1 BERAGAMA
(STUDI MULTISITE PROVINSI SUMATERA UTARA, PROVINSI JAWA BARAT DAN PROVINSI JAWA TIMUR)
LAPORAN PENELITIAN
Peneliti
Prof. Dr. Nur Syam, M.Si (Ketua) NIP 195808071986031002
Drs. Abd. Basyid, MM (Anggota) NIP 196009011990031002
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
OKTOBER 2021
i
Daftar Isi ...i
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang ...1
B. Rumusan Masalah ...4
C. Tujuan ...4
D. Manfaat ...5
E. Penelitian Terdahulu ...7
F. Pemahaman Konsep Penelitian ...16
G. Metode penelitian ...20
H. Sistematika Pembahasan ...34
BAB II PERSPEKTIF TEORETIK ...36
A. Pengertian Kepemimpinan dan Manajemen ...36
B. Pengertian Organisasi Sosial Keagamaan ...39
C. Fungsi Kepemimpinan dan Manajemen Organisasi Keagamaan ...42
D. FKUB Sebbagai Organisasi Keagamaan ...45
E. Fungsi FKUB dalam Membangun Kehidupan Keagamaan ...48
F. Kerukunan Umat Beragama ...51
G. Masalah-Masalah dalam Kehidupan Keberagamaan ...52
H. Model-Model Penyelesaian Masalah dalam FKUB ...55
I. Masa Depan FKUB di Era Pertaruangan Media Sosial ...57
J. Kerja Sama Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha dalam Mengembangkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ...60
BAB III KEPEMIMPINAN KOLEKTIF KOLEGIAL DALAM FKUB .63 A. Lintas Sejarah FKUB ...63
B. Struktur, Fungsi dan Personal FKUB ...65
C. FKUB dan Masalah yang Dihadapinya ...68
D. Relevansi FKUB dalam Menyelesaikan Masalah Keagamaan...112
E. FKUB dalam Upaya Mendukung Gerakan Moderaso Beragama ...117
ii
B. Pola Penyelesaian Masalah dalam FKUB ...129
C. Relevansi Penyelesaian Masalah Melalui FKUB ...138
D. Relasi FKUB dengan Instansi Terkait dan Masa Depan Gerakan Moderasi Beragama ...143
E. Analisis Antar Situs FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur ...151
F. Perbadaan Antar Situs FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur ...157
G. Persamaan Antar Situs FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur ...159
BAB V PENUTUP ...161
A. Kesimpulan ...162
B. Refleksi Teoritis ...162
C. Rekomendasi ...164
Daftar Pustaka ...167
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerukunan umat beragama di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Di antara filsafat hidup masyarakat Indonesia adalah mengedepankan kerukunan. Oleh karena itu kerukunan hidup telah menjadi jantung kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa kerukunan adalah prasyarat kehidupan Bersama di dalam masyarakat. Jika kerukunan menjadi inti kehidupan maka sebesar masalah apa pun yang dirasakan akan bisa diselesaikan dengan mengedepankan prinsip hidup rukun tersebut. Di dalam filsafat Jawa, misalnya dikenal pernyataan: “rukun agawe santosa, congkrah agawe bubrah”. Artinya, secara umum adalah: “kerukunan membawa kepada kesentosaan, dan konflik membawa perpecahan”.
Indonesia adalah negara yang memiliki gelar sebagai negara dengan tingkat multikultural sangat tinggi. Terbukti dengan jumlah pulau sebanyak 16.671, suku bangsa sejumlah 1.340 serta bahasa sebanyak 718.
Selain itu, keragaman agama di masyarakat juga menjadi tolak ukur.
(Syam, 2021). Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas dan multikulturalitas yang sangat tinggi. Hal ini yang mendasari keharusan untuk memanage dengan baik tentang pluralitas dan multikulturalitas dimaksud.
Masyarakat Indonesia tentu beruntung sebab memiliki para pendiri bangsa yang visioner dalam memandang Indonesia ke depan. Jika ditelusuri dari aspek kesejarahan, maka dapat dijadikan teladan tentang bagaimana para pahlawan bangsa tersebut berjuang untuk menjadikan kebinekaan sebagai ciri khas bangsa ini. Di saat krusial untuk menentukan dasar negara pada awal kemerdekaan, maka para tokoh bangsa yang menjadi anggota dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membuat kesepakatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, dengan cara menghilangkan 7 (tujuh) kata dalam Jakarta Charter, adalah Ketuhanan
“dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya”
dihapus. Jika kalimat di atas masih dipertahankan, maka disintegrasi bangsa akan terjadi (Syam, 2016: 167-180).
Melalui pemahaman tentang kebhinekaan itu, maka para tokoh kemerdekaan bangsa bersepakat untuk membangun Indonesia merdeka yang visioner, dengan mengedepankan kerukunan, keharmonisan dan keselamatan bangsa. Jika Indonesia sekarang menjadi negara yang sangat menghargai kebhinekaan dan mampu memanage pluralitas dan multikulturalitas, maka sesungguhnya hal ini didasari oleh semangat para founding fathers negeri ini, yang semenjak dahulu sudah memandang pentingnya menjaga harmoni untuk menuai kedamaian.
Meskipun Indonesia itu terdiri dari suku, etnis, agama dan antar golongan yang sangat variatif akan tetapi memiliki keunikan dalam hal kebersamaan dalam agama. Bahkan terdapat di dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh (Syamhudi, 2013: 1-
11) menceritakan tentang bagaimana di dalam satu atap rumah tangga terdapat perbedaan agama. Hal ini memberikan gambaran yang unik bahwa di Indonesia memang terjadi pemahaman dan pengamalan agama yang unik tetapi nyata.
Sebagai organisasi yang terdiri dari banyak penganut agama, maka bisa digambarkan betapa sulitnya melakukan operasionalisasi FKUB. Di satu sisi seseorang menganut agamanya sendiri dan di sisi lain harus berhadapan dengan penganut agama lain. Masing-masing meyakini agamanya yang paling benar, sehingga sekurang-kurangnya masih terdapat ganjalan dalam relasi-relasi organisasional di dalam FKUB. Para pengurus FKUB merupakan representasi umat beragama. Ada representasi umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Masing- masing tentu bisa saja mewakili kepentingannya di dalam FKUB.
Berdasarkan aspek inilah, maka penerapan kepemimpinan berbasis pada kolektif kolegial menjadi penting. Melalui konsepsi ini, maka di antara pengurus FKUB akan bisa menempatkan dirinya di dalam FKUB baik sebagai individu, pengurus FKUB maupun representasi umat beragama. Penelitian berusaha memberikan gambaran mendalam terkait bagaimana kepemimpinan kolektif kolegial FKUB dapat dijadikan sebagai medium untuk memecahkan masalah keagamaan yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Sebagai penelitian multisitus, maka tentunya ada upaya untuk mengkomparasikan apa persamaan dan perbedaan di antara tiga situs yang dipilih, yaitu FKUB Provinsi Sumatera Utara, FKUB Provinsi Jawa barat dan FKUB Provinsi Jawa Timur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini merumuskan tiga masalah, yakni:
1. Bagaimana kepemimpinan kolektif pada FKUB di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur?
2. Bagaimana FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur dalam menyelesaikan permasalahan antar umat beragama pada masing-masing wilayah?
3. Apakah relevansi kepemimpinan kolektif kolegial dalam menyelesaikan permasalahan antar umat beragama di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami terkait kepemimpinan kolektif kolegial pada FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur
2. Memahami pola dan corak penyelesaian masalah antar umat beragama di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur
3. Memahami relevansi kepemimpinan kolektif kolegial dalam penyelesaian masalah antar umat beragama di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretik dan manfaat praktis atau disebut sebagai signifikansi ilmiah dan signifikansi sosial.
1. Signifikansi teoretis atau signifikansi ilmiah adalah sebagai penelitian untuk mereview terhadap pandangan para ahli di bidang kepemimpinan kolektif kolegial sebagai wahana untuk membedah konsepsi Teori Rasional dan Teori Carnegie. Di dalam konsepsi teori rasional bahwa pengambilan keputusan di dalam organisasi ditentukan oleh sejauh mana kemampuan para pimpinan di dalam mengambil keputusan yang rasional. Keputusan rasional dapat dilakukan jika tersedia informasi, ruang, waktu dan peluang untuk secara Bersama menyelesaikan problem organisasi. Sedangkan di dalam konsepsi Carnegie, keputusan yang diambil oleh para pimpinan organisasi di dalam banyak hal diidentifikasi dengan ketidakcukupan informasi, ketiadaan peluang yang besar dan juga timing dan keberhasilannya sangat ditentukan oleh faktor negosiasi, saling kompromi dan tawar menawar di antara pimpinan dan anggota di dalam organisasi (Nurhasanah, 2005: 209-240). Teori ini lebih dimaknai sebagai faktor internal organisasi. Jadi konsepsi teori rasional maupun Teori Carnegie sesungguhnya adalah bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dalam menghadapi masalah
internal organisasi, atau lebih tepat disebut motif internal untuk menyelesaikan masalah di dalam organisasi berdasarkan konsepsi (Atalia Omer, R. Scott Appleby and Abstract, 2015) bahwa untuk membangun perdamaian, maka ada beberapa komitmen yang harus dipegang oleh semua pihak, yang disebut sebagai rule engagement, yaitu: orang yang tergabung di dalam konteks pembangunan harus terlibat di dalam upaya membangun perdamaian secara luas, baik dalam perencanaan maupun dalam membantu jalan keluarnya. Lalu, harus sedapat mungkin bertindak inklusif di dalam melihat nilai, concern, insight, dan kepentingan dengan membangun kesadaran secara profesional dalam hubungannya dengan pandangan lokal dengan mengabaikan pandangan yang lebih terkesan terpusat, terutama elemen-elemen yang tidak kondusif atau cocok bagi upaya pembangunan perdamaian tersebut. Kemudian, melokalisasi konflik berbasis nilai akomodatif, yang dilakukan oleh agen dalam atau luar, sehingga pembangunan perdamaian secara profesional tidak akan merusak situs tradisi, kebiasaan dan praktik namun lebih searah untuk mengembangkan kebersamaan untuk mencapai tujuan. Yang tidak kalah penting juga membangun keterbukaan pada elit local, actor agama, dan pejabat pada setiap tahapan dalam merumuskan perencanaan dan mengimplementasikan proses pembangunan perdamaian. Penelitian ini berbeda dengan penelitian berbasis pada konsepsi teori rasional dan Carnegie, sebab yang dihadapi oleh pimpinan dan anggota organisasi bukanlah faktor internal organisasi
tetapi faktor eksternal, yaitu bagaimana organisasi dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Jadi melalui penelitian didapatkan satu masukan konsepsi atau rumusan teori yang menggambarkan tentang bagaimana pola atau model penyelesaian masalah yang dihadapi oleh organisasi yang dapat dilabeli sebagai organisasi dengan pola kepemimpinan kolektif kolegial.
2. Kegunaan praktis atau signifikansi sosial penelitian ini adalah sebagai masukan bagi pemerintah, baik pemerintah daerah, kementerian Agama dan organisasi sosial tentang perlunya membangun perdamaian atau penyelesaian masalah berbasis pada kepemimpinan kolektif kolegial, sehingga masalah yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan relasi umat beragama dapat diselesaikan lebih efektif dan efisien.
E. Penelitian Terdahulu
Pemaparan penelitian terdahulu atau literatur review di dalam penelitian dianggap sangat penting untuk menjawab pertanyaan: “apakah secara teoretik dan konseptual penelitian ini original”. Oleh karena itu, secara sengaja dibuat tipologi yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, yaitu:
Pertama, kajian tentang masalah-masalah umat beragama. Di antara kajian dengan tema macam di atas adalah karya Ahmad Syafi’i (2014) dengan judul “Kasus-Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan di Indonesia.” Karya ini menggambarkan tentang 17 kasus masalah umat
beragama, seperti penolakan pembangunan masjid di Sumatera Utara, perusakan pesantren Al Idrisiyah di Cisayong Tasikmalaya, Kasus HKBP Desa Taman Sari Kecamatan Setu, Bekasi sampai penyiaran agama di Bali. Kemudian penelitian Ahmad Suaedy, dkk., (2007) dengan judul
“Politisasi Agama dan Konflik Komunal beberapa isu penting di Indonesia.” Buku ini menceritakan tentang relasi agama dan negara serta masyarakat agama-agama, misalnya tentang kegamangan pemerintah menanggapi pluralisme, diskriminasi hak sipil minoritas, dan gerakan formalisme agama yang memberangus terhadap umat beragama khususnya kaum minoritas, serta penyerangan terhadap Sang Liyan seperti dalam kasus Ahmadiyah.
Titik Suwariyati, dkk., (2003) dengan judul “Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia.” Buku ini bercerita tentang berbagai konflik sosial di Indonesia yang bernuansa agama, misalnya kasus kerusuhan sosial di Banjarmasin 1997, kerusuhan Poso, kerusuhan di Mataram, konflik sosial di Kalimantan Barat, kerusuhan Kupang Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya.
Nuhrison M. Nuh, ed., (2014) dengan judul “Penistaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam.” Buku ini membahas tentang penistaan agama di Kalimantan Barat, penistaan agama di Nusa tenggara Barat, penistaan agama di Jawa Barat, Penistaan agama di Sumatera Barat, Penistaan Agama di Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Buku secara khusus membahas tentang persepsi Pemuka Agama atas kasus relasi antar umat beragama di Indonesia.
Buku kedua Ahmad Syafi’i (2009) dengan judul “Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia.” Buku ini membahas mengenai kasus berbagai aliran/paham keagamaan di Indonesia, misalnya perguruan Mahesa Kurungan di Jawa barat, Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) di Kota Medan, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Jawa Barat dan sebagainya.
Kedua, manajemen konflik. Ada sejumlah penelitian yang dapat dikategorikan sebagai mengelola konflik, yaitu Bahrul Hayat (2013) dengan judul ”Mengelola Kemajemukan Umat Beragama.” Buku membahas tentang Indonesia yang multikultural dan plural mesti dikelola dengan pengelolaan yang relevan dengan manajemen pengelolaan kemajemukan bangsa. Indonesia merupakan contoh bagaimana mengelola kemajemukan dengan relatif memadai.
M. Mukhsin Jamil, Ed., (2007) dengan judul “Mengelola Konflik membangun Damai, Teori Strategi dan Implementasi.” Buku ini membahas tentang bagaimana mengelola konflik dalam kehidupan khususnya kehidupan beragama secara memadai, dan ternyata di Indonesia terdapat beberapa cara meramu dan menyelesaikan masalah- masalah keberagamaan dengan mengembangkan konsep-konsep baru dalam rangka resolusi konflik.
Nur Syam (2016) dengan judul “Menjaga Harmoni Menuai Damai, Islam, Pendidikan dan Kebangsaan”. Buku ini membahas tentang relasi dan corak antar umat beragama, meskipun terdapat ketegangan ternyata
bisa diselesaikan dengan penyelesaian bersama-sama antara masyarakat, tokoh agama dan pemerintah.
M. Hasyim Syamhudi (2013), “Satu Atap Beda Agama, Pendekatan Sosiologi Dakwah di Kalangan Masyarakat Muslim Tionghoa.” Buku ini membahas bagaimana relasi sosial dalam keluarga yang berbeda agama terjadi secara baik difasilitasi oleh pemahaman agama yang inklusif. Pada masyarakat Muslim Tionghoa, tradisi satu atap beda agama merupakan hal yang biasa terjadi.
Kajian Volker Kuster, Robert Setio, Eds., (2014) dengan judul
“Muslim Christian Relation Observed, Comparative studies form Indonesia and the Netherlands.” Buku ini menggambarkan tentang identitas sebagai pemeluk agama, relasi antara agama dan negara, tafsir agama dan teologi dialog. Di Indonesia, dialog lintas agama ternyata memiliki peran penting dalam mengelola kehidupan keberagamaan yang beraneka ragam.
Karya E. Armada Riyanto (2010) dengan judul “Dialog Interreligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan dan Wajah.” Karya ini membahas tentang dialog religius yang memiliki dinamika historis yang mengalir dan ajaran-ajaran pembaharuan Vatikan II, yang terjadi karena pergumulan hidup gereja setempat dan dimurnikan dengan pengalaman kehidupan yang terus terjadi dalam sepanjang sejarah kehidupan agama.
Di dalam konteks ini sebenarnya agama memiliki visi kasih, perdamaian dan keadilan.
Ketiga, kajian tentang konflik umat beragama. Misalnya studi yang dilakukan oleh M. Ali Humaedi (2008) dengan judul “Islam dan Kristen di Pedesaan Jawa, Kajian Konflik Sosial Keagamaan dan Ekonomi Politik di Kasimpar dan Karangkobar”. Kajian ini terkait dengan hubungan sosial keagamaan para penganut Islam dan Kristen di pedesaan. Untuk menyelesaikan masalah di antara mereka maka digunakan negosiasi dan legitimasi yang berupa pembakuan tradisi dan juga terdapat hubungan antara aspek ekonomi politik dengan konflik sosial keagamaan.
Karya M. Yusuf Ali, Ed., (2014) berjudul “Penyiaran Agama dalam Mengawal kerukunan di Indonesia, Respon Masyarakat dan peran Pemerintah (SKB No.1 Tahun 1979).” Buku ini membahas suatu kenyataan bahwa agama memiliki ajaran yang dianggap sebagai kebenaran dan kebenaran ajaran agama tersebut selalu diinginkan oleh pemeluknya untuk disebarkan kepada lainnya, namun demikian ternyata harus terdapat regulasi yang mengatur hal tersebut. Kebijakan pemerintah sangat penting untuk mengatur relasi antar umat beragama.
Karya Th. Sumartana dkk, (2005), berjudul “Pluralisme, Konflik
& Pendidikan Agama di Indonesia”. Karya ini berbicara tentang kenyataan sejarah bahwa agama-agama memiliki struktur internal baik berupa institusi ajaran, kegiatan misi, kepemimpinan yang potensial untuk menjadikan konflik. Namun demikian sesungguhnya juga terdapat potensi untuk hidup berdampingan secara layak.
Penelitian milik Abdul Jamil (2012) yang berjudul “Potensi Konflik dan Integrasi Kehidupan Keagamaan di Provinsi Gorontalo.”
Penelitian ini mencari tahu terkait dengan kondisi demografis dan sosial, potensi konflik, kearifan lokal dalam menjaga kerukunan umat beragama, kebijakan publik dan peran FKUB di Gorontalo.
Kazeem Olowasion Dauda (2020) berjudul “Islamphobia and religious intolerance Threat to Global Peace and Harmonious coExistence.” Penelitian ini mengkaji terkait dengan tren, penyebab dan implikasi Islamophobia dan intoleransi beragama guna perdamaian dan kerukunan secara global. Artikel ini menemukan bahwa ketakutan, kebencian dan penganiayaan terhadap muslim adalah akibat dari intoleransi agama yang merebak.
Keempat, kepemimpinan kolektif dan kerukunan umat beragama.
Yang termasuk di dalam penelitian dengan tipologi ini adalah Asep Ahmad Hidayat (2012) berjudul “Model Penanganan Konflik Keagamaan antara Jamaah Qur’ani dan Jamaah Sunnah di Desa Cibunar Tarogong Kidul Kabupaten Garut.” Penelitian ini memperdalam terkait faktor penyebab dan resolusi konflik antara kelompok “Jama’ah Qur’ani” dan
“Jama’ah Qur’an Sunnah” di Cibunar. Hasilnya, penelitian ini menemukan bahwa resolusi konflik yang dilakukan ialah dengan mediasi, ajudikasi melalui kepolisian dan jagerisme. Model resolusi konflik ini biasa lebih dikenal dengan model akomodasi toleransi.
Lailial Muhtifah (2012) dengan judul“Model Penanganan Konflik Bernuansa Sara di Kota Pontianak Kalimantan Barat.” Penelitian ini memperdalam terkait dengan model penanganan konflik yang dianggap memiliki unsur SARA di dalamnya. Penelitian ini berhasil menemukan
strategi sekaligus karakter yang digunakan pada pengendalian sekaligus pemecahan masalah/konflik. Selain itu, juga terletak pada kerangka regulasi yang diterapkan pihak pemerintah maupun non-pemerintah.
Betria Zarpina Yanti dan Doli Waitro, “Islamic Moderation as a resolution of different Conflict of Religion” (2020). Penelitian ini membahas terkait Islam moderat yang dijadikan sebagai salah satu resolusi konflik bagi konflik keagamaan. Hasil dari penelitian tersebut menjelaskan problematika bangsa saat ini seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama juga ancaman konflik hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama dengan prinsip saling pengertian (mutual understanding) di antara umat beragama. Oleh sebab itu, melalui moderasi Islam pluralitas, keragaman atau kemajemukan yang telah menjadi keniscayaan ini dapat dimanfaatkan sebagai energi sosial guna meretas problematika bangsa Indonesia saat ini.
M. Khusna Amal (2020), “Towards a Deliberative Conflict Resolution? A Reflection on State Inclusive Response to Sunni-Syiah Tension in Indonesia’s Democracy” (2020). Penelitian tersebut terkait dengan resolusi konflik yang gagal antara Sunni-Syiah karena diskriminasi negara. Ia lebih banyak mengkaji keterlibatan negara melalui keterlibatan inklusif dalam resolusi konflik.
Idrus Al Hamid, Islam, Local “Strongman”, and Multi Track Diplomacies in Building Religious Harmony in Papua” (2020). Penelitian ini berusaha memperdalam terkait dinamika masyarakat Papua dalam
kaitannya dengan Islam dan tokoh lokal, terutama dalam bingkai kerukunan umat beragama.
Adang Kuswaya dan Muhammad Ali, “The Concept of Peace in the Qur’an: A Socio-Thematic Analysis of Muslim’s Contestation in Salatiga Indonesia” (2021). Penelitian ini mengkaji lebih dalam terkait dengan konsep perdamaian dalam al-Qur’an tetapi juga menganalisis kontestasi umat Islam di Salatiga untuk menuju kehidupan yang damai di antara umat beragama. Para penulis menggunakan perspektif dialektika antara konsep ideal perdamaian dalam al-Qur'an dengan realitas budaya damai di ruang publik.
Achmad Zainal Arifin, “Defending Tradition, Countering intolerance ideologist: Re-Energizing the Role of Modin in Modern Java”
(2017). Penelitian ini membahas terkait dengan peminggiran figur Islam tradisional di Jawa yang dikenal dengan sebutan modin, terkait dengan peran, potensi dan peluang besar untuk menandingi perkembangan kelompok Islam yang menyebarkan ideologi intoleran.
M. Mukhsin Jamil, “Mengelola Konflik Membangun Damai (Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik)” (2007). Buku ini membahas terkait dengan teori, strategi dan implementasi dalam mengelola konflik. Penulis melakukan penyesuaian secara kontekstual atas ilmu-ilmu resolusi konflik dalam konteks kebutuhan masyarakat Indonesia, bahkan mampu meramu dan mengembangkan konsep-konsep baru.
Berdasarkan atas penelitian di atas dalam berbagai tipologinya, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian tentang “Kepemimpinan Kolektif Kolegial FKUB dalam menyelesaikan Masalah Keagamaan di Indonesia” masih relatif orisinil, artinya belum ada yang secara spesifik melakukan penelitian dalam tema yang serupa. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa penelitian ini secara teoretik memiliki orisinalitas yang cukup memadai dan memiliki keunikan yang juga cukup memadai.
Penelitian-penelitian dalam tipologi pertama membahas tentang masalah-masalah dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Di dalamnya dijumpai penelitian tentang konflik sosial bernuansa agama dalam keanekaragamannya. Ada relasi sosial berbasis agama yang difasilitasi oleh realitas sosial yang terjadi pada masanya. Lalu berbagai penelitian dalam tipologi kedua membahas mengenai bagaimana mengelola kemajemukan di Indonesia yang memang menjadi hal sangat penting di dalam membangun kerukunan umat beragama dalam area kemasyarakatan dan kebangsaan. Lalu pada tipologi ketiga lebih searah dengan terjadinya konflik umat beragama. Penelitian tersebut membahas tentang terjadinya konflik umat beragama di Indonesia dari berbagai faktor yang menyebabkannya. Ada faktor politik, sosial dan ekonomi yang terlibat di dalam konflik sosial bernuansa agama dimaksud. Kemudian keempat, penelitian yang bersearah dengan kepemimpinan kolektif dengan berbagai penelitian yang terfokus pada bagaimana kepemimpinan kolektif tersebut terjadi dalam kaitannya dengan kehidupan beragama.
Penelitian di dalam tipologi ini menggambarkan mengenai bagaimana menangani relasi antar umat beragama yang cenderung untuk kontestasi.
F. Pemahaman Konsep Penelitian 1. Kepemimpinan Kolektif Kolegial
Kepemimpinan kolektif kolegial adalah kepemimpinan yang dilakukan secara bersama, sehingga semua keputusan didasari pada kesepakatan bersama. Kepemimpinan tipe ini biasanya juga dipraktikkan layaknya ada ikatan pertemanan sejawat. Hal ini berarti dalam menjalankan roda organisasi dibutuhkan koordinasi antar pemimpin.
Definisi kepemimpinan kolegial tersebut mengarah pada sistem kepemimpinan yang melibatkan beberapa pemimpin dalam mengambil keputusan maupun kebijakan. Pencapaian tujuan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat guna mengedepankan semangat kebersamaan (Pramitha, 2020: 59).
Menurut Prodjokusumo (1992), secara konseptual kepemimpinan kolektif kolegial adalah sistem kepemimpinan yang tidak didasarkan pada pribadi atau figur. Menurut Crawford (2012: 611) , kepemimpinan kolektif kolegial menonjolkan kebersamaan karena karakteristiknya yang memang kolegialitas. Artinya, terdapat keterlibatan seluruh anggotanya dalam mekanisme pengambilan keputusan(S Gumus, M.S Belibas 2018: 30).
Kepemimpinan kolektif kolegial memiliki beberapa ciri. Pertama, demokratis yakni segala keputusan diambil melalui musyawarah. Kedua, egalitarian yakni persamaan status dalam mengambil keputusan. Ketiga, relatif lambat karena segala sesuatunya dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Keempat, relatif memuaskan semua pihak (Nasution, 2021). Crawford (2012) menambahkan beberapa karakteristik kepemimpinan kolektif kolegial. Pertama, melibatkan interaksi antar pemimpin. Kedua, di dalam sebuah tim/organisasi terdiri dari banyak pemimpin. Ketiga, pendekatan yang digunakan adalah demokratis. Keempat, praktik kepemimpinannya bersifat lateral. Bush (2016)juga menyatakan bahwa karakteristik kepemimpinan kolektif kolegial ada empat. Pertama, memfasilitasi kolaborasi. Kedua, pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah/konsensus. Ketiga, kekuasaan dan otoritas dibagi antar anggota, bukan one man show. Keempat, partisipatif dalam proses pengambilan keputusan.
2. Kerukunan Umat Beragama
Kerukunan umat beragama merupakan kondisi sosial ketika pemeluk agama yang berbeda dapat tinggal bersama dan tidak mengurangi hak masing-masing umat guna melaksanakan kewajiban agamanya. Selain itu, kerukunan umat beragama bisa diartikan sebagai sikap toleransi antar umat beragama. Maknanya, masyarakat harus memiliki sikap ‘ikhlas’
dengan adanya perbedaan sebagai keniscayaan dan saling menghormati satu sama lain dalam hal ibadah dan lainnya yang berkaitan dengan urusan keagamaan (Wahyuddin, 2009: 32).
Kerukunan umat beragama adalah bentuk hubungan harmonis dalam dinamika kehidupan masyarakat yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap pengendalian hidup. Hal itu bisa diimplementasikan dalam tiga hal. Pertama, menghormati pemeluk agama lain dalam menjalankan
ibadah. Kedua, bekerja sama dengan pemerintah dan pemeluk agama lain dalam rangka bertanggung jawab pada pembangunan bangsa. Ketiga, sikap toleransi yang tinggi, artinya tidak memaksakan agama pada yang lain (Liliweri, 2001: 255). Landasan kerukunan antar umat beragama adalah toleransi dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Tholhah 1980: 14). Meskipun pedoman terkait kerukunan umat beragama sudah digulirkan, namun konflik terkait penyiaran dan pembangunan rumah ibadah masih sering kali terjadi (Mursyid 2008: 5).
3. Permasalahan Umat Beragama
Permasalahan umat beragama sering kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Hal ini tentu saja tidak lepas dari faktor adanya dalang atau “provokator” yang tidak pernah diusut tuntas pada penyelesaiannya. Provokator melakukan berbagai cara untuk memecah belah persatuan, misalnya dengan mengadu domba. Oleh sebab itu, setiap umat beragama akan berpegang teguh pada ajaran agamanya, agar tidak terjebak pada isu-isu yang justru menyebabkan perpecahan.
Menurut Marsudi, permasalahan umat beragama yang akhirnya menjadi konflik biasanya disebabkan karena beberapa hal (Utoyo, 2016:
372). Pertama, adanya kecurigaan antar pemeluk agama. kecurigaan antar pemeluk agama yang terpendam akan dimanfaatkan oleh tokoh yang tidak bermoral agar tercipta konflik yang berkepanjangan. Hal ini biasanya berkaitan dengan kepentingan politik yang dimiliki oleh sang provokator(Schuon, 1987: 138).
Kedua, faktor ketidakadilan. Misalnya, adanya kesenjangan ekonomi antar penganut agama. Hal ini juga tampak pada perlakuan politik berdasarkan agama yang dianut. Perlakuan yang kurang adil akan menciptakan kecemburuan dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Apalagi, jika antar umat beragama kurang intens melakukan dialog agama, sehingga perlakuan tidak adil akan menambah peluang terjadinya konflik.
Ketiga, kurangnya saling memahami dan menghargai agama lain sehingga nilai-nilai universal kemanusiaan tidak lagi berlaku. Alhasil, relasi antara umat beragama tidak akan muncul cinta kasih bagi kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan umat beragama.
Pemahaman memang tidak didapatkan begitu saja. Minimnya pemahaman akan melahirkan karakter apatis dan puritan bagi toleransi beragama (Kahmad, 2006: 174).
Yunus (2014) menambahkan bahwa permasalahan umat beragama disebabkan karena dua hal. Pertama, klaim kebenaran. Umat beragama akan cenderung membenarkan ajaran agamanya masing-masing, meskipun terdapat “ketidakpahaman” nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama yang dibela. Mereka yang melakukan klaim menganggap dirinya paham dan mampu menjalankan secara murni terhadap nilai suci.
Keyakinan yang berlebihan ini akan menjadi pemaksaan. Misalnya dengan kemunculan absolutism, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme.
Kedua, doktrin agama yang salah. Ajaran agama memang doktrin, tapi agama memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk
menafsirkan teks kitab suci dalam agama. Kebanyakan adalah melegitimasi kekerasan atas nama Tuhan, padahal kekerasan dari perspektif manapun. Kebanyakan doktrin yang diberikan adalah seruan menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain untuk menuju keselamatan tersebut, namun implementasinya dengan kekerasan bahkan membunuh (Yunus, 2014: 222-224).
Permasalahan umat beragama yang sering terjadi di Indonesia di antaranya dipicu beberapa hal. Petama, permasalahan pembangunan rumah ibadah. Misalnya Gereja Yasmin di Bogor. Kedua, permasalahan perusakan rumah ibadah. Misalnya konflik di Poso. Ketiga, konflik intern agama. Misalnya, konflik Sunni-Syiah di Jawa Timur.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu sebuah upaya untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena secara rinci dan mendasar. Sebagai subject matter penelitiannya adalah kepemimpinan kolektif kolegial yang digunakan di dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Indonesia. Sebagai organisasi yang lahir karena kepentingan umat beragama dan difasilitasi keberadaannya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, maka FKUB merupakan organisasi yang memiliki fungsi strategis. Di antaranya adalah untuk menjadi fasilitator yang menghubungkan antara kepentingan umat beragama dan pemerintah. Di dalam fungsi strategis ini, maka FKUB menggunakan pola kepemimpinan yang bercorak kolektif kolegial. Hal ini penting dilakukan sebab organisasi ini merupakan wadah bagi semua umat beragama yang
menempatkan perwakilannya untuk menyuarakan suara organisasi keagamaan. Di dalamnya terdapat wakil Umat Islam, umat Kristen, Umat Katolik, Umat Buddha, Umat Hindu dan umat Konghucu serta representasi pemerintah.
Jika terdapat masalah-masalah antar umat beragama dan intern umat beragama, FKUB yang tampil di depan sebagai fasilitator untuk menyelesaikan secara Bersama-sama dengan umat agama lain. Dalam kepemimpinan kolektif kolegial, maka seorang pemimpin akan mendengarkan, mendiskusikan dan merumuskan apa yang menjadi keputusan Bersama. Sejauh yang bisa dilihat bahwa di dalam menangani masalah antar umat beragama, sebagaimana yang terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara, maka FKUB menjadi garda depan dalam penyelesaian masalahnya. Kasus Internal umat beragama antara Islam Sunni dan Islam Syiah di Sampang juga penyelesaian dilakukan atas pertimbangan FKUB. Demikian pula penyelesaian masalah di Sumatera Utara dalam kasus relasi Islam dan Buddha juga demikian. Hal yang sama terjadi dalam penyelesaian kasus Ahmadiyah di Jawa Barat.
1. Memilih sasaran kajian
Sebagai penelitian deskriptif, maka ada beberapa pertimbangan di dalam memilih objek kajian. Penelitian ini menjadikan FKUB Provinsi Sumatera Utara, FKUB Provinsi Jawa Barat dan FKUB Provinsi Jawa Timur sebagai sasaran penelitian. Tentu saja ada beberapa alasan mengapa tiga wilayah ini yang dijadikan sebagai sasaran kajian. Pertama, pada tiga wilayah ini terdapat masalah-masalah kehidupan keagamaan yang relatif
bervariasi. Masalah-masalah keagamaan tersebut juga tidak mudah diselesaikan disebabkan terjadi dalam relasi antar umat beragama dan juga intern umat beragama. sebagaimana terjadi bahwa bisa terjadi gesekan intern umat beragama maupun antar umat beragama. meskipun tidak sering terjadi, namun di dalam kehidupan yang plural dan multikultural bisa saja terjadi perbedaan paham dan pengamalan keagamaan di antara intern umat beragama, dan di sisi lain juga terjadi gesekan antar umat beragama yang disebabkan oleh perbedaan paham, pengamalan dan keyakinan beragama. perbedaan-perbedaan ini yang kemudian memicu terjadinya konflik beragama meskipun berada di dalam skala yang lokal.
Di Jawa Timur terdapat relasi intern umat beragama yang melibatkan hubungan antara Sunni dan Syiah. Peristiwa ini cukup menyita banyak perhatian dan membutuhkan penyelesaian yang sangat rumit.
Keterlibatan pemerintah daerah Jawa Timur tentu sangat besar di dalam upaya untuk penyelesaian persoalan ini, termasuk juga Kementerian Agama. Konflik internal umat Islam ini sangat keras, menyebabkan terjadinya sekat pemahaman ajaran agama yang semakin menguat di antara dua kelompok, bahkan sangat sulit dilakukan rekonsiliasi, konflik ini membutuhkan waktu yang sangat Panjang untuk penyelesaian. Di dalam konteks ini tentu menarik juga dicermati bagaimana peran FKUB dalam menyelesaikan kasus dimaksud.
Di Sumatera Utara juga terdapat konflik antar umat beragama, yang melibatkan umat Islam dan umat Buddha. Konflik Ini dipicu oleh persoalan ibadah yang dilakukan di masjid yang dinyatakan mengganggu
oleh salah seorang umat beragama Buddha. Konflik di Tanjung Balai ini kemudian menjadi serius Ketika kemudian terdapat provokasi yang dilakukan oleh seseorang melalui media sosial. Konflik yang semula sangat lokal kemudian menjadi nasional dipicu oleh berbagai pemberitaan di media sosial. Akibatnya terjadi penyerangan terhadap Vihara di Tanjung Balai dan menyebabkan kerusakan di sana-sini. Konflik ini bisa dilokalisasikan sehingga kemudian terjadi ishlah di antara kedua kelompok. Peran pemerintah daerah dan Kementerian agama sangat besar di dalam penyelesaian ini, maka kemudian perlu dipertanyakan bagaimana keterlibatan FKUB sebagai wadah tokoh umat beragama untuk menyelesaikan kasus ini.
Jawa Barat dikenal sebagai wilayah yang tingkat kerawanan sosial sebagai akibat relasi antar umat dan intern umat beragama relatif fluktuatif. Tetapi yang paling fenomenal adalah kekerasan sosial yang difasilitasi oleh paham keagamaan, antara Kaum Ahmadiyah dan umat Islam lainnya. Konflik ini sangat keras, karena terjadi pembakaran rumah- rumah dan juga fasilitas umum lainnya yang dimiliki oleh umat Ahmadiyah. Kerusuhan di Cikesik ini sungguh menyita perhatian nasional bahkan dunia internasional. Pemerintah, terutama Kementerian Agama telah melakukan banyak kegiatan untuk menyelesaikan kasus ini Bersama pemerintah daerah dan tentu tokoh-tokoh agama di daerah ini. Namun demikian, yang perlu dipelajari adalah bagaimana keterlibatan FKUB di dalam menyelesaikan konflik sosial berbasis paham keagamaan tersebut.
Sebagai organisasi yang menghimpun para tokoh berbagai agama, maka FKUB memiliki ciri khas kepemimpinan yang dapat dinyatakan sebagai kepemimpinan kolektif kolegial, yaitu kepemimpinan yang tidak bercorak hierarkis pimpinan dan bawahan, secara vertikal, akan tetapi merupakan corak kepemimpinan yang berbasis pada relasi setara antara satu dengan lainnya, sehingga semua memiliki kesetaraan dalam bekerja, kesetaraan dalam kerja sama, dan juga kesetaraan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan keberagamaan. Meskipun di banyak wilayah yang menjadi ketua umum FKUB adalah person beragama Islam, akan tetapi tokoh agama lain yang duduk secara hierarkis berada di bawahnya tetap memiliki kesetaraan dalam menyelesaikan masalah kehidupan keberagamaan. Makanya, FKUB dapat dinyatakan sebagai organisasi sosial keagamaan yang berciri khusus, dan memiliki peran yang seharusnya besar di dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan termasuk yang lebih luas masalah kebangsaan.
2. Desain Penelitian
Penelitian ini memilih pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian kualitatif dipilih sesuai dengan masalah yang dikaji, yaitu kepemimpinan kolektif kolegial FKUB dalam menyelesaikan masalah umat beragama. maka di dalam penelitian data yang diungkap berupa ungkapan verbal dari para subyek atau key informan dan informan dan kemudian dicatat dan ditulis sesuai dengan kategori-kategori yang sudah ditetapkan. Konsep-konsep yang dirumuskan tentu disesuaikan dengan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian.
Metode deskriptif digunakan sebab penelitian ini berupaya untuk menggambarkan secara mendalam tentang fenomena yang dikaji.
Penelitian deskriptif relevan untuk mengkaji peristiwa masa lalu non historis dengan cara menggambarkan secara mendalam dalam upaya untuk menemukan proses dan memahami apa yang dilakukan oleh para pelaku (subyek penelitian) dan juga semua informasi dari para informan. Selain itu juga dideskripsikan secara mendalam pikiran, sikap dan tindakan para pelaku atau subjek penelitian di dalam keterlibatannya di dalam proses penyelesaian masalah secara kebersamaan.
Desain multisitus digunakan di dalam penelitian ini dengan alasan bahwa yang menjadi fokus kajian adalah kepemimpinan kolektif kolegial FKUB dalam menyelesaikan masalah kehidupan antar atau intern umat beragama. memang ada persoalan yang berbeda, yaitu terkait dengan masalah yang diselesaikan, akan tetapi yang justru penting adalah bagaimana fenomena-fenomena yang berbeda tersebut diselesaikan dengan kemampuan kepemimpinan kolektif kolegial. Melalui desain seperti ini, maka nanti akan ditemukan kesamaan dalam corak kepemimpinan kolektif kolegial dalam menyelesaikan masalah umat beragama dan sekaligus juga berpeluang ada perbedaan di antara tiga wilayah FKUB tersebut di dalam menyelesaikan masalah umat beragama.
melalui penelitian multisitus ini, maka akan diketahui pola umum dan pola khususnya, sehingga menarik minat kajian lain yang senafas dengan penelitian ini.
3. Subjek Penelitian
Sebagai penelitian deskriptif, maka subjek penelitian atau pelaku yang terlibat di dalam kepemimpinan dengan corak seperti ini penting untuk dijadikan sebagai subyek penelitian. Setiap wilayah masing-masing diambil secara purposive untuk menjadi subyek penelitian, sebanyak empat orang, yaitu ketua FKUB, dan tiga orang lainnya sesuai dengan perannya di dalam FKUB. Dengan demikian, di FKUB Sumatera Utara sebanyak empat orang, di Jawa Barat empat orang dan di Jawa Timur sebanyak empat orang. orang-orang ini yang kemudian dijadikan sebagai key informan, yaitu orang yang terlibat di dalam penyelesaian pertikaian intern dan antar umat beragama. Nama-nama subyek penelitian, yaitu:
FKUB Sumatera Utara adalah Prof. Dr. Hasan Bhakti Nasution, (FKUB Provinsi Sumatera Utara/Islam), Pendeta Erick Johnson Barus (Pengurus FKUB Provinsi Sumatera Utara/Kristen),Dr. Irwansyah (sekretaris Lembaga Penelitian Kerukunan Umat Beragama Provinsi Sumatera Utara/Islam) dan Ir. Djohan Adjuan (Wakil Sekretaris LPKUB Provinsi Sumatera Utara/Khonghucu), kemudian FKUB Jawa Barat adalah HM.
Rafani Achyar (Ketua FKUB Jawa Barat), Pendeta Paulus Wijono, (Pengurus FKUB Provinsi Jawa Barat/PGI Jawa Barat), Romo Agus (Pengurus FKUB Provinsi Jawa Barat/Keuskupan Bandung/Katolik), Dr.
Made Widiade Gunakarya (Ketua Parisada Hindu Jawa Barat), dan Prof.
Dr. Jaja Jahari (FKUB Jawa Barat/Islam), sedangkan FKUB Jawa Timur adalah Drs. HA. Hamid Syarif, MH, (Ketua FKUB Provinsi Jawa Timur/Islam), Drs. KH. Syafrudin Syarif (Wakil Ketua I FKUB Provinsi
Jawa Timur/Islam), Ir. H. Tamhid Masyhudi (Sekretaris FKUB Provinsi Jawa Timur/Islam), Dr. Agustinus Pratista Trinarsa , SS, Lit,Phil., (Kabid Pemberdayaan FKUB Provinsi Jawa Timur/Kristen).
Selain, sejumlah key informan, maka juga terdapat sejumlah person yang diambil secara purposive untuk menjadi informan atau orang yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa kekerasan atau konflik sosial bernuansa agama dimaksud. di dalam penelitian akan dijadikan sebagai informan sebanyak masing-masing 10 orang. dengan demikian, untuk FKUB dan masyarakat Sumatera Utara sebanyak 10 orang, Jawa Barat 10 orang dan Jawa Timur 10 orang. mereka ini terdiri dari pengurus MUI, Tokoh agama, dan pejabat pemerintah, baik dari Kementerian Agama atau Pemerintah Daerah, bahkan juga para dosen atau mahasiswa program doktor yang mengetahui tentang kejadian dimaksud. sebagai informan, maka yang dipentingkan adalah bahwa mereka mengetahui peristiwa dimaksud secara mendalam dan termasuk memahami bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan oleh banyak pihak, FKUB, Kemenag dan juga Pemerintah daerah.
Di antara narasumber sebagai informan untuk Provinsi Sumatera Utara adalah Dr. Azhari Akmal (Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Kota Medan), Dr. Nurhayati (Pengurus MUI Kota Medan), Syarifah Arif, M. Aditya, Fitri Hayati, Nurul Inayah, Nurul Janah, Putra Apriadi, Reni Ria, dan Ibnu Radwan. Sedangkan Informan untuk FKUB Provinsi Jawa Barat adalah Deden Mubarok, Iding Bahrudin, Bama Somantri, Oman Fathurrahman, Joko Santoso, Toni Rudianto, Ayi Yunus, Iman Setiawan
Latief, dan Undang Ahkam. Kemudian untuk FKUB Provinsi Jawa Timur adalah Imron Rosyadi, Yusrol Fahmi, Ning Izmi Nugraheni, Mevy Eka Nurhalizah, Mujib Adnan, dan lainnya.
4. Jenis Data yang Diperlukan
Data yang diperlukan di dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti melalui berbagai macam Teknik pengumpulan data, baik dari sumber pelaku atau subjek penelitian maupun para informan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data yang berupa buku, surat kabar, media sosial, internet, berita di berbagai sumber, dan juga hasil-hasil penelitian, baik yang sudah dipublikasi melalui jurnal ilmiah atau dalam laporan penelitian yang tidak dipublikasikan.
Data yang sudah dikumpulkan meliputi: Sejarah Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Status Forum Kerukunan Umat Beragama, Struktur Organisasi Forum Komunikasi Umat Beragama, Program Kerja dan Aktivitas Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama Di Sumatera Utara, Jawa Barat Dan Jawa Timur (Sejarah Lokal, Peranan dan Masalah-Masalah), Kepemimpinan Kolektif Kolegial (Model Kepemimpinan Di Sumatera Utara, Jawa Barat Dan Jawa Timur), Penyelesaian Masalah Melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (Di Sumatera Utara, Jawa Barat Dan Jawa Timur), Kerjasama Pemerintah, Masyarakat Dan Dunia Usaha Dalam Pengembangan Forum Kerukunan Umat Beragama (Di Sumatera Utara, Jawa Barat Dan Jawa
Timur), dan Masa Depan Forum Kerukunan Umat Beragama Di Era Disruptif
5. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan pada saat terjadinya Pandemi Covid-19, yang sedang memuncak, yaitu dengan diberlakukannya Kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlaku di Jawa dan Bali.
Kebijakan PPKM tersebut berlangsung selama tiga putaran terhadap wilayah-wilayah yang disebut sebagai Zona Merah di Jawa dan Bali.
selama masa ini maka benar-benar dilakukan pembatasan atas gerak masyarakat, dengan cara melakukan pemblokiran jalan-jalan utama dan juga aktivitas masyarakat. Maka berlaku Work From Home (WFH), Learning From Home (LFH) dan juga Pray from Home (PFH). Kemudian pada tahap berikutnya juga dilakukan PPKM yang juga berlangsung di wilayah-wilayah yang berzona merah. Penelitian ini bertepatan berada di zona PPKM, yaitu kota Surabaya di Jawa Timur, Kota Bandung di Jawa Barat dan Medan di Sumatera Utara. Dengan demikian dipastikan bahwa penelitian ini harus menggunakan desain lain, yaitu wawancara by phone atau menggunakan Zoominar dan Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti oleh sejumlah pimpinan FKUB, pemerhati kerukunan umat beragama dan juga lembaga keagamaan, seperti MUI, dan lembaga keagamaan Budha, NU dan Muhammadiyah. Untuk memperoleh data tersebut, maka digunakan metode pengumpulan data yang terdiri dari kajian literatur, wawancara, dokumentasi dan pengamatan.
Metode Wawancara digunakan untuk menemukan data yang terkait dengan kepemimpinan kolektif kolegial yang dilakukan oleh FKUB di dalam menyelesaikan masalah-masalah kerukunan umat beragama. data yang dimaksud adalah data program, aktivitas dan kerja FKUB untuk hal tersebut. Selain itu juga digunakan untuk menemukan data tentang pola, model dan cara menyelesaikan masalah yang dilakukan oleh FKUB.
Wawancara dilakukan terhadap subyek penelitian, di Jawa Timur, dan Bandung serta Jakarta. Di Jawa Timur dilakukan dengan pimpinan FKUB Jawa Timur, di Jawa Barat dengan FKUB Jawa Barat dan di Jakarta dengan para pejabat dan aktivis FKUB yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu Prof. Abdurahman Mas’ud, Lukman Hakim Saifuddin, dan Suhadi Senjaya. Secara khusus untuk key informan dari FKUB Sumatera Utara digunakan teknik FGD disebabkan karena masalah- masalah yang diakibatkan oleh Covid-19, terutama untuk menjaga Kesehatan.
Teknik dokumenter digunakan untuk menemukan data tentang dimensi kesejarahan FKUB, data tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh FKUB dalam kaitannya dengan relasi antar dan intern umat beragama, struktur organisasi, fungsi FKUB, dan manajemen FKUB dan data tentang perilaku umat beragama di masing-masing wilayah (Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur). Data seperti ini diperoleh melalui media internet, media sosial, karya hasil penelitian yang belum dipublikasikan, data dari karya ilmiah di jurnal dan juga data statistik pada masing-masing wilayah.
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan dalam kerangka untuk memperoleh data tentang pemahaman, sikap dan Tindakan para narasumber, baik key informan, informan dan sejumlah tokoh organisasi keagamaan, baik yang tergabung di dalam MUI, dan organisasi keagamaan lain. Sebagaimana yang diketahui bahwa metode ini efektif untuk mengumpulkan data, karena secara langsung akan didapatkan berbagai pemahaman, sikap dan tindakan pelaku dan non pelaku dalam perbincangan yang setara antar narasumber.
Narasumber di dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu: para pelaku atau mereka yang menjadi anggota FKUB dan para peserta lainnya yang bukan sebagai anggota FKUB. Para pengurus FKUB disebut sebagai subyek atau key informan, sedangkan para peserta disebut sebagai informan saja. Nara sumber (key informan atau informan) terdiri dari pengurus FKUB Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur.
Di dalam pelaksanaannya, FGD dilakukan dengan menghadirkan sebanyak 5 (lima) orang dengan rincian 2 (dua) orang sebagai subyek atau pelaku karena yang bersangkutan sebagai pengurus FKUB dan 3 (tiga) orang sebagai informan atau orang yang mengamati masalah-masalah keagamaan di tempat atau wilayahnya. Hal ini berbeda dengan Provinsi Jawa Barat dengan 5 (lima) orang narasumber dengan rincian: 4 (empat) orang sebagai pengurus FKUB dan 1 (satu) orang sebagai informan, sementara untuk Jawa Timur hanya menggunakan 4 (empat) narasumber dan seluruhnya adalah pelaku atau subyek kajian atau pengurus FKUB.
Secara rinci para narasumber tersebut adalah sebagai berikut:
Provinsi Sumatera dengan narasumber pengurus FKUB, yaitu: Ir.
Djohan Adjuan (Wakil Sekretaris Lembaga Penelitian Kerukunan Umat Beragama), Pendeta Erick Johnson Barus (pengurus FKUB Sumatera Utara), Prof. Dr. Hasan Bhakti Nasution (Pengurus FKUB Sumatera Utara), dan informan: Dr. Irwansyah (Sekretaris Lembaga Penelitian Kerukunan Umat Beragama Sumatera Utara), dan Dr. Akmal Tarigan (Pengurus MUI Kota Medan).
Zoominar dilakukan untuk menggali data yang dianggap akan melengkapi terhadap data yang diperoleh melalui wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan saling melengkapi, misalnya data tentang pola atau model kepemimpinan kolektif kolegial, data tentang masalah yang terjadi di masyarakat dalam kaitannya dengan relasi antar dan intern umat beragama dan juga penyelesaian masalah umat beragama.
Penggunaan aneka ragam teknik dalam pengumpulan data ini dimaksudkan sebagai sarana untuk triangulasi sumber data, jenis data dan Teknik pengumpulan data. Penelitian kualitatif sangat tergantung keabsahan dan reliabilitas datanya berdasar atas triangulasi data tersebut.
6. Teknik Analisis Data
Sebagai penelitian kualitatif-deskriptif maka penelitian ini menggunakan tiga tahap di dalam analisis data, yaitu reduksi data atau data reduction, penyajian data atau data drawing, dan kesimpulan atau conclusion drawing. Di dalam reduksi data maka semua data yang sudah terkumpul kemudian dikategorikan untuk menemukan kesamaan dan
perbedaannya, lalu dari kategori dimaksud kemudian ditemukan konsep- konsepnya, misalnya kepemimpinan kolektif, kepemimpinan kolektif kolegial, manajemen berbasis kebersamaan, masalah aktual, masalah simbolik, pola kebersamaan dalam penyelesaian masalah, prioritas masalah, kerja sama, kerja kolektif, kerja ibadah, dan sebagainya.
Pengelompokan data dalam konsep-konsep tersebut kemudian digambarkan atau dijabarkan datanya sehingga diketahui secara mendalam kategori, indikator atau ciri khas yang melazimi konsep atau kategorinya dan sebagainya. Dari data drawing ini kemudian disimpulkan berbasis pada teori atau konsep yang sudah ditemukan atau dijadikan sebagai temuan di dalam penelitian terdahulu. Hakikat analisis adalah memahami apa dan bagaimana pikiran dan Tindakan para aktor berdasar atas data yang sudah diungkapkannya.
Sebagai penelitian kualitatif, maka tentu saja tidak terpilah-pilah secara rigid, akan tetapi setiap tahap dipastikan merupakan bagian dari tahap lainnya dan saling membentuk satu kesatuan sistemik yang tidak bisa dipisahkan. Setiap data yang ditemukan dicarikan konsepnya, digambarkan datanya dan disimpulkan atas kepekaan teoretik yang ada sebelumnya. Kemudian yang tidak kalah penting adalah menghubung- hubungkan antar temuan tersebut sehingga akan menggambarkan bahwa konsep-konsep yang ditemukan merupakan satu kesatuan holistik yang tidak terpisahkan.
H. Sistematika Pembahasan
Penelitian akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I; Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Kajian terdahulu, Pemahaman Konsep Penelitian, Metodologi penelitian, dan Sistematika pembahasan
Bab II; Perspektif Teoretik terdiri dari: Pengertian Kepemimpinan dan Manajemen, Pengertian Organisasi Sosial Keagamaan, Fungsi Kepemimpinan Dan Manajemen Dalam Organisasi Keagamaan, Forum Kerukunan Umat Beragama Sebagai Organisasi Keagamaan, Fungsi FKUB Dalam Membangun Kehidupan Keagamaan, Kerukunan Umat Beragama, Masalah-Masalah dalam Kehidupan Keberagamaan, Model- Model Penyelesaian Masalah Dalam Forum Kerukunan Umat Beragama, Masa Depan Forum Kerukunan Umat Beragama Di Era Pertarungan Media Sosial, Dan Kerja Sama Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Mengembangkan Forum Kerukunan Umat Beragama
Bab III, Deskripsi Hasil Penelitian, terdiri dari: Sejarah Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama, Struktur Organisasi Forum Kerukunan Umat Beragama, Program kerja dan aktivitas forum kerukunan umat beragama, Forum kerukunan umat beragama di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur (peranan dan masalah-masalah), Kepemimpinan kolektif kolegial (model kepemimpinan di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur), Penyelesaian masalah melalui forum kerukunan umat beragama (di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa
Timur), Kerjasama pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan forum kerukunan umat beragama (di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur), dan Masa depan forum kerukunan umat beragama di era disruptif
Bab IV : Analisis Data, yang terdiri dari: analisis data tentang kepemimpinan Kolektif Kolegial FKUB, analisis atas masalah-masalah keagamaan, dan relevansi kepemimpinan FKUB dalam penyelesaian masalah FKUB.
Bab V: Kesimpulan, yang terdiri atas: Kesimpulan, Refleksi Teoretik, dan Rekomendasi.
36 BAB II
PERSPEKTIF TEORETIK
A. Pengertian Kepemimpinan dan Manajemen
Menurut Ali (2008, 102) Kepemimpinan atau leadership dalam bahasa Inggris berasal dari kata “leader” yang berarti pemimpin, sedangkan kegiatan seorang pemimpin disebut dengan kepemimpinan.
Wahyusumidjo (2005: 12) menerjemahkan kepemimpinan adalah istilah yang terkait dengan persepsi legitimasi pengaruh seseorang terhadap yang lain, kerja sama sekaligus pola interaksi. Miftah Thoha (2010: 9) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan cara sekaligus seni guna mempengaruhi perilaku orang lain, baik individu maupun kelompok.
Hiriyappa (2009) menyimpulkan pengertian kepemimpinan dalam empat arti. Pertama, kepemimpinan adalah hubungan pengaruh di antara pemimpin dan anak buahnya untuk melakukan perubahan sehingga tujuan mereka dapat tercapai. Kedua, kepemimpinan diartikan sebagai penggunaan kekuatan non-koersif guna mencapai tujuan dan memotivasi para anggota untuk mencapainya. Ketiga, kepemimpinan lebih dari sekadar aspek tradisi, kepribadian dan oportunisme yang terhubung secara khusus melalui perilaku seseorang. Keempat, kepemimpinan bisa bermakna bimbingan kepada orang lain melalui pengorganisiran, pengoordinasian, dukungan dan motivasi.
Selain beberapa tokoh di atas, definisi kepemimpinan juga diartikan oleh yang lain. Menurut Owens, yang dikutip oleh Sudarwan Danim dan Suparno (2009: 8) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah interaksi satu pihak sebagai pemimpin dengan pihak yang dipimpin. James Lipham yang dikutip oleh M. Ngalim Purwanto (2007: 27) menjelaskan bahwa kepemimpinan sebagai permulaan struktur guna memperoleh tujuan dan sasaran atau perubahan dari sebuah organisasi. Martinis Yamin dan Maisah (2010: 74) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi yang dilakukan seseorang guna pengelolaan anggota kelompoknya sebagai strategi pencapaian tujuan organisasi. Artinya, kepemimpinan adalah bentuk strategi yang digunakan oleh seorang pemimpin.
Berdasarkan beberapa definisi dari tokoh tersebut, maka secara umum kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, mengajak, menggerakkan, menuntut bahkan memaksa orang lain agar menerima pengaruh yang selanjutnya dilakukan praktik sehingga kesepakatan terkait tujuan dapat dicapai. Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain untuk mau bekerja sama guna mendapatkan tujuan yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan juga terkait dengan kemampuan untuk konsensus antar anggota organisasi guna melakukan tugas manajemen guna pencapaian tujuan.
Kepemimpinan terkait dengan urusan manajemen, sehingga pemahaman terkait definisi manajemen juga diperlukan. Menurut Miftaht
Thohah (2010: 9), manajemen adalah proses pencapaian tujuan sebuah organisasi melalui usaha orang lain. Di dalam manajemen terdapat aturan yang dijadikan sebagai pedoman. George A Bohoris dan Evanthia P.
Vorria (2018: 1-8) menyatakan bahwa manajemen adalah seni sekaligus proses yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W.
Griffin (2004) mendefinisikan manajemen adalah proses perencanaan, pengoordinasian, pengontrolan dan pengorganisasian sumber daya guna mencapai sasaran secara efisien dan efektif. Efisien berarti tugas yang dilaksanakan dengan proses yang benar, terorganisir dan sesuai dengan jadwal, sedangkan efektif artinya tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan yang telat dibuat.
Manajemen memiliki empat elemen utama. Pertama, proses yang terdiri dari hubungan sosial yang saling terkait dan fungsi teknik serta aktivitas. Kedua, pencapaian tujuan organisasi. Ketiga, mencapai tujuan melalui sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Keempat, melakukan tugas dalam koridor aturan formal yang telah disepakati (Darr, 2011: 9653).
Berdasarkan beberapa pendapat tokoh terkait definisi dan elemen manajemen di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah seni perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan terhadap sumber daya manusia sebuah organisasi atau kelompok. Artinya, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengendalian sekaligus memimpin para anggotanya guna mencapai suatu tujuan.
B. Pengertian Organisasi Sosial Keagamaan
Agama merupakan salah satu aspek yang tercantum dalam deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Artinya, masyarakat dunia harus menjunjung tinggi hak individu terkait keagamaan. Setiap dari mereka memiliki kebebasan berpikir dan beragama, sehingga tidak boleh ada tekanan dari pihak manapun (Nuh, 2014: 2). Agama menjadi salah satu aset penting bagi pembangunan nasional karena mampu melindungi seluruh sistem komunitas sosial yang ada, sebab agama merupakan kohesi sosial yang penting bagi masyarakat. Selain itu, agama menghasilkan sistem sosial masyarakat yang berbasis pada kekuatan non-empiris.
Terdapat tiga fungsi agama bagi kehidupan masyarakat. Pertama, fungsi pendidikan. Artinya, agama sebagai guru sebab memiliki tugas untuk membimbing manusia. Kedua, fungsi pengawasan sosial. Artinya, agama memiliki tanggung jawab untuk mengawasi norma-norma sosial di masyarakat sebab dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Selain itu, agama memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar. Ketiga, Agama sebagai stratifikasi sosial. Artinya, agama mempengaruhi kehidupan sosial melalui tingkat pemahaman manusia terhadap agamanya (Ridho, 2016).
Agama memiliki peran khusus bagi kehidupan manusia, terutama pada posisinya sebagai masyarakat. Keyakinan individu berpengaruh besar pada praktik keagamaan yang ia jalankan (Sosis and Ruffle, 2003:
713-722) .1 Alhasil, guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan asupan pengetahuan agama, muncullah organisasi sosial keagamaan sebagai salah satu wadah yang dapat menjadi solusi. Organisasi sosial keagamaan memiliki dua ciri penting yakni keyakinan dan praktik pada agama yang diyakini (Levy and Razin, 2009: 15). Organisasi sosial keagamaan memiliki peran yang fundamental bagi pembentukan keyakinan masyarakat. Individu yang bergabung dengan organisasi sosial keagamaan akan menambah keyakinan terhadap agama, sebab berbagai kegiatan yang ada di dalamnya dianggap sebagai “ritual”.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh C.R. (Bob) Hining dan Mia Raynard (2014: 159-186) dari Universitas Alberta menyatakan bahwa organisasi sosial keagamaan memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut terkait dengan otoritas dan pengambilan keputusan. Inti dari organisasi sosial keagamaan bukanlah agama, melainkan otoritas keagamaan (Chaves 1993: 155). Artinya, ulama dan imam memiliki peran penting dan otoritas dalam hubungan antar pemeluk agama dan pemeluk agama dengan Tuhan. Hal ini tentu saja berbeda dengan otoritas seorang dewan maupun pemimpin negara (Dyck and Wiebe, 2012: 65). Selain terkait dengan relasi, peran ulama dalam pengambilan keputusan sebagai aspek otoritas juga menjadi salah satu faktor keunikan organisasi sosial keagamaan. Pengambilan keputusan
1 Selain dari referensi tersebut, keterangan lebih lanjut dapat ditemukan pada beberapa artikel berikut: L. P. Sapienza Guiso, and L. Zingales, “People's Opium? Religion and Economic Attitudes”
Journal of Monetary Economics, Vol. 50, 2003, pp. 225-282.; D.Stasavage, and K. Scheve,
"Religion and Preferences for Social Insurance", Quarterly Journal of Political Science, Vol.1, 2006, pp.255-286s.
diambil oleh ulama berdasarkan landasan normatif yang mereka yakini, yakni sesuai dengan prinsip kitab suci yang mereka imani (Nelson and Hiller, 1981: 178). Bagi organisasi sosial keagamaan, otoritas adalah konsep teologis, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam mendefinisikannya. Agama menegaskan bahwa otoritas berada di luar tatanan sosial,
Definisi terkait organisasi sosial keagamaan diatur dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 Pasal 1 Ayat 1 mengenai organisasi kemasyarakatan. Organisasi merupakan perkumpulan yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, minat, kegiatan dan tujuan yang berpartisipasi dalam pembangunan untuk mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila (Menteri Hukum dan HAM RI, 2018). Pada Era reformasi, organisasi sosial keagamaan memiliki tiga peran penting. Pertama, sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa.
Kedua, sebagai salah satu badan atau organisasi yang memiliki hak kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Ketiga, sebagai kelompok penekan jika pemerintah dianggap melenceng dari asas dan aturan yang berlaku (Masrukhin and Supaat, 2018: 415).
C. Fungsi Kepemimpinan dan Manajemen dalam Organisasi Keagamaan
Kepemimpinan dan manajemen memiliki definisi yang tumpang tindih, namun keduanya tidak sama (Kotterman, 2006: 15).2 Keduanya terkait dengan pengaruh kepada orang lain dan bekerja keras untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati, namun pengembangan keduanya berbeda (Guardian, 2013). Kepemimpinan adalah hubungan yang mempengaruhi secara multi-arah, sedangkan manajemen adalah hubungan otoritas yang satu arah. Abraham Zaleznik (1977) pertama kali menuliskan artikel mengenai perbedaan pemimpin dan manajer pada tahun 1977.3 Ia menuliskan bahwa suatu organisasi membutuhkan keduanya yakni pemimpin dan manajer yang efektif, sebab keduanya memiliki kontribusi yang berbeda. Seorang pemimpin bertugas untuk melakukan pendekatan, memahami komitmen para anggotanya, sedangkan manajer bertugas menjalankan otoritas dan menyelesaikan masalah yang ada di dalam organisasi. Selain Zaleznik, Watson (1983) juga menuliskan buku terkait kepemimpinan dan manajer pada tahun 1983 guna melengkapi pemikiran Zaleznik. Ia menyatakan bahwa seorang pemimpin fokus
2 Selain dari referensi di atas, bisa juga ditinjau lebih lanjut beberapa penelitian berikut dengan makna yang sama, yakni: G.E New, “Reflections: A Three-tier Model of Organizational Competencies”, Journal of Managerial Psychology, Vol.11, No.8, 1996, 44-51; DT Hall and JE Moss, “The New Protean Career Contact: Helping Organizations and Employees Adapt”, Organizational Dynamics, Vol.26, No.3, 1998, 22-37; DC Feldman, Work Careers: A Development Perspective (San Francisco: Jossey Bass, 2002)
3 A. Zaleznik menuliskan artikelnya berjudul “Managers and Leaders: Are They Different? Harvard Business Review” pada tahun 1977 dan terbit pada bulan Mei yang terdiri dari 11 halaman
terhadap motivasi, komunikasi dan tujuan bersama, sedangkan manajer mengurus terkait struktur dan sistem dalam organisasi.
Kepemimpinan memiliki fungsi yang berbeda dengan manajemen.
Menurut Danim (2004), terdapat lima fungsi kepemimpinan. Pertama, seorang pemimpin adalah penentu arah dalam usaha untuk mencapai tujuan. Kedua, pemimpin adalah wakil sekaligus juru bicara dalam organisasi terutama pada hubungannya dengan pihak luar. Ketiga, seorang pemimpin harus memiliki skill komunikasi yang memadai karena sebagai komunikator. Keempat, seorang pemimpin adalah mediator handal terutama ketika mencari solusi apabila terjadi konflik internal dalam organisasi. Kelima, seorang pemimpin adalah integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.
Menurut Husaini Usman (2012), manajemen memiliki empat fungsi. Pertama, perencanaan. Kedua, pengorganisasian. Ketiga, pengarahan berupa motivasi, kepemimpinan, kekuasaan, pengambilan keputusan, komunikasi, negosiasi, manajemen konflik, perubahan organisasi, keterampilan interpersonal, membangun kepercayaan, penilaian kinerja dan kepuasan kerja. Keempat, pengendalian yang meliputi pemantauan, penilaian dan pelaporan.
Perbedaan fungsi keduanya dijelaskan secara gamblang oleh Kotter (1990). Berikut merupakan perbedaan fungsi dari kepemimpinan dan manajemen:
Tabel 2.1
Fungsi Kepemimpinan dan Manajemen
No Kepemimpinan Manajemen
1. Mewujudkan perubahan dan gerakan baru
Mewujudkan ketertiban dan konsistensi
2. Menetapkan arah:
- Menciptakan visi
- Menggambarkan kejelasan secara garis besar
- Menetapkan strategi
Perencanaan dan anggaran:
- Menetapkan Agenda - Mengatur Sumber Daya - Mengatur Jadwal 3. Perlakuan terhadap anggota:
- Mengkomunikasikan tujuan - Mencari komitmen
- Membangun tim dan koalisi
Pengorganisasian dan keanggotaan:
- Memilih struktur
- Mengatur penempatan anggota - Menetapkan aturan dan prosedur 4. Motivasi dan inspirasi:
- Menginspirasi dan memberikan energi positif bagi anggota
- Memberdayakan anggota - Memenuhi seluruh kebutuhan
Mengontrol dan memecahkan masalah:
- Insentif pengembangan
- Menciptakan solusi yang kreatif - Mengambil tindakan korektif Sumber: (Kotter, 1990: 103-107)
Berdasarkan penjelasan fungsi kepemimpinan dan manajemen di atas, sebenarnya keduanya tidak jauh berbeda. Oleh sebab itu, sebenarnya yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi apapun, termasuk organisasi sosial keagamaan adalah seorang pemimpin yang mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin sekaligus manajer. Hal ini dikarenakan seorang pemimpin adalah icon sekaligus citra bagi organisasi yang dipimpin. Selain itu, seorang pemimpin menentukan masa depan organisasi yang ia kemudikan. Ia bertanggung jawab akan roda organisasinya dengan memastikan para anggotanya tetap pada koridor yang tepat untuk mencapai tujuan organisasi yang telah disepakati sebelumnya. Skill yang dibutuhkan seorang pemimpin juga bukan