Menurut Littlejhon, framing merujuk pada proses peletakkan sebuah berita bersama-sama, termasuk cara-cara bagaimana sebuah cerita diorganisasi dan distrukturkan. Pengorganisasi cerita/berita ini menyiratkan tentang bagaimana memahami isi yang ditutup-tutupi. Apabila agenda setting mengidentifikasi mana isu-isu penting, framing memberitahukan cara bagaimana isu-isu itu dipahami.
“….framing refers to process of putting a news story together, including the way in which a story is organized and structured. The organizations of a story sends out cues about how to understand the content being covered.
Agenda setting indentifies which issues are important, framing tell us how to understand those issues” (Littejhon, 2011:344).
38
Apabila melihat kerja-kerja keseharian awak media (day to day works), proses framing yang dilakukan adalah bagian dari fungsi gatekeeping media.
Dalam proses gatekeeping, media akan memilah, menyeleksi informasi-informasi mana yang akan ditonjolkan, kutipan dari sumber mana yang akan dijadikan headline, aspek-aspek yang akan diberi ruang lebih, sementara itu informasi-informasi juga dipilih mana yang akan dibuang atau disembunyikan.
Kesamaan proses ini juga dirujuk dari definisi framing yang dikemukakan Tod Gittlin (Eriyanto, 2012:78). Gittlin memaknai framing sebagai sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khlayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Secara lebih detail, teknis, penonjolan isu dijelaskan dalam pendapat Snow dan Sanford (Eriyanto, 2012:78) mengenai pengertian framing, yakni, “Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan”. Frame mengorganisasikan system kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dan kalimat tertentu.
Meskipun ada perbedaan penekanan dalam definisi mengenai framing yang diajukan para ahli, namun menurut Eriyanto, ada titik singgung utama yang menyatukan. Eriyanto (2012:76) memperjelasnya dengan menyimpulkan bahwa framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Disini terlihat bahwa sesungguhnya berita bukanlahh cermin realitas, karena realitas yang diangkat media adalah realitas media yang telah melalui campur tangan media yang dengan strategi tertentu mengkonstruksikannya menjadi seolah-olah realitas sejati. Konstruksi realitas lewat media menjadi isu utama dalam pendekatan kritis (Eriyanto, 2002: 29).
Pembingkaian yang dilakukan media memiliki kepentingan atau tujuan tertentu baik tujuan ekonomi, politik maupun pembentukan opini publik. Di awal telah disebutkan bahwa media sebagai institusi merupakan dua lembaga yang
39
memiliki fungsi yang berbeda, satu sisi sebagai lembaga yang menjalankan fungsi social disisi lain sebagai lembaga industry yang mengejar profit atau keuntungan.
Idealnya keduanya berjalan seimbang, namun pada kenyataannya unsur ekonomi terkadang lebih mendominasi. Dalam rangka mewujudkan tujuan utama tersebut (kepentingan ekonomi) tersebut perlu adanya dukungan prose-proses kerja jurnalistik yang professional. Sebagaimana diungkapakan Shoemaker dan Reese (1996: 145), “Press scholars have been particularly interested in how these economic goals affect the journalistic product”. Dalam pandangan kritis , profesionalisme ditegakkan adalah dalam rangka control oleh elit-elit media (kelas dominan) (Eriyanto, 2002: 33).
Selanjutnya bagaimana teknis proses framing dijelaskkan oleh Schuefele (Eriyanto, 2002), yang mengembangkan empat model proses framing. Keempat proses tersebut adalah:
1. Frame Building/ Membangun Kerangka
Tahap awal proses framing adalah menentukan jenis-jenis yang mempengaruhi framing isi berita, baik dari dalam system media seperti factor struktur organisasi, karakteristik wartawan maupun pengaruh dari luar organisasi media seperti kelompok kepentingan maupun actor-aktor politik.
2. Frame Setting
Proses kedua framing adalah proses penonjolan isu. Terminology ini menurut Schuefele memiliki ide yang sama dengan Mc Comb dan Shaw mengenai agenda setting. Agenda Setting dan frame setting adalah proses yang identic. Sementara agenda setting berfokus pada isu-isu yang menonjol, frame setting atau istilahnya agenda setting level kedua menurut McComb, berfokus pada atribut-atribut isu-isu yang menonjol. Seorang ahli lain, Nelson meskipun tidak sepenuhnya menolak ide McComb, namun menyarankan pentingnya frame yang dirasa specific. “In other word, frames influence opinions by stressing specific value, fact and other considerations, endowing thwm with alternative frame”. (Nelson et.al., 1997, p.569 dalam Schuefele, 1999: 116).
40 3. Individual level effects of framing
Pada tahap ini, diasumsikan terdapat hubungan langsung antara frame media dan hasil di level individu (pembaca/pemirsa). Media memantau atau mendorong agar terdapat tanggung jawab social individu berupa perilaku, sikap atau hasil penyadaran atas isu yang dilempar.
4. A link between individual frames and media frames/ journalists as audiences.
Pada level terakhir, feedback yang diterima media dari audiens ditangkap oleh jurnalis atau wartawan yang berada di garda terdepan atau di lapangan. Feedback ini akan menjadi inspirasi atau masukan untuk dipakai kembali sehingga pola framing akan berulang.
Analisis Framing Model Robert N. Entman
Pada penelitian ini menggunakan analisis framing model Robert N.
Entman. Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang meletakan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang dibangun oleh media massa (Eriyanto 2002: 219). Menggunakan analisis model Robert N. Entman karena dasar metode penelitian framing bukan sebuah analisis yang menggunakan perhitungan objektif, melainkan tergantung pada kemampuan peneliti dalam mengartikan sebuah penelitian. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain.
Selain itu, framing juga memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks. Dengan bentuk seperti itu, sebuah gagasan atau informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Pembahasan Framing penelitian ini untuk menunjukkan bahwa media memberitakan kasus Cokrosuman antara pihak TNI AU dan Warga Cokrosuman tidak terlepas dari proses framing yang dijalankan. Dengan memahami bahwa surat kabar menerapkan proses framing, maka keberadaan berita tidaklah dimaknai secara denotative sebagaimana tertulis
41
secara fisik, namun harus dipahami bahwa ada sesuatu dibalik berita, ada penojolan terhadap aspek-aspek tertentu, namun juga ada kemungkinan pengabaian terhadap unsur-unsur lain.