• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Gadai Syariah (Ar-Rahn)

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang

10

berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang memberi utang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.11

Dalam istilah fiqh, gadai disebut al- rahn, yang menurut bahasa artinya adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercaaan. Sedangkan menurut syara’, gadai adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai tebusan.12

Secara etimologi, kata al-rahn berarti tetap,kekal, dan jaminan. Akad al-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan/agunan. Ada beberapa defiisi ar-Rahn yang dikemukakan para ulama fiqh. Ulama Malikiyyah mendefiniskannya dengan: Harta yang dijadikan pemilikya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.13

Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu , baik seluruhnya maupun sebagian.

11

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bulerlijk Wetboek), Penerjemah R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Ps. 1150.

12

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), h. 156.

13

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn dengan: Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah. Barang jaminan itu boleh dijual apabila dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak, utang tidak dilunasi. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya.14

2. Dasar Hukum Gadai Syariah a. Landasan Syariah

Boleh tidaknya transaksi gadai menurut islam, diatur dalam Al-Qur’an, dan ijma’:

1). Al-Qur’an

Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 283:15

14

A.H. Azharudin Lathief, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Press, 2005), h. 154. 15

)

ةﺮ ا

:

283

(

Artinya:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperolah seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah/2:283)

Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (collateral) atau objek pegadaian. 16

2). Ijma’

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad al-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul. Mereka

16

sepakat dalam perjalanan ataupun tidak, asalkan barang jaminan itu bisa langsung dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang. Ar-rahn dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.

b. Landasan Hukum Positif

Aturan mengenai rahn telah diatur dalam Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Ketentuan Umum:

1) Murtahin (penerima barang) memiliki hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin,

sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4) Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5) Penjualan Marhun;

a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup

1) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Sedangkan untuk gadai emas syariah, menurut Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-DSN-MUI/III/2002 gadai emas syariah harus memenuhi ketentuan umum berikut :

1) Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat Fatwa DSN nomor : 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn).

2) Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).

3) Ongkos sebagaimana dimaksud dalam butir b besarnya didasarkan pada pengeluran yang nyata-nyata diperlukan.

4) Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.17

3. Rukun dan Syarat Gadai Syariah a. Rukun Ar-Rahn, antara lain:

1) Orang yang berakad: (1) Yang Berhutang (Rahin) dan (2) Yang Berpiutang (Murtahin)

2) Sighat (Ijab qabul)

3) Harta yang diRahn-kan (Marhun) 4) Pinjaman (Marhun Bih)18

b. Syarat-Syarat ar-Rahn, antara lain:

17

Rudy Kurniawan, Pegadaian Syariah, makalah disampaikan pada Pelatihan Pegadaian Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum,UIN Jakarta, h. 3-4.

18

Rudy Kurniawan, Pegadaian Syariah, makalah disampaikan pada Pelatihan Pegadaian Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum,UIN Jakarta, h. 6.

1) Syarat al-marhun bih (utang) adalah: (1) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada yang berutang, (2) utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu, (3) utang itu jelas dan tertentu;

2) Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqh, adalah: (1) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan, (3) barang jaminan itu jelas dan tertentu, (4) agunan itu milik sah orang yang berutang, (5) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain, (6) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan (7) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.19

Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.

Sesuai dengan landasan konsep Rahn, pada dasarnya ar-Rahn berjalan diatas dua akad transaksi syariah yaitu :

1. akad rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik harta si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya,

19

pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini bank syariah menahan barang bergerak sebagai jaminan atas uang nasabah.

2. akad ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Malalui akad ini dimungkinkan bagi bank untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.20

Dokumen terkait