• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rinosinusitis jamur invasif akut (fulminan)

Dalam dokumen TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION (Halaman 52-57)

2.5 Rinosinusitis Jamur

2.5.2 Rinosinusitis jamur invasif

2.5.2.2 Rinosinusitis jamur invasif akut (fulminan)

Rinosinusitis jamur invasif ini perjalanan penyakitnya sangat cepat, infeksi jamur tipe ini banyak ditemukan pada individu dengan sistem imun yang menurun, seperti pada pasien yang mendapatkan transplantasi organ, diabetes melitus dan pasien yang sedang dilakukan kemoterapi. Perjalanan penyakitnya hanya memerlukan waktu beberapa hari atau bulan saja. (Marks, 2000; Dhong, Lanza 2001)

Mucorales (Mucor, Rhizopus, Absidia) adalah merupakan jamur yang sering ditemukan pada penderita diabetes melitus, sedangkan Aspergilus sp, sering ditemukan pada pasien non-diabetes dengan penurunan sistem imun (imunokompromis). Karena rendahnya imunitas tubuh penderita, dan sifat jamur yang angioinvasif, perjalanan klinis biasanya sangat cepat meluas dan dapat menghancurkan sinus yang terlibat kemudian dapat meluas ke daerah sekitarnya seperti orbita, sinus kavernosus, parenkim otak sehingga dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam apabila tidak dikenali dan dilakukan penanganan secara cepat (Thanaviratananich, fooanant, 1997)

Gambaran klinis

Secara umum infeksi jamur tipe ini sering terdapat pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol, individu yang menerima transplantasi organ, dan pada penderita yang sedang mendapatkan kemoterapi. Pada penderita dengan penurunan daya tahan tubuh dengan gejala dan tanda rinosinusitis harus kita curigai dengan infeksi jamur tipe ini. Gejala klinisnya diawali dengan demam yang tidak respon dengan pemberian antibiotik, adanya keluhan pembengkakan pada wajah dan orbita, nyeri atau kebas pada wajah yang disetai kerusakan saraf kranial unilateral atau perubahan penglihatan akut dengan gangguan pergerakan mata dan penurunan tajam penglihatan (Dhong , Lanza, 2001)

Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema di daerah muka atau periorbita disertai eritema, kemosis, proptosis, dan oftalmoplegia. Adanya gejala tersebut yang disertai penurunan tajam penglihatan menandakan telah terjadi keterlibatan orbita yang progresif. Pada pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan eschar pada ginggiva dan palatum. Pemeriksaan endoskopik dapat ditemukan edema mukosa hidung yang disertai sekret purulen, tetapi umunya secara khas rongga hidung tampak kering disertai krusta darah. Adanya eschar pada rongga hidung, merupakan tanda patognomonik dari rinosinusitis jamur invasif akut. (Dhong , Lanza, 2001)

Pemeriksaan radiologi

CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan segera, diperlukan untuk mengetahui apakah sudah terjadi erosi tulang dan keterlibatan jaringan lunak. Pemeriksaan radiologi sinus konvensional tidak dapat digunakan karena tidak spesifik. Pada CT scan tampak penebalan jaringan yang berbentuk nodular pada mukosa sinus dan disertai adanya destruksi dinding sinus. Perluasan ke arah orbita dapat terjadi langsung melewati lapisan tipis lamina papirasea atau melewati pembuluh darah etmoid. Destruksi tulang jarang ditemukan pada awal infeksi dan dapat ditemukan apabila telah terjadi nekrosis jaringan lunak. (Dhong , Lanza, 2001)

Penggunaan MRI digunakan untuk mengetahui apakah sudah terjadi keterlibatan mata, khususnya untuk mengevaluasi keadaan orbita, sinus kavernosus, dan otak. Temuan utama pada pemeriksaan dengan MRI termasuk keterlibatan bagian dasar hemisfer otak, batang otak, dan daerah hipotalamus. (Dhong , Lanza, 2001)

Patologi

Pada pemeriksaan mikroskopi dari jaringan yang dicurigai dengan mengunakan 2 atau 3 tetes larutan KOH 10% atau 20% dapat melihat adanya jamur dalam beberapa

menit setelah dilakukan prosedur biopsi. Apabila ada infeksi disebabkan jamur golongan

Mucor maka pada pemeriksaan histopatologi didapati bentuk hifa yang besar, tidak

beraturan, tidak bersepta dan bercabang dengan arah sudut kekanan. Sedangkan apabila pada Aspergilus, dapat dicurigai apabila di temukan hifa dengan ukuran yang lebih kecil yaitu 2.5 sampai 5µm dibandingkan dengan ukuran hifa pada Mucor yang berukuran 6 sampai 50 µm. Bentuk lainnya yang dapat membedakan jenis jamur tersebut yaitu pada Aspergilus di temukan bentuk hifa yang bersepta dan beraturan , dan pada bagian cabangnya membentuk sudut 45 0. Temuan tersebut dapat di identifikasi dengan pewarnaan hematoxylin – Eosin dan dapat lebih mudah dikenali dengan pewarnaan khusus, seperti periodic acid-Schiff (PAS) dan pewarnaan methenamine silver. (Dhong , Lanza, 2001)

Mikrobiologi

Mucor sp dan Aspergilus sp adalah merupakan organsime yang sering ditemukan pada infeksi jamur tipe ini, tetapi beberapa jenis jamur lainnya juga dapat menyebabkan infeksi yang berhubungan dengan rinosinusitis jamur akut, seperti Pseudallescheria

boydii. (Dhong , Lanza, 2001)

Pengobatan

Terapi yang optimal termasuk (1) melakukan penatalaksanaan penyakit metabolik atau imunologik yang mendasari (2) penggunaan anti jamur sistemis yang tepat (3) pembedahan dengan debrideman luas pada keseluruhan daerah yang terinfeksi, temasuk daerah mulut ,hidung, sinus paranasal, dan jaringan orbita (4) mempertahankan drainase daerah hidung, sinus paranasal dan orbita yang adekuat (5) secara terus menerus memonitor agar tidak terjadi kekembuhan (DhongLanza,2001) .

Penatalaksanaan medis pada penyakit yang mendasarinnya adalah merupakan faktor paling penting dalam meningkatkan survival rate. (DhongLanza,2001).

Terapi anti jamur

Amfoterisin masih merupakan obat pilihan untuk terapi sistemis pada hampir kebanyakan rinosinusitis jamur akut, walaupun masalah toksisitas obat ini tinggi, oleh kerena itu perlu dilakukan pemantauan yang baik. Pemberian Amfoterisin B dapat menyebabkan efek samping yang akut seperti, demam, mengigil, sakit kepala, tromboflebitis, mual, dan muntah. Walupun obat ini tidak dieksresikan langsung oleh ginjal, obat ini sangat nefrotoksik dan dapat menyebabkan ( biasanya reversibel) asidosis tubuler. Reaksi lanjutannya adalah termasuk hipokalemia, nefrotoksik, penekanan sum-sum tulang, dan ototoksik. Toksisitas Amfoterisin B ini sangat perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan metabolik. Apabila serum kreatinin menjadi lebih dari 3.0 mg/dl, pemberian obat ini ditunda sampai fungsi ginjal kembali stabil. Dosis total yang optimum dan durasi dengan menggunakan amfoterisin ini masih belum jelas, secara umum digunakan dosis tes 1 mg dalam dextrosa 5 % pada hari pertama terapi, kemudian dilakukan peningkatan dosis 5 mg sampai tercapai dosis 1 mg /kg berat badan. Pada pasien dengan infeksi yang lebih berat dapat diberikan dosis tes 1 mg yang diberikan dalam beberapa jam kemudian diikuti dosis ulangan tiap 12 jam yaitu 10 sampai 15 mg sampai tercapai dosis 0,7 sampai 1 mg / kg berat badan. (Dhong , Lanza, 2001)

Pembedahan

Sebelum dilakukan tindakan bedah, ahli THT harus mempertimbangkan prognosa pasien secara keseluruhan, termasuk penyakit yang mendasarinya. Perluasan eksisi bedah harus dipertimbangkan dengan perluasan infeksi. Secara umum dikatakan, bahwa debrideman semua daerah yang terinfeksi dan perbaikan fungsi adalah merupakan tujuan

utama pembedahan. Debrideman setelah operasi dan pemantauan pasien sangat penting dan perlu dilakukan biopsi ulang pada dareah operasi. Terapi medis terus diberikan sampai diyakini infeksi telah teratasi dan keadaan status imun penderita telah stabil. CT scan ulang diperlukan untuk memastikan tidak ada lagi perkembangan penyakit. Setelah pembedahan, irigasi pada rongga hidung dapat dilakukan untuk mencegah adanya krusta dan invasi jamur. Amfoterisin B ( 50 mg / liter air) irigasi ( 20 ml, empat kali sehari ) dapat diberikan melalui selang kateter pada sinus yang terinfeksi. Debrideman ulang dilakukan, apabila terdapat krusta yang menetap atau terjadi kekambuhan. (Dhong , Lanza, 2001).

BAB 3

Dalam dokumen TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION (Halaman 52-57)

Dokumen terkait