BAB V PEMBAHASAN
5.2. Pola Frekuensi Makan
5.2.1. Frekuensi Makan Ibu Hamil Hyperemesis Gravidarum I
Hasil penelitian mengenai jenis dan frekuensi makan ibu hamil
hyperemesis gravidarum I dapat dilihat pada tabel 4.7. yang menunjukkan bahwa
untuk jenis bahan makanan pokok yaitu nasi, sebanyak (100%) berada pada frekuensi makan ≥1x1/hari, untuk jenis makanan yang berupa mie hanya
dikonsumsi oleh (50%) dengan frekuensi 1-2x/minggu, jenis bahan makanan singkong hanya (11,1%) dengan frekuensi 3-5x/minggu. Hal ini berarti
responden tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan zat gizi dari sumber bahan makanan pokok atau tenaga. Ketersediaan pangan dengan bahan makanan pokok berupa beras merupakan faktor pendukung yang ada di wilayah Puskesmas Cunda Muara Dua. Tambahan energi selama hamil diperlukan baik bagi komponen fetus maupun perubahan yang terdapat pada dirinya. Kurang lebih 27,000 kkal atau 100 kkal/hari dibutuhkan selama mengandung. National Research Council (1980), menganjurkan pemberian 2000 kkal/hari bagi wanita berumur 25-50 tahun dengan tambahan 300 kkal bagi mereka yang sedang mengandung (Huliana, 2000).
Sedangkan bahan makanan dari jenis lauk pauk, dari data food frekuensi diketahui bahwa sumber bahan makanan jenis lauk pauk yang banyak dikonsumsi oleh responden adalah ikan basah yaitu sebanyak (80,6%) dengan frekuensi makan 3-5x/minggu, untuk ikan asin dikonsumsi oleh (69,4%), udang (88,9%), tahu ada (75%), tempe sebesar (77,8%), telur (58,3%) dan daging ayam dikonsumsi (47,2%) semuanya itu dengan frekuensi makan 1-2 x/minggu. Karena bahan makanan tersebut mudah didapat dan harganya terjangkau.
Untuk bahan makanan jenis sayuran dapat diketahui bahwa ibu hamil yang mengalami hyperemesis gravidarum tingkat I mayoritas mengkonsumsi daun ubi yaitu (86,1%), bayam ada (58,3%), kangkung (52,8%), jenis labu siam ada (50%), buncis dikonsumsi (63,9%) dan kacang panjang dikonsumsi oleh (44,4%) semuanya itu dengan frekuensi 1-2x/minggu, ini disebabkan karena jenis sayuran tersebut banyak terdapat di daerah Muara Cunda dan mudah didapat selain itu banyak mengandung zat besi dan harganya terjangkau.
Jenis bahan makanan berupa buah-buahan, yang paling banyak dikonsums i oleh responden adalah buah pisang sebanyak (75%) dengan frekuensi makan 1-2x/minggu, juga buah jeruk dikonsumsi oleh (63,9%). Ini disebabkan karena buah pisang dan buah jeruk mudah didapat dan harganya terjangkau, sedangkan buah pepaya cukup tersedia dimana saja tetapi dalam penyajiannya membutuhkan waktu lama. Untuk apel dan mangga hanya dikonsumsi sebagian orang saja selain harganya yang lumayan mahal dan membelinya terpaksa harus ke pasar.
Untuk frekuensi makan dengan bahan makanan dari jenis susu dan minuman dapat diketahui bahwa konsumsi untuk jenis minuman susu sebesar (47,2%) dengan frekuensi 1-2x/minggu, sedangkan konsumsi jenis minuman teh manis sebanyak (52,8%) dengan frekuensi 3-5x/minggu. Untuk jenis makanan permen responden juga mengkonsumsinya selain dapat menghilangkan rasa mual juga bisa menambah tenaga karena mengandung gula.
Hasil dari frekuensi pola makan ke 36 ibu hamil yang mengalami hyperemesis
gravidarum tingkat I tersebut, belum sesuai dengan syarat diet yang ditentukan.
Syarat diit yang utama pada hyperemesis gravidarum tingkat ini adalah bahwa makanan cukup energi dan semua zat gizi harus terpenuhi. Pola makan yang baik bagi ibu hamil harus memenuhi sumber karbohidrat, protein dan lemak serta vitamin dan mineral. Makanan selama hamil diharapkan dapat memenuhi kebutuhan zat gizi agat ibu dan janin dalam keadaan sehat (Huliana, 2001). 5.2.2. Pola Makan Ibu Hamil Hyperemesis Gravidarum II
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa pola makan ibu hamil yang mengalami hyperemesis gravidarum tingkat II dalam mengkonsums i
bahan makanan jenis makanan pokok seluruh ibu hamil (100%) mengkonsums i nasi sebagai makanan utama dengan frekuensi ≥ 1x1/hari, sedangkan mie
dikonsumsi (71,4%) dengan frekuensi makan 1-2x/minggu, dan roti tawar serta creakersdengan frekuensi makan 3-5x/minggu.
Untuk bahan makanan jenis lauk-pauk, pola makan dengan frekuensi 3-5x/minggu yang paling banyak adalah mengonsumsi tahu (71,4%), daging ayam (42,9%) dan yang mengkonsumsi tempe ada (85,7%), sedangkan jenis lauk pauk dengan frekuensi 1-2x/minggu adalah ikan basah, ikan asin dan telur.
Bahan makanan untuk jenis sayuran yaitu daun ubi ada (64,3%), bayam (42,9%), sawi (78,6%), labu siam (57,1%), buncis (64,3%), wortel (64,3%) dan kacang panjang (57,1%) jenis sayuran tersebut di konsumsi dengan frekuensi makan 1-2x/minggu, ada juga sebagian responden yang mengkonsumsi jenis
sayuran dengan frekuensi 3-5x/minggu. Pola makan untuk jenis buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi yaitu
pisang sebesar (85,7%), pepaya (71,4%) dan jeruk (57,1%) dengan frekuensi makan 1-2x/minggu.
Sedangkan untuk jenis bahan minuman dikonsumsi paling banyak adalah teh manis dengan frekuensi ≥ 1x1/hari yaitu (64,3%). Dimana teh manis
merupakan minuman rutin setiap hari dan apabila diminum dalam keadaan hangat dapat menghilangkan rasa mual karena rasa manis pada minuman teh.
Menurut Kardjati (1985), seperti yang dikutip oleh Santoso (2004), berdasarkan data Biro Pusat Statistik dan hasil sosio ekonomi sosial menyatakan bahwa beras merupakan bahan makanan utama di Sumatera, Kalimantan, dan
Jawa bagian Barat. Alasan responden memberikan nasi sebagai pilihan utama dikarenakan masih banyaknya responden yang beranggapan bahwa fungsi makanan pokok hanya untuk memberi rasa kenyang. Disamping itu nasi merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh keluarga secara turun-temurun.
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa pola makan ke 14 ibu hamil yang mengalami hyperemesis gravidarum tingkat II tersebut, juga belum sesuai dengan syarat diit yang ditentukan untuk Diit Hyperemesis II. Syarat diit yang utama pada hyperemesis tingkat ini adalah bahwa makanan harus dapat memenuhi kebutuhan gizi. Akan tetapi untuk kebutuhan cairan pada hyperemesis tingkat ini sudah sesuai, dimana selain tidak diminum pada saat makan, juga dukungan oleh keadaan mual dan muntah yang sudah berkurang (Almatsier, 2005).
Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari pada kebutuhan untuk wanita tidak hamil, kegunaan makanan tersebut adalah :
1. Untuk pertumbuhan janin yang ada dalam kandungan 2. Untuk mempertahankan kesehatan dan kekuatan ibu sendiri
3. Agar supaya luka-luka bekas persalinan lekas sembuh dalam nifas 4. Untuk cadangan pada masa laktasi (Suhardjo, 1996).
5.2.3. Pola Makan Ibu Hamil Hyperemesis Gravidarum Tingkat III
Pola makan ibu hamil yang mengalami hyperemesis gravidarum tingkat III yang ditunjukkan pada lampiran 3, dapat diketahui bahwa pola makan tersebut berbeda dengan hyperemesis tingkat I dan II.
Jenis bahan makanan pokok responden yang mengkonsumsi nasi (44,4%) dengan frekuensi ≥ 1x1/hari sedangkan (55,6%) tidak p ernah mengkonsums i nasi, sedangkan responden yang lebih banyak makan roti (77,8%) atau biskuit (88,9%).
Bahan makanan jenis lauk pauk yang dikonsumsi responden yaitu daging ayam (88,9%), telur (77,8%), ikan basah (66,7%), ikan asin (66,7%), tahu dan tempe dengan frekkuensi 1-2x/minggu karena lebih banyak mengandung protein. Sedangkan untuk jenis bahan sayuran seluruh responden memilih bayam, kangkung, sawi, labu siam, wortel dan kacang panjang dengan frekuensi makan 1-2x.minggu.
Jenis bahan makanan buah-buahan seluruhnya memilih pepaya, jeruk dan pisang dengan frekunsi 1-2x/minggu, karena rasanya yang tidak membuat perut mual dan banyak mengandung cairan. Untuk jenis minuman seluruh responden mengkonsumsi teh manis. Tambahan makanan lebih baik dikonsumsi dalam bentuk cairan seperti formula dengan kandungan zat gizinya telah disesuaikan dengan kebutuhan ibu hamil (Huliana, 2001)
Sehubungan dengan ini, karena ibu hamil yang mengalami hyperemesis
gravidarum tingkat III, harus lebih memperhatikan pola makan sehingga tidak
mengakibatkan anemia dan yang perlu diperhatikan adalah konsumsi sayur dan buah, untuk mengimbangi kurangnya nafsu makan akibat kondisi ibu yang sering mual dan muntah. Namun kenyataannya pada ke 9 ibu hamil yang mengalami
hyperemesis gravidarum untuk konsumsi jenis sayur dan buah masih pada
Apabila kebutuhan kalori, protein, vitamin dan mineral yang meningkat ini tidak dapat dipenuhi melalui konsumsi makanan oleh ibu hamil, akan terjadi kekurangan gizi yang dapat berakibat bagi janin yang dikandungnya (Notoatmodjo, 1997).