• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

3 KERANGKA TEOR

Bab ini menjelaskan beberapa teori yang terkait dengan penelitian, yaitu teori efisiensi, risiko produksi, preferensi risiko petani, dan adopsi teknologi. Kerangka alur pikir disajikan dalam sub bab ini dimaksudkan untuk memaparkan teori yang menjadi dasar pemikiran penulis dalam penelitian ini.

Efisiensi Produksi

Untuk menjelaskan tujuan pertama pada penelitian ini yaitu mengenai efisiensi teknis usahatani kubis, perlu mempelajari mengenai teori dari efisiensi produksi. Pada penelitian ini, konsep efisiensi yang digunakan mengacu kepada efisiensi yang dikemukakan oleh Farrell (1957); Lau dan Yotopoulus (1977); dan Coelli et al. (1998). Efisien tidaknya suatu usahatani dibanding usahatani lain apabila usahatani tersebut dengan menggunakan input yang sama atau input yang digunakan lebih sedikit namun mampu memperoleh hasil yang lebih besar atau maksimal dibanding usahatani lain. Farrel (1975) mengatakan bahwa suatu usahatani dikatakan efisien ketika usahatani tersebut memperoleh output yang besar atau maksimal dari penggunaan sejumlah input tertentu.

Efisiensi digolongkan menjadi tiga yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif atau harga, dan efisiensi ekonomi. Suatu usahatani dikatakan efisien secara teknis apabila usahatani tersebut mampu memperoleh output tertentu dengan menggunakan sejumlah kombinasi input tertentu, pada teknologi tertentu. Usahatani dikatakan efisien secara alokatif jika usahatani tersebut mampu menggunakan sejumlah input untuk memperoleh output dengan menggunakan biaya yang murah (minimal) atau keuntungan yang maksimal pada teknologi tertentu. Suatu usahatani dikatakan efisien secara ekonomi apabila usahatani tersebut telah efisien secara teknis dan alokatif.

Untuk lebih jelasnya, Farrel (1975) dalam Coelli et al. (1998) mengilustrasikan konsep efisiensi pada Gambar 1. Gambar 1 menjelaskan tentang konsep pengukuran efisiensi dari sisi input. Kurva SS merupakan isoquant yang menggambarkan kombinasi input minimum untuk menghasilkan satu unit output yang secara teknis paling efisien. Jika untuk menghasilkan satu unit output digunakan kombinasi input pada titik P maka kombinasi input tersebut dikatakan tidak efisien secara teknis, karena ada kombinasi input yang lebih efisien dibanding pada titik P yaitu di titik Q. Kombinasi input pada titik Q secara teknis sudah efisien. Tingkat efisiensi teknis pada penggunaan kombinasi input adalah OQ/OP. Jika rasio harga-harga input X1 dan X2 yang digunakan (ditunjukkan pada garis AA) diketahui, maka kombinasi input pada titik Q yang secara teknis sudah efisien namun secara alokatif belum efisien. Hal ini dikarenakan masih ada kombinasi input yang menggunakan biaya lebih murah namun menghasilkan output yang sama, seperti kombinasi input yang ditunjukkan pada titik R. Berdasarkan hal tersebut maka efisiensi alokatif adalah OR/OQ. Efisiensi alokatif ini dapat ditentukan jika garis AA menyinggung kurva isoquant SS yaitu pada titik Q`. Oleh karena itu, kombinasi input yang sudah efisien secara teknis maupun alokatif yaitu pada titik R dan Q`, sehingga dapat kita tentukan efisiensi

18

ekonomi yaitu sebesar OR/OP, dimana nilai ini diperoleh dari perkalian antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa diperlukannya suatu patokan sebagai rujukan untuk mengukur efisiensi, yaitu kemampuan maksimum menghasilkan output pada penggunaan input tertentu pada teknologi tertentu. Efisiensi alokatif bisa dicapai apabila suatu usahatani telah mencapai efisiensi teknis, sedangkan efisiensi ekonomi bisa dicapai jika usahatani tersebut telah efisien secara teknis dan alokatif. Berdasarkan hal tersebut, efisiensi teknis menjadi syarat keharusan untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomi. Konsep ini terkait dengan metode pengukuran efisiensi yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu fungsi produksi frontier (batas). Efisiensi teknis akan dinyatakan dengan seberapa jauh penyimpangan suatu usahatani beroperasi dari fungsi produksi frontier pada tingkat teknologi tertentu.

Fungsi produksi frontier ini umumnya banyak digunakan dalam menjelaskan konsep pengukuran efisiensi dan memiliki defenisi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi, dimana frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al. 1998). Salah satu pengukuran fungsi produksi frontier ini yaitu model stochastic frontier, dimana model ini merupakan model pengukuran yang paling baik karena dapat mengukur efek-efek tak terduga pada produksi frontier. Adapun model persamaan fungsi produksi stochastic frontier dapat dituliskan sebagai berikut:

Ln (yi) = xi + vi-ui ... (3.1) Dimana: yi merupakan output dari kubis, xi merupakan input, vi merupakan variable acak vi, dan ui merupakan variable acak ui. Model persamaan ini disebut fungsi produksi stochastic frontier karena nilai-nilai output dibatasi diatas oleh variabel stochastic (acak) exp(xiβ+vi). Variabel acak dapat bernilai positif atau negative sehingga keragaman output stochastic frontier merupakan bagian deterministic dari model frontier exp(xiβ). Pada penelitian ini digunakan model

Sumber: Coelli et al. (1998)

Gambar 1 Efisiensi teknis dan alokatif (orientasi input) x1/y x2/y A’ A R Q’ Q S’ S P ET = OQ/OP EA = OR/OQ EE = OR/OP

19 fungsi produksi stochastic frontier yang dikembangkan oleh Kumbhakar dengan penambahan unsur risiko produksi.

Efisiensi merupakan hal penting dalam mengukur keberhasilan suatu proses produksi. Adanya kesenjangan antara keadaan aktual dengan optimal dari penggunaan input akan menyebabkan terjadinya kesenjangan produktivitas. Kesenjangan produktivitas ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor ketidakpastian dan risiko usahatani. Adanya risiko akan mempengaruhi sikap petani dalam mengalokasikan input produksi, dimana input produksi bisa bersifat menurunkan risiko atau meningkatkan risiko produksi. Kemampuan manajerial petani dalam memilih kombinasi input sangat menentukan efisiensi. Kemampuan manajerial itu berasal dari diri petani melalui faktor-faktor sosial ekonomi.

Risiko dan Preferensi Risiko Petani

Setelah mengetahui mengenai teori efisiensi, maka perlu juga dikaji teori mengenai risiko dan preferensi risiko petani untuk menjelaskan tujuan kedua dan ketiga pada penelitian ini. Dalam membahas risiko yang dihadapi suatu usahatani, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian risiko tersebut dan bedanya dengan ketidakpastian. Debertin (1986) menyebutkan bahwa Frank Knight membedakan antara risiko dan ketidakpastian. Dijelaskan bahwa risiko merupakan suatu kejadian yang merugikan dimana peluang kejadian tersebut dapat diukur oleh pengambil keputusan, sedangkan ketidakpastian merupakan kejadian yang merugikan dimana peluang kejadiannya tidak dapat diukur oleh pengambil keputusan.

Ellis (1988) juga menjelaskan bahwa risiko merupakan peluang terjadinya suatu kondisi dimana pendapatan di atas atau di bawah rata-rata dari pendapatan yang diharapkan dalam serangkaian musim panen. Jika peluang suatu kejadian dapat diketahui oleh pembuat keputusan yang didasarkan pada pengalaman, maka hal tersebut menunjukkan konsep risiko. Jika peluang suatu kejadian tidak dapat diketahui oleh pembuat keputusan, maka hal tersebut menunjukkan konsep ketidakpastian.

Suatu kegiatan atau aktivitas dan keputusan yang diambil oleh pelaku usaha atau petani selalu dihadapkan pada berbagai risiko. Semakin besar suatu usaha yang dijalankan maka risikonya pun semakin besar. Adanya risiko dalam suatu usahatani disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. McConnell dan Dillon (1997) menjelaskan bahwa sumber internal yang menimbulkan risiko berupa faktor kesehatan, hubungan interpersonal (dipengaruhi oleh personality, kebiasaan, dan aspirasi), faktor pendekatan yang dilakukan petani sebagai manajer terhadap konservasi dan degradasi sumberdaya pertanian (resource and ecological risk), dan transfer usahatani antar generasi (succession risk) serta penggunaan kredit pertanian (financial risk). Faktor eksternal yang menimbulkan risiko yaitu: keadaan alam, kondisi ekonomi, keadaan sosial, kebijakan pemerintah, dan kondisi politik. Usaha pertanian sangat tergantung dengan keadaan alam (cuaca) dengan segala ketidakpastiannya seperti: musim kering yang berkepanjangan, banjir, badai, atau dalam jangka panjang berupa terjadinya perubahan iklim (climate change). Risiko yang bersumber dari

20

kondisi ekonomi yaitu risiko pasar, yang berhubungan dengan besarnya permintaan dan penawaran (mempengaruhi harga output dan input produksi), tingkat inflasi atau suku bunga, dan risiko produktivitas yang disebabkan karena penerapan suatu teknologi baru. Kondisi sosial pada umumnya bukan merupakan sumber risiko utama dalam sistem usahatani. Kontribusi kondisi sosial terhadap risiko usahatani adalah perubahan tingkat pendidikan dan gaya hidup yang akan mempengaruhi pasokan tenaga kerja di bidang pertanian.

Sonka dan Patrick (1984) mengemukakan paling tidak terdapat lima sumber utama risiko usaha di sektor pertanian yaitu : (1) risiko produksi atau teknis, (2) risiko pasar atau harga, (3) risiko teknologi, (4) risiko legal atau sosial, (5) risiko karena kesalahan manusia. Dari beberapa sumber risiko tersebut, ternyata risiko yang paling utama dihadapi rumahtangga petani adalah risiko produksi dan risiko harga. Oleh karena itu diperlukan suatu manajemen risiko untuk mengurangi risiko tersebut.

Pada penelitian ini sumber risiko yang akan dilihat yaitu sumber risiko yang disebabkan oleh faktor internal yang berkaitan dengan penggunaan input usahatani, apakah input yang digunakan petani kubis menimbulkan risiko atau mengurangi risiko produksi. Input yang digunakan pada suatu usahatani akan mempengaruhi risiko produksi yang dihadapi petani. Input usahatani tersebut dapat bersifat mengurangi risiko (risk decreasing) atau bersifat memperbesar risiko (risk increasing). Menurut Villano et al. (2005) keberadaan risiko produksi mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan alokasi input usahatani. Dengan dilihatnya input-input apa saja yang meningkatkan risiko ataupun yang menurunkan risiko, dapat membantu pengambilan keputusan dalam alokasi input.

Penerapan suatu teknologi baru tidak terlepas dari adanya risiko. Petani sebagai produsen dalam menjalankan usahataninya bertujuan memaksimumkan keuntungan. Adanya risiko dari penggunaan suatu teknologi baru akan mempengaruhi keuntungan usahatani, sehingga risiko merupakan salah satu pertimbangan petani dalam memilih teknologi yang akan digunakan. Secara normal tidak ada seorangpun yang mau masuk dalam lingkungan yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian tanpa mengharapkan imbalan yang lebih besar dibandingkan dengan lingkungan yang tidak ada risikonya. Oleh karena itu, mengkaji risiko sangat penting dilakukan terkait dengan pengambilan keputusan petani khususnya pada kegiatan produksi. Dalam menganalisis usaha pertanian sangat penting mempertimbangkan faktor risiko seperti risiko produksi yang terkait dengan kebijakan pemerintah untuk menerapkan inovasi baru berupa teknologi organik.

Kesediaan petani untuk menerima risiko dan ketidakpastian dari teknologi baru terkait dengan sikap petani tersebut. Adanya risiko yang dihadapi petani akan mendapatkan respon petani berupa preferensi petani terhadap risiko. Preferensi risiko petani dapat dikategorikan menjadi: (1) pembuat keputusan yang takut terhadap risiko atau menghindari risiko (risk aversion), (2) pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (risk taker), dan (3) pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral) (Debertin 1986; Robison dan Barry 1987; dan Ellis 1988). Debertin (1986) mengilustrasikan perbedaan perilaku petani terhadap risiko income yang dihadapi pada Gambar 2.

21

Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa petani yang risk averse mengharapkan income yang lebih tinggi dengan bertambahnya risiko income yang dihadapi, artinya jika petani yang risk averse akan mengambil suatu peluang dengan risiko yang lebih besar akan mengharapkan income yang semakin besar pula. Petani yang berperilaku risk taker akan mengambil suatu kesempatan walaupun hasil yang diperoleh rendah tetapi mempunyai peluang mendapatkan keuntungan lebih besar atau mengalami kerugian yang lebih besar pula. Petani yang risk neutral berperilaku mempunyai harapan income yang sama meskipun ada perubahan risiko yang dihadapi, dengan kata lain income yang diharapkan tidak dipengaruhi oleh besarnya risiko yang dihadapi.

Petani yang bersikap risk averse cenderung lambat atau menghindari penggunaan suatu teknologi baru, sedangkan petani yang bersifat risk taker akan berani menerapkan suatu teknologi baru meskipun akan mengalami kegagalan. Ellis (1988) mengatakan bahwa umumnya petani kecil berperilaku risk averse, dimana petani yang risk averse akan terhambat dalam proses adopsi terhadap inovasi yang mampu meningkatkan hasil pertanian. Dalam melakukan usahatani kubis organik, petani akan dihadapkan dengan risiko karena setiap usaha pertanian selalu menghadapi risiko. Oleh karena itu pada penelitian ini dilihat juga bagaimana sikap petani terhadap risiko tersebut.

Risiko berhubungan dengan adanya suatu perubahan dalam setiap periode, sehingga risiko produksi menggambarkan adanya fluktuasi pada produksi. Adanya fluktuasi tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan variance produksi periode tertentu atau variance produksi antar petani dalam satu periode.

Sumber: Debertin (1986)

Gambar 2 Kurva yang menghubungkan varians income dengan income yang diharapkan.

Expected income Income variance a. Risk averse Expected income Income variance b. Risk netral Expected income Income variance c. Risk taker

22

Beberapa hal yang menjadi indikasi adanya risiko dalam kegiatan bisnis maupun usahatani adalah terdapat variasi, fluktuasi atau volalitas pada hasil yang diharapkan oleh pebisnis. Menurut Elton dan Gruber (1995) ukuran-ukuran untuk mengukur risiko antara lain variance, standard deviation dan coefficient variation. Ketiga ukuran ini saling berkaitan satu sama lain. Standard deviation menggambarkan rata-rata perbedaan penyimpangan. Semakin bervariasi hasil atau return maka risiko akan semakin besar.

Pada penelitian ini tidak hanya melihat risiko produksi dan preferensi risiko, tetapi efisiensi teknis petani dalam berproduksi juga dilihat. Hal ini dikarenakan perbedaan perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan input-input produksi yang digunakan. Selanjutnya alokasi input yang digunakan akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan produktivitas yang dicapai oleh petani. Berdasarkan hal tersebut analisis risiko produksi pada penelitian ini menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Kumbhakar (2002). Model Kumbhakar (2002) ini digunakan karena dapat menganalisis dampak input terhadap produksi, dampak alokasi input terhadap risiko produksi, efisiensi teknis, dan perilaku produsen dalam menghadapi risiko produksi. Bentuk umum model fungsi produksi frontier, fungsi risiko produksi, dan fungsi inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Kumbhakar (2002) dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f(x,z) + g(x,z)ɛ– q(x,z)u ...(3.2) Dimana: y adalah output rata-rata, x menunjukkan vektor dari input variabel j, z menunjukkan vektor dari quasi input tetap Q, f(x,z) menjelaskan fungsi ouput rata-rata, g(x,z) menunjukkan fungsi risiko produksi, dan q(x,z) adalah fungsi inefisiensi teknis, adalah ɛ erorr term yang menunjukkan ketidakpastian produksi, dan u > 0 menunjukkan inefisiensi teknis.

Usaha di bidang pertanian memiliki risiko yang lebih besar dibanding dengan usaha lainnya karena kegiatan ini dilakukan bergantung pada kondisi alam, berbeda halnya dengan industri. Oleh karena itu, petani perlu mengelola risiko tersebut agar usahanya dapat berjalan sesuai dengan harapan. Petani memiliki banyak pilihan dalam mengelola risiko usaha yang dihadapinya antara lain dengan melakukan diversifikasi usaha, integrasi vertikal, kontrak produk, kontrak pemasaran, asuransi pertanian, perlindungan nilai (hedging) dan lainnya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan petani untuk mengurangi kerugian disaat alam dan pasar dalam kondisi kurang menguntungkan adalah dengan diversifikasi usaha (Debertin 1986).

Adopsi Teknologi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Pada Sub Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai teori efisisensi dan preferensi risiko petani. Pada Sub Bab ini akan dijelaskan mengenai teori adopsi teknologi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Produktivitas kubis non organik di Kabupaten Agam lebih rendah jika dibanding rata-rata produktivitas kubis Sumatera Barat. Rendahnya produksi kubis di Kabupaten Agam diharapkan dapat ditingkatkan melalui penerapan

23

Gambar 3 Perubahan teknis antar dua periode

y F1 F0 x y1 y0 x0

teknologi baru berupa teknologi organik. Seperti yang dikemukakan oleh Bakhsh

et al. (2006), salah satu cara untuk meningkatkan produksi yaitu dengan mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru. Ogada et al. (2010) juga menyatakan bahwa teknologi dapat meningkatkan output, dimana teknologi yang digunakan produsen menentukan kaitan antara produksi yang dihasilkan dengan input yang digunakan.

Secara teoritik, adanya perubahan teknologi baru yang lebih efisien dan dapat menggantikan teknologi produksi yang ada akan menggeser ke atas kurva fungsi produksi. Artinya, dengan adanya penggunaan teknologi baru maka output yang dihasilkan akan lebih besar. Perubahan teknis akibat adanya perbaikan teknologi akan menggeser kurva produksi ke atas. Hal ini dapat diilustrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3 menjelaskan konsep perubahan teknologi, dimana F0 menunjukkan kurva produksi sebelum adanya teknologi baru, sedangkan F1 merupakan kurva produksi setelah adanya perubahan teknologi. Jika suatu usahatani berada pada kondisi F1, secara teknis dapat memproduksi output lebih banyak untuk tiap tingkat input yang digunakan dibanding ketika usahatani berproduksi pada kondisi F0.

Adanya teknologi baru, tidak semua petani yang mengadopsi teknologi tersebut. Ada petani yang mengadopsi teknologi tersebut, ada juga yang tidak mengadopsi. Menurut Hikmah et al. (2007) proses adopsi teknologi merupakan proses kejiwaan atau mental yang terjadi pada diri petani pada saat menghadapi suatu teknologi baru, dimana terjadi proses penerapan suatu teknologi baru sejak teknologi tersebut diketahui atau didengar sampai diterapkannya teknologi tersebut. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hikmah et al. (2007) mengemukakan lima tahapan dalam proses adopsi yaitu: (1) awareness (tahu dan sadar), ketika pertama kali mendapat ide dan praktek baru, (2) interest (minat), dengan mencari rintisan informasi, (3) evaluation (evaluasi), menilai manfaat yang diperoleh dari inovasi yaitu untung dan rugi dari penerapan inovasi tersebut, (4) Trial (mencoba), adopter akan mencoba menerapkan inovasi pada skala kecil, (5) adoption (adopsi), menerapkan inovasi pada skala besar pada usahataninya.

24

Dalam menerapkan suatu teknologi baru, ada individu yang cepat menerima dan menerapkan teknologi tersebut, ada juga yang lambat. Cepat atau lambatnya individu menerapkan teknologi ditentukan oleh pendidikan, usia, keaktifan individu di masyarakat, dan penyuluhan yang diterima individu tersebut. Hikmah

et al. (2007) membedakan kelompok maupun individu dalam proses mengadopsi teknologi berdasarkan ciri-ciri:

1. Pembaharu (innovator), dicirikan memiliki lahan usahatani luas, pendapatan tinggi, status sosial tinggi, aktif di masyarakat, banyak berhubungan dengan orang secara formal dan informal, dan mencari informasi langsung ke lembaga penelitian atau penyuluhan pertanian.

2. Pengadopsi awal (early adopter), biasanya mereka yang usianya lebih muda, pendidikan tinggi, lebih aktif berpartisipasi di masyarakat, lebih banyak berhubungan dengan penyuluhan pertanian, dan lebih banyak menggunakan surat kabar, majalah, serta buletin.

3. Mayoritas awal (early majority) yaitu mereka yang sedikit di atas rata-rata dalam umur, pendidikan, dan pengalaman petani, sedikit lebih tinggi dalam status sosial, lebih banyak menggunakan surat, majalah, dan buletin, lebih sering menghadiri pertemuan pertanian, lebih awal, dan lebih banyak mengadopsi dibanding mayoritas lambat.

4. Mayoritas lambat (late majority), mereka yang pendidikan kurang, lebih tua, kurang aktif berpartisipasi di masyarakat, kurang berhubungan dengan penyuluhan pertanian, dan kurang banyak menggunakan surat kabar, majalah serta buletin.

5. Kelompok lamban (laggard), mereka yang pendidikan kurang, lebih tua, kurang aktif berpartisipasi di masyarakat, kurang berhubungan dengan penyuluh, dan kurang banyak menggunakan surat kabar, majalah, serta buletin.

Pilihan petani dalam menerapkan suatu teknologi baru dipengaruhi oleh berbagai faktor. Rogers (1995) dalam Sarker et al. (2008) menyatakan bahwa keputusan adopsi dari suatu inovasi tergantung pada: (1) pengetahuan individu terhadap inovasi, (2) bentuk sikap terhadap inovasi, (3) keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi, (4) mengimplementasikan ide baru dan, (5) akhirnya mengkonfirmasikan inovasi tersebut. Musyafak dan Ibrahim (2005) menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang mempengaruhi penerapan suatu inovasi adalah karakteristik inovasi itu sendiri. Inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan, inovasi tersebut harus memberikan keuntungan secara nyata bagi petani, inovasi yang diperkenalkan harus memiliki kesesuaian dengan teknologi yang ada sebelumnya, pola pertanian yang berlaku, nilai sosial, budaya, kepercayaan petani dan keperluan yang dirasakan petani, inovasi harus dapat mengatasi permasalahan petani, inovasi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada, murah, dan dapat diperoleh petani, inovasi harus terjangkau oleh kemampuan finansial petani, inovasi harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba, dan inovasi harus mudah diamati dan dipelajari oleh petani. Selain itu, faktor internal petani juga mempengaruhi adopsi suatu inovasi.

Penerapan teknologi baru terutama dalam usahatani tidak terlepas dari adanya risiko. Kesediaan petani untuk menerima risiko dan ketidakpastian dari

25 teknologi baru terkait dengan sikap petani. Sikap petani yang menghindari risiko akan berdampak pada lambatnya penerapan teknologi baru. Dimana petani yang bersifat risk averse akan melakukan pengambilan keputusan produksi dengan mengurangi penggunaan input produksi. Petani yang risk averse akan menghindari input yang menyebabkan variasi hasil dan akan memilih input lain yang diperkirakan tidak menimbulkan variasi yang besar. Perbedaan perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan input-input produksi yang digunakan. Selanjutnya alokasi input yang digunakan akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan produktivitas yang dicapai oleh petani. Rendahnya efisiensi dan produktivitas dari penggunaan teknologi tersebut akan menjadi pertimbangan juga bagi petani lainnya untuk menerapkan teknologi baru tersebut. Oleh karena itu penting melihat pengaruh dari efisiensi teknis dan preferensi risiko terhadap penerapan teknologi organik pada tanaman kubis di Kecamatan Baso.

Selain melihat pengaruh efisiensi teknis dan preferensi risiko petani terhadap penerapan kubis organik, masih banyak faktor lain yang diduga mempengaruhi petani dalam menerapkan suatu teknologi. Berdasarkan hal tersebut perlu juga diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi teknologi organik oleh petani kubis di Kecamatan Baso. Berdasarkan studi empiris, diantara faktor-faktor yang diduga berpengaruh yaitu umur, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, keikutsertaan dalam kelompok tani, penyuluhan pertanian organik, dan risiko produksi. Faktor-faktor tersebut dilihat dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa faktor-faktor tersebut berhubungan dengan proses adopsi suatu teknologi. Faktor jumlah anggota keluarga, keikutsertaan dalam kelompok tani, dan penyuluhan pertanian organik, diharapkan dapat menggambarkan faktor sosial ekonomi petani, sedangkan umur, dan pendidikan petani, diharapkan dapat menggambarkan personal petani.

Kerangka Alur Pikir Penelitian

Rendahnya produksi dan produktivitas kubis di Kabupaten Agam diharapkan dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru. Pemerintah daerah Kabupaten Agam telah mengembangkan pertanian organik dan telah menetapkan Kecamatan Baso sebagai daerah percontohan untuk pertanian organik. Dengan dikembangkannya teknologi organik ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan produksi dan produktivitas kubis. Namun, penerapan teknologi organik di kalangan petani

Dokumen terkait