BAB V HASIL
C. Frekuensi Penyakit Jantung Koroner menurut Karakteristik Individu
1. Jenis Kelamin
Tabel 5.2 menunjukan bahwa proporsi penderita PJK paling besar adalah perempuan. Selain itu, proporsi Laki-laki pada kelompok Non-PJK lebih besar dibandingkan proporsi laki-laki pada kelompok Non-PJK. Berdasarkan penelitian sebelumnya, perempuan lebih berisiko terkena PJK yang disebabkan gaya hidup yang tidak sehat seperti perilaku merokok dan obesitas, selain itu beraktivitas fisik lebih menunjukan manfaat pencegahan terhadap PJK pada laki-laki dibandingkan perempuan (Li & Siegrist, 2012). Hal inilah yang menyebabkan, PJK cenderung lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki (Huxley & Woodward, 2011; Lloyd-Jones et al., 2006).
2. Usia
Berdasarkan karakteristik usia, kelompok PJK memiliki rata-rata usia yang lebih tua (55 tahun) dibandingkan dengan kelompok Non-PJK (39,8 tahun). Penderita PJK cenderung berusia >50 tahun, namun proporsi penderita PJK juga terdapat pada kelompok usia 15-26 tahun dan terus meningkat hingga usia >50 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan pertambahan usia dan berusia lanjut merupakan salah satu faktor risiko yang sangat berpengaruh dalam terjadinya PJK, sehingga sebagian besar penderita PJK merupakan individu yang berusia lanjut atau berusia >50 tahun (Lloyd-Jones et al., 2006). Secara substansial, jantung koroner merupakan penyakit kronis sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk menimbulkan gejala yang diakibatkan kerusakan pada pembuluh darah. Namun, patofisiologi PJK dapat mulai saat individu masih muda dan muncul saat individu berusia lanjut (Naga, 2012).
Sedangkan hasil analisis juga menunjukan penderita PJK yang terdapat pada kelompok usia <50 tahun. Hal ini dapat disebabkan akibat kerusakan pada pembuluh darah atau arterosklerosis terjadi pada usia muda . Individu yang mengalami PJK pada usia muda (15-26 tahun) cenderung mengalami kadar kolesterol darah yang abnormal, resistensi insulin dan obesitas. Meskipun demikian, penyakit jantung bawaan (kongenital) juga dapat menyebabkan terjadinya PJK pada individu yang berusia muda (Erged et al., 2005).
3. Status dan Durasi Merokok
Status merokok pada penelitian ini berdasarkan perilaku merokok individu saat wawancara yang dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu merokok, pernah merokok dan tidak merokok. Proporsi kategori merokok yang lebih besar pada kelompok Non-PJK dibandingkan pada kelompok PJK. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar individu yang termasuk dalam kategori merokok, baru merokok selama satu tahun dan masih berusia <50 tahun sehingga belum berisiko terhadap PJK. Menurut penelitian sebelumnya individu yang berusia <50 tahun memiliki risiko PJK yang lebih kecil sehingga tidak memiliki riwayat PJK (Glynn & Rosner, 2005).
Meskipun demikian proporsi individu dengan status pernah merokok lebih besar pada kelompok PJK dibandingkan pada kelompok Non-PJK. Hal ini menunjukan bahwa individu yang sudah berhenti merokok lebih banyak ditemukan pada kelompok penderita PJK dibandingkan pada kelompok penderita Non-PJK.
Selain itu, terdapat perbedaan rata-rata durasi merokok pada kelompok PJK dan Non-PJK, penderita PJK merokok lebih lama dibandingkan kelompok Non-PJK. Hal ini dikarenakan patofisiologi PJK yang merupakan penyakit kronis memerlukan waktu dan paparan faktor risiko dari merokok yang lama untuk menimbulkan gejala. Oleh karena itu, PJK pada umumnya terjadi pada individu yang sudah merokok dalam
waktu yang cukup lama serta sudah berusia lanjut (Glynn & Rosner, 2005; Naga, 2012).
4. Indeks Masa Tubuh
Hasil analisis pada tabel 5.2 menunjukan penderita PJK lebih cenderung memiliki indeks masa tubuh (IMT) lebih dan obesitas dibandingkan dengan kelompok Non-PJK. Proporsi IMT lebih dan obesitas pada kelompok PJK hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan pada kelompok Non-PJK. Obesitas merupakan faktor risiko yang meningkatkan risiko PJK secara signifikan (Li et al., 2006; Lloyd-Jones et al., 2006). Hal ini disebabkan karena obesitas pada individu memicu mekanisme peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol serta resistensi insulin yang meningkatkan risiko terhadap PJK (WHO, 2011; Villareal et al., 2006).
5. Riwayat Penyakit Penyerta Jantung Koroner
Sedangkan menurut variabel penyakit penyerta jantung koroner, individu yang mengalami Hipertensi, Diabetes Mellitus (DM) dan Stroke lebih banyak ditemukan pada kelompok PJK dibandingkan pada kelompok Non-PJK. Kondisi tekanan darah tinggi atau hipertensi menyebabkan aliran darah lebih cepat sehingga dapat merusak dinding pembuluh darah dan menghasilkan penumpukan klot pembuluh darah. Pada akhirnya kondisi ini dapat menimbulkan penyumbatan aliran darah ke jantung sehingga menyebabkan gejala iskemik pada PJK. (Naga, 2012; WHO, 2011).
Penyakit DM merupakan sindrom metabolik yang disebabkan peningkatan gula darah (hiperglikemia) yang dapat meningkatkan risiko PJK secara signifikan. Kondisi hiperglikemia meningkatkan risiko PJK melalui beberapa mekanisme, diantaranya peningkatan tekanan oksidatif, aktivasi protein kinase yang menyebabkan inflamasi dan thrombosis dalam pembuluh darah. Kondisi inflamasi dalam pembuluh darah dapat menyebabkan penumpukan klot darah yang akhirnya menyebabkan penyumbatan pembuluh darah jantung dan infark miokard (Glynn & Rosner, 2005; Huxley et al., 2006; Davidson & Parkin, 2009; Naga, 2012).
Pada penderita Stroke terdapat kondisi patofisiologis seperti aterosklerosis dan tingginya kolesterol dalam darah yang juga dapat menyebabkan terjadinya PJK. Tingginya kolesterol dalam darah berisiko menyumbat aliran darah dan mengakibatkan arterosklerosis, sehingga dapat menyebabkan kejadian PJK (Mattace-Raso et al., 2006; WHO, 2011).
D. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner
Hasil analisis menunjukan efek proteksi (OR<1) tingkat aktivitas fisik sedang (OR 0.376, 95% CI 0.316-0.447) dan tinggi (OR 0.394, 95% CI 0.361-0.429) terhadap kejadian PJK. Aktivitas fisik secara substansial dapat menurunkan risiko PJK karena dengan beraktivitas fisik secara rutin dapat membantu dalam mengendalikan risiko PJK yang disebabkan hipertensi, tingginya kadar gula darah dan kolesterol serta Obesitas (Sofi et al., 2007).
Individu yang beraktivitas fisik sedang memiliki risiko 62% lebih rendah terkena PJK sedangkan pada individu yang beraktivitas fisik tinggi memiliki risiko 60% lebih rendah terkena PJK. Maka hasil analisis ini menunjukan risiko PJK lebih rendah pada tingkat aktivitas fisik sedang dibandingkan tingkat aktivitas fisik tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan penurunan risiko PJK paling rendah pada individu dengan aktivitas fisik sedang serta ditemukan peningkatan angka kejadian PJK yang lebih banyak pada kelompok individu yang beraktivitas fisik rendah dan tinggi (Reddigan et al., 2011; Carnethon, 2009).
Secara substansial aktivitas fisik sedang menunjukan penurunan risiko yang lebih kuat. Hal ini disebabkan aktivitas fisik yang dilakukan terlalu sering dapat menyebabkan inflamasi dalam pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan risiko thrombosis dan iskemik akut yang merupakan pemicu patofisiologis dari PJK. Selain itu, studi klinis menunjukan aktivitas fisik yang berlebihan memicu tubuh menghasilkan radikal bebas lebih banyak dibandingkan aktivitas fisik sedang, sehingga aktivitas fisik sedang lebih baik dalam meningkatkan fungsi pembuluh darah dalam pencegahan PJK Selain itu, aktivitas fisik sedang cenderung memberikan manfaat pada individu meskipun individu tersebut memiliki faktor risiko terhadap PJK (Sofi et al., 2007; Ignarro et al., 2007).
Aktivitas fisik sedang didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan energi dalam menggerakan tubuh dengan otot rangka. Aktivitas fisik dengan intensitas sedang dapat dicapai dengan skor MET kecukupan aktivitas fisik
minimum (600 MET) dengan jumlah aktif beraktivitas fisik selama lima >5 hari/minggu (WHO, 2011). Kecukupan aktivitas fisik sedang yang dapat memberikan manfaat dalam pencegahan PJK dapat dicapai dengan melakukan berbagai kegiatan diantaranya; berjalan, jogging, menggunakan tangga, bersepeda, berenang, berkebun ataupun mengerjakan pekerjaan rumah (Ignarro et al., 2007; CDC, 2015; WHO, 2011). Menurut intensitasnya, kegiatan tersebut memiliki skor 3-6 MET atau setara dengan 3,5-7 kcal/min. Maka diperlukan waktu sekitar 150 menit/minggu atau setara dengan jumlah hari 5-7 hari/minggu dengan lama waktu 20-30 menit/hari untuk mencapai tingkat aktivitas fisik sedang (WHO, 2011; CDC, 2015).
E. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner