• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungal ball (Misetoma)

Dalam dokumen TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION (Halaman 40-49)

2.5 Rinosinusitis Jamur

2.5.1 Rinosinusitis ekstramukosa jamur (non invasif)

2.5.1.2 Fungal ball (Misetoma)

Fungal Ball atau misetoma adalah merupakan kumpulan hifa jamur yang

berbentuk seperti bola atau massa tanpa disertai adanya invasi jamur ke jaringan dan reaksi granulomatosa. Mackenzie pada tahun 1893 adalah yang pertama kali

mengumumkan kasus infeksi sinus yang disebabkan oleh fungal ball. Fungal ball ini biasanya mengenai satu sisi sinus. Sinus maksila adalah lokasi yang paling sering menjadi tempat infeksi jamur tipe ini. (Adelson, Marple, 2006)

Manifestasi klinis

Gejala klinik awal fungal ball umumnya tidak khas. Gejalanya mirip dengan rinosinusitis kronik yang hanya mengenai satu sinus. Fungal ball biasanya tanpa gejala sehingga sulit terdeteksi. Fungal ball ini dapat terjadi pada keseluruhan sinus paranasal dan sinus maksila adalah yang paling sering. Rentang umur penderita dengan fungal ball adalah 18 - 86 tahun dengan umur rata-rata 59,5 tahun. Sering di temukan pada wanita dengan rasio 2:1. Gejala yang tampak dapat berupa gangguan penglihatan, kakosmia, demam, batuk, hidung tersumbat, sekret hidung dan kadang – kadang disertai nyeri pada wajah dan sakit kepala. Edema wajah unilateral yang disertai nyeri pipi pada perabaan, atau kelainan pada mata dapat terlihat pada pemeriksaan. Pada nasoendoskopi menunjukkan adanya sinusitis minimal yang disertai dengan mukosa eritem, edema , disertai ada atau tidak adanya polip dan sekret mukopurulen. (DeShazo, 1997; Dhong, Lanza, 2001)

Pemeriksaan radiologi

Meskipun gambaran fungal ball tidak khas, pada radiografi polos menunjukkan

penebalan mukoperiosteal disertai opasifikasi sinus yang homogen. CT scan adalah pemeriksaan radiologi paling baik, secara khas dapat menunjukkan batas tipis antara jaringan lunak sepanjang dinding tulang sinus yang terlibat dimana hampir keseluruhannya teropasifikasi. Tampak beberapa fokus hiperdens jelas dapat terlihat dengan ukuran yang bervariasi. Jaringan tulang sekitarnya tampak menebal karena respon peradangan dan efek tekanan karena proses penyakit yang kronis. (Dhong, Lanza, 2001)

Histopatologi

Secara makroskopis lesi pada fungal ball dapat berbentuk mulai dari debris halus yang basah, berpasir atau bergumpal. Warna yang bervariasi dari putih kekuningan, kehijauan, coklat hingga hitam. Diagnosis fungal ball ditegakkan secara mikroskopis dengan tidak adanya infiltrasi sel radang yang nyata dan banyaknya kumpulan hifa jamur. Mukosa di sekitarnya menunjukkan adanya peradangan yang kronis dengan sel plasma ringan hingga menengah dan infiltrasi sel limfosit. Neutrofil dan eosinofil dapat dijumpai dan kadang – kadang dapat di jumpai kristal oksalat. (Dhong , Lanza, 2001)

Mikrobiologi

Ferreiro et al melaporkan bahwa 17 dari 22 kultur yang dikirim ke laboratorium untuk mikologi ternyata negatif. Organisme yang sering dijumpai pada kultur adalah Aspergilus fumigatus atau Aspergilus flavus. Pseudallescheria boydii pernah dilaporkan pada kasus fungal ball. (Dhong , Lanza, 2001)

Pengobatan

Penanganan utama fungal ball adalah memperbaiki ventilasi sinus yang diduga terinfeksi . Drainase sinus yang adekuat dan pengembalian fungsi bersihan mukosilia dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Perlu dilakukan pelebaran atau pembukaan ostium sinus secara endoskopik agar dapat mengembalikan fungsi sinus secara normal. Apabila sulit untuk melakukan ekstraksi fungal ball secara utuh melalui ostium, maka dapat dilakukan insisi eksterna pada ginggivobukal (Luc Operation). Irigasi sinus tekanan rendah dapat dilakukan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi melalui struktur vital penting disekelilingnya. Pembersihan antrum bukan merupakan terapi yang adekuat untuk fungal ball karena metode ini tidak mampu membersihkan keseluruhan debris jamur dan menjamin ventilasi sinus secara adekuat. Ostium sinus harus cukup lebar untuk

memungkinkan pengangkatan keseluruhan elemen jamur dan memudahkan perawatan setelah operasi.(Dhong , Lanza, 2001)

Terapi medis diperlukan untuk mengurangi edema mukosa, termasuk pemberian mukolitik (guaifenesin), irigasi hidung dan steroid. penggunaan antibiotik diberikan berdasarkan kultur. Hal ini dimaksudkan untuk mengobati infeksi bakteri yang sering timbul bersamaan dengan fungal ball. Terapi medis awal preoperatif dapat diberikan untuk mengurangi edema pada rongga sinus dan memudahkan pengangkatan fungal ball pada saat pembedahan. (Dhong , Lanza, 2001)

Patogenesis dan patogenesitas

Meskipun mekanisme terbentuknya fungall ball belum dapat diketahui secara

pasti, secara teori hal ini dapat timbul pada saat spora jamur terhirup, spora tersebut masuk kedalam rongga sinus dan menjadi antigen yang dapat menyebabkan iritasi dan proses inflamasi mukosa sinus sehingga pada akhirnya terjadi obstruksi ostium sinus. Oleh karena sinus merupakan rongga lembab yang cocok untuk perkembangan jamur maka terjadi pengumpulan hifa jamur yang berbentuk seperti bola. Fungal ball di Eropa berhubungan erat dengan penyakit akar gigi. Oksida seng dapat dijumpai pada gigi yang yang menonjol pada sinus maksila dan diketahui zat tersebut dapat menghambat tumbuhnya bakteri sehingga dapat menstimulasi tumbuhnya jamur secara in vitro.

Fungal ball ini dapat berkembang menjadi bentuk invasif apabila terdapat penurunan

status imun penderita. (Dhong , Lanza, 2001) 2.5.1.3 Rinosinusitis jamur alergik

Rinosinusitis jamur alergik ini merupakan keadaan kronik yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi : (1) Adanya Jamur pada mucin alergik yang dapat diperiksa secara mikologi atau histopatologi, (2) tidak adanya invasi jaringan subepitel oleh jamur yang

dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi (3) dijumpai alergi yang diperantarai IgE terhadap jamur tertentu atau family-nya. (Ponikau, sherris, 1998,Dhong , Lanza, 2001) Sejarah

Miller et al pada 1981 yang pertama kali mengumumkan adanya hubungan antara

Aspergilosis alergik sinus dan Aspergilosis bronkopulmoner alergik (APBA). Miller et al melaporkan 5 penderita dengan sinusitis kronik yang disebabkan oleh Aspergilus fumigatus. Materi biopsi yang didapatkan dari sinus pasien tersebut mempunyai persamaan dengan sputum yang didapat dari pasien APBA. Keseluruhan reaksi kulit pasien tersebut bereaksi terhadap Aspergilus. Katzentein dan rekannya, 2 tahun kemudian, mengusulkan teori baru yang mereka sebut “Allergic Aspergillus sinusitis”. Waxman et al, 1987, melaporkan 8 kondisi tambahan pasien dengan bukti klinis dan histologik adanya sinusitis aspergilus alergik. Meskipun pada awalnya kultur jamur negatif, aspergilus sp diyakini menjadi mikroorganisme penyebab pada pemeriksaan histologi. Sejak penelitian menemukan bahwa sinusitis alergi jamur tidak hanya disebabkan oleh aspergilus sp, jamur lain seperti Alternaria, Exserohilum, Culvaria, Drehslera, dan Bipolaris, telah dilaporkan menjadi penyebab sinusitis jamur alergik. Oleh karena itu, istilah ‘sinusitis jamur alergik’ sekarang lebih umum digunakan dari pada ‘sinusitis Aspergilus alergik’. (Dhong , Lanza, 2001)

Kontroversi pada patogenesis.

Beberapa ahli mengatakan bahwa sinusitis alergi jamur adalah suatu keadaan yang diperantarai oleh alergi, sedangkan ahli yang lain berpendapat keadaan ini merupakan suatu infeksi dan sebagian ahli berperinsip bahwa keadaan ini merupakan gabungan dari keduanya. (Marple, 2006; Dhong , Lanza, 2001)

Secara teori, sinusitis alergi jamur timbul setelah terhirup dan terperangkapnya spora jamur yang memungkinkan antigen jamur tersebut bereaksi dengan sel mast yang telah disensitisasi IgE. Reaksi imunologik yang terjadi selanjutnya menyebabkan inflamasi yang kronik dan diikuti dengan destruksi jaringan. Terjadinya penumpukan eosinofil dan terperangkapnya hifa jamur pada sekret memungkinkan terjadinya stimulasi antigen secara terus menerus. Pada saat terjadinya degenerasi eosinofil, granul enzimatik yang kaya akan major basic protein pun dilepaskan. Major basic protein adalah suatu mediator peradangan yang toksik terhadap jaringan dan biasanya sering dijumpai pada penyakit kronis. (Dhong , Lanza, 2001)

Ponikau et al menggunakan kultur jaringan pada pemeriksaan mikologi dan pemeriksaan histopatologi untuk mengidentifikasi jamur dari sinus dan hidung. Diyakini bahwa pemeriksaan alergi tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis alergi jamur. Dalam penelitian tersebut hampir seluruh sampel pemeriksaan yang berasal dari penderita rinosinusitis kronis positif adanya jamur pada pemeriksaan kultur, sehingga seluruh penderita dikatakan sebagai “rinosinusitis jamur eosinofilik”. Dalam percobaan tersebut digunakan mikroskop elektron untuk memeriksa adanya eosinofil yang terdapat pada lumen sinus yang terinfeksi jamur dan dapat dikatakan bahwa sekret eosinofilik merupakan suatu respon tubuh terhadap infeksi jamur. ( Ponikau, 1998; Dhong , Lanza, 2001)

Manifestasi klinis.

Diagnosis sinusitis alergi jamur harus dicurigai pada penderita rinosinusitis kronis yang tidak sembuh dengan terapi medikamentosa khususnya pada pasien dengan riwayat polip nasi berulang dan telah dilakukan beberapa kali pembedahan sebelumnya. Gambaran klinis sinusitis alergi jamur dapat mulai dari gejala alergi ringan, polip dan

mucin alergi yang disertai adanya hifa hingga penyakit masif yang dapat meluas ke arah intrakranial dan orbita yang disertai komplikasinya. (Dhong , Lanza, 2001; Singh, Bhalodiya 2005)

Pada pemeriksaan fisik biasanya sinusitis alergi jamur ini sama seperti rinosinusitis kronis, yaitu mukosa sinus yang edema, eritema dan polipoid dan kadang-kadang dapat disertai adanya polip. Pemeriksaan endoskopi pada rongga sinus dapat terlihat sekret mucin alergi. Secara makroskopis mucin alergi tersebut berupa sekret yang tebal, berwarna coklat ke emasan dengan konsistensi lunak. (Dhong , Lanza, 2001; Singh, Bhalodiya 2005)

Evaluasi alergi imunologi.

Penderita sinusitis alergi jamur dapat mempunyai kriteria sebagai berikut, (1) Adanya peningkatan eosinofil pada darah tepi, (2) Adanya reaksi test kulit yang positif terhadap jamur penyebab, (3) peningkatan kadar serum IgE total, (4) adanya antibodi pencetus pada allergen penyebab, dan (5) peningkatan IgE spesifik jamur. Manning et al merekomendasikan pemeriksaan RAST sebagai test klinik rutin untuk mendiagnosis sinusitis alergi jamur. (Dhong, Lanza, 2001)

Pemeriksaan radiologi.

Foto polos sinus paranasal akan menunjukan opasifitas pada beberapa atau seluruh sinus paranasal yang terlibat. CT scan merupakan metode pencitraan yang terpilih untuk keadaan ini. (Dhong, Lanza, 2001; Marple, 2006)

Histopatologi.

Secara histologi kondisi ini ditandai dengan adanya hifa jamur pada sekret dengan disertai eosinofil yang sangat banyak dan adanya kristal Charcot-Leyden. Sekret tersebut adalah merupakan “allergic mucin”. Allergic mucin ini dikarakteristikan dengan

kumpulan eosinofil yang nekrotik dan debris seluler lainnya, granul eosinofil bebas dengan latar belakang pucat, dan sekret eosinofilik hingga basofilik yang amorf. Keadaan ini dibedakan dari sekret inflamasi non alergi yang banyak netrofil. Allergic mucin diidentifikasi dengan pewarnaan standar hematoksilin-eosin. Kristal Charcot Leyden ini dapat dilihat dengan pewarnaan hematoksilin-eosin atau Brown&Brenn. (Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001)

Mikrobiologi.

Spesies Aspergilus dan Dematiaceous merupakan organisme penyebab terbanyak. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa famili Dematiaceous (pigmen gelap) merupakan organisme terbanyak dibandingkan Aspergilus. Famili Dematiaceous merupakan jamur yang paling banyak dijumpai di tanah, debu dan berbagai tumbuhan, termasuk Bipolaris, Curvularia, Alternaria, Exserohilum dan Drechslera. Jamur

Dematiaceous mengandung melanin pada dinding selnya sehingga dapat menghasilkan

warna gelap pada jaringan dan kultur. Hal ini yang membedakannya dari Aspergilus. (Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001)

Terapi.

Penanganan terbaik yang disertai resolusi sempurna pada sinusitis alergi jamur belum diketahui secara pasti. Tetapi para ahli berpendapat bahwa penatalaksanaan sinusitis alergi jamur terbaik adalah dengan kombinasi medikamentosa dengan pembedahan. Diagnosis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan alergi dan serologi. (Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001)

Drainase sinus yang baik serta perbaikan fungsi ventilasi merupakan terapi utama. Tindakan bedah saja tidaklah cukup untuk mengatasi keadaan ini. Pembedahan diyakini dapat menurunkan jumlah antigen jamur dan secara teori dapat menurunkan

stimulus yang menyebabkan gejala alergi fase cepat dan lambat dan dapat menurunkan kemotaksis eosinofil ke lumen sinus. Pembedahan juga dapat menyebabkan kembali normalnya bersihan mukosiliar. Pendekatan bedah harus dikerjakan dengan menggunakan tehnik bedah sinus endoskopi. (Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001)

Terapi medikamentosa termasuk pemberian antibiotik yang berdasarkan kultur, antihitamin, steroid sistemik, imunoterapi dan anti jamur. Karena proses inflamasi berhubungan dengan manifestasi klinis, terapi multimodalitas diperlukan untuk jangka panjang. Bakteri dapat terlibat secara langsung sebagai pencetus timbulnya sinusitis alergi jamur dengan mempengaruhi frekuensi gerakan silia. Data in vitro menunjukan Stafilokokus aureus, Hemofilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi gerakan silia. (Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001)

Irigasi hidung juga diyakini dapat menurunkan stasis mukous dan menurunkan konsentrasi bakteri dan jamur. Topikal steroid intranasal tidak efektif bila digunakan sendiri tetapi dapat memberikan efek pencegahan jangka panjang setelah pemberian steroid sistemik. Perlu diingat bahwa pemberian steroid yang tidak rasional pada sinusitis alergi jamur dapat menyebabkan penyakit yang berulang. (Dhong, Lanza, 2001) Patogenisitas.

Karena secara histologi pada pemeriksaan sekret alergi yang mengandung jamur hampir identik dengan yang di temukan pada paru, patogenesis sinusitis alergi jamur diyakini hampir menyerupai Aspergilosis bronkopulmoner alergi. Sinusitis alergi jamur yang tidak diterapi secara adekuat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi serius sehingga dapat mengakibatkan erosi tulang dan deformitas wajah, komplikasi orbita dan perluasan intrakranial. Apabila penyakit meluas ke orbita, lemahnya otot ekstraokuler

juga sering dijumpai sedangkan keterlibatan n. optikus dan invasi sistem saraf pusat jarang dijumpai. Hal ini menggambarkan bahwa rongga orbita terlibat secara langsung pada perluasan infeksi. (Dhong, Lanza, 2001)

Dalam dokumen TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION (Halaman 40-49)

Dokumen terkait