redefinisi dan regulasi tentang penyiaran agama.”

Mengenai kehidupan beragama, maka ada dua wajah di Sumatera Utara, yaitu damai dan konflik. Kerukunan bukan yang tampak di luar tetapi justru dirasakan dalam dalam. Siantar adalah simbol miniatur kerukunan beragama, sehingga ada apresiasi terhadap FKUB. Di sisi lain, kerukunan umat beragama di Sumut tidak sedang baik-baik saja, sehingga

untuk membangun kerukunan umat beragama diperlukan menyegarkan kembali agar lebih substantif, menggali tradisi-tradisi yang bernuansa rohani, mengedepankan wajah kemanusiaan, menghindari atau menahan diri keberagamaan yang masif dan kolosal. Contoh, himpunan warga Bumi Asri menjadi forum dasar untuk membangun kerukunan. Akhirnya antar warga yang berbeda agama, etnis dan sebagainya bisa bertemu.

Diperlukan upaya untuk membuka ruang publik secara bersama dan terbuka.

Pada acara Forum Group Discussion (FGD) tersebut juga terdapat beberapa pertanyaan yang disampaikan. Pertama, pertanyaan dari Puli Siregar terkait dengan keterlibatan tokoh pemuda di daerah dan semua tokoh pemuda di setiap agama dan perjuangan untuk mendapatkan kejelasan anggaran bagi FKUB. Selain itu, ia juga menyadarkan peserta dengan pertanyaan apakah kita sudah memiliki sense of belonging dan sense of responsibility? Apa kita sudah bertanggung jawab pada umat dan negara dan negara bangsa? Sampai mana partisipasi dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di masa depan?

Pertanyaan tersebut kemudian ditanggapi oleh A. Chuzaemi. Ia menyatakan bahwa saat ini sedang dilakukan upaya untuk merumuskan tentang Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas dan Wewenang Kepala Daerah untuk pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Perpres ini diharapkan akan menggantikan SKB Dua Menteri agar memiliki status hukum yang jelas. Di antara yang terdapat di dalam draf Perpres tersebut

adalah pemeliharaan kerukunan umat beragama melalui FKUB, penguatan pemerintah daerah pada FKUB, kelembagaan FKUB sendiri.

Hasan Bakti Nasution menambahkan bahwa kajian intern agama tidak kalah penting, sebab bisa menimbulkan konflik yang besar. Kata kuncinya adalah mengembangkan terminologi tepo sliro. FKUB dibutuhkan jika ada konflik. Ada surat dari masyarakat sampaikan di forum, lalu disampaikan ke pihak Gereja. FKUB sangat fungsional, sebab bisa meredam. Jika sudah konflik, FKUB bisa menyelesaikan dengan pendekatan agama. FKUB relatif aktif daripada tiga mitra strategis Gubernur lain, tinggal bagaimana menyejahterakannya.