• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis dan Kondisi Fisik Desa Brebeg

Secara geografis, Desa Brebeg berada di Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, berjarak 350 km dari ibukota propinsi, 25 km dari ibukota kabupaten, dan 5 km dari kecamatan. Batas administratif desa, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Jeruklegi Kulon, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kutawaru, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Jeruklegi Wetan, dan sebelah

19 Barat berbatasan dengan Desa Ujungmanik. Desa Brebeg memiliki empat dusun: Dusun Ciptosari, Dusun Cikorol, Dusun Sumur Bandung, dan Dusun Watukumpul.

Topografi Desa Brebeg tergolong dataran rendah berbukit dengan kemiringan ±15% dan ketinggian ±200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan kondisi iklimnya, Desa Brebeg digolongkan sebagai wilayah dengan karakteristik lembab dengan curah hujan 850 mm/tahun dengan jumlah 7 bulan hujan dan 5 bulan kering, sedangkan untuk suhu rata-rata harian 20-30 °C. Desa brebeg memiliki jenis tanah cokelat dan lempung dengan kedalaman 2 m yang mengandung cadas (Desa Brebeg 2013).

Luas wilayah Desa Brebeg yaitu 531.914 Ha dan sebanyak 52.8% merupakan lahan yang sangat potensial dipergunakan sebagai hutan rakyat atau lahan yang berada pada tanah kering. Selebihnya luas wilayah dan tata guna lahan disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Luas wilayah dan tata guna lahana

Keterangan Luas(hektar) Persentase(%) Persawahan 110 20.68 Lahan kering 281.39 52.8

Pemukiman 140.524 26.52

Total 531.914 100

a Sumber: Desa Brebeg (2013).

Kependudukan

Berdasarkan profil Desa Brebeg tahun 2013, Desa Brebeg terdiri dari 4 dusun, 36 Rukun Tetangga dan 8 Rukun Warga. Jumlah penduduk di Desa Brebeg sebanyak 4 779 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 2 347 orang dan wanita 2 432 orang, yang terdiri dari 1 207 kepala keluarga. Penduduk di Desa Brebeg mayoritas berusia 25-55 tahun, dengan persentase sebesar 19.4%. Komposisi penduduk menurut usia dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usiaa

Kelompok Usia(tahun) Jumlah(orang) Persentase(%)

0-6 428 9 7-12 836 17.5 13-18 783 16.4 19-24 821 17.2 25-55 925 19.4 56-79 876 18.3 80 ke atas 110 2.3 Total 4779 100

a Sumber: Desa Brebeg (2013).

Mata pencaharian penduduk Desa Brebeg sebagian besar berprofesi sebagai petani dengan persentase 72.47%, meskipun sebagian penduduk juga memiliki mata pencaharian ganda. Adapun jenis mata pencaharian lain di Desa Brebeg yaitu sebagai nelayan, pengrajin industri kecil, buruh, pedagang, pengangkut, PNS, pensiun PNS, dan lain-lain. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 6.

20

Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariana Mata Pencaharian Jumlah(orang) Persentase(%) Petani 2266 72.47 Nelayan 258 8.25 Pengrajin industri kecil 35 1.12

Buruh 462 14.77 Pedagang 35 1.12 Pengangkut 20 0.64 PNS 12 0.38 Pensiun PNS 9 0.29 Lain-lain 30 0.96 Total 3127 100

a Sumber: Desa Brebeg (2013).

Karakteristik Petani Responden

Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat sistem monokultur jabon yang menggarap pada lahan desa. Lokasi ini berada di lima titik, yaitu Ciptosari, Cikorol, Sumur Bandung, Kalimerasah, dan Sukrasa. Jumlah responden populasi sebanyak 26 orang, dengan rincian 5 orang berjenis kelamin perempuan dan 21 orang berjenis kelamin laki-laki. Penggarapan jabon di lahan desa ini merupakan pekerjaan sampingan petani yang memiliki pekerjaan pokok sebagai petani palawija, kayu putih, jeruk, padi, dan perangkat desa.

Karakteristik lainnya yang mempengaruhi pengelolaan hutan rakyat jabon yaitu usia dan tingkat pendidikan. Usia produktif menentukan kemampuan yang baik dalam berpikir dan bertindak untuk merencanakan dan mengelola hutan rakyat. Tingkat pendidikan formal mempengaruhi kapasitas petani dalam menganalisis suatu usaha agar lebih baik. Rician mengenai data petani responden dapat dilihat pada Lampiran 1, sementara itu karakteristik usia dan tingkat pendidikan responden pada berbagai tingkat strata dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik usia dan tingkat pendidikan responden pada berbagai

tingkat strata Keterangan

Strata Responden

Total Strata I Strata II Strata II

N % N % n % n % Usia(tahun) 31-40 2 11.8 1 25 0 0 3 11.54 41-50 2 11.8 1 25 2 40 5 19.23 51-60 10 58.8 2 50 1 20 13 50 >60 3 17.6 0 0 2 40 5 19.23 Total 17 100 4 100 5 100 26 100 Pendidikan SD 15 88.2 4 100 4 80 23 88.5 SMP 2 11.8 0 0 1 20 3 11.5 Total 17 100 4 100 5 100 26 100

21 Tabel 7 menunjukkan bahwa sebaran responden terbanyak yaitu pada usia 51-60 tahun dengan persentase sebanyak 50%. Berdasarkan BPS (2014) hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada usia produktif yaitu usia 15-64 tahun3, sehingga memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola hutan rakyat agar hasil yang didapat lebih maksimal. Berdasarkan tingkat pendidikan responden mayoritas memiliki pendidikan hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, yaitu sebesar 88.46%. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir dan pengelolaan hutan rakyat. Namun secara empirik responden telah memiliki pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat, sehingga tingkat pendidikan kecil pengaruhnya dalam hal memaksimalkan hasil dari hutan rakyat ini.

Berdasarkan data responden yang diperoleh dari Desa Brebeg nilai tengah luas lahan hutan rakyat sebesar 0.25 ha dari 26 responden dengan selang 0.18 ha ≤ µ ≥0.32 ha. Pada penelitian ini, luasan lahan yang digarap petani dibagi menjadi 3 strata. Strata I berada pada luas lahan <0.18 ha dengan rata-rata luasan lahan 0.16 ha, strata II berada pada luas lahan 0.18-0.32 ha dengan rata-rata luasan lahan 0.22 ha, dan strata III berada pada luasan lahan >0.32 ha dengan rata-rata luasan lahan 0.59 ha. Luasan lahan yang digarap petani paling banyak pada strata I yaitu sebesar 65.4%. Rincian pembagian stratifikasi petani berdasarkan luas lahan dapat dilihat pada Lampiran 2, sementara itu stratifikasi petani berdasarkan luas lahan yang digarap serta jumlah petani penggarapnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Stratifikasi petani berdasarkan luas lahan yang digarap Strata Responden Jumlah(orang) Persentase(%) I (<0.18 ha) 17 65.4 II (0.18-0.32 ha) 4 15.4 III (> 0.32 ha) 5 19.2

Total 26 100

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jabon

Pemanfaatan lahan desa dahulunya digunakan petani untuk menanam jenis palawija. Namun seiring dengan adanya sosialisasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap tentang program nasional pembangunan hutan rakyat, lahan desa tersebut akhirnya ditanami komoditas kehutanan yaitu jabon. Meskipun belum memperoleh sertifikasi hutan rakyat, tetapi petani tersebut optimis bahwa proyek tersebut dapat berjalan dengan baik.

Petani di Desa Brebeg yang menanam jabon pada lahan desa menerapkan penanaman hutan rakyat murni, dimana hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara monokultur. Hutan rakyat murni lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya. Petani penggarap di lahan desa merupakan petani yang aktif di desa seperti perangkat desa dan anggota gapoktan yang memang bersedia untuk menanam jabon. Mereka diberi kebebasan untuk menggarap lahan sesuai kemampuan dan keinginan mereka.

3 http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/indeks.php?option=com_content&task=view&

22

Namun mereka wajib membayar sewa kepada desa dengan nominal Rp50 000 per 500 m2 per tahun.

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat jabon di lahan desa sebagian besar dilakukan sendiri oleh keluarga petani, namun ada juga yang mengupah warga lain untuk perawatannya. Kegiatan pembangunan hutan rakyat yang dilakukan pada lahan desa di Desa Brebeg adalah sebagai berikut:

1. Persiapan lahan

Persiapan lahan yang dilakukan oleh petani berupa pembersihan lahan, penentuan jarak tanam, pembuatan lubang tanam, dan pemasangan ajir. Pembersihan lahan ditujukan untuk menghilangkan tumbuhan pengganggu seperti semak belukar, alang-alang, dan sisa tumbuhan yang telah mati. Pembersihan lahan dilakukan dengan sabit dan herbisida. Jarak tanam yang diterapkan oleh petani di Desa Brebeg yaitu 3 x 3 meter. Setelah penentuan jarak tanam, kemudian pembuatan lubang tanam yang dibuat 1 minggu sebelum penanaman. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 x 40 x 40 cm. Setelah itu ditaburkan pupuk organik dengan dosis 2.5 kg tiap lubang tanam, kemudian ditutup kembali dengan tanah dan ditandai dengan ajir bambu. 2. Pengadaan bibit

Jenis bibit yang digunakan petani adalah varietas jabon putih dengan ukuran 30-40 cm. Perolehan bibit berasal dari pedagang desa keliling yang biasanya menjual bibit-bibit tanaman. Namun ada juga petani yang langsung membeli ke sentra produksi bibit jabon di daerah Ajibarang.

3. Penanaman

Penanaman jabon dilakukan pada lubang tanam yang sebelumnya dibuat. Lubang tanam digali setengahnya, kemudian masukkan bibit jabon yang telah dipersiapkan. Setelah itu campurkan dengan pupuk urea dan pupuk TSP masing-masing 0.1 kg lalu ditutup kembali menggunakan tanah galian dan padatkan. Ajir yang telah ada saat kegiatan persiapan lahan dapat membantu menyangga bibit yang ditanam. Ajir bambu yang memiliki tinggi 150 cm tersebut, diikatkan dengan bibit menggunakan tali yang panjangnya sekitar 50 cm pada titik tanam.

4. Pemeliharaan

Pemeliharaan terdiri dari kegiatan pemberantasan gulma, pemupukan, dan pemberantasan hama. Pemberantasan gulma dilakukan petani dengan menggunakan sabit secara intensif yaitu sebanyak 6 kali dari tahun pertama sampai tahun ke 6. Hal ini dikarenakan gulma dapat menjadi inang perantara penyakit, sehingga keberadaannya harus dimusnahkan. Pemberantasan gulma ini menggunakan herbisida saat tahun pertama dengan dosis 1 liter herbisida untuk luas lahan 1000 m2, serta penggunaan sabit untuk tahun-tahun berikutnya.

Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan kualitas tanaman. Pupuk yang digunakan petani untuk pemeliharaan yaitu pupuk urea dan TSP. Pemupukan dilakukan 3 kali setahun sampai tahun ke 6. Dosis yang digunakan untuk kedua jenis pupuk tersebut masing-masing sama, yaitu untuk satu kali pemupukan 0.1 kg per pohon pada tahun pertama dan 0.2 kg per pohon pada tahun ke 2-6. Kegiatan pemupukan menggunakan peralatan ember dan sekop.

Hama yang sering menyerang jabon adalah ulat grayak (army worm) atau Spodoptera sp. yang menyerang bagian daun dan hama penggerek akar (uret

23 atau lundi) yang menyerang bagian akar. Pemberantasan hama dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida jenis Fastac. Dosis yang digunakan yaitu 1 ml insektisida dengan campuran 0.5 liter air. Frekuensi penyemprotan insektisida yaitu setahun 3 kali untuk tahun 1-2, dan 1 kali setahun untuk tahun 3-6 ketika musim penghujan datang. Peralatan yang digunakan yaitu dengan handsprayer alumunium volume 15 liter.

5. Pemanenan

Pemanenan jabon dilakukan berdasarkan daur hidup selama 6 tahun. Perencanaan petani untuk panen nantinya akan dilakukan oleh pembeli, karena petani tidak memiliki alat pemanenan. Hal ini berarti seluruh biaya pemanenan merupakan tanggung jawab pembeli karena pemanenan dilakukan oleh pembeli dengan sistem bayar di tempat setelah ada kesepakatan harga sebelumnya. 6. Pemasaran

Pemasaran kayu jabon di daerah Cilacap saat ini belum ada, karena jabon merupakan varietas baru yang dibudidayakan di wilayah Cilacap. Sehingga saluran pemasaran yang akan terjadi untuk jangka pendek yang memungkinkan adalah petani menjual ke pengepul dan kemudian pengepul menjual ke pengrajin kayu desa atau ke industri primer.

Dokumen terkait