• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan

5.1.1 Hubungan antara Persepsi Kerentanan yang Dirasakan dengan Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan pada Komunitas Waria Pekerja Seks di Kabupaten Kudus didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara persepsi kerentanan yang dirasakan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS yaitu dengan nilai p = 0,069 (> 0,05). Jika ditinjau dari hasil tabulasi silang, responden yang memiliki persepsi kerentanan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS maka persepsi kerentanan kurang baik (52,4%) jika dibandingkan dengan yang memiliki persepsi kerentanan baik (47,6%). Ada perbedaan yang signifikan dari hasil distribusi persepsi kerentanan baik kategori kurang baik ataupun baik, dengan perilaku pencegahan kategori tidak baik ataupun baik. Ketidaksesuaian penelitian dijelaskan oleh theory of reasoned action atau teori tindakan beralasan (Ajzen dan Fishbein, 1980) yang merupakan teori kebalikan dari teori HBM. Yang mengemukakan bahwa norma sosial seseorang mengacu pada keyakinan dalam dirinya terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan yang dianggapnya penting (referent person) dan motivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut. Kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dua

keyakinan atau penilaian kesehatan (health beliefs), yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and costs) (Smet, 1994).

Ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang akan muncul. Hal ini mengacu sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman terhadap dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan meningkat. Perilaku tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada ketidak-kekebalan yang dirasakan (perceived vulnerability) yang merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka (Ogden, 1996). Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan adanya persepsi tentang kerentanan terkena IMS dan HIV/AIDS baik, maka dapat menimbulkan praktik yang baik dalam pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Akan tetapi variabel kerentanan terkena IMS dan HIV/AIDS kurang dominan dalam hubungannya dengan pekerja seks karena faktor lain, yaitu pengetahuan dan pengalaman.

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2012: 33) meskipun kesadaran masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktik tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masyarakat masih rendah. Hal ini juga dapat dilihat dari jawaban responden meskipun banyak yang memiliki persepsi kerentanan baik akan tetapi

tidak semua responden melakukan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS. Dijelaskan pula melalui hasil wawancara terhadap responden yang mengemukakan bahwa status HIV negatif akan mempengaruhi niat untuk berperilaku sehat dalam pencegahan HIV.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nur Eda et all (2012) yang menyatakan bahwa persepsi kerentanan tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS. Namun penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Linda Mayarni Sirait et all (2012) yang menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara persepsi kerentanan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS, bahwa semakin merasa berisiko seseorang terhadap suatu penyakit maka tindakan pencegahan yang dilakukan akan semakin baik pula.

5.1.2 Hubungan antara Persepsi Keseriusan yang Dirasakan dengan Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan pada Komunitas Waria di Kabupaten Kudus didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara persepsi keseriusan yang dirasakan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS yaitu dengan nilai p = 0,033 (< 0,05). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa responden yang memiliki persepsi keseriusan dampak HIV/AIDS diperoleh 47,6% responden memiliki persepsi keseriusan kurang baik dan 52,4% responden memiliki persepsi kerseriusan baik. Tingkat keseriusan ini kemungkinan disebabkan oleh responden pada penelitian ini hanya merasa serius untuk aspek finansial berupa

kerugian materiil berupa biaya pengobatan saja, sedangkan untuk aspek sosial kebanyakan responden tidak merasa serius.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Linda Mayarni Sirait et all (2012) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara persepsi keseriusan dengan perilaku pencegahan, bahwa semakin individu mempersepsikan bahwa penyakit yang dialami semakin memburuk, mereka akan merasakan hal tersebut sebagai ancaman dan mengambil tindakan preventif. Tingkat keseriusan pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Nur Eda et all (2012) yang menyatakan bahwa persepsi responden tentang keparahan dampak IMS dan HIV/AIDS didapat sebanyak 72,9% responden termasuk kategori tinggi dan 27,1% kategori rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1988) yang menyatakan bahwa persepsi keseriusan HIV/AIDS akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan tindakan pencegahan.

5.1.3 Hubungan antara Persepsi Manfaat yang Dirasakan dengan Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan pada Komunitas Waria di Kabupaten Kudus didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS yaitu dengan nilai p = 0,001 (< 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi manfaat kurang baik (52,4%) dan (47,6%) persepsi manfaat yang baik. Dalam teori Health Belief Model (Rosenstock, 1988) dijelaskan

bahwa persepsi positif perilaku pencegahan (perceived benefits) merupakan penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Linda Mayarni Sirait et all (2012) yang menyatakan ada hubungan signifikan antara persepsi manfaat dengan perilaku pencegahan. Dimana semakin baik persepsi positif seseorang terhadap perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS, semakin besar kemungkinan dia akan melakukan tindakan tersebut.

5.1.4 Hubungan antara Persepsi Hambatan yang Dirasakan dengan Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan pada Komunitas Waria di Kabupaten Kudus didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara persepsi hambatan yang dirasakan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS yaitu dengan nilai p = 0,037 (< 0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi hambatan kurang baik (50%) dan (50%) persepsi hambatan baik. Hal ini kemungkinan bisa terjadi karena responden cenderung memiliki persepsi negatif terhadap kondom dan pelicin. Mereka berpendapat bahwa mamakai kondom pelicin itu tidak enak, kurang praktis dan susah ejakulasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982) bahwa kemungkinan individu melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian

(Ircham Machfoedz dan Eko Suryani, 2009). Bagaimanapun sebuah tindakan dapat saja tidak diambil oleh seseorang meskipun individu tersebut percaya terhadap keuntungan mengambil tindakan tersebut (Priyoto, 2014).

Hasil penelitian ini disesuai oleh penelitian Linda Mayarni Sirait et all (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara persepsi hambatan dengan perilaku pencegahan. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Nur Eda et all yang menyatakan bahwa baik responden maupun pelanggan sangat sulit untuk memakai kondom dan pelicin.

5.1.5 Hubungan antara Persepsi Isyarat untuk bertindak dengan Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan pada Komunitas Waria di Kabupaten Kudus didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara persepsi isyarat untuk bertindak yang dirasakan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS yaitu dengan nilai p = 0,049 (< 0,05). Dari hasil tabulasi silang diperoleh bahwa responden yang memiliki persepsi isyarat untuk bertindak kurang baik (50%) dan baik (50%) persepsi isyarat untuk bertindak baik. Hal ini sesuai dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1988) bahwa dalam melakukan tindakan kesehatan terdapat faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. Isyarat ini dapat bersifat internal ataupun eksternal. Isyarat internal yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu. Sedangkan isyarat eksternal yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal

dari interaksi intersosial, misalnya media massa, pesan, nasehat, anjuran atau konsultasi dengan petugas kesehatan.

Pengetahuan responden didapat dari media elektronik terutama televisi berupa berita yang terbatas pada jam tertentu dan dari petugas kesehatan sewaktu responden periksa rutin dan terbatas waktunya. Sebagian responden masih percaya dengan minum antibiotik dan atau minum jamu sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat mencegah terkena IMS dan HIV/AIDS karena mereka akan merasakan dengan minum jamu menjadi lebih sehat, sembuh dari penyakit dan aman dari IMS dan HIV/AIDS karena anggapan responden bahwa kuman akan mati dengan minum antibiotik atau jamu yang pahit. Kebiasaan ini banyak dilakukan oleh waria pekerja seks dikarenakan kebiasaan yang membudaya di lingkungan dimana waria pekerja seks menjalankan profesinya. Misalnya dengan melihat kebiasaan teman sesama pekerja seks sering mengkonsumsi antibiotik dan sebagainya sebagai pencegahan yang kemudian ditirukan atau dicontoh oleh waria pekerja seks tersebut.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Linda Mayarni Sirait (2012) yang menyatakan ada hubungan antara isyarat untuk bertindak dengan perilaku pencegahan, bahwa responden yang memiliki motivasi (isyarat untuk bertindak) tinggi memiliki proporsi yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan pencegahan dibandingkan dengan responden yang memiliki motivasi lebih rendah. Sebaliknya responden yang memiliki motivasi yang rendah akan memiliki proporsi yang rendah pula untuk melakukan tindakan pencegahan.

5.1.6 Hubungan antara Persepsi Keyakinan Diri dengan Perilaku Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan pada Komunitas Waria di Kabupaten Kudus didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara persepsi keyakinan diri yang dirasakan dengan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS yaitu dengan nilai p = 0,001 (< 0,05). Dari hasil tabulasi silang diperoleh bahwa responden yang memiliki persepsi keyakinan diri kurang baik (45,2%) dan (54,8%) persepsi keyakinan diri baik. Persepsi keyakinan diri mempengaruhi tindakan pencegahan pada seseorang. Hal ini didasarkan pada keyakinannya untuk mampu melakukan perilaku pencegahan tersebut, semakin tinggi keyakinan diri untuk selalu melakukan perilaku pencegahan akan semakin baik pula. Dalam teori Health Belief Model (Rosenstock, 1988) dijelaskan bahwa seseorang umumnya tidak mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru kecuali mereka pikir mereka bisa melakukannya. Jika seseorang percaya suatu perilaku baru yang berguna (manfaat dirasakan), tetapi berpikir dia tidak mampu melakukan itu (penghalang dirasakan), kemungkinan bahwa hal itu tidak akan dilakukan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Linda Mayarni Sirait et all (2012) yang menyatakan ada hubungan antara keyakinan diri dengan perilaku pencegahan. Semakin yakin seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan, maka akan semakin tinggi pula tingkat keyakinan diri untuk melakukan tidakan pencegahan.

5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian

Dokumen terkait