• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Kecamatan Baso

Kecamatan Baso merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan luas wilayah 70.30 kilometer kuadrat dan berada pada ketinggian antara 500 meter sampai 1 000 meter di atas permukaan laut. Secara administratif daerah ini berbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Kamang Magek, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lima Puluh Kota, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan IV Angkek serta Kecamatan Canduang (BPS Kabupaten Agam 2013). Kondisi curah hujan di Kecamatan Baso rata-rata 1 533 milimeter dengan hari hujan rata-rata 108 hari per tahun. Untuk kondisi kecepatan angin, rata-rata kecepatan angin di Kecamatan Baso 20 kilometer per jam (BPS Kabupaten Agam 2013).

Jumlah penduduk di Kecamatan Baso sebesar 33 804 jiwa yang terdiri dari 49.13 persen laki-laki dan 50.87 persen perempuan, dengan kepadatan penduduk rata-rata 1 252 jiwa per jorong per desa. Jumlah rumahtangga yang ada di Kecamatan Baso sebesar 8 706 dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang per keluarga. Di dalam wilayah administrasi Kecamatan Baso terdapat 6 nagari (kelurahan) dan 27 jorong (desa) (BPS Kabupaten Agam 2013).

Wilayah Kecamatan Baso terdiri dari lahan persawahan seluas 1 537 hektar. Lahan sawah ini terdiri dari lahan dengan jenis pengairan setengah teknis, pengairan yang sederhana, dan sawah dengan pengairan tadah hujan. Umumnya lahan sawah yang terdapat di Kecamatan Baso merupakan lahan sawah dengan pengairan yang sederhana yaitu sekitar 45.54 persen dari luas lahan persawahan. Kemudian lahan dengan pengairan tadah hujan sebesar 33.31 persen dan sawah dengan pengairan setengah teknis sebesar 21.15 persen. Untuk lebih jelasnya luas sawah menurut jenis pengairan di Kecamatan Baso dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas sawah menurut jenis pengairan di Kecamatan Baso tahun 2012

Keterangan Luas (ha) Persentase (%)

Setengah teknis 325 21.15

Sederhana 700 45.54

Tadah hujan 512 33.31

Sumber: BPS Kabupaten Agam 2013

Pengairan di Kecamatan Baso pada umumnya dengan irigasi yang sederhana serta bergantung pada hujan. Kondisi ini memungkinkan penggunaan lahan disesuaikan dengan ketersediaan air. Karena sulitnya diperoleh air, kondisi lahan di Kecamatan Baso yang dekat dengan pegunungan menyebabkan penggunaan lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk perkebunan yaitu sebesar 26.27 persen, sedangkan untuk sawah sebesar 18.83 persen dari total luas lahan. Untuk lebih jelasnya persentase penggunaan lahan di Kecamatan Baso dapat dilihat pada Tabel 7.

39 Tabel 7 Persentase luas lahan menurut penggunaannya di Kecamatan Baso

tahun 2012 Keterangan Persentase Sawah 18.83 Tegalan 4.03 Kebun 26.27 Hutan 13.78 Semak belukar 1.65 Tanah rusak 0.54 Perairan 0.00 Padang rumput 1.17

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Agam 2013

Dari sisi kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian, kebijakan pemerintah daerah Kecamatan Baso mencakup pengembangan sarana dan prasarana pertanian dalam rangka mendukung kemajuan pertanian. Di Kecamatan Baso terdapat enam koperasi tani yang telah berbadan hokum dan enam koperasi tani yang belum berbadan hukum. Terdapat juga sarana pos ipah atau agen hayati untuk mendukung pengembangan pertanian organik. Selain itu, di Kecamatan Baso juga terdapat 137 kelompok tani dan sepuluh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) (BPS Kabupaten Agam 2013).

Karakteristik Petani Sampel

Dari hasil wawancara terhadap 22 petani yang menanam kubis organik dan 50 petani yang menanam kubis non organik, diperoleh karakteristik petani kubis di Kecamatan Baso yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi petani. Karakteristik petani sampel yang akan diuraikan dalam Sub Bab ini meliputi data: (a) umur petani, (b) tingkat pendidikan petani, (c) pengalaman berusahatani kubis, (d) jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani, (e) luas lahan kubis yang diusahakan petani, (f) jarak lahan kubis dengan rumah tempat tinggal petani, dan (g) status kepemilikan lahan petani.

Umur Petani Sampel

Umumnya dipercaya bahwa umur petani terkait dengan pengelolaan dan produktivitas tenaga kerja. Petani yang berada pada umur produktif akan memberikan hasil yang lebih baik dibanding petani yang berada pada umur yang non produktif. Umur lebih dari 50 tahun merupakan masa menjelang umur non produktif. Kekuatan fisik dan produktivitas kerja akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Umur seseorang berpengaruh pada pola fikir yang lebih terbuka dan bisa menerima sesuatu yang baru. Petani yang berumur lebih tua umumnya sulit menerima inovasi baru dan cenderung mempertahankan kebiasaan yang telah lama dianutnya, sehingga semakin tua petani semakin kecil peluangnya menerapkan sesuatu yang baru (Musyafak dan Ibrahim 2005; Nurhapsa 2010; dan Rahayu 2011). Petani muda lebih bisa menerima sesuatu yang baru dibandingkan dengan petani yang sudah tua.

40

Petani kubis organik umumnya berada pada usia antara 40 sampai 50 tahun yaitu sebanyak 59.1 persen, sedangkan petani kubis non organik umumnya berada pada usia antara 51 sampai 60 tahun yaitu sebanyak 31 persen. Jika ditinjau dari masing-masing kelompok petani, 36.36 persen petani kubis organik berumur lebih dari 50 tahun dan 38 persen petani non organik berumur lebih dari 50 tahun. Berdasarkan hal tersebut usahatani kubis organik banyak diusahakan petani dengan rata-rata umur lebih muda dibandingkan dengan petani kubis non organik. Data keragaman umur petani sampel selengkapnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Keragaman umur petani sampel di Kecamatan Baso Umur

petani (tahun)

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase

(%) Jumlah (orang) Persentase (%) 25 – 30 1 4.45 4 8 31 – 40 0 0.00 13 26 41 – 50 13 59.10 14 28 51 – 60 8 36.36 15 30 61 – 70 0 0.00 3 6 ≥ 70 0 0.00 1 2 Total 22 100.00 50 100 Tingkat Pendidikan

Usahatani kubis di Kecamatan Baso 16.7 persen dilakukan oleh petani dengan pendidikan maksimum SLTA. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas petani kubis di Kecamatan Baso rata-rata memiliki pendidikan formal yang masih rendah. Jika ditinjau dari masing-masing kelompok petani, mayoritas petani kubis organik berpendidikan maksimum SD yaitu sebesar 40.91 persen, sedangkan petani kubis non organik mayoritas dengan pendidikan maksimum SLTP. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa secara keseluruhan petani kubis non organik memiliki pendidikan yang cukup tinggi dibanding petani kubis organik. Meskipun demikian, jika dilihat dari persentase petani yang berpendidikan SLTA, petani kubis organik lebih banyak yang berpendidikan maksimum SLTA (31.82 %) dibanding petani kubis non organik (10 %). Untuk lebih jelasnya data keragaman pendidikan petani sampel dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Keragaman pendidikan petani sampel di Kecamatan Baso Pendidikan

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase

(%) Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak tamat SD 0 0.00 3 6 SD 9 40.91 18 36 SLTP 6 27.27 24 48 SLTA 7 31.82 5 10 D3 0 0.00 0 0 S1 0 0.00 0 0 Total 22 100.00 50 100

41 Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat merubah perilaku dan pola fikir. Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menerima pengetahuan serta dalam mengadopsi teknologi baru yang bermanfaat bagi perbaikan kegiatan usaha. Tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam pengelolaan usahatani terutama dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan dari berbagai alternatif pilihan teknologi yang dihadapi. Ogada et al. (2010) menyatakan bahwa peningkatan pendidikan akan mempengaruhi kemungkinan seseorang dalam mengadopsi suatu teknologi. Petani dengan pendidikan tinggi akan lebih terbuka dalam menerima informasi dan menerima perubahan teknologi sehingga akan meningkatkan efisiensi (Kusnadi et al. 2011 dan Alam et al. 2012).

Pengalaman Berusahatani Kubis

Pengalaman merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu usahatani. Petani yang memiliki pengalaman usahatani yang cukup lama diharapkan dapat lebih terampil dalam mengelola usahataninya. Semakin lama seseorang mengelola suatu usahatani, maka akan semakin banyak tahu tentang baik buruknya atau cocok tidaknya usahatani yang dilakukan dan juga akan mengadopsi teknologi yang digunakan pada usahatani yang dilakukannya. Selain itu, berdasarkan pengalaman yang dimiliki petani akan mampu mengambil keputusan yang rasional untuk usahataninya.

Pengalaman petani dalam berusahatani kubis pada daerah penelitian sangat beragam. Pengalaman petani yang menanam kubis organik dan kubis non organik umumnya di atas lima tahun yaitu sebanyak 79.17 persen. Jika ditinjau dari masing-masing kelompok petani, pengalaman petani sampel yang menanam kubis organik di atas lima tahun sebanyak 100 persen, sedangkan petani yang menanam kubis non organik sebanyak 70 persen. Keragaman pengalaman petani sampel dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Keragaman pengalaman petani sampel dalam melakukan usahatani kubis di Kecamatan Baso

Pengalaman usahatani kubis

(tahun)

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1-5 0 0.00 15 30 6-10 7 31.82 21 42 11-15 8 36.36 11 22 16-20 7 31.82 0 0 ≥β0 0 0.00 3 6 Total 22 100.00 50 100

Berdasarkan Tabel 10 dapat dijelaskan bahwa petani kubis organik lebih berpengalaman dalam berusahatani kubis dibanding petani kubis non organik. Sebanyak 68.18 persen petani organik memiliki pengalaman berusahatani kubis di atas 10 tahun, sedangkan petani non organik sebanyak 28 persen. Pengalaman dalam melakukan usahatani mempengaruhi keterampilan dan kecakapan petani dalam mengatasi permasalahan usahataninya. Semakin lama pengalaman usahatani akan semakin banyak ilmu usahatani kubis praktis yang dimiliki dan

42

akan berdampak positif pada efisiensi usahatani yang dijalankan (Sukiyono 2005; Adhiana 2005; Saptana 2011; Sinaga 2011; dan Nurhapsa 2013), serta berpengaruh positif terhadap adopsi suatu teknologi (Sauer dan Zilberman 2009).

Jumlah Anggota Keluarga Tanggungan Petani

Umumnya petani sampel (63.89 %) memiliki anggota keluarga antara satu sampai tiga orang. Jika ditinjau dari masing-masing kelompok petani, petani kubis organik yang memiliki jumlah tanggungan keluarga ≥ 4 orang yaitu sebanyak 45.45 persen (10 orang), sedangkan untuk petani kubis non organik sebanyak 26 persen (13 orang). Besarnya jumlah tanggungan petani akan menjadi pertimbangan bagi petani untuk memilih usahatani yang lebih rendah biaya. Untuk lebih jelasnya keragaman jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani sampel dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Keragaman jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani sampel di Kecamatan Baso

Jumlah tanggungan

(orang)

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 0 2 9.10 1 2 1-3 10 45.45 36 72 4-6 10 45.45 12 24 7-10 0 0.00 1 2 Total 22 100.00 50 100

Besar kecilnya jumlah anggota keluarga dalam suatu rumahtangga menunjukkan besarnya beban tanggungan yang harus dipikul kepala keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar dapat menurunkan kesejahteraan petani karena semakin besar biaya yang akan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung, maka semakin tinggi biaya rumahtangga yang harus dikeluarkan petani. Modal yang dimiliki petani terbatas sehingga ketika biaya keluarga meningkat maka petani akan memilih teknologi yang sudah jelas memberikan keuntungan, biaya rendah, dan rendah risiko. Di sisi lain, jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani dapat membantu kegiatan produksi petani. Anggota keluarga tersebut dapat menjadi sumber tenaga kerja dalam keluarga, sehingga bisa mensubtitusi tenaga kerja luar keluarga, pada akhirnya dapat menghemat biaya usahatani dan mengatasi kelangkaan tenaga kerja.

Luas Lahan Usahatani

Lahan merupakan salah satu faktor produksi utama untuk mengelola usahatani. Pada daerah penelitian, mayoritas petani kubis merupakan petani kecil dengan luas lahan garapan kurang dari 0.5 hektar. Jika ditinjau masing-masing kelompok petani, mayoritas (86 %) petani kubis organik memiliki luas lahan garapan kecil dari 0.1 hektar, begitu juga petani kubis non organik mayoritas (60 %) memiliki luas lahan garapan kecil dari 0.1 hektar. Adapun sebaran luas lahan petani responden dapat dilihat pada Tabel 12.

43 Tabel 12 Sebaran luas lahan garapan petani kubis organik dan non organik di

Kecamatan Baso Luas lahan

kubis (ha)

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) < 0.1 19 86 30 60 0.1 - 0.25 2 9 16 32 0.26 - 0.5 1 5 4 8 > 0.5 0 0 0 0 Total 22 100 50 100

Luas lahan yang dikuasai menggambarkan kemampuan modal finansial petani dalam melakukan usahatani. Lahan besar akan memberikan penerimaan yang besar pula dan luas lahan yang diusahakan dapat digunakan sebagai cermin tingkat kesejahteraan petani. Tetapi petani lahan sempit akan lebih insentif dalam mengelola usahataninya dibandingkan dengan petani lahan luas.

Jarak Lahan Usahatani Kubis dengan Rumah Petani

Pada daerah penelitian, jarak lahan usahatani kubis dengan rumah petani bervariasi. Ada petani yang lahan kubisnya berjarak kurang dari 10 meter dari rumah, ada juga yang lebih dari 1 000 meter dari rumah. Adapun distribusi petani sampel berdasarkan jarak lahan usahatani dengan rumah petani dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Distribusi petani sampel berdasarkan jarak lahan usahatani dengan rumah petani pada usahatani kubis di Kecamatan Baso

Jarak lahan usahatani kubis dengan rumah (m)

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) ≤ 10 3 13.64 7 14 11-50 9 40.90 16 32 51-100 4 18.18 8 16 101-200 2 9.10 8 16 201-300 0 0.00 1 2 301-400 1 4.54 0 0 401-500 2 9.10 3 6 501-1000 1 4.54 4 8 > 1000 0 0.00 3 6 Total 22 100.00 50 100 Umumnya jarak lahan usahatani kubis dengan rumah petani berjarak antara 11-50 meter. Sebanyak 40.90 persen petani kubis organik lahan usahataninya berada pada jarak 11-50 meter dari rumah. Begitu juga untuk petani kubis non organik, 32 persen dari petani tersebut lahan usahataninya berada pada jarak 11- 50 meter dari rumah. Hal ini menunjukkan bahwa jarak lahan usahatani dengan rumah petani cukup dekat. Dari seluruh petani sampel, hanya tiga orang yang lahan usahatani kubisnya berjarak lebih dari 1 000 meter.

44

Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan pada penelitian ini dikategorikan pada lahan milik dan lahan bukan milik. Yang dimaksud lahan milik disini yaitu lahan kepunyaan petani, baik lahan tersebut dibeli maupun diperoleh dari warisan keluarga, sedangkan lahan bukan milik yaitu selain lahan kepunyaan petani seperti lahan yang disewa ataupun lahan garapan. Pada daerah penelitian, umumnya status lahan petani merupakan lahan milik sendiri yaitu sebanyak 93.1 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran status lahan garapan petani kubis organik dan non organik di Kecamatan Baso

Status kepemilikan

lahan

Petani kubis organik Petani kubis non organik Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) Milik 19 86.36 48 96 Bukan milik 3 13.64 2 4 Total 22 100.00 50 100

Status kepemilikan lahan berpengaruh pada keputusan petani dalam melakukan jenis usahatani yang akan dilakukan. Petani dengan status lahan bukan milik akan lebih fokus pada pencapaian hasil produksi dalam jangka pendek. Selain itu, petani dengan status lahan bukan milik seperti sewa benar-benar mempertimbangkan teknologi apa yang akan diterapkan pada usahataninya. Karena jika tidak, kerugian yang akan dialami lebih besar dibanding petani dengan lahan milik sendiri, yaitu kerugian biaya sewa lahan. Petani dengan status lahan milik sendiri lebih bebas menentukan apa yang terbaik bagi usahataninya maupun bagi lahannya dalam jangka panjang. Ogada et al. (2010) menemukan bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh pada adopsi teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam jangka panjang.

Deskripsi Usahatani Kubis Organik di Lokasi Penelitian

Sistem pertanian organik untuk tanaman kubis ini baru mulai diterapkan oleh petani pada tahun 2007 yang terorganisir melalui kelompok-kelompok tani. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa umumnya petani mengusahakan tanaman kubis non organik, sehingga dengan kontribusi dinas pertanian setempat mulai diarahkan untuk melakukan pertanian kubis organik. Untuk mengembangkan pertanian organik ini, dibentuk sebuah wadah untuk menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan petani berupa gabungan kelompok tani (Gapoktan Bersaudara) yang kegiatannya lebih difokuskan pada pertanian organik. Mulai saat itu visi dan misi gabungan kelompok tani yang dinamai Gapoktan Bersaudara tersebut akan selalu menjunjung tinggi budidaya pertanian secara organik dan budidaya pertanian ramah lingkungan serta berupaya untuk menghasilkan produksi pertanian yang aman dikonsumsi masyarakat. Pada tahun 2010 Gapoktan Bersaudara ini telah memperoleh sertifikat organik.

45 Anggota kelompok tani yang tergabung dalam gapoktan umumnya menanam kubis sehingga usahatani kubis organik ini merupakan kegiatan yang khas oleh anggota Gapoktan Bersaudara di Kecamatan Baso. Budidaya kubis organik yang umumnya dilakukan oleh petani sampel yang tergabung dalam keanggotaan Gapoktan Bersaudara di Kecamatan Baso ini berupa:

1. Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedengan

Sebelum melakukan penanaman kubis, biasanya petani terlebih dahulu melakukan pengolahan tanah. Di daerah penelitian, rata-rata semua petani sampel melakukan pengolahan tanah dan pembersihan lahan sebelum penanaman bibit dengan cara dicangkul. Hal ini dikarenakan kondisi daerah yang berbukit-bukit serta luas tanaman kubis yang kecil tidak memungkinkan petani menggunakan tenaga mesin untuk mengolah tanah. Pengolahan tanah merupakan kegiatan untuk mempersiapkan media tanam untuk kubis organik. Kegiatan pengolahan tanah oleh petani sampel dilakukan dengan perbaikan dan pengemburan bedengan setelah panen sebelumnya dengan cara mencangkul tanah. Tanah dicangkul dan sisa dari tanaman sebelumnya dimasukkan kembali ke dalam tanah untuk dijadikan pupuk. Pembuatan bedengan dilakukan ketika benih yang disemaikan berumur 15 hari. Bedengan dibuat dengan panjang bedengan sesuai panjang lahan kubis dan lebar bedengan berkisar 120-200 cm.

Setelah bedengan selesai, maka dibuat lobang tanam untuk kubis sedalam 15-20 cm, lalu pada lobang tanam diberi pupuk dasar. Pemberian pupuk dasar ini ada petani yang memberi pupuk kandang pada lobang tanam, ada juga petani selain memberi pupuk kandang juga memberi pupuk kompos. Ketentuan dosis pemberian pupuk kandang maupun pupuk kompos belum ada, sehingga petani memberikan dosis pupuk sesuai kemampuan mereka. Ada petani yang memberi dosis pupuk 1 kilogram untuk setiap lobang tanam, ada juga sebanyak 2 kilogram per lobang tanam. Petani berpendapat bahwa meskipun dosis pupuk lebih banyak diberikan tidak akan merusak tanaman kubis, karena pupuk yang digunakan adalah pupuk organik bukan pupuk kimia.

2. Persemaian

Sebelum dilakukan penanaman, benih harus disemaikan terlebih dahulu. Untuk benih yang disemaikan, meskipun petani kubis organik melakukan usahataninya secara organik, namun mereka belum menggunakan benih kubis organik. Hal ini dikarenakan belum tersedianya benih organik di daerah penelitian. Benih unggul yang digunakan petani berupa benih hibrida seperti greennova, investor, dan greenmaster. Kebanyakan petani sampel menggunakan benih greennova. Pemilihan benih ini dibandingkan benih lain karena benih ini merupakan benih kubis untuk daerah dataran tinggi, sehingga lebih cocok untuk daerah penelitian. Untuk menghindari kontaminasi zat kimia yang terdapat pada benih unggul tersebut, petani memberikan perlakuan pada benih sebelum disemai yaitu dengan cara merendam benih kubis tersebut dengan air kelapa selama satu malam.

Untuk area persemaian, ukuran persemaian dibuat sesuai dengan jumlah benih yang akan disemai. Letak persemaian biasanya di sekitar lahan tanam kubis untuk memudahkan pemindahan tanaman. Bedengan persemaian yang dibuat mempunyai ketinggian berkisar 20-30 cm atau bedengan tidak akan tergenang air

46

bila turun hujan lebat. Pada bedengan diberi pupuk kandang. Dosis pupuk kandang yang diberikan untuk penyemaian kubis belum ada ketentuan pemakaian. Ada petani sampel yang memberi pupuk kandang sebanyak 5 kilogram, ada juga yang sampai 10 kilogram untuk penyemaian benih 20 gram. Gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman dibersihkan.

3. Penanaman

Setelah bibit yang disemaikan berumur 25-35 hari, baru dipindahkan ke lahan untuk ditanam. Ambil bibit dari persemaian dan jaga agar akar serabut tidak banyak rusak. Tanam bibit sebatas leher dengan kondisi akar ikut tertanam sedikit ke dalam tanah, dengan tujuan tanaman tersebut sebelum membentuk krop akan tumbuh lebih tinggi sehingga tidak mudah roboh. Jarak tanam yang digunakan petani bervariasi, ada yang berjarak 20x20 cm, 25x35 cm, dan 30x40 cm. Cara tanam yang dibuat adalah model persegi empat atau bujur sangkar.

4. Pemupukan

Pupuk dasar merupakan pupuk yang sangat mutlak dibutuhkan oleh tanaman kubis agar pertumbuhannya baik. Pupuk dasar yang diberikan terdiri dari dua macam, yaitu pupuk kandang dan pupuk kompos. Pemberian pupuk tersebut pada lobang tanam kubis agar manfaat dari pupuk langsung pada akar kubis. Setelah pupuk dasar yang diberikan berupa pupuk kandang dan pupuk kompos, pada saat tanaman kubis telah berusia 20 hari dan 45 hari diberikan pupuk susulan. Pupuk susulan yang diberikan yaitu pupuk nabati berupa bubur cikam dengan cara di corkan. Dosis pemberian bubur cikam ini tidak ada, namun semua petani sampel memberikan dosis sebanyak satu gelas aqua (240 ml) untuk satu tanaman kubis.

Bubur cikam ini dibuat menggunakan bahan dari daun tithonia, urine kambing, trikodharma, dan kotoran kambing. Cara pembuatan pupuk ini yaitu: daun tithonia dicincang kemudian dimasukkan ke dalam drum, lalu dicampur dengan urin kambing, kotoran kambing, trikodharma dan ditambah air. Semua campuran tersebut didiamkan paling cepat satu minggu, namun lebih bagus digunakan setelah didiamkan satu bulan. Sebelum drum digunakan, drum harus dilapisi plastik agar tidak terkontaminasi bakteri. Untuk bahan trikodharma sudah tersedia di labor. Pembuatan trikodharma ini dari biang yang dikenal juga dengan beauveria, dimana biang ini diperbanyak dari tanah organik atau tanah pegunungan yang belum terkontaminasi kimia, ditambah dengan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi berupa nasi atau kentang. Apabila biang ini habis bisa digunakan ulat yang telah terkena beauveria, ulat tersebut disimpan dalam kaleng. Ulat ini bisa digunakan sebagai agen hayati dengan cara dicampur dengan beras, ditambah air, lalu disemprotkan pada tanaman.

Selain pemberian pupuk nabati berupa bubur cikam untuk pupuk susulan, petani juga memberikan pupuk kompos dan pupuk kandang sebagai tambahan pupuk susulan. Pemberian pupuk susulan ini tergantung kondisi pertumbuhan tanaman kubis. Ada petani yang hanya satu kali melakukan pemberian pupuk susulan dan ada juga yang dua kali. Pupuk yang diberikan juga bervariasi antar petani, ada yang hanya memberikan pupuk susulan berupa pupuk kandang dan pupuk kompos, ada juga yang memberikan pupuk susulan berupa bubur cikam,

47 pupuk kandang, dan pupuk kompos. Sebelum dilakukan pemupukan, apabila banyak gulma perlu dilakukan penyiangan terlebih dahulu.

5. Penyiangan

Penyiangan dilakukan untuk membersihkan rumput dan gulma yang tumbuh di areal pertanaman. Pada umumnya petani kubis organik melakukan penyiangan gulma dengan cara mencabut gulma tersebut secara manual. Gulma yang disiangi dikumpulkan untuk dijadikan kompos oleh petani. Penyiangan gulma ini dilakukan pada saat telah ada rumput yang tumbuh di areal pertanaman. Jumlah

Dokumen terkait