• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Partisipasi dalam Pembangunan

BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN

2.2 Fungsi Partisipasi dalam Pembangunan

Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat,

tanpa melibatkan masyarakat program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisipasi umum dibanyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep manceter development yaitu pembangunan

yang diarahkan demi perbaikan nasib manusia Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang partisipatoris tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan kesejahteraan masyarakat (secara material), akan tetapi harus mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif. Karena itu setiap hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam berbicara, serta mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi, di dalam partisipasi masyarakat, maka masyarakat menjadi ujung tombak dalam pembangunan sedangkan pemerintah berfungsi dibidang pengaturan dan pembinaan, fungsi pengaturan pada dasarnya dimaksudkan untuk menjamin agar hak-hak masyarakat dan aparat dapat diaktualisasikan sesuai dengan tata nilai, norma dan ketentuan legal yang berlaku dengan adil dan sebaik-baiknya. Sedangkan fungsi binaan yang dilaksanakan oleh pemerintah menjadi menfasilitasi yang memungkinkan masyarakat dan aparat untuk mengembangkan dan memberdayakan diri sebaik-baiknya.

Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrument hukum berupa undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, secara substansif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrument yang sangat penting dalam system pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapatkan aspirasi masyarakat, dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.

2.3 Konsep Partisipasi Masyarakat

Dari berbagai kajian dan tafsiran mengenai partisipasi oleh Koentjaningrat (1994) membuat suatu rangkuman mengenai konsep partisipasi tersebut yaitu:

a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa mengikut sertakan dalam pengambilan keputusan.

b. Partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkat kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.

c. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.

d. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, monitoring proyek supaya

memperoleh informasi mengenai kontek sosial dan dampak - dampak sosial.

e. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri.

f. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Sehingga dengan demikian berbagai pandangan dan tafsiran mengenai konsep partisipasi secara umum kita dapat melihat bahwa partisipasi (masyarakat) diartikan adalah sebagai keikutsertaan, peran serta atau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaan lahiriahnya saja, padahal partisipasi masyarakat hendaknya melibatkan emosional dan perasaan jiwa yang dapat melahirkan ketulusan dan kejujuran dalam pelaksanaanya secara terbuka dan musyawarah.

2.4 Pendekatan Partisipasi Masyarakat

Dalam partisipasi masyarakat perlu diadakan pendekatan-pendekatan seperti yang disebutkan Mikkelsen (2006) menyebutkan secara garis besar ada 2 hal dalam pendekatan partisipasi yaitu:

1. Partisipasi datang dari masyarakat sendiri, merupakan tujuan dari proses demokrasi, namun demikian sedikit saja masyarakat yang mau melakukan pendekatan sukarela dalam kegiatan pembangunan.

2. Partisipasi dengan motivasi yang positif yang bersifat memaksa. Dengan pendekatan ini masyarakat dipaksa untuk berpartisipasi dalam

pembangunan dengan motivasi agar dapat melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan secara lebih baik. Selanjutnya disebutkan bahwa partisipasi dapat dilaksanakan dengan tingkat paksaan dan sukarela yang berbeda-beda serta tingkat keaktivan masyarakat yang berbeda-beda pula, namun demikian guna mencapai keberhasilan pembangunan partisipasi aktif dan sukarela hal yang harus diupayakan.

Club Du Sahel (1988) mendeskripsikan pendekatan-pendekatan dalam pelaksanaan partisipasi sebagaimana dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pendekatan Partisipasi No Jenis pola Pendekatan Keterangan

Partisipasi

1. Partisipasi Pendekatan Komunikasi satu arah seperti pasif, tanpa guru dan murid yang diterap- pendekatan pelatihan kan antara staf proyek dan

dan informasi masyarakat

2. Partisipasi Pendekatan Dialog dan komunikasi dua aktif, pelatihan dan arah memberikan kepada

kunjungan masyarakat kesempatan untuk berinteraksi dengan petugas penyuluh dan pelatih luar 3. Partisipasi Pendekatan Masyarakat setempat baik

dengan, kontrak tugas secara pribadi maupun keterikatan yang dibayar bila sekelompok kecil diberikan

anda melakukan ini pilihan untuk terikat pada maka proyek akan sesuatu dengan tanggung jawab melakukan itu atas setiap kegiatan pada

Tabel 2.1 (Lanjutan)

No Jenis pola Pendekatan Keterangan Partisipasi

masyarakat atau proyek model ini memungkinkan untuk beralih dari model klasik kepada model yang diberi subsidi dimana panitia setempat bertanggung jawab atas pengorganisasian pelaksa- naan tugas. Manfaatnya dapat dibuat modifikasi seiring tujuan yang di inginkan.

4. Partisipasi Kegiatan yang Kegiatan yang berfokus untuk atas didorong oleh menjawab kebutuhan masya- permintaan permintaan kat setempat bukan kebutuhan

yang dirancang dan disuarakan pihak luar kegiatan bukanlah proyek yang tipikal.

Tidak ada sasaran untuk suatu periode tertentu.

Sumber: Club Du Sahel (1988)

2.5 Dukungan Masyarakat

Dukungan yang diberikan masyarakat haruslah bersifat sukarela dan tidak membebankan masyarakat seperti pendapat Panudju (1999) peran masyarakat bukanlah:

1. Menyuruh masyarakat untuk melakukan pekerjaan pada proyek- proyek pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat.

2. Menanyakan pendapat masyarakat tentang program yang telah dipersiapkan untuk selanjutnya membuat perubahan-perubahan kecil.

3. Meminta masyarakat untuk membayar sebagian biaya proyek atau kegiatan yang dilakukan.

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan keterlibatkan masyarakat amatlah diperlukan dimana masyarakat perlu diberikan empowerment (kuasa dan wewenang)

dan partisipasi dalam pengelolaan pembangunan. Dalam hal kebijakan atau policy,

Negara-negara Asia sangatlah menghendaki terjaminnya partisipasi masyarakat di dalam usaha untuk pembanguan wilayah pedesaan. Dalam pelaksanaan dan perencanaan pembangunan warga masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan itu sendiri. Partisipasi masyarakat bukanlah suatu akhir pekerjaan, akan tetapi merupakan sesuatu sarana untuk mencapai tujuan dari pembangunan. Dengan demikian partisipasi masyarakat harus dibina untuk menuju ke arah yang baik dan sehat, agar pelaksanaannya dapat memelihara proyek infrastruktur yang sudah selesai dibangun sehingga keterlibatan pemerintah dalam bidang itu menjadi berkurang.

Partisipasi masyarakat akan membangkitkan rasa bangga terhadap keterlibatan dan menimbulkan pula rasa sayang terhadap proyek sehingga akan menimbulkan pula kepercayaan diri sendiri dan tanggung jawab. Demikian juga bahwa partisipasi masyarakat akan membangkitkan semangat kemandirian dan kerjasama di antara masyarakat serta partsipasi masyarakat akan meningkatkan

swadaya masyarakat yang pada gilirannya akan mengurangi kebutuhan sumber daya pemerintah.

Korten (1986) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia ini, dalam pelaksanaan sangat mensyaratkan keterlibatan langsung masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan) karena hanya dengan partisipasi masyarakat menerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karenaya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adanya partisipasi masyarakat penerima program.

2.6 Tingkatan Partisipasi Masyarakat

Dalam hal partisipasi masyarakat dapat dirumuskan bentuk tingkatan seperti yang dirumuskan partisipasi Santropoetro (1988) merumuskan bentuk partisipasi yang terdiri dari:

1. Konsultasi (jasa).

2. Sumbangan uang/barang.

3. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu/intansi yang berada diluar lingkungan tertentu.

4. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari yang dan dibiayai seluruhnya oleh komuniti (biasanya diputuskan oleh rapat komuniti a.l rapat desa yang menentukan anggaranya).

5. Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.

6. Aksi masa.

7. Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri. 8. Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.

Berdasarkan pengamatannya di Amerika Serikat, menurut Arnstein (1969) diperkirakan ada 150 tingkat peran serta masyarakat yang seringkali sulit dibedakan secara tajam dan murni. Untuk mengurangi kerancuan dalam menganalisis persoalan ini, dari 150 macam peran serta oleh Arnstein disederhanakan menjadi delapan tipologi dibawah ini:

Pertama: Manipulasi/Manipulation, tingkat peran serta ini adalah yang paling

rendah, karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat advising board. Dalam hal ini tidak ada peran serta masyarakat yang

sebenarnya dan tulus, tetapi diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak pengguna.

Kedua: Penyembuhan/therapy, istilah ini diambil dari group atau kelompok

penyembuhan. Dengan berkedok melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan, para perancang memerlukan anggota masayarakat seperti proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat

terlibat dalam banyak kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola pikir masyarakat yang bersangkutan dari pada mendapat masukan atau usulan-usulan dari mereka.

Ketiga: Pemberian informasi/informing, memberi informasi kepada

masyarakat tentang hak-hak mereka, tanggung jawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran serta masyarakat. Meskipun demikian yang sering terjadi penekanannya lebih dari pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa kepada masyarakat. Tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masayarakat dalam keadaan semacam ini, terutama apabila informasi diberikan pada saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memberikan sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka, alat-alat yang sering digunakan komunikasi searah adalah media berita, pamphlet, poster dan tanggapan atas pernyataan-pernyataan.

Keempat: Konsultasi/consultation, mengundang opini masyarakat, setelah

memberikan informasi kepada mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju peran serta penuh dari masyarakat. Akan tetapi bila kita konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran serta yang lain. Cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude atau survey tentang arah fikir masyarakat, neighbourdhood atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau mendengar pendapat dengan masyarakat.

Kelima: Rujuk/placation, pada tingkah ini masyarakat mulai mempunyai

beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaanya beberapa anggota masyarakat yang

dianggap mampu dimasukan sebagai anggota dalam badan-badan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang anggotanya lainnya wakil-wakil dari berbagai instansi pemerintah. Dengan sistim ini usul-usul atau ke inginan dari masyarakat berpenghasilan rendah dapat dikemukakan. Namun seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit bila dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah yang ada.

Keenam: Kemitraan/partnership, pada tingkat ini atas kesepakatan bersama,

kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab di dalam perencanaan pengendalian keputusan, penyusunan, kebijaksanaan dan pemecahaan berbagai permasalahan yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun.

Ketujuh: Pelimpahan kekuasaan/ delegated power pada tingkat ini masyarakat

diberikan limpahan wewenang untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini masyarakat mempunyai wewenang untuk memperhitungkan bahwa program-program yang akan dilaksanakan bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas.

Kedelapan: Kontrol masyarakat/Citizen control, pada tingkat ini masyarakat

memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh dibidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood corporation, dapat langsung berhubungan dengan

sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana, tanpa melewati pihak ketiga.

Tangga partisipasi yang disusun oleh Sherry Arnstein merupakan salah satu model yang bisa membantu kita untuk menilai tingkat partisipasi dalam proses kebijakan atau program. Secara umum dalam model ini, ada tiga derajat partsisipasi masyarakat, pertama: tidak partsipatif (non partipation) Kedua: derajat semu (degrees of tokenism) Ketiga: kekuatan masyarakat (degrees of citizen power) Masing-masing derajat ditekankan ukuran pada seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau program yang dilaksanakan oleh Negara, tapi sejauh mana masyarakat (dalam hal ini kelompok miskin dan rentan) dapat menentukan hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut.

Derajat bawah terdiri dari dua tingkat partisipasi yakni manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy). Dalam tingkatan ini partisipasi hanya untuk menatar masyarakat dan mengobati luka yang timbul akibat dari kegagalan sistem dan mekanisme pemerintah. Tidak ada kaitan sedikitpun untuk melibatkan masyarakat dalam menyusun kegiatan atau program pemerintah. Derajat menengah

yang semu, terdiri dari tiga tingkatan partisipasi yaitu, pemberitahuan (informing), konsultasi (consultation) dan peredama (placation), dalam tahap ini sudah ada kadar perluasan partisipasi, masyarakat sudah bisa mendengar (tingkat pemberitahuan) dan didengar (tingkat konsultasi), namun begitu tahap ini belum menyediakan jaminan yang jelas bagi masyarakat bahwa suara mereka diperhitungakan dalam penentuan hasil dari sebuah kebijakan public. Sedangkan tahap peredaman memang sudah memungkinkan masyarakat (khusus yang rentan) untuk memberikan masukan secara lebih signifikan dalam penentuan hasil kebijakan public, namun proses pengambilan

keputusan masih dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan. Derajat tinggi terdiri dari tiga tingkatan partisipasi yakni kemitraan (partnership), delegasi kekuasaan (delegated power) dan yang teratas adalah kendali masyarakat (citizen control). Dalam tahap ini partisipasi kelompok rentan sudah masuk dalam ruang penentuan proses hasil dan dampak kebijakan. Masyarakat sudah bisa bernegosiasi dengan penguasa traditional dalam posisi politik yang sejajar (tingkat kemitraan) bahkan lebih jauh mampu mengarahkan kebijakan karena ruang pengambilan keputusan telah dikuasai (tingkat delegasi kekuasaan). Hingga pada tahap akhir, partisipasi sudah sampai pada puncaknya ketika masyarakat secara politik maupun administratif sudah mampu mengendalikan proses pembentukan, pelaksanaan dan konsumsi dari kebijakan tersebut (tingkat kendali masyarakat). Partisipasi yang diberikan masyarakat pada suatu kegiatan tidak mempunyai tingkatan yang sama hingga para ahli dapat menyimpulkan berbagai tingkatan partisipasi berdasarkan situasi dan

kondisi daerah masing-masing. Delapan tingkatan Partisipasi menurut Anrstein (1969) dapat dilihat pada Table 2.2.

Tabel 2.2 Tingkatan Partisipasi

Sumber: Anrstein (1969)

Untuk melihat sejauh mana dinamika partisipasi masyarakat dalam ruang waktu tertentu, lantas menempatkannya dalam tangga partisipasi arnstein, ada 4 faktor yang sesungguhnya berpengaruh. Tiga faktor bersifat obyektif yakni peluang (opportunity), kapasitas (capacity) dan proses (process), serta satu factor besifat subyektif yakni ideology.

2.7 Hambatan dalam Partisipasi

Partisipasi telah diyakini oleh pemerintah sebagai salah satu keberhasilan untuk mendukung pembangunan, namun masalah di lapangan masih banyak, seperti yang dikatakan Steinberg (1993) bahwa partisipasi masyarakat dalam program-program dan proyek-proyek maupun partisipasi atau prakarsa masyarakat sendiri

Kendali masyarakat(Cittzen Control) 8

Delegasi kekuasaan (Delegated power) 7 Kemitraan (Partnership) 6 Peredaman (Placation) 5 Konsultasi (Consultation) 4 Pengimpormasian (Informing) 3 Terapi ( Therapy) 2 Manipulasi (Manipulation) 1

Degrees of Citezen Power

(Kekuasaan Masyarakat)

Degrees of Tokenism

(semu)

Nonparticipation

mempunyai tantangan untuk mencapai suatu gabungan atau kombinasi antara rencana-rencana pemerintah dan rencana-rencana masyarakat.

Menurut Soetrisno (1995) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Kemudian menurut Soetrisno (1995) yang menjadi permasalahan dari segi sosial politik dalam pelaksanaan pembangunannya pada Negara berkembang termasuk Indonesia, munculnya suatu gejala di mana pemerintah menempatkan pembangunan bukan lagi sebagai pekerjaan rutin suatu pemerintah, melainkan telah diangkat kedudukannya sebagai suatu ideologi baru dalam negara. Ini mempunyai segi positif dan negatif. Aspek positifnya dengan dijadikan sebagai suatu ideologi dalam suatu negara, maka pembangunan akan menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh pemerintah dan pelestariannya harus dijaga oleh semua warga negara, seperti kita menghayati ideologi Negara. Akan tetapi karena pembangunan telah menjadi sebuah ideologi, maka pembangunan itu telah menjadi suatu yang suci, karenanya tidaklah bebas untuk dikritik lebih-lebih untuk dikaji ulang guna mencari alternatifnya.

2.8 Peran Masyarakat dalam Pembangunan

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan melalui pembangunan lingkungan dimulai dari pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Pemerintah selaku regulator dalam menyusun dan menjalankan suatu kebijakan dalam pelaksanaannya harus melibatkan peran serta masyarakat secara sadar atau

tidak. Adanya penyampaian informasi kepada masyarakat melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang pentingnya pembangunan lingkungan, masyarakat akan lebih memahami maksud dan tujuan program dan akhirnya diharapkan menumbuhkan kesadaran dan motivasi mereka untuk ikut terlibat. Upaya ini dilakukan pemerintah sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat, dimana pemberdayaan adalah upaya untuk membangun kemampuan masyarakat, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki dan berupaya untuk mengembangkan potensi itu menjadi tindakan nyata.

Akhirnya manusia sebagai masyarakat dan bangsa yang memiliki hak dan kewajiban juga dituntut untuk berperan dalam pembangunan bangsanya. Untuk itu setiap orang dalam suatu masyarakat dan bangsa dituntut untuk memiliki visi dan misi kedepan, melalui tindakan aktif dan kreatif, mengembangkan potensi diri, menjaga dan menjamin secara adil dan pasti untuk semua kebutuhan dasar bagi kehidupan dimasa depan.

2.9 Peran Stakeholder dalam PNPM Gambaran Kepedulian Masyarakat

dalam Pembangunan

Peran pemerintah sebagai enabler dan fasilitator diharapkan dapat

menumbuhkan kemampuan dan kemuan masyarakat dalam mengelola prasarana melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya membangun kemampuan (capacity building) masyarakat dan memberdayakan sumber daya manusia yang ada melalui kelembagaan, sarana dan prasarana serta pengembangan 3-P (pendampingan, penyuluhan dan pelayanan) seperti pada Zubaedi

(2007). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah berperan dalam pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi, pelatihan maupun pembinaan tentang teknik-teknik pembangunan prasarana lingkungan permukiman.

Menurut Adisasmita (2006) tahapan-tahapan dari kegiatan yang harus dilakukan pemerintah agar pemberdayaan masyarakat tadi dapat lebih partisipatif, dimulai dari sosialisasi, pendampingan, penguatan kelembagaan, dan implementasi kegiatan. Sosialisasi merupakan tahap awal proses pemberdayaan, adanya pemahaman tentang suatu informasi kebijakan pemerintah menumbuhkan kesadaran dan memotivasi masyarakat untuk bermitra dengan pemerintah. Tahap pendampingan melalui pelatihan dan pembinaan baik teknis maupun administrasi diharapkan dapat menumbuh kembangkan kemampuan masyarakat dalam pembangunan lingkungan.

Tahap selanjutnya adalah tahap penguatan melalui penguatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana untuk implementasi kegiatannya. Munculnya kelembagaan masyarakat yang operasional akan dapat bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan itu sendiri. Penguatan melalui penyediaan alokasi dana pembangunan sarana dan prasarana berfungsi sebagai pengendali ketepatan distribusi aset sumber daya fisik dan non-fisik di masyarakat Pemberdayaan masyarakat itu sendiri akan melibatkan peran organisasi non pemerintah (BKM) dalam hal ini Konsultan pendamping sebagai pelaku perubahan (agent of change), yang umumnya lebih memiliki kemampuan manajerial dan teknik yang lebih baik sehingga mampu menjembatani dialog antara kepentingan masyarakat dan pemerintah. konsultan pendamping ini juga sebagai pemberdayaan,

dimana konsultan dengan mengedepankan kesabaran akan mengajak warga berubah melalui proses sosialisasi dan pembelajaran secara bertahap sesuai kebijakan pemerintah yang ada. Selanjutnya peranan seorang konsultan pendamping dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai pendampingan. Menurut Zubaedi (2007) fungsi pendampingan sangat penting, terutama dalam membina dan mengarahkan proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok lembaga masyarakat sebagai fasilitator (pemandu), komunikator (penghubung), dan motivator. Tanggung jawab konsultan dalam mendampingi masyarakat yaitu:

a. Peran pendamping sebagai motivator, dalam peran ini, pendamping berusaha menggali potensi sumber daya manusia, alam, sekaligus mengembangkan kesadaran anggota masyarakat tentang kendala maupun permasalahan yang dihadapi.

b. Peran pendamping sebagai komunikator, dalam peran ini pendamping harus mau menerima dam memberi informasi dari berbagai sumber kepada masyarakat untuk dijadikan rumusan dalam penanganan dan pelaksanaan berbagai program serta alternatif pemecahan masalahnya. c. Peran pendamping sebagai fasilitator, dalam peran ini pendamping

berusaha memberi pengarahan tentang penggunaan berbagai teknik, strategi, pendekatan dalam pelaksanaan program.

2.10 Kepedulian Masyarakat Merujuk pada Sikap dan Perilaku

Menurut Riwayadi dan Anisyah (2000) kepedulian adalah keadaan perasaan, fikiran, dan tindakan yang menghiraukan sekitarnya sedangkan masyarakat adalah

sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang membentuk peri kehidupan berbudaya. Kepedulian masyarakat dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan sekelompok orang yang berbudaya yang saling menghiraukan atau mengindahkan sekitarnya.

Kepedulian merujuk kepada sikap dan perilaku menempatkan diri sendiri dalam konteks kepentingan yang lebih luas, berusaha untuk memperhatikan kepentingan pihak lain berdasarkan rasa memiliki dan tanggung jawab Wirutomo (2004). Kepedulian masyarakat bersifat sistemik artinya secara sadar faham bahwa tindakan seseorang/suatu kelompok akan berdampak negatif pada kelompok lain, kesadaran tersebut mampu menimbulkan rasa senasib sepenanggungan dan saling kerjasama. Dengan kata lain kepedulian masyarakat adalah suatu proses psikologis sekelompok orang berupa sikap dan perilaku yang bertanggungjawab.

Kata kunci kepedulian terletak pada kata sikap dan perilaku di mana antara

Dokumen terkait