BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
4. Fraud Theory
Teori mengenai fraud terus berkembang sejalan dengan semakin sering terjadinya fraud. Pada tahun 1953, Cressey mengembangkan fraud
triangle theory, kemudian Wolf dan Hermanson pada tahun 2004
mengembangkan fraud diamond theory. Hingga pada tahun 2011 Crowe Horwath mengembangkan fraud pentagon theory.
a. Fraud Triangle
Fraud Triangle Theory diciptakan oleh Cressey pada tahun 1953.
Teori ini merupakan teori pertama yang menjelaskan tiga elemen utama seseorang melakukan fraud, yaitu pressure, opportunity, dan
rationalization.
1) Pressure (Tekanan)
Pressure menjadi salah satu alasan bagi para manajemen dan pegawai dalam melakukan fraud. Sesorang melakukan penipuan dan
34
penggelapan uang perusahaan karena adanya tekanan yang datang dalam berbagai bentuk, baik dari keuangan maupun non-keuangan.
Fraud yang sering terjadi biasanya datang dari kebutuhan keuangan
yang mendesak dan tidak dapat diceritakan kepada orang lain (Tuanakotta, 2012). Sedangkan fraud dari bentuk non-keuangan, contohnya seperti kebutuhan hasil laporan yang lebih baik daripada faktanya, frustasi atas pekerjaannya, atau bahkan tantangan untuk mengacaukan sistem juga bisa memotivasi tindakan fraud (Albrecht et al., 2008).
Pressure dapat terjadi dikarenakan adanya target yang tidak
realistik untuk dicapai dari pihak manajemen kepada pegawainya atau pemilik perusahaan kepada manajemen. Berbagai target yang tidak realistik dan deadline dapat memberikan tekanan kepada para pegawai, sehingga mereka cenderung untuk melakukan fraudulent financial statement dengan memberikan hasil laporan keuangan yang di mark up agar sesuai dengan keinginan manajemen atau pemilik perusahaan agar dapat menarik para investor untuk menanamkan saham atau obligasinya (Tuanakotta, 2012).
2) Opportunity (peluang)
Seseorang yang melakukan fraud biasanya mempunyai peluang jika mereka memiliki akses terhadap aset dan informasi yang memungkinkan untuk menyembunyikan aktivitas fraud mereka. Dengan adanya peluang menyebabkan para pelaku
35
kecurangan (fraud) yakin bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan tidak akan terdeteksi (Priantara, 2013). Peluang ini terdiri dari dua komponen, yaitu general information dan technical skill sehingga memungkinkan pelaku untuk memanfaatkan komponen tersebut (Tuanakotta, 2012).
Dalam SAS No. 99 dan SPAP terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya peluang seseorang melakukan tindakan
fraud, diantaranya yaitu adanya kelemahan pengendalian internal,
ketidakefektifan pengawasan manajemen, atau penyalahgunaan posisi, dan kegagalan untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi fraud. Perusahaan yang tidak bisa menerapkan hal-hal diatas akan memiliki banyak celah yang dapat dijadikan sebagai peluang untuk melakukan fraud oleh para pelaku.
3) Rationalization (Rasionalisasi)
Rasionalisasi adalah kondisi dimana setiap perbuatan fraud yang mereka lakukan dianggap sebagai tindakan yang wajar atau justru benar, karena tindakan fraud seperti itu sudah biasa dilakukan oleh pihak manajemen di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Seseorang yang melakukan fraud berdasarkan rasionalisasi tidak akan merasa bersalah, karena menurut mereka hal itu bukanlah suatu pelanggaran. Fraud muncul ketika seseorang mulai membenarkan apa yang mereka lakukan, walaupun menurut hukum itu salah. Seseorang membenarkan kesalahan mereka dengan tujuan agar
36
mereka tetap merasa nyaman dalam melakukan suatu tindakan salah secara terus-menerus (Dorminey, Fleming, Kranacher, & Riley, 2012).
Gambar 2.2 Fraud Triangle
Sumber: Cressey (1953)
b. Fraud Diamond
Fraud Diamond Theory diciptakan oleh Wolf dan Hermanson
pada tahun 2004. Fraud diamond theory merupakan penyempurna dari
fraud triangle theory. Wolfe dan Hermanson (2004) menyatakan
sebagian besar kecurangan tidak akan terjadi tanpa adanya orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan kecurangan. Sehingga elemen keempat yang ditambahkan dari elemen utama seseorang melakukan fraud, yaitu capability (kemampuan).
Capability adalah suatu kemampuan pelaku fraud untuk dapat
mengembangkan strategi yang digunakan untuk melakukan dan menyembunyikan fraud, serta dapat mengamati kondisi sosial untuk
37
memenuhi kepentingan pribadinya (Horwath, 2011). Wolfe dan Hermanson (2004) menjelaskan sifat-sifat yang terkait dengan elemen
competence, yaitu positioning, intelligence, convidence, coercion, deceit, dan stress, sebagai berikut:
1) Positioning
Posisi seseorang dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan fraud. Seseorang dalam posisi otoritas memiliki pengaruh lebih besar atas situasi atau lingkungan tertentu.
2) Intelligence / Creativity
Pelaku fraud memiliki pemahaman yang cukup dan bisa
mengeksploitasi kelemahan pengendalian internal untuk
menggunakan posisi, fungsi, atau akses untuk mendapat keuntungan sebesar mungkin.
3) Convidence / Ego
Orang dengan ego yang kuat dan kepercayaan diri yang besar akan merasa bahwa dirinya tidak akan terdeteksi apabila melakukan fraud, atau orang yang percaya bahwa dirinya dapat dengan mudah keluar dari permasalahan yang terjadi, sehingga bisa memotivasi dirinya dalam melakukan fraud.
4) Coercion
Pelaku fraud dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau menyembunyikan fraud. Seseorang individu dengan
38
kepribadian persuasif bisa lebih berhasil meyakinkan orang lain untuk bisa diajak melakukan fraud bersama atau mengalihkan isu yang sedang terjadi (Abdullahi & Mansor, 2015).
5) Deceit
Penipuan yang sukses membutuhkan kebohongan yang efektif dan konsisten. Dalam melakukan fraud, orang yang tidak jujur akan lebih nyaman dalam melakukan fraud dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Untuk menghindari pendeteksian
fraud, seorang pelaku fraud harus terlihat meyakinkan di mata
auditor, investor, direktur, dan lainnya (Wolfe & Hermanson, 2004)
6) Stress
Stres karena pekerjaan dapat meningkatkan tindakan fraud. Oleh karena itu, setiap pegawai harus bisa mengendalikan dan menjaga stres agar terhindar dari tindakan fraud (Rudewicz & Partner, 2011)
Gambar 2.3 Fraud Diamond
39 c. Fraud Pentagon Theory
Fraud Pentagon Theory merupakan pengembangan dari fraud triangle theory oleh Cressey tahun 1953, kemudian fraud diamond theory oleh Wolfe dan Hermanson tahun 2004. Fraud pentagon theory
dikembangkan oleh Horwath pada tahun 2011, perkembangan teori ini merubah risk factor capability menjadi competence yang memiliki makna dari istilah yang sama dalam fraud diamond theory. Crowe juga menambahkan satu risk factor yaitu arrogance (arogansi). Dua elemen tersebut yaitu:
1) Competence (Kompetensi)
Competence merupakan perluasan dari elemen opportunity
yang meliputi kemampuan individu untuk mengesampingkan pengendalian internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan mengendalikan secara sosial situasi tersebut untuk keuntungan pribadinya (Horwath, 2011).
2) Arrogance (Arogansi)
Arrogance merupakan perilaku superioritas pada pelaku fraud yang mempercayai bahwa kebijakan dan peraturan perusahaan
tidak berlaku untuk dirinya. Arrogance bisa berdampak buruk kepada perusahaan dan seseorang, karena bisa menghancurkan karir atau perusahaan tersebut (Horwath, 2011)
Terdapat lima elemen arrogance dari perspektif CEO, sebagai berikut (Yusof et al, 2015):
40
a) Ego besar, CEO terlihat seperti selebriti daripada seorang pengusaha.
b) Mereka menganggap pengendalian internal tidak berlaku untuk dirinya.
c) Memiliki karakteristik perilaku pengganggu. d) Memiliki kebiasaan memimpin secara otoriter.
e) Memiliki ketakutan akan kehilangan posisi atau status.
Gambar 2.4 Fraud Pentagon
Sumber: Crowe’s fraud pentagon theory (Horwath, 2011)