• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN PUSTAKA

1. Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Angka perkembangan penyakit ginjal kronis ini sangat bervariasi. Perjalanan gagal ginjal kronis hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Gagal Ginjal kronis ditandai dengan gejala dan tanda uremia yang berkepanjangan, adalah hasil akhir dari semua penyakit ginjal kronis (Robins dkk, 2004).

Dalam Cahyaningsih (2008) dijelaskan bahwa terdapat dua kriteria untuk penyakit gagal ginjal kronis yaitu pertama, kerusakan ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, yang didefenisikan sebagai abnormalitas struktural dan fungsional ginjal dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrat Glomerulus (LGF) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal, termasuk ketidakseimbangan komposisi zat yang ada dalam darah atau urin serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan. Kedua, LGF yang kurang dari 60L/menit/1,73m2 lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan utuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu untuk

melaksanakn proses tersebut. Tujuan dialisis ini adalah untuk memepertahankan kehidupan dan kesejahteaan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Salah satu metode terapi dengan prinsip dialisis adalah Hemodialisis (Bare and Smeltzer, 2002). Selain itu Dialisis juga digunakan untuk mempetahankan penderita pada keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas 6mg/100 mL pada laki-laki atau 4mg/100 ml pada wanita, dan GFR kurang dari 4 ml/menit. Jika Dengan cara diatas tidak mampu untuk mempertahankan hidup penderita, maka dibutuhkan transplantasi ginjal untuk penderita gagal ginjal kronis (Madjid dan Suharyato, 2009).

2. Hemodialisa 2.1. Defenisi

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Bare and Smeltzer, 20002). Gagal ginjal kronis yang mulai perlu di dialisa adalah penyakit ginjal kronis yang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal dengan LGF <15 mL/menit/1,73m2. Pada keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksik dalam tubuh yang disebut uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi pengganti ginjal dalam mengeliminasi toksik dalam tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang lebih berat.

2.2. Prinsip – Prinsip Hemodialisa

Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan, pada hemodialsis, aliran darah yag penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Bare and Smeltzer, 2003)

Ada 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi

a. Difusi

Toksik dan zat limbah dari dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi. Yaitu dengan cara bergerak dari drah, yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah.

b. Osmosis

Air yang berlebihan dikeluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan; dengan kata lain air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat)

c. Ultrafiltrasi

Peningkatan gradien tekanan dapat dilakukan dengan cara peambahan tekaan negatif atau yang biasa disebut dengan Ultrafiltrasi. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga mencapai isovolemia (keseimbangan cairan).

Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan diaisat ke dalam darah pasien dan mengalamimetabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan dikembalikan kedalam tubuh melalui pembuluh vena pasien.

2.3. Penatalaksanaan Hemodialisa

Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala (Smeltzer & Bare , 2002).

Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium, dan cairan (Smeltzer & Bare , 2002)

Dalam Smeltzer & Bare (2002) juga dinyatakan bahwa banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

2.4 Komplikasi Terapi Hemodialisa

Komplikasi yang paling umum terjadi selama hemodialisa adalah hipotensi (20%-30%), kram (5%-20%), mual dan muntah (5% – 15%), sakit kepala (5%), nyeri dada (2%-5%), nyeri punggung (2%-5%), gatal-gatal (5%), demam dan menggigil (<1%) (Daugirdas, Blake, dan Ing, 2007). Pada permulaan hemodialisa intermiten sering terdapat kehilangan berat badan dengan segera hal ini terutama akibat koreksi hidrasi yang berlebihan tersebut. Untuk pasien dengan dialysis kronik, respon anabolik kurang dramatik sekalipun terapi dianggap sebagai optimal, terutama melibatkan reakumulasi timbunan lemak (Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci & Kasper, 2000). Komplikasi yang jarang terjadi pada pasien hemodialisa yaitu sindrom disekuilibrium,

reaksi dialiser, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakrania, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialysis dan hipoksemia (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata dan Setiati, 2009). Walaupun telah dilakukan hemodialisa, tidak semua toksin uremik dapat dikeluarkan dari dalam tubuh, sehingga masih dapat menyebabkan kelainan system organ lain. Kecuali itu, hemodialisa juga memiliki efek samping, yang berama dengan toksin uremi dapat menyebabkan kelainan-kelainan, antara lain::

a. Kelainan hematologi

Anemi merupakan hal biasa yang ditemukan pada penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa kronis

b. Kelainan fungsi seksual

Penederita gagal ginjal kronis yang mendapat terapi hemodialisa mengalami penurunan seksual, baik pencapaian orgasmus, frekuensi dan lamanya ereksi. Hal ini disebabkan oleh toksin uremi dan factor psikologis.

c. Kelainan tulang dan paratiroid

Penderita hemodialisa kronis, problem tulang dan sendi merupakan sumber morbiditas yang utama. Penyakit tulang disebabkan karena aluminium yang ada dalam dialisat dank arena gangguan metabolism vitamin D. gangguan metabolisme vitamin D ini dapt menyebabkan meningkatnya hormone paratiroid. Hormone paratiroid merupakan toksin uremi yag penting berkaitan dengan penyakit tulang, pruritus, neuropati, impotensi, hipertrofi jantung dan

lain-lain. Tanda-tanda kelainan tulang antara lain sakit pada tulang, dan fraktur patologis.

d. Kelainan gastrointestinal

Banyk kelainan gastrointestinal ditemukan pada pasien yang mendapat terapi hemodialisa, yaitu gastritis, ulkus, perdarahan, obstruksi saluran cerna bagian bawah dan lain-lain.

e. Kelainan kardiovaskuler

Kelinan kardiovaskuler tersebut seperti hipertensi, permeabilitas kapiler pulmo meningkat yang dapat menyebabkan edema paru, kelebihan cairan yang dapat menyebabkan curah jantung meningkat dan akan mengalami gagal jantung, kardiomiopati uremik yang dapat menebabkan keelemahan otot jantung sebagai akibat dri toksin uremik.

Dokumen terkait